ISAVASYA UPANISHAD
(Vajasaneyi
Samhita Upanishad)
Om…..Shanti…..Shanti…..Shanti
Itu adalah
keseluruhan; ini adalah keseluruhan; dari keseluruhan itu terwujudlah
keseluruhan ini. Dari keseluruhan itu sewaktu keseluruhan ini dikurangi maka
sisanya (tetap) saja berwujud keseluruhan itu.
Keterangan
: Bagi
pembaca yang masih awam, sabda pernyataan di atas ini pastilah amat
membingungkan sang pikiran. Yang dimaksud dengan keseluruhan itu adalah
Kemutlakan Yang Maha Esa dengan
seluruh manifestasi-manifestasinya yang termasuk Sang Atman (Sang Jati Diri)
yang maha hadir di dalam diri kita sendiri, termasuk diseluruh ciptaanNya yang
terhampar di jajaran jagat raya yang maha luas dan tak terbayangkan ini. Toh
walaupun dikurangi semua yang kasat mata itu keseluruhan (kemutlakan) Yang Maha
Esa tidak akan terkurangi sedikitpun. Demikian sabda dalam bentuk deklarasi atau
pernyataan ini dimulailah karya Upanishad ini, semoga semuanya shanti dan semoga
karya ini bermanfaat hendaknya bagi kita semua. Om
Tat Sat.
I
Semua ini, bentuk apapun juga yang
bergerak di Alam Semesta ini, termasuk Alam Semesta (Jagat Raya) ini, yang
bergerak sendiri, hidup di dalam atau ditunjang atau terselimuti atau terbungkus
oleh Yang Maha Esa. Pasrahkanlah (lepaskanlah) itu, dan seyogyanyalah dikau
berbahagia. Jangan (sekali-kali) menghasratkan kekayaan (harta benda) orang
lain.
Keterangan
: Semua ini
(edam sarvam) yang terlihat dan tak terlihat, yang terasa dan yang tidak terasa,
yang terwujud dan yang tidak terwujud adalah Dia semata, berasal dariNya,
diayomi olehNya dan kembali kepadaNya, seyogyanya seseorang yang sudah faham
akan hal tersebut tidak tidak akan tergoda oleh bentuk (rupa) dunia materi dan
isinya, karena sadar bahwa ia sendiri sebenarnya juga telah termasuk di dalamnya.
Kemudian manusia ini berubah menjadi
bahagia secara spritual, ia menjadi tercukupi dalam segala hal. Ia adalah
sebagian dari Sang Pencipta, jadi tidak perlu terlibat oleh dunia materi (Sang
Maya), yang juga adalah ciptaan ilusiNya juga. Apapun yang berlebihan dan
berkurang dari kita sebenarnya hanya ilusi saja, karena sebagai salah satu
ciptaanNya dan berasal dariNya kita semua ini pada hakikatnya tetap saja utuh
seperti Sang Pencipta itu sendiri. Tetapi secara materi duniawi setiap saat
manusia yang penuh dengan kalkulasi yang berlandaskan untung dan rugi ini
terjebak kedalam ilusi duniawi yang sudah berbentuk dan dibentuk oleh sekeliling
kita semenjak kita dilahirkan di lingkungan tersebut. Padahal semua ini
terbungkus oleh Yang Maha Esa (fenomena ini disebut Isa dalam bahasa Sansekerta,
dalam bahasa Indonesia berubah menjadi Esa, Tuhan Yang Maha Esa).
Pada hakikatnya tubuh
kita sehari-harinya memerlukan makanan, sandang dan lain sebagainya demi
lestarinya raga itu sendiri. Sedangkan batin memerlukan masukan batin atau
spritual dan pemikiran, dan ini adalah gejala logis dari sudut pandang duniawi.
Tetapi di luar itu sang jiwa memerlukan Atman, Sang Jati Diri yang adalah
asal-muasal dan tujuan kita. Jadi kalau aksi atau tindakan (karma) tubuh kita
dipadu atau ditunjang oleh ilmu pengetahuan Ilahi, maka hasilnya akan
mengantarkan kita kearah pengetahuan Jati Diri kita yang serba menakjubkan. Para
resi pencetus ayat-ayat di atas langsung saja menyiratkan agar kita semua meniti
proses pemasrahan diri secara duniawi demi tercapainya tujuan Ilahi. Dan kalau
seseorang tidak sanggup menjalani pemasrahan ? Maka jalannya adalah jalan aksi
(karma yoga), seperti yang tersirat di ayat-ayat berikut ini.
II
“Melaksanakan pekerjaannya secara
benar di dunia ini, seseorang seharusnya berhasrat hidup untuk selama seratus
tahun penuh. Jalan ini semata-mata adalah jalan yang benar karena tidak ada
jalan lainnya yang benar. Tindakan tidak akan pernah mengikat seseorangyang
bersifat demikian ini.”
Keterangan
: Pada
stanza sebelumnya ditekankan bahwa tujuan kehidupan ini adalah Yang Maha Abadi
dan Absolut, tetapi tidak setiap manusia memiliki tekad dan kekuatan pemasrahan
diri. Setiap manusia bertemparemen lain dan satu dengan yang lainnya, apalagi
dalam dunia yang serba materialistik ini. Maka di stanza di atas para resi
memberikan jalan keluar seperti yang tersirat di Bhagavat-Gita, yaitu jalan
karma, di mana seseorang harus bekerja secara benar berdasarkan ketulusan,
kesucian dan harus tanpa pamrih (mengharapkan pahala dalam bentuk apapun juga).
Kehidupan ini beserta setiap tindakan yang kita lakukan sehari-hari
adalah suatu bentuk amanat dan tanggung jawab yang besar dari Yang Maha Esa yang
tidak boleh di lecehkan. Begitu seseorang sadar atau disadarkan olehNya akan
hakikat kehidupannya maka insan ini akan sadar akan tujuan berikutnya, dan
tindakan atau karma orang ini akan merupakan yagna (persembahan) yang tulus bagi
Tuhan Yang Maha Esa. Dan para resi mendoakan agar insan yang eling ini bisa
hidup 100 tahun agar suci bersih ia sewaktu menghadap Tuhannya, dan berguna
untuk seluruh mahluk hidup untuk suatu kurun waktu yang lama. Dan umur sepanjang
ini tentunya sulit dicapai di zaman ini, tetapi mukzizat selalu saja terjadi
selaras dengan kehendaknya.
Seyogyanya setiap manusia sadar akan pekerjaan yang paling dihargai oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Dan jawabannya adalah setiap tindakan yang penuh dengan
dedikasi dan tanggung jawab demi ia semata. Walaupun seseorang itu adalah
pemulung, pemungut sampah sehari-harinya, kalau tindakan itu dikerjakan dengan
penuh kesadaran dan pemasrahan total hasil pekerjaannya, maka ia adalah seorang
manusia yang berkwalitas tinggi di mata Yang Maha Esa. Karena setiap pekerjaan
dan hasil kerjanya akan menciptakan suatu bentuk kesentosaan bagi sekelilingnya.
Sabda para resi, pekerjaan yang penuh dedikasi adalah suatu bentuk sadhana dan
sifatnya membersihkan semua hasrat dan nafsu duniawi dari berbagai kotoran.
Akhirnya status orang tersebut akan terangkat secara spritual secara terus
menerus dan ia akan lebih bermanfaat bagi ciptaan-ciptaan yang lain, contohnya
adalah Nara dan Narayana yang bertapa brata penuh dengan kesadaran di suatu masa
yang amat silam dan kemudian lahir kembali sebagai Arjuna dan Krishna. Kita
semua adalah replika-replika kecil dari Nara dan Narayana ini dan kalau kita
eling dan waspada selalu akan hakekat pekerjaan yang kita sandang dan tujuan
akhir kita, maka kita tidak akan ternoda oleh setiap tindakan atau karma kita,
karena semua itu lalu akan sesuai dengan kodrat yang diberikan oleh Sang
Pencipta kepada kita.
III
“Tidak ada surya (mentari) di
loka-loka tersebut, dan dunia-dunia ini terbungkus oleh kegelapan yang mencekam,
mereka-mereka yang membantai jiwa-jiwa mereka sendiri pergi menuju ke loka-loka
ini setelah meninggalkan dunia ini.”
Keterangan
: Di
stanza-stanza sebelumnya manusia yang soleh dan bijak dibagi dua kategori, yaitu
yang mengambil jalan meditasi (pemasrahan) dan yang mengambil jalan aksi
(karma-yoga). Lalu apakah yang akan terjadi kepada mereka-mereka yang hidupnya
bergelimangan dosa dan tidak pernah sadar akan hakikat kehidupan ini. Kemana
mereka akan menuju setelah kematian mereka ? Mereka akan menuju ke loka-loka,
yaitu suatu strata atau tahap kehidupan berikutnya yang penuh dengan kegelapan
ilmu pengetahuan suatu bentuk kehidupan yang rendah sekali kwalitasnya. Proses
penyianyiaan akan hakikat kehidupan ini disamakan dengan pembantaian atau bunuh
diri terhadap jiwa mereka sendiri (atmahanah). Ketiga stanza di atas menerangkan
akan tiga sifat manusia di dunia ini, stanza keempat akan menjelaskan hakikat
akan Sang Jati Diri (Atman) secara indah, yang merupakan tujuan hidup setiap
manusia.
IV
“Sang Jati
Diri ini bersifat tidak bergerak, Beliau lebih cepat dari sang pikiran. Para
dewa tidak mampu menjangkauNya. Beliau selalu melaju lebih awal di depan mereka.
Dalam keadaan diam bersemayam, Beliau lebih cepat melaju jauh melebihi para
pengejarNya. Melalui Beliau, Sang Matarisran menunjang aktivitas semua bentuk kehidupan.”
Keterangan
: Setelah
ketiga stanza sebelumnya yang menerangkan akan berbagai hakikat Sang Jati Diri,
maka stanza keempat ini melengkapi satu Vakya, yang terdiri dari 4 stanza.
Di sini diterangkan beberapa sifat Beliau (Sang Atman, Yang Maha Esa
dalam bentuk Sang Jati Diri yang hadir di dalam setiap ciptaan), dari sudut
nalar dan logika pikiran duniawi (Gunas). Tentu saja seluruh isi ayat di atas,
ditambah semua ayat-ayat suci dalam karya ini maupun semua penjelasan dari
berbagai ajaran di dunia ini tidak akan mampu menjabarkan hakikat Yang Maha Esa,
karena sudut pandang dan rasa manusia tidak akan pernah bisa sama dengan Sang
Maha Pencipta seluruh jagat raya yang tak dapat diterangkan dari sudut pandang
logika manusia.
Kalimat, “Sang Jati
Diri bersifat tidak bergerak”bukan berarti Yang Maha Esa itu merupakan patung
atau benda mati, tetapi lebih bermakna bahwa Beliau itu walau tidak bergerak
sedikitpun dari tempat bersemayamNya tetapi mampu menjangkau setiap elemen di
alam semesta yang tak terterangkan luasnya ini. Yang Maha Esa tidak terikat oleh
spasi, ruang, tempat maupun jarak dan waktu. Beliau itu di atas, disebut juga
lebih cepat dari ciptaan-ciptaan Beliau termasuk seluruh jajaran dewa-dewi.
Sang Matarisvan yang disebut di stanza di atas adalah seorang
dewa yang mengayomi atmosfir (termasuk udara) dan dewa yang satu ini mewakili
adalah manifestasi Yang Maha Esa yang menunjang seluruh ciptaan dengan udaranya.
Beliau dikenal juga sebagai dewa yang hadir di dalam air, dan kata mata berarti
juga akasa (ether). Udara secara alami ditunjang oleh akasa, tanpa akasa atau
ether ini udara tidak akan bisa eksis, sedangkan tanpa udara air tidak akan
hadir. Akasa bersal dari Sang Atman (Sang Jati Diri = Yang Maha Esa). Artinya,
semua yang berasal dariNya, ditunjang olehNya dan berinteraksi sesamaNya.
Bhagavat-Gita menyiratkan hal yang sama berulang-ulang kepada kita semua.
Sebaiknya manusia sadar bahwa para dewa-dewi adalah fenomena-fenomena Ilahi, dan
ilustrasi para dewa-dewi sebenarnya adalah simbolisasi dari elemen
fenomena-fenomena tersebut. Untuk yang ingin memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam
bentuk simbol-simbol atau arca ataupun gambar diperbolehkan, tetapi tujuan
sebenarnya dari setiap Upanishad dan Veda adalah Sang Atman, Sang Jati Diri Yang
Maha Menakjubkan ini.
V
“Sang Atman (Jati Diri) bergerak tetapi Beliau
tidak bergerak; Beliau jauh keberadaanNya; Beliau berada di dalam semua ini, dan
Beliau juga berada jauh di luar semua ini.”
Keterangan
: Dalam
setiap ciptaan terdapat Sang Atman, Beliau ini terkesan bergerak kesana kemari
karena semua ciptaan berjiwa selalu bergerak tanpa henti-hentinya. Tiada
henti-hentinya kita semua juga berpikir, bersantap, bekerja, merasakan, mencium
bebauan dan sebagainya. Pada hal Sang Jati Diri di dalam tempat bersemayam
Beliau di inti jiwa kita tenang-tenang saja dan tidak bergerak kesana kemari
walaupun sang raga selalu bergerak tanpa henti.
Tuhan
itu dekat sekali dengan manusia dan seluruh ciptaan-ciptaanNya karena hadir
sebagai Sang Atman di dalam diri setiap mahluk ciptaanNya, tetapi manusia
sebaliknya mencariNya kesana kemari bahkan sampai jauh-jauh menyeberangi lautan
untuk bertirtayatra ke tempat-tempat suci di berbagai belahan bumi ini. Jadinya
Beliau terkesan jauh tempatNya, padahal selalu hadir di dalam diri kita bahkan
selalu eksis di sekeliling kita dalam berbagai ciptaanNya.
Karena gagal menyatu denganNya maka sebagian manusia menyatakan bahwa
Tuhan itu tinggal diswarga loka, tetapi swarga loga ada dimana, tidak seorangpun
yang mampu menjelaskan. Ilusi ini pemberian Yang Maha Esa juga untuk
“Menyesatkan manusia” dari jalan spritualnya sampai kemudian dituntun lagi
ke arahNya dengan penuh kesadaran, fenomena ini disebut vignana, dan manusia
harus sadar dan menjalani hakikat ini.
VI
“Barang siapa secara konstan
menyaksikan semua bentuk eksistensi di manapun, berada di dalam sang Jati Diri
dan Sang Jati Diri yang Hadir di dalam semua mahluk dan bentuk, selanjutnya
tidak akan pernah surut dari apapun juga.”
Keterangan
: Hal yang
sama di atas oleh Sri Krishna ditekankan berkali-kali kepada Arjuna dalam Srimad
Bhagavat-Gita. Stanza di atas konon kabarnya sering diremehkan oleh para
peneliti karena dianggap klise. Pada hakikatnya tidak mudah bagi seseorang untuk
mencapai status seperti diutarakan di atas. Diperlikan jutaan tahun dan entah
beberapa kali reinkarnasi, untuk akhirnya seseorang mampu merasakan dan
menyaksikan dengan penuh kesadaran kehadiran Yang Maha Esa di dalam setiap
ciptaanNya. Penyaksian Ilahi secara spritual ini didambakan setiap resi agung
dari masa ke masa, dan disebut sebagai “terbukanya mata ketiga”, yaitu mata
kebijaksanaan Ilahi yang terdapat di tengah-tengah kedua alis mata kita.
VII
“Sewaktu kepada seseorang yang mengetahui ini, semua
mahluk menyatu di dalam Atmannya, maka tidak mungkin seseorang ini akan tersesat
selanjutnya. Tidak akan ada kekhawatiran baginya karena ia melihat kesatuan ke
mana pun ia memandang.’
Keterangan
: Seseorang
yang masih terikat dengan berbagai keterikatan duniawinya (moha) dan rasa
kekhawatiran (soka) akan setiap hal di dunia ini disebut oleh para kaum bijak
sebagai manusia yang “tersesat” di jalan spritualnya yang sedang menuju ke
arah Yang Maha Esa. Tetapi sewaktu mata (horison) kebijaksanaan spritualnya
terbuka ia akan melihat Yang Maha Kuasa hadir di dalam setiap mahluk, setiap
ciptaan, dalam setiap tindak-tanduk manusia, dalam setiap fenomena alam semesta.
Ia akan selalu “tersenyum” melihat mereka-mereka yang menderita, yang
berbahagia, yang hidup, yang mati, yang bekerja, yang tersesat, yang lurus, yang
bajik, yang batil, dan sebagainya. Karena yang disaksikan olehnya adalah suatu
fenomena Ilahi yang sistimatis, yang merupakan hasil karya Tuhan Yang Maha Esa
semata. Pada tahap ini insan agung ini akan mencapai moksha walaupun ia masih
hidup di dunia ini. Orang semacam ini tidak akan terguncang oleh penderitaan dan
kebahagian sebesar apapun juga.
VIII
“Beliau,
Sang Atman, bersifat Maha Hadir di dalam segala-galanya, bercahaya, tanpa raga,
tanpa luka (cacat), tanpa otot, hakiki, tak tersentuh oleh iblis, bijaksana,
maha tahu, transendental, dan eksis dengan dayaNya sendiri. Hanya Beliau ini
sendiri yang memerintahkan para pencipta-pencipta Abadi bekerja sesuai dengan
fungsi mereka masing-masing.”
Keterangan
: Tegas
sekali disabdakan di atas bahwa Yang Maha Kuasa ini tidak terbatas sifat dan
kekuasaannya. Beliau bercahaya, kata cahaya di sini juga bisa berarti
unsur-unsur penerangan spritual, hal yang sama juga didapatkan dalam
ajaran-ajaran agama lain. Tanpa raga berarti Yang Maha Esa tidak terikat oleh
fenomena bentuk atau rupa dari segala ciptaan Beliau. Para resi pengarang karya
ini pada saat ini sedang mengarahkan kita ke arah penjabaran akan hakikat Yang
Maha Esa dari sudut pandang negatif (bukan ini, tanpa ini…..dan sebagainya).
Sedangkan pada stanza-stanza sebelumnya Yang Maha Esa dijabarkan dari sudut
pandang positif. Fenomena negatif maupun positif ini dalam bentuk atau ekspresi
apapun juga adalah duniawi.
Tetapi Sang Pencipta tidak tersentuh maupun ternoda oleh semua fenomena
ini karena Beliau itu bersifat hakiki, suatu “zat” murni yang tak
terterangkan oleh manusia maupun oleh para dewa, tidak pada masa-masa yang telah
lalu, tidak sekarang dan tidak juga pada masa-masa yang akan datang. Keseluruhan
sifat Yang Maha Esa baik dari sudut pandang negatif maupun positif diakumulasi
oleh para resi dan dijelaskan sebagai “Isa” (Yang Maha Esa), suatu bentuk
Realitas Hakiki yang tidak dapat diterangkan walaupun dipelajari dan ditinjau
dari berbagai sudut. (Kata Isa ini menjadi Esa di dalam bahasa Indonesia).
IX
“Mereka-mereka yang memuja Avidya (kebodohan,
kekurang pengetahuan jatuh terjerumus ke dalam kegelapan yang teramat pekat, dan
mereka yang memuja vidya (ilmu pengetahuan) semata-mata, jatuh terjerumus ke
dalam kegelapan yang lebih pekat lagi.”
Keterangan
: Pada awal
karya Upanishad ini kita terkesan mendapatkan jawaban-jawaban atas berbagai
pertanyaan spritual yang menganjal selama ini, seperti misalnya
Kehidupan semacam apakah yang harus dijalani oleh seorang manusia saleh?
Jalan aksi atau jalan meditasi ? Yang manakah yang lebih ideal untuk umat
manusia, bekerja atau berilmu pengetahuan ? Di era yang serba canggih ini
manusia cenderung bertanya-tanya seyogyanya kita beragama atau bersifat sekuler
atau atheis, dan sebagainya. dari zaman ke zaman pertanyaan-pertanyaan ini
selalu eksis dan manusiapun selalu bersifat pro dan kontra sesuai dengan latar
belakang budaya dan pendidikannya. Pengarang Upanishad ini sadar betul akan
kegalauan manusia yang sedang meniti jalan spritual ke arah panciptanya dan
dalam ketiga stanza berikutnya Beliau menyampaikan kesimpulannya.
Di stanza atas, sang resi mengistilahkan keragu-raguan manusia dalam dua
faktor yaitu Vidya dan Avidya, tetapi kedua kata tersebut bisa juga diartikan
sebagai Upasana dan karma (jalan karma dan jalan meditasi). Semua orang sadar
bahwa jalan karma atau berbagai tindakan manusia ini penuh dengan sifat pamrih
sedangkan jalan meditasi seyogyanya tidak tersentuh pamrih. Di dalam jalan karma
terdapat berbagai bentuk ritual dan prosedur agama yang seakan-akan memberatkan
dan membingungkan manusia. Bahkan Veda-Veda penuh dengan petunjuk yang ibaratnya
sarat dengan berbagai ini-itu yang terkesan sebagai suatu kegelapan atau ketidak
pastian bagi umat. Sebaliknya mereka yang mengambil jalan dhyana (meditasi)
sering terjerumus ke meditasi yang salah dan menyesatkan karena terjegal
ditengah-tengah oleh berbagai kesulitan dan kesaktian (sidhi), mereka ini
ibaratnya terjerumus ke lembah yang lebih kelam lagi. Pada hakikatnya ujung
jalan ini terang benderang, tetapi tidak selalu dapat disaksikan oleh para
pemula apalagi yang tidak punya penuntun.
Di masa-masa yang silam para resi telah banyak beragumentasi sesama
mereka tentang hakikat Vidya dan Avidya. Kemudian para kaum bijak ini
menyimpulkan bahwa kedua jalan ini sebagai suatu kesinambungan yang saling
bertautan yang seharusnya dialami setiap manusia dalam perjalanan hidupnya.
Hasil evaluasi mereka adalah sebaiknya seseorang pendaki jalan spritual ini
berkarma dulu sesuai dengan kodratnya dan pada mulanya diawali dengan Avidya dan
baru bersadhana dan masuk ke Vidya, ibaratnya “kotor” dan bodoh dulu baru
pintar dan “bersih”. Hal ini lebih baik dari pada pintar dahulu lalu
tersesat di dalam ego atau sidhi, manusia semacam itu lalu masuk kedalam
kegelapan yang tidak ada ujung pangkalnya seperti yang tersirat dalam ajaran Sri
Krishna di dalam Bhagavat-Gita. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak ada ujungnya,
sehingga sering juga disebut sebagai “kegelapan”, makin dipelajari makin
tidak tahu.
X
“Ada
sesuatu hal, kata mereka, yang pasti didapatkan dari Vidya (ilmu pengetahuan),
ada sesuatu yang lain, kata mereka, yang didapatkan dari Avidya; demikianlah
yang kami dengar dari sabda-sabda para kaum bijak yang yang menjelaskan hal
tersebut kepada kami.”
Keterangan
: Sebagaimana
yang kita fahami semua, Hindhu Dharma bukanlah sebuah produk instan, tetapi
lebih merupakan akumulasi dari berbagai ajaran dan pengalaman spritual berbagai
resi dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang lain di masa lampau (Sanatana
Dharma), Diskusi mengenai Vidya dan Avidya dari masa ke masa telah menjadi inti
utama diskusi antara para guru dan resi, dan semua jalan yoga seperti bhakti,
karma, dhyana dan gnana selalu diakui oleh Sri Krishna di Bhagavat-Gita sebagai
berbagai jalan yang diambil oleh umat manusia yang menuju ke arahNya, dan
selangkah seorang invidu menapak ke arahNya, seribu langkah Yang Maha Esa datang
menyambutnya. Sehingga apakah seorang memiliki ilmu pengetahuan atau
tidak bisa saja tidak menjadi masalah karena kalau seseorang memiliki nurani
yang bersih maka ia akan lebih condong melakukan hal-hal yang bersifat satvik
dan kalau nuraninya kotor maka setiap tindakan dan peri lakunya juga akan
bersifat tamasik.
Para kaum bijak di masa lalu bersatu dan mendeklarasikan lambang Omkara
dan Swastika masing-masing sebagai pengejawantahan Tuhan Yang Serba Maha (Om),
dan Beliau bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan (gnana), dengan dhyana, dengan
karma, dengan bhakti, dan ini disimbolkan dengan Swastika yang mempunyai empat
tangan berupa belalai Geneshya yaitu dewanya para dewa-dewi yang merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan semua jalan yang disebutkan di atas. Kalau swastika
ini dibalik arahnya dari kanan ke kiri maka simbol ini menyiratkan ilmu
pengetahuan asura (iblis), dan kaum nazi serta penganut ilmu hitam adalah pemuja
simbol swastika yang terbalik ini, warna swastika terbalik ini biasanya hitam.
Sedangkan swastika yang lurus berwarna merah dan ditambah empat titik
ditengah-tengah dan dua buah garis lurus masing-masing di sisi kanan dan kiri
yang melambangkan sidhi dan vidhi yang berarti dharma dan adharma yang adalah
istri-istri atau pendamping Dewa Ganeshya. Seharusnya seorang yang bijaksanan
belajar dari simbol-simbol ini jalan mana yang diambilnya. Keseimbangan dalam
setiap hal tersirat di dalam di dalam simbol-simbol ini, dan itulah inti ajaran
dharma. Bhagavat-Gita menyatakan agar kita semua mengendalikan semua organ-organ
(indra-indra) kita bukan menghentikan kegiatan mereka secara total atau malahan
dipergunakansecara berlebihan. Bukankah Sidharta Buddha Gautama juga mengajarkan
jalan tengah ini?
Konon
Omkara yang diwahyukan kepada 108 resi di masa yang lalu, menyimbolkan Tuhan
Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi dan karya-karyaNya tak dapat
dijabarkan secara logika manusia. Ke 108 resi ini masing-masing mewariskan satu
Upanishad, dan ini disimbolkan dengan mala-ganatri. Ditengah-tengah untaian
setiap mala-ganatri hadir sebuah lingkaran kosong, yang bermakna bahwa Tuhan
Yang Maha Esa itu identik dengan kekosongan itu, hadir tetapi tiada, tiada
tetapi hadir sebagai lingkaran kosong melalui 108 Upanishad. Bhagavat-Gita
menyiratkan sebaiknya seseorang menanggalkan dengan sadar segala unsur-unsur
ilmu pengetahuan dan sebaliknya (dvandas) demi mencapai sesuatu yang berada di
atas kedua-duanya tersebut, yaitu Yang Maha Absolut. Asthavakra-Gita menyiratkan
hal yang sama, semua Upanishad dan Veda Shastra, Smritis dan berbagai yoga
shastra menyiratkan hal tersebut. Ditahap ini yang eksis adalah kebijaksanaan
Yang Maha Esa semata, dan seseorang yang telah terserap kedalam situasi ini
sudah tidak memerlukan apa-apa lagi di dunia yang fana dan penuh dengan ilusi
Sang Maya ini. Mungkin kata-kata bijak dari seorang filsuf Tiongkok, Lao Tse
harus kita simak :
“Semakin tahu semakin kita jadi lebih tidak tahu.”dan,“Seseorang yang mengetahui sebenarnya tidak tahudan seseorang yang tidak tahu,sebenarnya mengetahui.”
XI
“Seseorang yang mengetahui (sadar
akan) Vidya dan Avidya pada saat yang bersamaan, mengatasi kematian yang timbul
akibat Avidya dan ia mendapatkan keabadian melalui Vidya.”
Keterangan
: Ayat di
atas telah menimbulkan perdebatan yang seru diantara para resi dan kaum bijak
dari masa ke masa. Mereka semua juga takjub akan keluasan horison pemikiran sang
pengarang Upanishad ini, yang seakan-akan penuh dengan kontradiksi tetapi secara
perlahan dan pasti menuntun para sishyanya ke suatu bentuk kebijaksanaan
spritual yang sebenarnya adalah inti sari dari berbagai ajaran spritual di
India, khususnya Bhagavat-Gita. Pada karya ini diajarkan Bhagavat-Gita belum
eksis, diperkirakan karya suci Bhagavat-Gita banyak sekali mendapatkan inspirasi
dari Isavasya Upanishad ini disamping berbagai Upanishad lain.
Pada awal Upanishad ini dinyatakan bahwa Vidya dan Avidya menggiring
seseorang ke arah kegelapan yang teramat dalam. Tetapi pada ayat di atas dengan
penuh kebijaksanaan sang resi pengarang karya ini sedang menuntun kita semua ke
suatu gabungan atau persatuan antara Vidya dan Avidya dalam suatu bentuk
sintetis yang harmonis.
Dan seperti apakah sintetis yang harmonis tersebut. Di ayat ini
disebutkan bahwa seseorang yang pada saat yang bersamaan faham akan Vidya dan
Avidya akan sanggup mengatasi kematian yang diakibatkan oleh Avidya dan
mendapatkan keabadian melalui Vidya. Kesimpulan para kaum bijak, sebenarnya Yang
Maha Esa telah menciptakan unsur Vidya dan Avidya dalam 2 sisi mata uang, tetapi
eksistensi keduanya berada dalam satu keping mata uang tersebut. Taoisme
menyimbolkannya dalam bentuk Im dan Yang, bahasa Sansekertanya disebut Anga dan
Angi. Kedua faktor ini terpisah tetapi yang satu terpadu dengan yang lainnya
dalam suatu kesatuan yang utuh. Seseorang yang faham akan misteri ini dan selalu
seimbang ibarat mengayuh sepeda dengan dua roda yang berjauhan tetapi dapat
melaju dalam keseimbangan disebut sebagai seorang yang telah mengendalikan dan
berada di atas kedua unsur tersebut.
Seseorang yang telah
mencapai tahap tersebut diatas adalah para resi, guru, utusan Yang Maha esa dan
kaum bijak, dan mereka selalu eksis dalam jumlah yang kecil tetapi sangat ampuh
wawasannya, dan mereka eksis dari masa ke masa menuntun umat manusia yang selalu
cenderung melupakanNya. Di waktu berbagai ego positif dan negatif, beserta
segala ikatan dan cinta duniawi seseorang sirna tanpa batas, maka akan
terungkaplah sebuah wawasan spritual seseorang, dan wawasan ini berintikan
unsur-unsur keabadian. Insan yang agung ini akan sadar bahwa kematian itu hanya
terjadi pada raganya saja, tidak pada jiwa maupun Sang Atman yang merupakan Jati
Dirinya yang sesungguhnya tidak dapat binasa karena akan selalu berpindah-pindah
raga dari suatu kelahiran ke kelahiran yang lain, dari suatu tahap ke tahap yang
lainnya. Pada saat tersebut manusia agung ini menyatu dengan Atmanya yang murni
dan bersifat hakiki, selanjutnya semua karma-karmanya akan melepaskan diri
mereka dari insan yang agung dan suci ini, Ia tidak akan terikat lagi dengan
semua karma dan efeknya. Tahap ini disebut sebagai tahap Keabadian,
tahap penyatuannya dengan Yang Maha Esa.
XII
“Mereka-mereka
yang memuja Yang Tak Termanifestasi (tak berwujud) jatuh ke dalam kegelapan yang
pekat. Mereka-mereka yang membaktikan diri mereka kepada Yang Termanifestasi
(Yang Berwujud) bahkan jatuh ke dalam kegelapan yang lebih pekat.”
Keterangan
: Tuhan yang
tak terwujud atau yang menyandang suatu bentuk (Asam bhuti) dan Tuhan yang
berwujud (Sambuthi) adalah dua penampilan Yang Maha kuasa kepada insan manusia,
sesuai dengan kapasitas iman masing-masing manusia. Ada jenis manusia yang harus
menyembah kepada arca, gambar dan lain sebagainya karena bagi mereka Tuhan hadir
seperti wujud-wujud tersebut.
Ada yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu adalah sesuatu zat
yang maha tak dapat diungkapkan atau dijabarkan dan oleh karena itu
mereka menghaturkan sembah kepada Yang Tak Berwujud ini. Ada yang menyebutNya
Bapak atau Ibu, ada yang melalui intuisinya sembahyang kepada kekosongan di alam
semesta dan di antara kedua alis matanya sendiri, semua ini diterima Yang Maha
Kuasa, karena pada hakikatnya semua insan dan manifestasiNya berasal dariNya
semata, dan setiap ciptaan berperilaku sesuai dengan kehendakNya juga.
Bagi sementara pemuja
Tuhan yang berwujud lebih mudah untuk disembah dan dipuja dari pada Yang Tak
berwujud. Tetapi banyak juga yang memuja simbol Omkara dan Swastika, kemudian
yang beriman kepada Sri Krisna dan Sri Rama tetapi tidak seperti lukisan ataupun
arca yang mereka lihat sehari-hari tetapi lebih pada intisarinya.
Ada
juga yang memuja unsur maha panca butha seperti air, agni dan lain sebagainya.
Di era yang serba maju ini, Sanatana Dharma di India dan secara luas lebih
berorientasi dan melandaskan diri kepada ilmu pengetahuan. Secara meyakinkan,
secara universal masalah telah bergeser dari ritual ke bakti dan gyana (ilmu
pengetahuan). Sedangkan di Indonesia masih terfokus ke ritual yang mulai
meresahkan kaum muda yang merasakan hal-hal tersebut sebagai pembuangan waktu
yang sia-sia saja. Lalu yang manakah jalan yang benar, toh perdebatan ini sudah
mulai dari masa ribuan tahun yang lalu. Upanishad ini menyiratkan bahwa segala
perdebatan akan yang Maha Esa itu sebenarnya tidak berguna dan sia-sia adanya,
karena pada hakikatnya Vidya dan Avidya sebenarnya saling tunjang menunjang
sifatnya, demikian juga dengan gyana dan bakti sebenarnya tidak bertentangan
satu dengan yang lain. Pada dasarnya yang satu bisa lebih mantap kalau ditunjang
oleh yang lainnya, contoh : Seseorang yang berbakti kepada Yang Maha Esa akan
lebih mantap baktinya kalau ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan begitu juga
sebaliknya. Ilmu pengetahuan bisa didapatkan dengan melihat, mendengar, membaca,
dan banyak bergaul dengan orang-orang yang bijak. Sedangkan bakti bisa dilakukan
dengan berbagai cara baik itu suatu wujud persembahan kecil yang dilakukan
sehari-hari atau suatu bakti sosial demi sesama ciptaan, bisa dirumah, di pura,
di panti sosial dan lain sebagainya. Kalau setiap golongan berdebat terus satu
dengan yang lainnya, maka semuanya akan terjerumus ke dalam suatu bentuk
kegelapan yang pekat (yaitu tersesat jalan spritualnya).
XIII
“Ada
sesuatu hal, sabda mereka (Para Resi), yang pasti didapatkan dengan memuja yang
bermanifestasi (berwujud). Ada lagi sesuatu hal yang lain, sabda mereka, yang
didapatkan dengan memuja yang tak bermanifestasi (tak berwujud); demikianlah
yang telah kita dengar dari kaum bijak yang telah menyabdakannya kepada kami.”
Keterangan
: Tiada
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang sia-sia. Yang Maha Kuasa faham
akan kadar iman semua ciptaanNya. Oleh karena itu di Bhagavat-Gita ditegaskan
bahwa siapapun yang memujaNya dengan cara apapun, dalam bentuk apapun, dengan
persembahan dalam bentuk apapun juga itu diterima olehNya.
XIV
“Barang siapa memuja Yang Maha Esa
dalam bentuk yang Tak Berwujud dan (barang siapa) memuja Yang Maha Esa dalam
bentuk yang Berwujud, maka kedua-duanya akan melampaui Kematian melalui pemujaan
kepada Yang Berwujud dan mendapatkan Keabadian melalui pemujaan kepada Yang Tak
Berwujud.”
Keterangan
: Hinduisme
(Sanatana Dharma) dari kurun masa yang teramat silam berkembang dari suatu
ajaran yang primitif menjadi suatu bentuk filosofi yang tak tertandingi di dunia
ini.
Dharma ini satu-satunya di dunia ini yang begitu liberal
dalam penghayatannya akan Yang Maha Esa dan boleh dijalani melalui berbagai
bentuk yoga apakah itu bakti-yoga ataukah jnana atau yoga-yoga lainnya.
Bhagavat-Gita terdiri dari 18 bab yang dianggap 18 jalan yoga, dan boleh dipilih
oleh pemujanya sesuai dengan intuisinya. Bahkan seorang kafir, atau yang
berstatus hina-dina dapat langsung menyatu denganNya seandainya ia penuh dengan
bakti atau ilmu pengetahuan, dan seandainya seseorang berhasil menyatu (manunggaling
kawula gusti) dengan Yang Maha Kuasa, maka bagi insan agung semacam ini tidak
ada kematian lagi, karena ia sadar bahwa kematian itu hanya sebuah proses wajar
di alam semesta, ibarat mengganti baju yang usang dengan baju yang baru, sama
seperti suatu kelahiran, yang mengantarkan seseorang dari suatu bentuk kehidupan
ke kahidupan yang lainnya. Dan semua proses ini telah sesuai dengan tugas-tugas
yang disandang sang jiwa demi baktinya kepada Yang Maha Esa baik ia sadari atau
tidak. Untuk yang telah manunggal ini, maka keabadian adalah anugrah, karena
seseorang yang telah menyatu, tentu seketika abadi sifatnya sesuai dengan
pembaurannya dengan Yang Maha Abadi.
XV
“Wajah kebenaran itu terbungkus oleh
tirai yang terbuat dari emas; singkapkanlah (tirai ini), wahai Sang Surya,
bagiku, seorang pemuja akan kebenaran, agar terlihat olehku Kebenaran Tersebut.”
Keterangan
: Di
atas ini yang tampil pada saat ini adalah sebuah mantra yang ditujukan kepada
Sang Surya, agar sang pemuja dituntun ke arah Yang Maha Kuasa. Sudah menjadi
tradisi di India untuk memohon kepada Sang Surya semua bentuk petunjuk mengenai
kesehatan dan hal-hal yang berhubungan dengan spritual, karena pada awalnya Sang
Surya diangap sebagai Tuhan pemberi kehidupan bagi semua ciptaanNya, Sang Surya
dianggap purusha dan bumi dianggap Pardana, Surya adalah ayah dari berbagai
kehidupan ini dan bumi adalah ibu dari semuanya di muka dan di dalam bumi ini.
Menarik sekali untuk disimak bahwa ada dua resensi untuk
Upanishad yang satu ini yaitu Kanva dan Madhyadina. Menurut Madhyadina mantra
tersebut di atas adalah akhir dari seluruh ajaran Upanishad ini, sedangkan
menurut resensi Kanva masih ada tiga buah mantra lagi, total 18 mantra. Bagi
kita para sishya yang bersifat universal sebaiknya kita bersyukur karena
mendapatkan ajaran yang langka ini di zaman yang serba tidak karuan ini.
Di India, sampai kini para guru menganjurkan para sishya
untuk menghafalkan 4 mantra terakhir ini dan diucapkan setiap hari mengawali
setiap pemujaan ataupun pengajaran spritual. Keempat mantra ini juga diangap
penting untuk diucapkan sewaktu ajal menjelang tiba agar kelahiran berikutnya
bisa dituntun oleh Sang Surya ke arah CahayaNya, Cahaya Kebenaran Yang Maha Esa.
Yang Maha Kuasa di Upanishad ini telah dijabarkan dari segala sudut dan fenomena,
tetapi pada kenyataannya Beliau itu tetap saja satu (Eka) intisariNya. Fenomena
ini disebut Isa oleh para kaum bijak dari masa ke masa.
XVI
“Wahai Pushan (Sang Surya, pemberi
kehidupan), Oh, Penyaksi Utama, wahai pengendali semuanya, Surya, putra
Prajapati; pancarkanlah cahayaMu dan satukanlah cahayaMu yang membara……kulihat
bentukmu yang menakjubkan…….Sang Purusha di dalam dirimu, Ia adalah Aku.”
Keterangan
: Sang
Surya oleh pengikut Hindu Dharma disimbolkan dan dianggap sebagai pemberi,
pengayom dan pengantar setiap jiwa untuk kembali ke Yang Maha Kuasa disaat sang
ajal datang menjemput manusia, juga Beliau dianggap sebagai bentuk agung lainnya
dari Sang Atman, yang tanpa kehadirannya bumi ini sudah binasa seperti
planet-planet lainnya di tata surya kita. Dari zaman dahulu sampai sekarang kaum
Hindu berhatha-yoga di pagi hari dengan memuja Sang Surya dulu, dan yoga ini
disebut Surya Namaskar (puja-puji ke Hyang Surya).
Dengan kata lain kaum Hindu menganggap Sinar Sang Surya
adalah Sinar Kebenaran Ilahi (Isa). Sang Surya juga adalah guru dari resi
Yagnavalkya yang terkenal pengarang Sukla Yajurveda Samhitas, dan Isavasya
Upanishad ini termasuk bagian dari Samhita ini. Dan keseluruhan Samhita ini
adalah ajaran Sang Surya kepada umat manusia melalui para resi pengarang karya
agung ini. Oleh karenanya sang resi (atau para resi) kitab ini sebelum menutup
ajarannya berdoa menghaturkan puja-puji kepada Hyang Surya yang dianggapnya
sebagai maha-gurunya, sekaligus memperingatkan para sishyanya bahwa semua datang
dariNya dan akan kembali kepadaNya melalui Hyang Surya (ingat api atau agni
berasal dari Surya), dan sewaktu dikremasi raga kita akan dimakan oleh Sang Agni
untuk kemudian diubah menjadi asap dan menyatu kembali dengan ether, tanpa unsur
cahaya dari Hyang Surya proses ini tidak akan terwujud secara sempurna, oleh
karena itu kremasi memakai gas itu dianggap tidak sempurna karena faktor panca
maha buthanya tidak lengkap, dan dilarang oleh Hindhu Dharma, kecuali dalam
keadaan darurat dimana kayu sulit didapatkan.
Sang Pemuja kebenaran di atas seakan-akan memohon kepada
Hyang Surya agar melalui berkahnya ia dapat mendekat ke Isa yang bersemayam
dimana-mana, juga merupakan kekuatan inti yang bersemayam di dalam Sang Surya,
suatu sumber kehidupan Yang Maha Dashyat yang menunjang bumi dan seluruh ciptaan
bumi, yang tanpa bantuan surya ini, bumi tidak mungkin mampu mencipta berbagai
ciptaan ini apalagi mengayomi dan mendaur ulangnya sendiri. Ini menunjukkan
bahwa sistim tata surya saja saling menunjang kehidupan mikro dan makro kita
semua, jadi seyogyanya manusia pun melalui berbagai bakti dan puja mereka saling
membantu dan bukan saling bersaing dan bertentangan, karena itu berlawanan
dengan hukum alam semesta yang harmonis.
Pada saat Sang Pemuja manunggal dengan Yang Maha Esa ia
merasakan jiwanya adalah serupa dengan inti jiwa di alam semesta ini, dan ia
penuh dengan kesadaran Ilahi berseru “Ia adalah Aku,” Sang Purusha yang
bersemayam di dalamMu. Bhagavat-Gita menyatakan bahwa seseorang bhakta mampu
mencapai status ini walaupun masih menyandang raga. Kalau seseorang masih
terbungkus oleh ego duniawinya maka yang dipuja, dilihat dan yang dirasakan
adalah bentuk, tetapi kalau ia telah menyatu dengan AnugrahNya maka seluruh
bentuk dan ego dunianya akan sirna seketika, dan seketika itu juga ia menyadari
akan HakikatNya, tahap ini disebut Nirvikalpa Samadhi. “Yang memahami Brahman
berubah menjadi Brahman” demikian sabda yang sering disiratkan di berbagai
Veda dan dari satu Upanishad ke Upanishad lainnya. Manusia tidak mampu
menyaksikan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sebaliknya eksistensi Yang Maha Esa
dapat hadir ke setiap manusia yang memujaNya, yang disentuh oleh Yang Maha Kuasa
itu sendiri, tidak jadi persoalan bagi Yang Maha Esa, jalan apa yang ditempuh
oleh sang pemuja yang berbakti kepadaNya, sekali ia manunggal denganNya manusia
tersebut berubah menjadi bentuk Keabadian dan Kebenaran itu sendiri (Dia adalah
Aku).
XVII
“Semoga pranaku menyatu ke udara
yang hadir, dan semoga ragaku terbakar oleh api dan berubah menjadi abu. Om.
Wahai sang pikiran ! Ingat, ingat, apa saja yang telah dikau lakukan ! Oh ingat,
ingat apa saja yang telah dikau lakukan !”
Keterangan
: Sewaktu
seseorang yang telah manunggal ke Jati Dirinya dihampiri kematian, maka penuh
dengan rasa eling (kesadaran) dan kewaspadaan ia melihat masa lalunya yang penuh
dengan tingkah laku yang didasarkan pada pikiran-pikirannya dan iapun berseru
penuh dengan rasa takjub yang dilandasi kesadaran tersebut. Bagi orang ini
kematian berarti mengembalikan kelima unsur maha panca bhutanya kepada elemen
tersebut masing-masing penuh dengan kesadaran tanpa suatu ikatan duniawi apapun
juga, dan bagi yang telah eling ini tidak ada hal yang lebih membahagiakan
seseorang dari pada meninggal dunia dengan cara ini, dan kematian seperti ini
sangatlah langkah. Manusia agung ini melangkah ke arah pembebasan dan penyatuan
ke Yang Maha Esa penuh dengan keyakinan dan kebahagiaan. Om Tat sat.
XVIII
“Wahai Agni ! Bimbinglah kami ke
arah “kekayaan” melalui jalan kebajikan yang dikau fahami, wahai Yang Maha
Kuasa, (Dikaulah) semua jalan yang beragam tersebut. Jauhkanlah ikatan-ikatan
noda (dosa) kesesatan dari kami. Kami persembahkan puja-puji kami yang terbaik
bagiMu.”
Keterangan
:
Di stanza terakhir ini, yang merupakan aliran pemikiran yang ketujuh dan
terakhir, baik sang guru maupun sang sishya bersama-sama menuju ke arah Yang
Maha Esa dalam bentukNya yang berwujud yaitu Agni, agar dituntun ke arah yang
benar demi tercapainya tujuan yang benar yang diumpamakan dengan “kekayaan”.
Sang guru secara tersirat “menasehati” sishyanya bahwa pada permulaan setiap
sadhananya (upaya bermeditasi arah Yang Maha Esa) sebaiknya dimulai dengan
memfokuskan pikiran keisthanya yang berwujud (istha, simbol spritual atau dewa
tertentu), lalu lambat laun baru ke Yang Tidak Berwujud, karena jalan ke Maha
Esa Yang Tidak Berwujud itu sukar sekali dicapai bahkan oleh para resi dan yogi
apalagi bagi para pemula. Pada zamannya Veda-Veda Hyang Agni dianggap sebagai
wujud Yang Maha Esa secara nyata, dianggap juga pemegang semua bentuk kekayaan
yaitu anugrah Yang Maha Esa. Dan kalau suatu saat nanti kita diperabukan melalui
Agni, semoga yang terbaik dari kita menjadi persembahan kepada Sang Pencipta,
Tuhan Yang Maha Esa, dari mana kita semua berasal, diayomi dan dikembalikan
kepadaNya. Om shanti shanti shanti, Om Tat Sat.
Pada saat kita dilahirkan wujud kita suci dan bersih, sewaktu
kita mati, raga kita adalah segumpal bangkai yang baunya tidak tertahankan
setiap orang ingin agar bangkai ini segera dikubur atau dikremasikan, harga babi
mati lebih mahal dari mayat raja yang telah meninggal dunia. Jadi pada saat
tersebut tidak mungkin kita bisa mempersembahkan yang terbaik kepadaNya kembali,
kecuali mungkin amal perbuatan kita semua selama beryatra ke dunia ini. Semoga
pesan para resi pengarang kitab suci ini sampai ke lubuk hati kita dengan benar.
Dengan
ini berakhirlah karya suci Isavasya Upanishad.
Om
shanti shanti shanti. Om Tat Sat.
sumber :: http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar