PERMULAAN
Shanti Mantra ke I
Semoga damai
beserta kita dan menjauhkan kita semua dari kemurkaanNya.
Semoga
beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai bencana alam.
Semoga damai
beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai gangguan raga
kita.
OM. Semoga
Beliau melindungi kami berdua (sang guru dan sishya). Semoga Beliau berkenan
agar kami menghayati Yang Maha Kuasa.
¨
Semoga kami
menghayati intisari sebenarnya dari berbagai ajaran-ajaran suci. Semoga
usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan ini berlangsung secara baik dan penuh
dengan iman. Dan semoga kami berdua tidak saling salah mengerti satu dengan yang
lain.
Semoga damai
beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai gangguan raga kita.
Semoga damai
beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai bencana alam
Semoga damai
beserta kita dan menjauhkan kita dari kemurkaanNya.
…………
Shanti Mantra ke 2
¨
Semoga
organ-organ tubuhku, pembicaraanku, pranaku, mataku, telingaku, kekuatanku dan
seluruh indriya-indriyasku bertumbuh dan berkembang secara baik dan penuh
semangat. Semua ini adalah Brahman dari berbagai Upanishad. Semoga daku tidak
sekali-kali mengingkari keberadaan Yang Maha Esa (Brahman).
¨
Semoga
Brahman tidak membelokkan arahku. Semoga Brahman tidak menolakku. Sekali lagi
semoga Sang Brahman tidak membelokkan arahku ! Semoga semua intisari suci yang
dikumandangkan berbagai Upanishad hidup di dalam diriku ini, ! Semoga semua
intisari suci yang dikumandangkan berbagai Upanishad hidup di dalam diriku agar
daku dapat membahagiakan Sang Atman. Semoga mereka hidup di dalam diriku!
OM SANTIHI……….SANTIHI……….SANTIHI,
Keterangan :
Dalam memulai suatu ajaran suci yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
adalah penting sekali agar doa-doa di atas ini dikumandangkan bersama oleh sang
guru dan muridnya agar terjalin saling pengertian diantara keduanya. Seorang
guru spritual yang handal mendambakan hadirnya seorang murid yang setaraf,
begitupun sebaliknya hasrat sang murid ini. Dengan ini dimulailah sloka pertama
dari karya suci Kenopanishad ini.
1.Sang
sishya bertanya:
“Oleh
siapa gerangankah sang pikiran digerakan dan ditujukan kepada berbagai
objek-objeknya?
Diperintahkan
oleh siapa gerangankah maka Sang Prana berfungsi dan bekerja seharusnya ?.
Diperintahkan
oleh siapa gerangankah maka insan manusia sanggup berbicara ?.
Intelegensia
apa gerangankah yang menggerakkan mata dan telinga ke arah objek-objek mereka
masing-masing ?”
2.Sang
guru bersabda:
“Beliau (Hyang
Atman) adalah telinga dari sang telinga, Beliau adalah pikiran dari sang pikiran,
Beliau adalah lidah dari sang lidah, dan juga Beliau adalah Kehidupan dari
kehidupan, dan mata dari mata itu sendiri. Dengan menanggalkan rasa “ke
akuannya” yang hadir di berbagai indriyas ini dan menerobos ke atas melewati
berbagai fenomena yang hadir di berbagai indriyas ini, maka seseorang yang bijak
akan berubah menjadi Abadi.”
Keterangan :
Bahasa yang dipakai oleh hampir semua guru resi di berbagai ajaran Upanishad
bersifat sugestif dan penuh dengan kiasan dan simbol-simbol bernuansa abstrak,
tetapi umumnya sangat mengena di hati, khususnya bagi yang penuh bakti dan iman.
Memang tidak mudah menggambarkan Tuhan dalam bentuknya yang tak berwujud jadi
selalu diperlukan simbol-simbol dan raga ini untuk memahami bahasa yang sugestif
ini.
Berbagai ajaran Upanishad ini di India dari masa ke
masa diturunkan khususnya untuk mereka-mereka yang berbakat secara spritual, dan
tidak untuk umum yang cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai
upacara-upacaranya. Bagi mereka yang menghasratkan lebih dari sekedar hidup saja,
maka berbagai pengetahuan spritual seperti Upanishad ini adalah sumber mata air
kehidupan abadi (nektar, amrita) yang tak ada habis-habisnya.
3.“Mata
tak dapat mencapai tempatNya bersemayam, tidak juga kata-kata maupun sang
pikiran. Kita semua tidak mengenaliNya. Kita semuapun tidak paham bagaimana
caraNya mengajarkan seseorang akan KeberadaanNya. Beliau itu sangat jauh dari
hal-hal yang diketahui. Demikian yang telah kita dengar, sabda para guru-guru
yang mengajarkan kami akan KeberadaanNya itu.”
Keterangan :
Lagi-lagi definisi akan Yang Maha Esa dan HakikatNya dihadirkan secara
tradisional dalam bentuk abstrak seperti “Beliau itu jauh sekali dari segala
bentuk pemahaman dan juga non pemahaman.” Yang Maha Esa itu sulit untuk
dijabarkan dengan bahasa maupun metode apapun juga. Namun HakikatNya sulit untuk
dibantah, yaitu Beliau hadir sepanjang masa, baik itu dulu, sekarang dan nanti,
sedangkan kita semua hanya menampung lewat di dunia ini untuk sementara waktu
saja.
Pengetahuan atau pemahaman ini oleh para guru resi
disebut sebagai bukti-bukti tradisionil, bahasa Sansekertanya disebut agama.
Agama tidak berarti religion (dalam bahasa Inggris), dan tidak bermakna sama
seperti yang kita fahami selama ini di Indonesia. Kata-kata agama Hindu, Budha
dan sebagainya menjadi salah kaprah kalau ditelaah dari sudut religion tadi,
namun menjadi sangat tepat kalau dijabarkan sebagai “bukti-bukti akan hakikat
Kebenaran Abadi Yang Maha Esa.” Di Indonesia para ahli berkata bahwa kata
agama berasal dari kata a (non, bukan, tidak) dan gama (tidak beraturan). Jadi
agama = tidak-tidak beraturan = beraturan. Menurut Sansekertanya ini salah
kaprah, karena agama adalah bukti-bukti akan keberadaanNya, contoh ada tetapi
tidak ada….tidak ada tetapi ada !
4.”Apa
yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata, tetapi sanggup diungkapkan
olehNya,adalah Brahman itu semata-mata dan bukan ini, yang dipuja di sini.”
Keterangan :
Hakikat Yang Maha Esa bukanlah yang disebut kuil, mandira, pura dan lain
sebagainya, tetapi sebenarnya Beliau adalah sang Pencipta, Pengayom, Penguasa
dan Pemilik seluruh ciptaan-ciptaanNya. Para resi guru tidak melecehkan
mereka-mereka yang memuja arca karena Sri Kreshna saja mentolerir pelaksanaan
tersebut di Bhagavat-Gita. Namun begitu para kaum suci ini dengan meyakinkan
mengisyaratkan bahwa kalau menghendaki pemujaan yang benar dan suci maka
puja-pujilah Sang Pencipta yaitu Para Brahman.
5.”Apa
saja yang tidak dapat dirasakan oleh jalan pikiran, namun karena kata mereka
dapat dirasakan oleh sang pikiran ………..fahamilah Itu semata-mata sebagai
Hyang Brahman dan bukan ini yang dipuja-puja di sini.”
6.
”Apapun yang tidak sanggup dilihat oleh mata, namun yang sama Itu dipergunakan
oleh mata untuk melihat…………fahamilah Itu semata-mata sebagai Sang
Brahman dan bukan ini, yang dipuja-puja di sini.”
7.”Apa
yang tidak sanggup didengar oleh telinga, tetapi yang sama Itu dipergunakan oleh
telinga untuk mendengar……….fahamilah Itu sebagai Sang Brahman dan bukan
ini yang dipuja-puja di sini.”
8.”Apa
yang dihembuskan oleh seseorang tidak melalui nafasnya, namun melalui yang sama
ini nafas dihembuskan……….fahamilah Itu sebagai Sang Brahman dan bukan ini
yang dipuja-puja di sini.”
Keterangan :
Sanatana Dharma ajaran para resi guru ini adalah ajaran bersifat universal tanpa
tandingan. Walaupun karya ini sepintas sangat minor dan jumlah sloka sedikit
sekali, tetapi dari segi penalaran filosofi sangatlah memukau. Demikianlah sang
resi guru memulai mengajarkan hakikat Yang Maha Esa dalam bentuk Sang Brahman
secara universal dan sebagai Sang Atman yang hadir di setiap mahluk ciptaanNya.
Sloka-sloka di atas begitu mengena, walaupun yang mendengarkan itu seorang awam.
Merenungi makna yang dikandung di atas, kemudian memasuki dhyana, maka
dipastikan lambat laun akan menghasilkan kesadaran hakiki dan selanjutnya
kesatuan denganNya (Anugerah dalam bentuk kebahagiaan Ilahi yang tak dapat
dijabarkan dengan kata-kata).
BAB II
1. Sang
Resi Guru segera memperingatkan sishyanya dengan bersabda :
“Seandainya
dikau berpikir, “Aku sudah faham benar, sebenarnya baru sedikit yang dikau
fahami…….bentuk Sang Brahman juga dimiliki oleh para dewata. Oleh karena itu,
kami berpendapat bahwasanya apa yang dikau pikirkan ini masih harus dipertegas (dijabarkan)
lagi.”
Keterangan :
Sering sekali dalam perjalan dhyana kita, para sadhaka diberi cobaan dengan
mendapatkan daya lebih berupa kesaktian dan pengetahuan-pengetahuan tertentu.
Para sadhaka yang kurang waspada tiba-tiba merasa sudah mencapai dan menyatu
denganNya dan kemudian menggunakan kemampuan ini secara salah dan melupakan Sang
Pemberi kekuatan tersebut. Akibatnya ia akan keluar dari jalur dhyananya dan
tersesat dengan sidhi ini. Para dewata yang hadir di dalam raga kita sering
menampakkan diri atau dirasakan kehadirannya oleh seorang shadaka.
Berhati-hatilah agar tidak merasakan bahwa itu adalah Atman-Dharsana atau
penampakan tertinggi dari wujud Sang Atman. Para dewa-dewi ini bisa
menganugerahkan berbagai kesaktian, harta dan kedudukan duniawi jadi terimalah
kehadiran mereka dengan penuh respek dan mohon kepada mereka dengan santun dan
tanpa pamrih agar diperkenankan ditunjukkan jalan ke Sang Atman di mana para
dewa-dewi ini sebenarnya berasal dan bermuara.
2.Sang
sishya berucap : “aku tidak berpikir bahwasanya aku memahamiNya dengan baik.”
Tetapi bukannya aku tidak faham. Siapapun diantara kita (antara sang guru dan
sishya) yang memahamiNya sebagai Yang Tak dapat Difahami dan juga sebagai Yang
Dapat Difahami………memahamiNya.”
Keterangan :
“Barang siapa merasa tahu, sebenarnya tidak tahu apa-apa. Barang siapa merasa
tidak tahu sebenarnya tahu.”………pepatah Cina (Lao Tse).
Filsuf Cina lainnya, yaitu Yung Chia Ta Shih
menyenandungkan satu syairnya berikut :
“Sewaktu engkau memburuNya engkau kehilangan Dia;
Engkau tidak bisa menangkapNya, tetapi pada saat yang sama engkau tidak bisa
lepas dariNya. Dan sewaktu engkau tidak bisa berbuat apapun juga, Beliau
berjalan di alurNya sendiri.
Sewaktu engkau diam Ia pun berbicara; Sewaktu engkau
berbicara Ia diam seribu bahasa.”
Mereka-mereka yang telah terserap kedalam HakikatNya
akan lebih banyak berdiam diri karena toh tidak seorangpun di sekelilingnya akan
memahami mereka ini. Einstein merasa lebih kecil dari debu, Sidharta Buddha
Gautama lebih memilih tersenyum, Guru Nanak terserap senantiasa di dalam
renungannya.
Secara
amat demokratis sang sishya di sloka ini mengutarakan pendapatnya tanpa
dilandasi kemunafikan sedikitpun, dan pendapat tersebut disampaikan dalam
paradox yang indah. Tanpa menjatukan dirinya maupun gurunya ia mengutarakan isi
hatinya yang sebenarnya. Sang guru bijaksanapun sadar sekali akan daya nalar
sekaligus kegalauan sang murid, dengan lembut ia menjawab:
3.”Seseorang
yang memahamiNya adalah seorang yang tidak memahamiNya; dan barang siapa merasa
bahwa ia memahamiNya, maka orang ini tidak memahamiNya. Bagi seorang pakar ilmu
pengetahuan sejati, Beliau ini tidak dapat difahami namun bagi seorang yang
kurang pengetahuannya maka Beliau ini adalah Yang Difahami.”
Keterangan :
Sang guru yang sekaligus seorang ayah yang baik ini segera menetralisir
kegalauan sang murid yang cerdas ini dengan paradox yang tidak kalah indahnya
dan sarat akan makna yang dalam.
4.”Sebenarnya
seseorang akan mencapai keabadian, yang mempelajariNya penuh dengan kesadaran
melalui berbagai jalan pemikirannya. Melalui sang Atman, orang ini akan
mendapatkan tenaga sejati dan kemudian melalui ilmu pengetahuan, akan
mendapatkan keabadian.”
Keterangan :
Ada suatu misteri yang jarang dibicarakan oleh sang guru kepada para
murid-muridnya yaitu bahwasanya semua usaha bakti dan dhyana sang sishya bisa
sia-sia saja kalau Sang Atman tidak berkenan untuk membantu sishya ini secara
pribadi. Sepintas cobaan Ilahi seakan-akan tidak ada habis-habisnya bagi seorang
sadhaka yang beriman tinggi tetapi secara terselubung rahmat dan karunia Yang
Maha Esa selalu melindunginya dari segala cobaan ini. Suatu saat sang sishya
tersentuh olehNya maka berubah total seluruh kehidupan sishya ini. Kematian
bukan hal yang menakutkan lagi baginya, sebaliknya proses kelahiran dan kematian
adalah sama dengan pergantian siang dan malam, jadi memang sebuah proses normal
dan wajar secara alami. Tahap kesadaran ini disebut tahapKeabadian.
5.”Seandainya
seseorang memahami (mengenal) Brahman ini, semasa hidup di dunia ini maka
seluruh hakikat aspirasi kemanusiaan akan tercapai. Dan seandainya seseorang
tidak memahamiNya selama berada di duniaini, maka bencana besar menunggunya.
Para kaum bijak yang menyaksikan Satu Atman di dalam berbagai mahluk akan
bangkit dari kehidupan ini dan berubah menjadi abadi.”
Keterangan :
Sruti menyatakan : “Brahmaiva Bhavati” yang berarti : “Setelah menyaksikan
Yang Maha Esa maka seseorang mengakhiri kehidupan duniawi ini dan berubah
menjadi Yang Maha Esa itu sendiri.”
Seluruh ajaran Sanatana Dharma
(Sruti), menuntun kita ke Hakikat Yang Maha Esa semasa kita hidup sebagai
manusia bukan sebagai fauna atau flora. Seandainya kita menyia-nyiakan kehidupan
sebagai manusia ini, maka sia-sia jugalah kehadiran kita sebagai mahluk yang
diberi kesempatan emas yang langkah ini, dan bukankah itu berarti bencana bagi
manusia bodoh tersebut. Bab III selanjutnya akan mengungkapkan sebuah kisah yang
berhubungan dengan para dewayang mabuk kemenangan dan melupakanNya. Kisah ini
sangat baik untuk mrnjadi panutan kita agar tidak sampai kita ikut melakukan
kesalahan para dewa-dewa tersebut.
BAB III
Dalam bab
ini dikisahkan secara simbolis sebuah kisah para dewa-dewa yang larut dalam
kesombongan merekadan merupakan harkat dan hakikat Yang Maha Esa yang seyogyanya
mereka junjung tinggi Hakikat KebenaranNya. Karya ini merupakan sebuah pelajaran
yang menyadarkan kita semua akan seringnya kebodohan itu melanda bahwa sadar
kita sehingga sering pula kita melupakanNya dalam suka dan duka kita.
Konon di
suatu masa yang teramat silam para dewa memenanakan sebuah perang melawan para
asuras. Peperangan tersebut sebelumnya sulit dimenangkan dan para dewa akhirnya
memohon bantuan Yang Maha Esa dan ternyata doa mereka dikabulkan. Namun setelah
perang dimenangkan para dewa terlena dan mabuk kepayang dan mereka bangga sekali
akan ke adi-dayaan mereka dan lupalah Yang Maha Esa dari benak mereka.
Tuhan Yang
Maha Esa berkenan memberikan sebuah pelajaran bagi para dewa ini dan Beliaupun
hadir di kejauhan dalam penampakanNya sebagai Yaksha (Roh Agung) yang amat
menakjubkan. Tiba-tiba para dewa yang sedang kehilangan kesadaran mereka ini
takjub melihat dikejauhan sebuah fenomena yang amat terang benderang namun tidak
dapat diterangkan benda atau mahluk apakah itu. Maka diutuslah Dewa Agni yang
juga masih penuh dengan ego untuk menemui Yaksha ini. Agni penuh dengan
keangkuhan dan keyakinan yang berlebihan mendekati Sang Yaksha dan
memproklamirkan dirinya sebagai dewa yang mampu menghanguskan seluruh alam
semesta dalam sekejab.
Zat yang
maha menakjubkan ini meletakan sebatang rumput di hadapan Agni dan memintannya
untuk membakar rumput tersebut dan ternyata Agni tidak mampu melakukannya. Ia
kembali ke para dewa dan mengaku tidak dapat memahami benda tersebut. Para Dewa
kemudian mengutus Dewa Bayu yang juga penuh dengan keangkuhan melakukan
keteledoran yang sama. Sewaktu diminta oleh Sang Yaksha agar memindahkan sedikit
saja posisi rumput kering tersebut, ternyata Bayu pun gagal melaksanakannya.
Akhirnya ia kembali ke hadapan para dewa dan mengaku tidak bisa banyak berbuat
apa-apa dalam menghadapi Yaksha ini.
Para dewa
yang penuh takjub akhirnya mendekati Dewa Indra, yang adalah penguasa para dewa
agar sudi menyelidiki kehadiran Yaksha ini. Dengan penuh rasa hati-hati, rendah
diri dan kecermatan, Beliau mendekati Sang Yaksha. Melihat kehati-hatian Indra
ini, Sang Yaksha langsung sirna dari hadapannya. Dewa Indra yang kehilangan
dharsana ini bukan lalu bersikap sombong atau merasa menang, melainkan Beliau
kemudian memuja-muji dan mohon kepada Sang Yaksha agar sudi menemuinya. Dan
seketika di tempat Sang Yaksha sirna hadir Dewi Uma memberkahi Dewa Indra. Dari
Dewi Uma, Indra memahami bahwasanya Yaksha tersebut adalah dharsanaNya Yang Maha
Esa dan kalau saja para dewa mengerti maka penampakan tersebut adalah Karunia
Tertinggi, namun para dewa tidak menyadari hadirnya Hakikat ini. Seandainya kita
mau merenungkan dalam dhyana kita sloka-sloka berikut ini, maka mungkin saja
kesadaran yang sirna di dalam diri kita bisa kembal lagi.
1.Sang
Resi guru bersabda : “Konon pada suatu masa Sang Brahman memenangkan perang
para dewa melawan para asuras. Walaupun yang memenangkan perang tersebut adalah
Sang Brahman itu sendiri, namun para dewa merasa bahwasanya mereka itulah
penyebab kejayaan tersebut dan merekapun berpikir, kamilah yang menang dan
keagungan adalah milik kami.”
2.“Sang
Brahman yang memahami kecerobohan para dewa ini, menampakkan dirinya dihadapan
mereka; tetapi sebaliknya para dewa tidak faham dan tidak sadar akan hakikat Roh
Yang Maha Terpuja ini.”
3.“Para
dewa meminta Agni : “Wahai Jataveda (yang mengetahui semuanya) coba diteliti
apa gerangankah Roh Agung ini. Dan Agni pun setuju melakukannya.”
4.”Agni
melaju ke arah Roh ini. Dan Sang Roh bertanya, “Siapa gerangan engkau ini, dan
Agni menjawab : sebenarnya aku adalah Agni, yang maha berkuasa.”
5.“Beliau
(Sang Brahman), dalam bentuk Yaksha ini bertanya : “Kekuatan apakah yang dikau
punya wahai sang api ? Dan Agni menjawab, aku dapat membakar apa saja yang
berada di bumi ini.”
6.“Beliau,
Sang Brahman, meletakkan sebatang rumput di hadapannya dan bersabda, “Bakarlah
rumput ini,” Agni mencoba sekuat tenaga, tetapi sia-sia saja seluruh upayanya.
Ia kembali ke para dewa dan berkata bahwa ia tidak bisa memahami Roh Yang Maha
Terpuja (Agung) terebut.”
7.”Para
dewa kemudian mengutus Dewa Bayu, “Wahai dewata penguasa angin, telitilah
siapkah Roh Agung ini. Dan Dewa bayupun menyetujui.”
8.“Bayu
melesat ke arah Roh ini. Sang Roh Agung pun bertanya siapa gerangankah dewa yang
satu ini, dan Bayupun menjawab “Aku adalah Bayu dan sesungguhnnya aku adalah
penghancur segalanya yang bergerak di langit.”
9.“Kekuatan
apakah yang dikau miliki, tanya Sang Brahman, dan mengapa sifatmu seperti
demikian. Bayu menjawab : Aku dapat meniup apa saja di atas permukaan bumi ini.”
10.“Sang
Yaksha meletakan sebatang rumput di hadapannya dan berkata “Tiuplah rumput ini
jauh-jauh.” Bayupun mencobanya sekuat tenaga namun rumput tersebut tidak
bergeser sedikitpun. Ia pun kembali ke hadapan para dewa dan mengaku, bahwasanya
ia tidak dapat memahami siapakah Roh Yang Maha Agung ini.”
11.“Kemudian
para dewa memohon Dewa Indra, “Wahai pemimpin para dewa, wahai Maghawana (terhebat)
harap diteliti siapakah Roh Agung ini. Dewa Indra pun setuju dan segera melaju
kearah sang Yaksha, namun Roh tersebut segera sirna dari pandangannya.’
12.“Dan
di tempat yang sama ini Dewa Indra menyaksikan kehadiran Dewi Uma yang teramat
menawan, putri Raja salju Himawan. Kepada Sang Dewi ini, Dewa Indra memohon
penjelasan akan fenomena Roh Agung tersebut.”
Akhir bab III
BAB IV
Bagi
sementara orang kisah yang baru saja lalu di bab III bisa-bisa dianggap kisah
anak-anak, tidak demikian sabda para resi guru. Menurut para kaum bijak ini
kisah ini penuh dengan makna yang secara spritual berhubungan dengan perjalanan
sadhana dan dhyana seorang sadhaka ke Yang Maha Esa. Dalam Perjalanan dhayana
seseorang biasanya diperlukan disiplin, iman, bakti dan kendali diri di samping
berbagai tapa brata agar dhyana seseorang ini menjadi stabil. Namun kadangkala
bertahun-tahun berlalu dan tidak nampak kemajuan apapun di dalam diri sang
sadhaka ini. Ingin mundur sudah kepalang di jalan, yang agak optimis akan
mencari guru atau penuntun; ada yang kendor di tengah jalan dan ada yang
langsung berhenti dari berbagai upayanya. Pada permulaan biasanya yang diminta
menuntun ini terkesan tidak mengacuhkan murid ini, namun sebenarnya tidak
demikian. Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasiNya pasti akan datang membantu
karena hal itu sudah menjadi kewajibanNya. Beliau akan menolong dari jauh dan
sang sadhaka yang kurang yakin diri tidak akan pernah menyadari hal tersebut.
Ada juga sadhaka yang diarahkan ke sidhi (kekuatan gaib) yang menyesatkan ke
arah lain bukan ke arah Tuhan itu sendiri. Dan biasanya sadhaka yang lengah dan
kurang iman akan tersesat dalam sidhi ini yang berupa kekuatan sakti, posisi
duniawi, kejayaan, dan sebagainya. Ia pun akan lupa bahwa semua ini karunia
Ilahi dan seperti para dewa tersebut ia akan merasa hebat dan lupa diri. Kepada
orang yang lupa diri ini Yang Maha Esa tetap akan menampakkan diriNya dan
menegurnya ke arah yang seharusnya namun ego dan nafsu insan tersebut bisa
menghalangi tuntunan Ilahi ini dan akibatnya seperti kisah di atas ini. Namun
seandainya sadhaka ini sadar akan kebodohannya dan bertindak hati-hati maka ia
akan menemui kembali tujuan semula dan mendapatkan dharsanaNya. Dewa Indra
adalah pemimpin para dewa di Kahyangan, dan di diri kita Beliau adalah pemimpin
seluruh organ tubuh kita (indriyas), dan bersemayam di otak kita. Pekerjaannya
adalah mengendalikan agar organ-organ ini tidak ngawur cara kerjanya. Demikian
juga dengan kemampuan otak budhi seseorang dapat diarahkan ke jalan spritual
yang benar, dan di saat ia sadar bahwa semua bentuk sidhi sudah tidak berarti
lagi baginya maka jalan sinar akan terbuka. Di kisah ini Bunda Sruti
dilambangkan dan digambarkan sebagai Dewi Uma (Shakti Dewa Shiva). Dan Sang
Yaksha adalah bukan tidak dan bukan lain Sang Atman itu sendiri, yang merupakan
Sang Jnana. Paroksa-Jnana tidak bisa menyadarkan sang sadhaka akan
kesalahan-kesalahan spritualnya kalau penghayatan sadhaka ini dangkal,
seandainya ia berhati-hati seperti Dewa Indra maka jalan spritualnya akan
menampakkan Istha-dewatanya dan menuntunnya ke jalan semula yang lurus.
Kembali ke
Dewa Indra tadi betulkah Beliau telah mendapatkan ajaran yang benar dari Bunda
Sruti, untuk memahaminya para resi guru melanjutkan ajaran-ajaran mereka dalam
bentuk sloka-sloka berikut ini :
1. Resi
guru bersabda; “Brahman, kata sang Dewi. Sebenarnya melalui Sang Brahman,
dikau telah mendapatkan kemenangan dan kejayaanmu ! Kemudian sadarlah Indra
bahwa sebenarnya Yaksha tersebut adalah Sang Brahman itu sendiri.”
Keterangan :
Sebenarnya Agni dan Bayu pun sadar bahwa yang mereka hadapi adalah Sang Brahman,
namun di hadapan para dewa-dewa lainnya mereka tidak berani mengungkapkannya
karena masih terliput oleh ego dan kebodohan mereka, apalagi kesaktian mereka
tiba-tiba saja lenyap begitu saja. Inilah gambaran hilangnya akal sehat
mereka-mereka yang masuk ke jalan sidhi. Mereka ini diliputi oleh kebodohan
hasil ulah mereka sendiri.
2.”Oleh
sebab itu, sebenarnya Dewa Agni, Bayu dan Indra ini lebih superior dari
dewa-dewa lainnya, karena berhasil mendekati, menyaksikan dan bahkan berdialog
dan mengikuti perintah-perintah Roh Agung tersebut.”
Keterangan :
Ada kalanya seorang sadhaka di dalam dhyananya tersentuh oleh Cahaya Ilahi atau
Nuansa Ilahi, dan akibatnya ada yang kaget setengah mati, ada yang berdiri bulu
kuduknya, ada yang meneteskan air mata, bahkan ada yang tersenyum cemerlang dan
merasakan sensasi spritual atau dharsanya yang amat menakjubkan. Yang kurang
penalarannya merasakan ketakutan yang amat sangat, sloka berikutnya menerangkan
secara sekilas akan fenomena Ilahi ini.
3.”Oleh
sebab itu, sebenarnya, Indra melampaui dewa-dewa lainnya, karena ia lebih dekat
ke Roh Agung tersebut dan merupakan dewa pertama yang sadar bahwa Yaksha
tersebut adalah Sang Brahman.”
4.”Inilah
penjelasan mengenai Sang Brahman (secara ilustratif); hanya Beliau semata yang
bercahaya ibarat halilintar, Baliau menghilang dalam sekejab mata. Inilah
perbandingan antara para dewa dan Sang Brahman.”
Keterangan :
Demikianlah salah satu Manifestasi Yang Maha Esa sebagai kekuatan Kosmis yang
tak dimiliki para dewa. Secara
ilustratif……..dalam bahasa Sansekerta disebut adesa,berikut ini ada adesa
lainnya lagi.
5.”Menjelaskannya
dari sudut manifestasiNya sebagai Sang Atman yang hadir di dalam raga (maka
Beliau Adalah) :………..secepat sang pikiran berpikir akan Sang Atman.”
Keterangan :
Bagi mereka-mereka yang telah tinggi tingkatan dhyananya, Sang Atman bisa dan
mau hadir di dalam dhyana mereka, namun penampakan Ilahi yang dirasakan dengan
sensasi spritual ini biasanya hanya berlangsung sekilas (sedetik dua) dan
kemudian segera sirna meninggalkan sensasi dan getaran tubuh yang indah dan
menakjubkan, yang sulit dijabarkan dan hanya mampu dirasakan oleh sang sadhaka
tersebut. Jadi sebenarnya sang pikiran dengan lugu dapat menjangkauNya tetapi
seperti sifat-sifatNya yang dominan, maka Beliau hadir dan sirna dalam sekejab.
Inilah salah satu ciri khas sentuhan Yang Maha Esa di dalam dhyana seseorang
yang tekun.
6.“Sang
Brahman dikenal sebagai Tadvanam, yaitu yang dipuja sebagai Sang Atman di dalam
setiap mahluk. Jadi sesungguhnya Beliau dipuja sebagai Tadvana. Semua yang
memahamiNya secara demikian akan mencintaiNya.”
Keterangan : Nama
atau sebutan lain dari Sang Atman adalah Tadvanam, yaitu tujuan dari dhyana.
Setiap sadhaka dianjurkan oleh gurunya untuk bermeditasi ke arah Beliau dan
tepatnya terletak di tengah-tengah kedua alis mata. Namun para sadhaka harus
sadar bahwa Beliau juga hadir di setiap mahluk, jadi tanpa bersikap ahimsa dan
saling mengasihi secara sadar sia-sia sajalah memfokuskan meditasi ke arahNya
kalau begitu selesai bermeditasi lalu bersikap egoistis dan diskriminatif kepada
mahluk-mahluk lainnya.
7.Sang
sishya memohon : “Guru, mohon sudi diajarkan kepada kami mengenai perihal
Penunjang Ilmu Pengetahuan Tentang Sang Brahman (Upanisadamabrumeti)”
Sabda guru,
“Ilmu tersebut telah kami ajarkan kepadamu. Sebenarnya Upanisadamabrumeti ini
telah dialihkan kepadamu pada waktu-waktu yang lalu.”
Keterangan : Ilmu
penunjang tersebut di atas, menurut para resi guru adalah teknik-teknik yoga
atau pembersihan jiwa raga secara internal yang harus dilakukan oleh sang sishya,
yang mencangkup berbagai upaya tapa brata dan upaya-upaya pemahaman berbagai
mantra Upanishad. Di sloka berikutnya sekali
lagi sang guru mengulang ajaran ini kepada muridnya ini.
8.”Tapa
brata yang penuh disiplin, kendali diri dan pekerjaan penuh bakti……..adalah
dasar ilmu ini…….yaitu ilmu penunjang ilmu pengetahuan tentang Sang Brahman
(berbagai Upanishad) : Berbagai Veda adalah perangkat-perangkatnya dan Kebenaran
adalah Tujuan ilmu pengetahuan ini (Satyamayatanam).
Keterangan : “Berbagai tapa brata adalah upaya-upaya disiplin bagi sang raga, sedangkan kendali diri (dama) adalah upaya-upaya yang diperuntukkan bagi sang jiwa (secara psikologis). Yang satu menunjang yang lainnya sehingga akan tercapai kesempurnaan. Upaya spritual tanpa kedua faktor ini akan menuntun seseorang ke arah ilmu hitam, termasuk di dalamnya tanpa disadari mecaru, sembahyang penuh pamrih, demi meraup keuntungan dan balas dendam. Seorang sadhaka dalam upaya sadhana dan dhyananya harus bersifat ahimsa, termasuk cara makan minumnya haruslah secara vegetarian dan sehari-hari bertindak-tanduk sederhana. Silahkan hidup secara materi duniawi, namun harus dalam batas-batas yang wajar, jangan lebih besar pasak dari pada tiang, namun ambruk fondasi kehidupan spritual dan duniawinya. Bhagavat-Gita adalah guru penuntun yang teramat canggih bagi seorang sadhaka dan kaum Hindu Dharma secara umum. Sebagai rangkuman dari berbagai Veda dan Upanishad, maka Bhagavat-Gita telah ditetapkan menjadi buku suci kaum Hindhu sampai akhir masa. Bodohlah seorang insan manusia kalau sampai mengabaikan ajaran-ajaran yang agung yang terkandung di kitab suci ini, dan menghabiskan waktunya untuk yang bersifat sia-sia belaka.
Adalah salah kalau senantiasa berpikir bahwa bekerja
sehari-hari itu akan menjauhkan kita dari Yang Maha Esa, justru yang diajarkan
oleh Bunda Sruti dan Bhagavat-Gita adalah melalui jalan karma dan bakti kita
menuju kejalan gnana dan sadhana (dhyana), jadi saling menunjang, bukan saling
menjegal,adalah intisari semua jalan tersebut.
Kalau dasar aspal jalanan tidak kuat fondasinya, maka
jalan tersebut akan segera hancur dan berbagai kendaraan tidak akan dapat
mempergunakan jalan tersebut. Demikian juga Sanatana Dharma selalu
mengulang-ulang agar manusia senantiasa setiap detik, setiap menit, jam, hari
dan selama hidupnya berkarma yang baik, melalui berbagai indriyasnya. Inilah
sebenarnya rahasia paling mendasar dari dhyana itu sendiri, dan tersirat dalam
kisah di Upanishad ini.
“Kebenaran adalah Tujuan hakiki ilmu pengetahuan
ini (Satyamayatanam)……..seorang sadhaka adalah seorang Brahmana. Kemudian
apakah ia ingin menjadi Brahmana yang baik atau tidak, itu semua tergantung akan
hati nurani dan kodratnya. Untuk membentuk hati nurani yang bersih murni
diperlukan berbagai tapa brata baik untuk jiwa maupun raga sehari-harinya serta
hidup dari pemasukkan yang halal dan bersifat satvik. Seandainya semua faktor
ini bisa dilaksanakan dengan baik tentu Sang Brahman akan berkenan untuk hadir
di dalam diri kita.
9.”Demikianlah
secara benar dikatakan bahwasanya barang siapa memahamiNya secara demikian, maka
hancur leburlah dosa-dosa insan tersebut dapat menyatulah ia dengan Sang
Brahman, Yang Maha Tak Terbatas, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Penuh dengan
Karunia……Yah, insan ini akan menyatu denganNya.”
OM SANTIHI………..SANTIHI……….SANTIHI
Dengan
ini berakhirlah ajaran Kenopanishad, Brahma-Vidya yang agung ini.
OM…..TAT…..SAT
Disarikan
dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh
mohan m . s.
sumber:: http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar