Om bhūr bhuvaḥ svaḥ
tat savitur vareṇyaṃ
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yó naḥ pracodayāt
Sebab kenapa dalam kehidupan ini kita jauh dari kebahagiaan-kedamaian, adalah karena kita SALAH PIKIRAN. Kita mengira harga diri kita yang paling penting, kita mengira melampiaskan marah itu yang paling penting, kita mengira nafsu seks itu yang paling penting, kita mengira banyak uang itu yang paling penting, kita mengira kekuasaan itu yang paling penting, kita mengira memamerkan kesucian dan pengetahuan itu yang paling penting, kita mengira badan kita ini yang paling penting, kita mengira menuruti pikiran dan perasaan negatif kita yang paling penting, dll, banyak sekali. Akhirnya bisa ditebak, hidup kita resah-gelisah, marah dan jauh dari kedamaian.
Banyak sastra dan banyak guru mengajarkan bahwa terlahir sebagai manusia tapi tidak melaksanakan dharma, itu mirip dengan pergi ke pulau harta karun. Karena kelahiran sebagai manusia itu sangat utama. Hanya dengan kelahiran sebagai manusia kita bisa merealisasi jivan-mukti [pembebasan]. Sayangnya banyak yang ketika kembali pulang ke rumah kematian sepasang tangannya kosong tidak membawa apa-apa. Yang paling celaka adalah kalau dalam kelahiran ini kita tidak saja gagal membawa harta karun bathin, tapi melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya [membunuh, menyakiti, memeras, korupsi, mencuri, selingkuh, dll] disaat kita mengenakan tubuh manusia. Sehingga setelah kematian kita harus membayarnya dengan terjerumus ke alam bawah [bhur loka] atau mungkin terlahir kembali menjadi binatang.
Tapi sebagaimana contoh terang yang pernah dialami Maharsi Valmiki, semasih kita ada dalam hidup ini belumlah terlambat, bahkan manusia yang sudah melakukan kejahatan paling berbahaya sekalipun masih bisa diselamatkan [note : Maharsi Valmiki adalah perampok dan pembunuh yang bertobat, lalu menjadi salah satu Maharsi tercerahkan yang penting dalam sejarah Hindu]. Syaratnya : cepat-cepat bertobat, lalu masuki jalan dharma dan yang paling penting memurnikan bathin dengan melatih dan membiasakan diri melaksanakan catur sadhana sepanjang perjalanan kehidupan ini.
CATUR SADHANA SEBAGAI SESARINING DHARMA
-empat sadhana sebagai tugas dharma terpenting dari seluruh pelaksanaan dharma-
Pokok dasar yang terpenting dari semua ajaran dan praktek di jalan dharma adalah sadhana yang dilaksanakan dan dibiasakan dengan sungguh-sungguh. Dan sadhana ini kalau di-intisarikan, akan menjadi empat saja, yaitu :
1. Pikiran yang bebas dari dualitas.
Ciri manusia yang bathinnya sudah siap memulai evolusi bathinnya di jalan dharma adalah pikiran yang bebas dari dualitas hidup-mati, benar-salah, menyenangkan-tidak menyenangkan, suci-kotor, bahagia-sengsara, tinggi-rendah, dll. Karena dalam kehidupan : semua orang melewati bahagia & sengsara, pernah dipuji & direndahkan, melewati sakit & sehat, pernah sukses & gagal, dll. Karena demikianlah kehidupan, selalu ada Rwa Bhinneda.
Pesan dharma dalam Rwa Bhinneda : menolak kesedihan adalah kesengsaraan, mengejar kebahagiaan adalah malapetaka. Ketika bathin kita kita berhenti diguncang oleh dualitas, kehidupan menjadi indah sekaligus damai & bahagia. Pikiran dan perasaan kita tetap tenang dan shanti [damai] pada apapun yang terjadi dalam kehidupan.
Rumus membebaskan bathin dari dualitas bisa diibaratkan angka 2 - 1 - 0.
- Angka 2 merujuk kepada bathin yang masih dalam dualitas : baik-buruk, suci-kotor, dst-nya.
- Angka 1 merujuk kepada bathin yang mulai lepas dari dualitas : baik-baik, suci-suci, dst-nya. Ini adalah hasil dari batin yang selalu berpikir positif. Selalu dan selalu melihat dan mengambil sisi positif dari semua kejadian. Hasilnya adalah lenyapnya kemarahan dan ketidakpuasan, lalu muncul kebijaksanaan dan kedamaian.
- Angka 0 merujuk kepada bathin yang sadar, yang bebas dari dualitas. Karena sesungguhnya pengalaman adalah pengalaman, dia tidak memiliki label baik ataupun buruk.
Bagi sadhaka pemula umumnya agak sulit memahami angka 0, sehingga kalau terjadi demikian disarankan memulai dari angka 1 terlebih dahulu. Artinya apapun yang terjadi dalam hidup kita, belajarlah menghadapinya dengan melihat dan mengambil semata dari sisi positif-nya saja. Karena dengan demikian kemarahan lenyap, ketidakpuasan sirna dan kebijaksanaan-kedamaian bathin bersemi. Inilah tugas pertama.
2. Welas asih dan kebaikan tidak terbatas kepada semua.
Puncak dari jivan-mukti [pembebasan] hanya bisa direalisasi dengan ketekunan membangun sifat penuh welas asih dalam bathin dan ketekunan melaksanakan gunungan kebaikan dalam keseharian kita. Sehingga kalau seluruh ajaran dharma diminta di-intisarikan menjadi satu saja, maka hal itu adalah welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semua. Kalaupun kita masih belum bisa melakukan kebaikan, cukup jangan menyakiti [ahimsa].
Sayangi, sayangi dan sayangi apa saja dan siapa saja, apapun yang terjadi dalam kehidupan. Menyayangi suami yang baik, itu manusia biasa – tapi bisa menyayangi suami yang selingkuh, itu tanda-tanda bathin terang yang mulai bergerak mendekati pembebasan. Menyayangi teman kantor yang baik, itu manusia biasa – tapi bisa menyayangi teman kantor yang menyakiti dan memfitnah kita, itu tanda-tanda bathin terang yang mulai bergerak mendekati pembebasan. Sadari hal ini setiap saat-setiap waktu, tugas kita : sayangi, sayangi dan sayangi.
Sikap bersahabat, tidak curiga [berprasangka negatif], murah hati, suka membantu, rajin memberi, kerelaan diri, penuh pengertian dan penuh kasih sayang kepada mahluk lain, bukan saja menyegarkan bathin mereka, tapi sekaligus membuat cahaya bathin kita sendiri terang-benderang.
Semakin kita peduli dengan kebahagiaan mahluk lain, semakin berkembang kesegaran bathin kita. Ketekunan melaksanakan welas asih dan kebaikan membuat seseorang memperkecil ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari hari ke hari. Ketika ke-aku-an terkikis habis, bathin menjadi ringan dan segar. Inilah tugas kedua.
3. Pikiran yang bebas dari Sad Ripu [enam kegelapan bathin].
Kebanyakan dari kita sering terjebak pada jalan pikiran yang salah, lalu masuk "jurang" [mengalami celaka dan derita]. Dan salah pikiran yang akan membuat kita masuk jurang adalah Sad Ripu [enam kegelapan bathin] seperti : keangkuhan, kemarahan, kebencian, sikap permusuhan, serakah, sakit hati, mementingkan diri sendiri, iri hati, tidak pernah puas, selalu membandingkan dengan yang lebih tinggi, tidak pernah bersyukur, dll. Jangankan urusan duniawi seperti uang atau kursi kekuasaan, karena urusan agama-pun ada juga orang yang bertengkar dan bermusuhan.
Kenapa kita sombong ? Kenapa kita marah dan dendam ? Kenapa kita sedih ? Kenapa kita membenci dan memusuhi ? Kenapa kita penuh rasa curiga ? Kenapa kita selingkuh ? Kenapa kita korupsi ? Karena kita salah pikiran.
Bayangkan kalau seluruh kegelapan bathin : rasa marah, dendam, iri hati, nafsu keinginan, kesombongan, rasa curiga, tidak rela, tidak puas, serakah, takut, bingung, dll, lenyap dari bathin kita. Apa yang terjadi ? Betapa lapangnya hati, betapa ringannya perasaan, betapa bersihnya bathin. Yang muncul dalam bathin hanya kebahagiaan-kedamaian. Bathin yang terang akan mengundang pembimbing yang terang. Sehingga sembahyang kita mudah terhubung, meditasi kita mudah samadhi. Inilah tugas ketiga.
4. Laksanakan svadharma [tugas kehidupan].
Hidup ini sendiri adalah dharma. Kehidupan dan alam semesta berputar melalui hukum-hukum kerja. Di jalan dharma tidak ada pemisahan antara tugas-tugas kehidupan kita dengan upaya kita merealisasi jivan-mukti [pembebasan]. Penolakan akan tugas-tugas kehidupan kita akan menjauhkan bathin kita dari kebahagiaan dan kedamaian yang sebenarnya. Hanya melaksanakan kerjalah yang bisa membebaskan kita, bukan menolak untuk bekerja.
Karena itu tidak hanya ngayah dan sembahyang ke pura adalah jalan dharma, tidak hanya meditasi adalah jalan dharma, melaksanakan kerja-pun juga adalah jalan dharma. Burung-burung bekerja giat mencari makan untuk anak-anaknya, monyet-monyet bekerja giat mencari kutu dan membersihkan bulu anak-anaknya. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa protes. Laksanakan svadharma atau tugas-tugas kehidupan kita [menjadi guru, pegawai, orang tua, gubernur, dll] dengan sebaik-baiknya, tapi apapun hasilnya terima dengan bathin damai. Disana kerja bukan saja wujud nyata welas asih dan kebaikan, tapi sekaligus jalan menuju manah shantii.
Dengan bekerja manusia melakukan yoga. Secara lebih khusus karena melalui langkah-langkah kerja kita membuat yang mahasuci menjadi nyata. Diri kita sudah tidak penting lagi, yang penting adalah mahluk lain. Tidak hanya di pura kita ngayah [terbatas], tapi seluruh gerak nafas dalam kehidupan kita menjadi ngayah. Laksana sungai yang tekun melaksanakan tugasnya dalam hening, mengalir sempurna menuju lautan pembebasan. Inilah tugas keempat.
YOGA SEBAGAI KENDARAAN YANG MEMBANTU PERJALANAN KITA
Yoga adalah berbagai metode [bhakti yoga, raja yoga, jnana yoga, shakti yoga] yang bisa membantu percepatan kita merealisasi kedamaian, kesadaran, lalu pembebasan. Dengan catatan, metode yoga manapun akan dangkal dan gagal kalau tidak berlandaskan catur sadhana yang kuat sebagaimana dijelaskan diatas.
Catur sadhana yang sudah dilaksanakan dengan sangat baik, walaupun tanpa mempraktekkan yoga, itu saja sudah bisa membimbing kita menuju kedamaian, kesadaran, lalu pembebasan. Sebaliknya yoga manapun tidak akan banyak membantu kalau tanpa dilandasi catur sadhana yang kokoh. Sembahyang, meditasi, upakara keagamaan, japa mantra, tirtayatra, dll, sudah tentu adalah hal yang baik dan juga bagian dari dharma. Tapi kalau dilaksanakan tanpa menghasilkan pemahaman akan bathin kita sendiri [rwa bhinneda dan sad ripu], mahluk lain [welas asih dan kebaikan], serta kehidupan [svadharma], kemungkinan besar itu hanya akan menipu diri sendiri. Yoga seperti itu hanya jadi pelarian manusia dari ketakutannya pada kehidupan atau kematian.
Mempraktekkan catur sadhana dengan baik adalah pintu awal sekaligus pintu akhir. Hanya dengan melaksanakannya dengan baik, jalan yoga kemudian akan bisa efektif, sebagai kendaraan yang sangat membantu percepatan bathin kita dalam merealisasi kedamaian, kesadaran, lalu pembebasan.
JIVAN MUKTI
Tidak ada aku dan kamu. Tidak ada kita dan mereka. Tidak ada milikku dan milikmu. Tidak ada badanku dan badanmu. Tidak ada pikiranmu dan pikiranku. Tidak ada perasaanku dan perasaanmu. Nirahamkarah [lenyapnya ke-aku-an] dan bathin lebur dalam welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semua.
Di titik ini kita akan mengerti, di dalam bathin kita ada bagian yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati, dalam kedamaian dan keseimbangan bathin yang sempurna. Itulah yogi tingkat tinggi yang sudah sadar akan realitas diri yang sejati. Bebas dari belenggu yang dimunculkan oleh badan dan pikiran. Bebas dari roda samsara [kelahiran-kematian].
Rumah Dharma – Hindu Indonesia
20 November 2010
sumber :: http://www.facebook.com/rumahdharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar