MEMELUK SELURUH DUALITAS DALAM KEHIDUPAN DENGAN DAMAI
Kebanyakan
orang gagal memulai evolusi bathinnya di jalan dharma karena dia dalam
hidupnya “menendang”. Mengeluh, tidak puas, marah, protes, menentang
atau menyalahkan. Kita baru akan bisa memasuki gerbang dharma, kalau
dimanapun kita berada, apapun yang terjadi, kita bisa melihat semuanya
dengan positif dan penuh rasa syukur.
Umumnya dalam hidup
orang mencari kebahagiaan dan menolak kesedihan-kesulitan. Kita mau dan
ingin kelebihan tapi kekurangan kita tolak, kita mau bahagia tapi
sengsara kita tolak, kesucian kita hormati kegelapan kita benci. Tentu
saja ini tidak salah. Sayangnya sifatnya kebahagiaan seperti ini selalu
sementara, sebab sudah hukum semesta setelah kebahagiaan datang akan
disusul oleh kesedihan, kekecewaan atau kesulitan. Kebahagiaan yang
lebih terang, sejuk dan tahan lama adalah, ketika bathin kita berhenti
diguncang oleh dualitas kebahagiaan-kesedihan. Pergerakan bathin menuju
kebebasan dari dualitas terjadi, ketika kita belajar mendidik diri
menerima apapun dan siapapun sebagaimana adanya, tanpa menyalahkan
siapa-siapa, termasuk menyalahkan diri kita sendiri. Itulah titik balik
menuju "penyembuhan" bathin.
Karena cahaya dalam bathin
baru bisa menyala ketika kita bisa menerima secara sama kelebihan dan
kekurangan, bahagia dan sengsara, baik dan buruk, salah dan benar, suci
dan gelap. Inilah yang dimaksud dalam teks-teks Hindu sebagai Dvandas
dan yang dimaksud tetua kita di Bali sebagai Rwa Bhinneda. Dimana ada
siang, disana ada malam. Dimana ada orang baik, disana ada orang jahat.
Dimana ada sukses, disana ada gagal. Dimana ada kesucian, disana ada
kegelapan. Dimana ada laki-laki tampan, disana ada laki-laki jelek.
Gunung yg tinggi jurangnya juga dalam, dimana ada kelebihan disana ada
kekurangan.
MEMBEBASKAN BATHIN DARI DUALITAS PIKIRAN
Salah
satu sebab manusia bathinnya berguncang dan sengsara, karena mau
kelebihan tidak mau kekurangan, mau yang positif tidak mau yang negatif.
Bagi orang kebanyakan, keduanya terlihat berbeda [kebahagiaan dikejar
kesedihan ditolak, kesucian dipuja kegelapan dicaci-maki]. Itu sebabnya
orang kebanyakan bathin dan hidupnya berguncang. Kalau mau memasuki
jalan dharma, tetua kita mengatakan “peluk kedua dualitas dengan tingkat
kemesraan yang sama”. Dalam bathin yang menyadari hakekat rwa bhinneda,
tidak ada bahagia yang bertentangan dengan sengsara, tidak ada rasa
hormat yang bertentangan dengan benci, tidak ada kesucian yang
bertentangan dengan kegelapan, melainkan semuanya dipeluk dalam harmoni.
Dalam rwa bhinneda : kebahagiaan-kesedihan, suci-gelap, tinggi rendah,
keduanya berbeda sekaligus sama.
Ciri-ciri bathin yang
diguncang dualitas : ketika dipuji kita senang, ketika dihina kita
menangis. Punya uang banyak kita bahagia, punya uang sedikit kita
mengeluh dan protes. Ketemu bupati hormat sekali, ketemu orang miskin
menoleh saja kita enggan. Dll. Pikiran harus berhenti melakukan
pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan berbahaya. Karena
dimana ada kelebihan, disana ada kekurangan, dimana ada terang disana
ada gelap, dimana ada bahagia disana ada sengsara. Sumber dualitas dalam
bathin kita ini adalah serakah [lobha], hanya mau yang baik dan tidak
mau yang buruk.
Dalam kehidupan semua orang melewati
bahagia dan sengsara, pernah dipuji & direndahkan, melewati sakit
& sehat, pernah sukses dan gagal, dll. Karena demikianlah kehidupan,
selalu ada Rwa Bhinneda. Pesan tetua kita dalam Rwa Bhinneda : menolak kesedihan adalah kesengsaraan, mengejar kebahagiaan adalah malapetaka.
Ketika bathin kita kita berhenti diguncang oleh dualitas, kehidupan
menjadi indah dalam bathin yang damai dan bahagia. Disinilah bathin kita
bisa memasuki wilayah-wilayah Rwa Bhinneda. Pikiran yang
tenang-seimbang [upeksha]. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita tetap
damai tatkala menghadapi segala macam dualitas keadaan.
Simboliknya
bisa kita lihat dalam kisah-kisah pertapaan jaman dulu. Dimana dalam
meditasi [tapa], yang pertama datang adalah bidadari-bidadari cantik
telanjang [hal-hal yang menyenangkan]. Kalau lulus disini, datanglah hal
berikutnya yaitu mahluk-mahluk sangat seram yang jahat [hal-hal yang
tidak menyenangkan]. Hanya ketika bathin tetap sejuk, damai dan
tenang-seimbang ketika bertemu dengan kedua dualitas [bahagia-sengsara,
senang-tidak senang, baik-buruk, dll] ini, barulah sang pertapa bisa
bertemu dengan cahaya kesadaran yang terang. Demikian juga sebenarnya
dalam kehidupan kita sehari-hari.
PARAMASHANTI [MENDIDIK DIRI DAMAI DALAM SETIAP KEJADIAN]
Puncak
dari segala persembahan dan persembahyangan adalah paramashanti [damai
sempurna], Aum Shanti Shanti Shanti. Itulah bekal bathin dari pura yang
kita bawa pulang, semua arah adalah arah yang damai. Makan enak damai,
makan tidak enak juga damai. Lagi beruntung damai, lagi sial juga damai.
Punya banyak uang damai, tidak punya uang juga damai. Sehat damai,
sakit juga damai. Itulah tirta amertha [air suci kehidupan] yang
memurnikan jiwa.
Kalau kita setiap hari menangis, setiap
hari marah-marah, setiap hari menyalahkan [orang lain atau diri
sendiri], setiap hari merasa hidup ini tidak adil, setiap hari
protes-protes, setiap hari penuh dengan hawa nafsu dan keinginan, kita
masih jauh dari paramashanti. Karena apapun boleh terjadi dalam
kehidupan [bahagia-sengsara, sukses-gagal, sehat-sakit,
dihormati-dicaci, dll], tapi ingat, ciri manusia yang bathinnya sudah
siap memulai evolusi bathinnya di jalan dharma adalah apa yang selalu
kita ucapkan pada puncak dari segala persembahan dan persembahyangan,
aum shanti shanti shanti [damai damai damai].
Bisa damai
saat istri sayang dan memanjakan kita itu biasa, tapi bisa tetap
tenang-damai saat istri marah-marah atau selingkuh, itulah manah shanti.
Bisa damai saat anak-anak patuh dan menurut itu biasa, tapi bisa tetap
tenang-damai saat anak-anak nakal dan bandelnya minta ampun, itulah
manah shanti. Bisa damai saat dipuji atau dihormati orang itu biasa,
tapi bisa tetap tenang-damai saat difitnah atau dicaci maki orang,
itulah manah shanti. Semua arah dan semua kejadian disambut dengan
bathin yang damai, tenang-seimbang, Paramashanti.
PENUTUP
Hidup
ini penuh dengan berbagai godaan. Sehingga kapan saja kita digoda
kemarahan, kapan saja kita digoda kesedihan, kapan saja berbagai godaan
lainnya [baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan] datang,
anjali mudra [cakupkan tangan] dan bisikkan ke dalam relung bathin kita
yang terdalam : tidak saja sembahyang itu mebakti, tapi kesabaran yang
tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak saja meditasi itu yoga, tapi
kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah yoga. Inilah
jalan saya "pulang" menuju realitas diri yang sejati. Aum Shanti Shanti
Shanti Aum.
Rumah Dharma – Hindu Indonesia
14 Desember 2010
sumber :: http://www.facebook.com/rumahdharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar