MENGELOLA HAWA NAFSU / KEINGINAN UNTUK STANDAR ORANG BIASA
Untuk orang biasa seperti kita [bukan orang suci : yogi, pertapa, pemangku, pandita], keinginan memiliki dua wajah yang berbeda :
1. Sebagai energi pendorong yang menggerakkan diri kita sehingga bisa mengalami kemajuan.
2. Sebagai jebakan / perangkap kehidupan.
Sebagai orang biasa [orang duniawi], bisa dimaklumi kalau kita didorong oleh banyak keinginan, terutama dalam kaitan melaksanakan svadharma [tugas kehidupan] kita sendiri. Yaitu sebagai suami / istri, sebagai orang tua, sebagai pelajar, sebagai anggota masyarakat sosial, dll. Dengan satu catatan : hindari keinginan itu tidak lagi berfungsi sebagai energi pendorong untuk hal yang baik dan mulia, tapi menjadi perangkap kehidupan.
Bagi orang biasa seperti kita, keinginan tidak selalu jelek atau buruk, asal kitalah yang mengendalikan keinginan itu dan bukan kita yang dikendalikan oleh keinginan. Misalnya : keinginan punya banyak uang bisa membuat kita bekerja tekun dan keras lalu menjadi kaya, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh keinginan : kita melakukan korupsi, mencuri atau menipu. Nafsu seks bisa membuat hubungan suami-istri menjadi indah dan harmonis, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh nafsu seks : kita selingkuh atau cari istri lagi. Keinginan untuk bermain atau bersenang-bersenang bisa membuat kita gembira, tapi kalau sudah kita yang dikendalikan oleh keinginan : tugas-tugas kita terabaikan, lalu semuanya jadi berantakan. Dll.
Hawa nafsu dan keinginan memiliki banyak wajah. Ada keinginan untuk memiliki uang dan benda materi, keinginan untuk memuaskan indriya [badan], keinginan untuk bersenang-senang, keinginan untuk memiliki kekuasaan, keinginan untuk dihormati orang, keinginan untuk dicintai, dll. Tapi apapun bentuk keinginan tersebut, kalau kita tidak berhati-hati, semuanya bisa menjeruskan kita ke dalam jurang kegelapan bathin. Coba perhatikan orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan. Seks yang se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati semua orang, dll. Hidupnya pasti berguncang, tidak tenang, gelisah.
Usahakan keinginan berhenti hanya sebagai energi pendorong kemajuan. Bisa kita ibaratkan seperti memasak di dapur, kita memerlukan api untuk memasak, akan tetapi apinya terkendali. Ketika kita menempatkan keinginan sebagai api di dapur, sebatas untuk membuat makanan jadi masak, dia baik dan berguna. Akan tetapi kalau api-nya besar dan tidak terkendali, rumah [kehidupan] kita akan terbakar. Sehingga kalau ingin hidup yang damai sekaligus terang, ketika kita digerakkan oleh keinginan, keinginan itu terkendali.
Belajar membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bekerjalah dengan keras sesuai svadharma [tugas kehidupan] kita masing-masing, lakukan yang terbaik, jangan keluar dari dharma. Tapi apapun hasilnya, terimalah dengan senyum damai.
EVOLUSI JIWA TERKAIT KAMA [HAWA NAFSU / KEINGINAN]
Tanpa menggunakan persepsi dualitas [baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah], para maharsi mengajarkan kalau manusia dan mahluk-mahluk lainnya berada pada tingkat pertumbuhan [evolusi] jiwa-nya masing-masing dalam roda samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang]. Dimanapun tingkatannya, semuanya sedang melakukan hal yang sama : bertumbuh. Ada 4 tingkatan evolusi jiwa, dalam kaitannya dengan hawa nafsu / keinginan, menuju paramashanti :
1. Orang yang keinginannya tidak terkendali.
Orang seperti ini keinginannya liar, tidak pernah puas. Ketika bisa punya mobil Kijang, dia bandingkan dengan mobil BMW. Ketika sudah bisa punya rumah, dia bandingkan dengan rumah mewah. Suami / istri dia banding-bandingkan dengan selebritis yang tampan / cantik. Mampu menghasilkan uang satu juta, dia bandingkan dengan uang lima juta. Sehingga keinginannya selalu tidak terpenuhi. Dia seperti berkejaran dengan bayangan sendiri. Kalau bayangan kita kejar, tentu kita tidak akan pernah ketemu. Orang seperti ini mudah sekali resah, gelisah dan marah-marah. Dan tentunya tidak akan bertemu shanti [kedamaian].
2. Orang yang keinginannya terpenuhi sementara.
Orang seperti ini merasa shanti [damai] semata-mata karena sebagian keinginannya terpenuhi. Akan tetapi sifatnya sangat sementara. Coba kita perhatikan, orang yang bisa beli HP model baru, senangnya paling lama dua bulan. Karyawan yang naik gaji, paling lama tujuh hari sudah kurang lagi. Damai karena paginya dimanja istri, sorenya rasa itu sudah hilang lenyap karena istri marah-marah. Damai karena dipuji / dihormati orang, kemudian rasa itu seketika hilang lenyap karena ada yang menghina kita. Damai karena bisa makan enak, sebentar lagi rasa itu sudah hilang karena ada klien yang komplain. Sehingga kedamaian bathinnya bersifat sangat goyah, umurnya tidak lama.
3. Orang yang penuh rasa syukur [shantosa].
Orang seperti ini merasa shanti [damai] karena rasa syukur yang mendalam, dalam setiap dualitas kehidupan. Tidak saja ketika suami / istri lagi baik ada rasa syukur, ketika suami / istri lagi marah-marah juga ada rasa syukur, karena suami / istri yang lagi marah sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Tidak saja ketika lagi banyak uang ada rasa syukur, ketika lagi bokek-pun juga ada rasa syukur, karena bokek sedang mengajarkan kita untuk menjadi rendah hati. Tidak saja ketika sedang sehat ada rasa syukur, ketika lagi sakit keras juga ada rasa syukur, karena sakit keras membuat kita banyak membayar hutang karma. Sehingga kedamaian bathinnya sifatnya mulai dalam dan kokoh.
4. Orang yang bathinnya damai sempurna [paramashanti].
Ini adalah tahapan menjadi orang suci. Dimana keinginan sepenuhnya lenyap, termasuk keinginan untuk menjadi suci ataupun mengalami pembebasan. Ketika seseorang berhenti digerakkan oleh keinginan, yang bekerja adalah hukum semesta. Dia mengalir sempurna dalam sungai kehidupan. Ketika seluruh keinginan sepenuhnya lenyap, ini yang dalam vedanta disebut sebagai paramashanti [kedamaian sempurna].
EVOLUSI JIWA DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN
Setiap orang dalam hidup ini bertumbuh. Bisa kita ibaratkan idealnya hidup ini seperti menanak nasi memakai kompor. Di awal menanak nasi kita perlu api yang besar. Tapi begitu airnya mendidih, airnya mau habis, apinya kita kecilkan.
Begitu pula dalam hidup ini, ketika kita masih muda dan kuat, umumnya apinya masih besar. Cirinya adalah kebahagiaan kita ada saat keinginan terpenuhi. Ingin punya motor, kemudian dapat motor, kita bahagia. Ingin punya rumah, kemudian dapat rumah, kita bahagia. Ingin gaji naik, kemudian gaji naik, kita bahagia [tahap dua].
Tapi begitu umur kita bertambah dan kita menua, apinya kita kecilkan. Cirinya kita tidak lagi bahagia karena keinginan kita terpenuhi, tapi karena rasa syukur dan ikhlas yang mendalam [tahap tiga].
Dan memasuki masa wanaprasta [melepas keduniawian] atau mendekati saat kematian, sangat bagus kalau seluruh keinginan kita sepenuhnya lenyap [tahap empat]. Tidak terbayang indahnya kalau di saat menjelang kematian, kita bisa menyambut kematian dengan pikiran yang hening sempurna, tanpa keinginan.
Selamat datang di jalan dharma yang sesungguhnya.
Rumah Dharma – Hindu Indonesia
9 Mei 2010
sumber :: http://www.facebook.com/rumahdharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar