BAB
I
BAGIAN 1
1.“Wahai
para dewa sekalian, perkenankan kami senantiasa mendengarkan melalui telinga
kami, hal-hal bersifat suci dan bersih; Wahai para dewata yang (kami) puja,
perkenankan kami melihat hal-hal yang bersifat suci dan bersih. Perkenankan kami
hidup sepanjang hidup kami yang telah ditentukan ini dengan sehat penuh ceria,
dengan senantiasa memanjatkan doa puja-puji bagimu. Semoga Indra yang terkenal
berasal dari kurun waktu nan silam, semoga Pushan (surya) yang mengetahui
semuanya, semoga Vayu (bayu) dewa yang bergerak secara kilat, menyelamatkan kami
dari berbagai bencana dan semoga Brihaspati yang melindungi harta spritual di
dalam diri kami …. Mengkaruniai kami dengan kekuatan intelektual (budi) agar
kami mampu memahami skripsi-skripsi suci dan dengan penuh semangat mempelajari
ajaran-ajaran ini .”
OM
SANTIHI
….. SANTIHI ….. SANTIHI
Keterangan
: Demikian karya sastra Mundakopanishad ini, yang konon kabarnya merupakan
sebuah naskah kuno yang berasal dari zaman sebelum Ramayana dan Mahabrata ini
dibuka dengan sloka mantra di atas. Para resi di zaman yang lampau selalu
membuka sebuah ajaran kepada para sishyanya dengan memanjatkan doa-doa puja-puji
kepada Yang Maha Esa atau dewa-dewi yang berhubungan dengan ajaran tersebut,
agar diberi tuntunan, pengertian (budi, budhi) dan semangat yang membara demi
memahami ajaran yang dianggap suci ini. Di era tersebut Yang Maha Esa di kenal
sebagai Indra Yaitu Maharajanya para dewa-dewa di Swargaloka, beliau adalah Dewa
Halilintar merangkap Dewa Api, juga sering berbentuk Surya yang dianggap mata
Tuhan yang serba melihat dan tahu akan keadaan yang berlangsung di sekitarnya
termasuk di bumi dan di jagat raya. Pada waktu itu Tuhan juga dikenal sebagai
Vayu (Bayu) karena tanpa udara tentunya kita tidak mungkin hidup di dunia ini.
Di berbagai bagian lainnya di India, Tuhan dimanifestasikan sebagai Baruna (dewa
air), sebagai Shiva (pemilik setiap jiwa, pendaur ulang setiap jiwa), sebagai
Brahma sebagai pencipta,sebagai Gayatri, Laksmi, Durga, Gangga, Saraswati, dan
lain sebagainya. Pada kurun waktu yang berjalan ribuan tahun sebelum konsep
Tuhan yang manunggal diabadikan, manusia-manusia dari berbagai belahan bumi di
India memuja tuhan sesuai dengan budaya, nalar, fenomena alam dan budhi mereka
sesuai dengan topografi, cuaca, produk-produk di daerah masing-masing yang
mereka diami. Tidak mengherankan kalau wujud Yang Maha Esa di kenal dengan
berbagai manifestasinya di permulaan asal muasal peradaban dharma, yang tanahnya
kemudian di kenal dengan nama tanah Barata, asalnya di sebut bhumi. Mereka yang
tinggal di sekitar Himalaya sesuai dengan lingkungannya bertuhankan Shiva dan
Shaktinya, yang dekat dengan sungai Gangga memujaNya sebagai Gangga Dewi, yang
makmur tanahnya memuja Beliau dalam bentuk Laksmi (Dewi Sri) dan sebagainya.
Akhirnya
suatu waktu kemudian semua ajaran ini diturunkan dalam berbagai bentuk Veda,
Upanishad, Puranas dan sebagainya dan membaur, menyatu konsep Hindu Dharma yang
kita kenal sekarang, yaitu kebinekaan dalam suatu kesatuan dan kesatuan dalam
kebinekaan. Kata Santihi (shanti atau santih) adalah doa puja-puji para resi di
zaman-zaman yang lampau yang masih kita gaungkan hingga kini karena bersifat
suci bersih dan abadi, kata ini ditujukan ke Bhur, Bwah dan Swah dan segala isi
dan manifestasinya yang beraneka ragam rupa, bentuk dan fenomena-fenomenanya (aneka
rupa) yang dikenal sebagai Adi daivika, Adi bhantika dan Adi yatmik dengan
menyandang berbagai sifat-sifat alami seperti Satva, Rajas dan Tamas.
Tanpa
para resi dan sishya maka sia-sialah berbagai ajaran suci dan agung ini, dan
bayangkan bagaimana etika dan moral manusia di belantara kehidupan yang makin
lama makin rumit dan biadab ini. India disebut sebagai craddle of civilization (asal-muasal
peradaban umat manusia), dan sebenarnya kalau semua mau jujur juga adalah
asal-muasal seluruh ajaran agama dan kepercayaan di dunia ini, dari berbagai
ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, kedokteran. Mungkinkah dunia modern seperti
ini tanpa partisipasi India? Pertanyaan
ini selalu menggoda sanubari kami pribadi.
2.“Diantara
para dewata, Brahmaji, sang pencipta dan pelindung alam semesta ini lahir
sendiri pada mulanya. Beliau mengajarkan ilmu pengetahuan akan realitas (Bramah-Vidya),
ilmu pengetahuan dari seluruh ilmu-ilmu pengetahuan, dasar dari seluruh
ilmu-ilmu fisika (science), kepada putra tertuanya, yaitu Atharva “.
Keterangan
: Dalam bahasa Sansekerta dikenal bentuk kata-kata maskulin, feminin dan
juga dan juga bersifat keduanya yaitu yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
sebutan neuter gender. Kata atau sebutan Brahma dikenal sebagai ibu dan juga
bapak (biseksual). Kalau diambil dari sisi maskulinnya maka dewa Brahma adalah
salah satu dari Trinitas (Brahma Vishnu Shiva). Seandainya disebut Brahma
(neuter gender) maka yang dimaksud adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang sebagai
suatu zat yang bebas aktif tidak terikat oleh sifat-sifat apapun juga, walaupun
adalah pencipta seluruh ciptaan-ciptaan termasuk Trinitas dan lain sebagainya.
Brahma atau Brahmaji juga adalah ciptaan Beliau dan dilahirkan tidak melalui
sperma dan indung telur, tetapi diproyeksikan sebagai manifestasi beliau Yang
Maha Agung. Ilmu pengetahuan mengenai Yang Maha Esa dan berbagai aspek dan
fenomenanya disebut Brahma-Vidya dan pertama kali diturunkan oleh Brahmaji
kepada putranya Atharva. Ilmu ini menerangkan akan hakikat Yang Maha Esa
(Brahman). Kata Brahman atau para Brahman disebutkan berbagai Upanishad untuk
menerangkan Yang Maha Abadi dan Yang Maha Hadir (zat yang berupa suatu bentuk
kesadaran dan kebenaran sejati). Ilmu yang agung ini telah diagung-agungkan
semenjak ribuan tahun yang lalu di berbagai karya spritual suci dan dianggap
induk dari segala ilmu di dunia ini. Ilmu ini juga menerangkan berbagai aspek
dari Sang Atman itu sendiri, sebagai manifestasi dari sang para Brahma,
keseluruhan ilmu ini (intinya) disebut Sarva Vidya Prastistha.
3.“Ilmu
yang diturunkan ke Atharva oleh Brahmaji juga diajarkan ke para Angira di masa
lampau; dan diajarkan juga ke salah seorang yang berasal dari keluarga
Bharadvaja yang bernama Satyawaka, oleh Satyawaka ilmu ini diturunkan ke para
Angira….demikianlah ilmu ini diturunkan dari para guru yang agung yang agung
ke para sishya-sishyanya.”
Keterangan
: Guru
sishya parampara (silsilah nama-nama para guru di masa yang silam yang
menurunkan ilmu ini dari guru ke guru yang lainnya). Di sloka berikutnya ini
akan kita dapati pendekatan oleh seorang sishya ke guru spritualnya agar
diajarkan jalan spritual ini (salah satu dari Resi-resi Angira). Jawaban atau
ajaran sang guru ini adalah ajaran agung dari Mundakopanishad ini.
4.“Saunaka, seorang
kepala rumah tangga yang berbudi agung, berkunjung ke para resi-resi Angira
dengan segala sopan-santun dan tata cara yang seharusnya dan memohon agar
diajarkan akan : “Apakah itu, wahai guruku, yang seandainya dapat difahami
maka semua ini akan terfahami.”
Keterangan
: Saunaka disebut sebagai seorang kepala rumah tangga yang berbudi luhur dan
agung (mahasalah). Di zaman itu beliau dikenal sebagai seorang kaya raya dan
sangat religius dan telah banyak membangun tempat pemujaan dan pengorbanan Vedik
yang disebut Yajna Sala Agung. Suatu waktu karena didera rasa resah dalam meniti
jalan spritualnya beliau mengunjungi gurunya dan memohon diajarkan akan jalan
realitas ini.
Pada
zaman tersebut seorang murid yang ingin belajar dari seorang guru spritual harus
menghampiri sang guru penuh dengan etika dan tata cara yang berlaku disertai
kepasrahan total dan akan berjanji tidak berargumentasi dengan gurunya. Para
murid ini menyiapkan diri mereka untuk menjadi sanyasi dan menanggalkan yang
serba duniawi dengan menghampiri guru-guru mereka berpakaian serba minim dan
membawa serta 2 ikat ranting daun nim. Di tangan yang satu digenggam nim yang
kering dan yang ditangan yang satunya lagi nim yang segar. Yang kering
dipergunakan untuk api pengorbanan sedangkan yang segar untuk mengosok gigi.
Daun nim rasanya sangat pahit tetapi efektif untuk berbagai keperluan kesehatan.
Inilah simbol dari sanyasa, siap untuk menderita.
5.“Resi Angira berkata
kepada Saunaka : “Ada dua jenis ilmu pengetahuan yang harus dipelajari, yaitu
Apara dan para…..yang tinggi dan yang rendah (kadarnya). Demikianlah sabda
resi-resi Upanishad yang telah memahami sang Brahman”.
6.“Ilmu pengetahuan yang
rendah sifatnya terdiri dari 4 Veda (Rig, Sama, Yajur, Atharva) dan enam Vedanga
(yang terdiri dari Siksha (fonetik), Kalpa (tata cara berbagai ritual),
Vyakarana (tata bahasa), Nirukta (etimologi), Chandas (metre) dan Jyotisha (astrologi).
Ilmu pengetahuan yang tinggi sifatnya……adalah ilmu yang mengantarkan
seseorang ke keabadian atau ilmu pengetahuan yang tak dapat dijabarkan oleh
kata-kata maupun (arti-arti yang tersirat di dalam tata bahasa)”.
Keterangan
: Bukan saja anda yang akan terperangah dan heran karena ajaran Veda dan
sebagainya, disebut berkadar rendah tetapi Saunaka sendiri pun bisa jadi sudah
galau karenanya. Tetapi Beliau yakin gurunya tidak salah mengajarkan dan dengan
rendah hati dan tanpa membantah Beliau mengikuti seluruh wejangan-wejangan ini
secara penuh perhatian.
7.“Itu
(Zat atau Beliau Yang Maha Esa) yang tak dapat disaksikan oleh mata, yang tak
terjangkau, yang tidak memiliki asal-usul dan tidak berwujud; Itu yang tidak
memiliki mata, kuping, tangan maupun kaki……yang bersifat abadi, penuh dengan
berbagai manifestasi, yang maha hadir dimana saja, yang maha lembut diantara
zat-zat yang terlembut, Beliau yang maha tak terbinasakan dikenal oleh kaum
bijak sebagai sumber dari segala ciptaan.”
Keterangan
: Sloka
mantra di atas dalam bahasa Sansekerta dianggap oleh sementara kaum guru di
India sebagai definisi yang mendekati sempurna dari hakikat Yang Maha Esa.
Bahkan dari segi tata bahasapun dianggap sangat indah dan ekspresif merupakan
sloka mantra maha karya bangsa Aryan, ekspresi puncak dari ungkapan spritual
mengenai perihal Yang Maha Esa.
8.”Ibarat
laba-laba yang mengeluarkan jaring dan menariknya kembali ke dalam dirinya
sendiri, ibarat tanaman yang tumbuh dari tanah, ibarat rambut yang tumbuh di
kepala dan di tubuh manusia, demikian juga dari Yang Tak Terbinasakan diciptakan
alam semesta ini,”
Keterangan : Para
resi di zaman yang lampau sering mengambil analogi atau perumpamaan dari alam
dan fenonema alam itu sendiri. Yang Maha Esa itu hadir dan mencipta terus secara
berkesinambungan, demikian juga proses alam semesta dan seluruh isinya yang
senantiasa berinteraksi, tetapi manusia cendrung tidak melihat bukti-bukti nyata
di depan mata, dan selalu mengharapkan muzizat yang bersifat instan.
9.”Melalui
tapasya yang berkesinambungan, Brahmaji penuh dengan kebahagiaan memancarkan
hasrat-hasrat kreatif demi penciptaan. Darinya terciptalah bahan-bahan makanan (tumbuh-tumbuhan),
dari bahan makanan ini terciptalah prana, sang pikiran (mana), maha panca butha,
dunia ini, hukum karma dan berbagai pahala (efek) dan akibat-akibatnya.”
Keterangan
: Kata
pahala berarti buah atau hasil, dan buah itu bisa saja ranum, mentah, asam,
busuk dan sebagainya. Kata pahala tidak berati efek yang baik seperti yang
selalu terdapat di dalam ajaran agama lain, tetapi bisa berarti multi efek
seperti diatas. Kata tapa atau tapasya sering dihubungkan dengan kata-kata tapa
brata. Memang tidak salah, tetapi tapa brata hanyalah salah satu aspek dari
tapasya yang luas sekali artinya, yang bisa juga diartikan sebagai pikiran yang
dikonsentrasikan / konsentrasikan secara berkesinambungan ke arah Yang Maha Esa.
Bunda
Sruti (seluruh sistem Shastra Widhi Hindu Dharma disebut sebagai bunda Sruti)
bersabda : “I kariyam param tapah”, yang berarti hasil perkembangan dari
suatu tapa ke arah Yang Maha Esa adalah tapa yang utama. Sloka mantra di atas
sebenarnya sangat sarat dengan arti, misalnya sang guru pasti menerangkan kepada
para sishyanya bahwasanya Brahma atau Brahmaji diciptakan dari kekosongan (dalam
Hindu Dharma Tuhan yang tak bisa diterangkan disebut Nirguna Brahman, yang bisa
berarti nihil atau kosong). Kemudian Brahmaji karena bingung melihat
kelahirannya sendiri bertapa selama jutaan tahun, baru kemudian dengan tuntunan
Yang Maha Esa menciptakan jajaran alam semesta dengan segala isinya. Proses
evolusi ini memakan jutaan tahun, bukan dalam satu hari bumi, tetapi mungkin
saja dalam satu harinya sang Brahma di Brahma-loka yang berbeda jutaan tahun
dari di bumi ini. Dari seluruh ciptaan ini satu planet kecil yang dinamakan bhur
(bumi) ini terpilih untuk menjadi pusat penciptaan manusia, jadi bumi ini adalah
salah satu loka dari berbagai loka-loka di alam semesta. Berbagai proses awal di
bumipun berlangsung selama jutaan tahun, dari air dan lumpur tercipta daratan,
mahluk-mahluk bersel satu dan seterusnya. Kemudian fauna dan flora dan setelah
semua ini siap baru manusia berproses. Seluruh ciptaan dan fenomena serta proses
yang berjalan sampai kini adalah teknologi maha karya, dan itu adalah tugas dari
sang Brahmaji (Tuhan dalam bentuk Adi Daiva). Kata manusia berasal dari kata man
(pikiran, manu = yang berpikiran, manus = banyak manu) manusia adalah bahasa
Indonesia dari kata manus tersebut. Kalau seorang manusia tidak berpikiran alias
tidak berbudi daya sebaiknya ia tidak menyebut dirinya manusia, kata orang jawa
kuno orang tersebut masih bersifat telur, belum menetas, masih bersifat wong (orang)
belum jadi manungso (manusia). Bahasa Inggris man atau men berasal dari kata
manu tersebut diatas, demikian juga berbagai ilmu kedokteran, astronomi,
kenegaraan dan lain sebagainya. Ribuan tahun yang lalu di kala manusia Hindu
sudah berevolusi dan berbudaya tinggi manusia di belahan barat masih bersifat
biadab dan berperi laku seperti binatang. Mantra Sloka diatas secara singkat
berusaha menerangkan bagaimana teori evolusi berkembang jutaan tahun yang
lalu,dunia barat baru puluhan tahun ini mengembangkan teori ini dan
mengkonfirmasikannya, tetapi selalu yang mendapatkan hadiah nobel adalah
orang-orang barat padahal selama ini ilmu ditimba dari timur. Karena kebodohan
dari timur ditambah kemiskinan dan terus menerus dijajah secara ekonomi maka
manusia di timur selalu mendambakan kehidupan seperti di barat, padahal seluruh
teknologi dan kemakmuran ekonomi mereka ternyata menimbulkan stres berat bagi
mereka karena mereka telah kehilangan hakikat dan tujuan spritual dari kehidupan
ini. Kehidupan di barat sebenarnya amat menyengsarakan mereka.
10.”Dari
Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa, Realitas Yang Maha Utama)…..yang tidak saja
sadar akan seluruh kejadian di dunia ini, tetapi juga mengamati dan mengetahui
setiap perihal kejadian-kejadian ini secara terperinci setiap menitnya, yang
pikirannya bersifat ilmu pengetahuan……terciptalah seluruh ciptaan ciptaan
ini : sang pencipta, berbagai nama dan rupa (bentuk) dan berbagai kebutuhan
hidup bagi semua ciptaan ini.”
Keterangan
: Sloka
mantra ini mengakhiri bagian satu dari bab I ini, semoga sidang pembaca dapat
menghayati isi mantra sloka ini secara baik.
Om
Tat Sat.
Dengan ini berakhirlah Bab I, Bagian 1 dari karya
Agung ini.
BAB
I
BAGIAN
2
1.“Berbagai jenis karma yang
ditemukan (dipelajari) oleh para kaum bijak, yang terdapat di dalam berbagai
mantra adalah temuan yang benar dan dilaksanakan di zaman Treta (terdapat di
berbagai Veda) laksanakanlah berbagai karma ini berdasarkan hasrat-hasrat yang
benar. Inilah caramu untuk mencapai berbagai pahala dari karma-karma ini.”
Keterangan
: Setelah menerangkan tentang ilmu yamg rendah dan tinggi sifatnya di bab
yang lalu, di bab ini sang resi mulai menjabarkan penghayatan dan pelaksanaan
ilmu yang rendah ini dengan berbagai pahala dan karma yoganya. Berbagai Veda
muncul di Zaman Treta, oleh sebab itu zaman Treta juga di kenal sebagai zaman
Veda. Upacara-upacara dan berbagai mantra yang ada di berbagai Veda seandainya
dilakukan dengan baik akan menghasilkan berbagai pahala positif, Tetapi kalau
diikuti dengan pamrih dan hasrat-hasrat tertentu maka sang pelaksana harus
memakan karma-karmanya sendiri dimasa-masa mendatang. Ingat tidak ada yang
gratis di dunia ini, semua jajaran dewa dewi harus diberi imbalan, apalagi
asuras yang membutuhkan hewan dan korban manusia terutama sang….pelaksana dan
anak kerabatnya sendiri. Bencana menyusul selalu membayangi para pemuja asura
dan dewa-dewi yang ingkar janji dan melupakan mereka, sekali terjerat dengan
berbagai upacara konsumtif, mecaru dan sebagainya. Maka kenikmatan dan
kesenangan yang di timbulkan hanya bersifat sementara saja, begitu tidak
diteruskan bencana datang melanda, lalu terulang lagi dan lagi semua upacara
penuh pamrih ini dan akhirnya sang pelaksana dan anak turunannya menjadi korban
karmanya sendiri. Sebaiknya bersyukur untuk setiap napas kita kepada Yang Maha
Esa dan memuja sesuai dengan kodrat kita tanpa pamrih lagi; akan menghasilkan
karma yang terutama yang selalu menjadi karunia bagi sang pemuja yang sederhana
sifatnya ini.
2.“Sewaktu agni (api) mulai
dinyalakan dan bara api mulai bergerak, maka sebaiknya sang pemuja menghaturkan
pujaan dan sesajen penuh dengan iman; ditengah tengah kedua bagian api suci ini
ghee (mentega murni) harus dituangkan.”
Keterangan
: Sloka mantra ini bermakna ganda. Arti yang pertama adalah tata cara
pelaksanaan sejenis agni hotra pada umumnya. Arti kedua bermakna bahwasanya
kehidupan Yang ibarat api yang selalu membara ini sebaiknya di seimbangkan
dengan mengambil jalan tengah. Ingat api kalau kecil bersahabat dan sangat
berguna untuk kebutuhan ini, kalau besar mendatangkan bencana. Di sloka-sloka
berikutnya kita akan memahami betapa upacara dan ritual yang penuh pamrih
sebenarnya sarat dengan penderitaan bagi yang melaksanakannya.
3.“Seandainya upacara agni
hotra yang dilaksanakan seseorang tidak disertai dengan:
1.Pengorbanan untuk hari tilam (darsa) dan hari purnama (purnamasa),
2.Dengan caturmasa (upacara setiap 4 bulanan), 3.Dengan Agryana (upacara
menyambut musim gugur); ataupun sekitarnya upacara tersebut tidak dihadiri oleh
seorangpun, ataupun tidak dilaksanakan pada saat yang tepat ataupun dilaksanakan
tanpa pemujaan kepada Visvadevas, ataupun tidak dilakukan secara penuh disiplin
sesuai dengan berbagai kaidah yang terdapat di Veda-Veda……maka kemudian yang
akan terjadi adalah, akibat dari pelaksanaan karma tersebut, 7 dunia sang
penyelenggara upacara ini akan hancur.”
Keterangan
: Kata 7 dunia di sloka ini sebenarnya bisa diartikan sebagai 7 generasi ke
atas atau 7 generasi ke bawah dari sang penyelenggara agni hotra ini, contoh :
ayah, kakek moyang dan seterusnya ataupun sebaliknya, contoh : putra, cucu,
cicit, dan sebagainya.
Pada
kenyataannya menurut karya sastra Upanishad ini sebenarnya upacara-upacara
keagamaan bisa berbahaya bagi sipelaku upacara atau bagi si penyelengara itu
sendiri kalau salah pelaksanaannya dan bermotivasi penuh pamrih. Di berbagai
daerah di India, Bali dan yang lain-lainnya sampai kini masih banyak upacara
termasuk mecaru yang dilakukan para pendeta dan pemangku dengan alasan dapat
menaikan derajat para fauna tersebut di masa-masa yang mendatang, ternyata
Upanishad ini berserta berbagai sastra Vidhi menjauhi hal-hal kejam tersebut
karena penuh dengan resiko spritual yang tinggi disamping tidak berdasarkan
welas-asih. Memang di zaman purana, masih penuh dengan upacara semacam ini,
karena daya nalar dan budhi manusia masih terbelakang, tetapi semenjak zaman
Upanishad Sanatana Dharma memasuki babak baru spritual yang sadar akan
keberadaan Yang Maha Esa, yang penuh dengan kasih sayang yang tidak terhingga
yang tidak memerlukan caru hewan lagi. Bhagavat-Gita yang murupakan pedoman suci
kita semuanya sudah tidak menganjurkan hal tersebut lagi. Zaman purana, Veda-veda
sudah berlalu, namun hal-hal yang masih berguna sampai sekarang silahkan
dijadikan pedoman, tetapi yang sudah bertentangan dengan Upanishads dan
Bhagavat-Gita sudah bukan pedoman lagi, demikian sudah diputuskan dari zaman
Mahabrata setelah Pandawa menang perang, jadi bukan hal baru lagi. Lagi pula
Aswa-medha yang di selenggarakan oleh Yudhistira ternyata pahalanya kalah dengan
yang yang di lakukan oleh 4 orang Brahmana miskin yaitu dengan membagikan 4
mangkuk bubur sederhana kepada Yama-dewa yang menyaru sebagai seorang Brahmana
yang kelaparan. Kalau kemudian tidak mau sadar akan hakikat ini silahkan kembali
ke zaman purana, tetapi sebagai manusia sudah tidak layak disebut insan karena
sudah berperi laku setengah binatang!
4.“Ketujuh lidah api yang
membara adalah : Kali (Dia yang berwarna hitam), Karali (Dia yang berbentuk
menyeramkan), Manojawa (Ia yang cepat ibarat sang pikiran), Sulohita (Ia yang
berwarna merah tua), Shudumravarna (Ia yang berwarna mirip warna asap),
Spulingini (Ia yang bercahaya berbinar-binar), dan Viswaruchi (Ia yang
berganti-ganti).
Keterangan
: Sekali lagi muncul istilah api yang menyiratkan Yang Maha Kuasa dalam
bentuk cahaya yang berbeda-beda yang seharusnya menjadi tujuan dari meditasi
kita. Tentu saja makna api ini bisa berbeda dari satu guru ke guru yang lainnya,
misalnya bisa disebut : Dipa, Jyoti, Agni, Devas, dan sebagainya. Ada juga yang
sangat bernilai spritual seperti ”mata ketiga:, dan ini sangat misterius
karena membutuhkan tuntunan guru yang teramat piawai.
5.“Barang siapa menghaturkan upacara ini ke bara api yang menyala terang….maka
yang dihaturkan ini akan menghantarkan sang pemuja ini ibarat cahaya mentari
yang menuntun seseorang ke sebuah loka di mana bersemayam Indra, Dewanya para
dewa.”
Keterangan
: Bagi kaum awam sloka ini akan membingungkan sekali, berikut ini adalah
penjelasannya. Di sloka sebelumnya yang di bicarakan adalah bersifat karma kanda
dan berbagai efefk-efeknya, kemudian di sloka ini Sang Surya diibaratkan sebagai
penuntun seorang pemuja ke Swargaloka. Sebelum zaman Bhagavat-Gita, sang surya
masih dianggap tuhan dan sering di sebut Pushan, karena sedemikian pengaruh
surya ke bumi ini. Hatha yoga saja bagian paling utamanya dipersembahkan ke
surya dengan sebutan Surya Namaskar dan sampai kini adalah yoga paling populer
dan menyehatkan raga. Ada juga meditasi khusus yang di persembahkan sampai kini
oleh guru-guru tertentu yang di sebut Suryo Pasana, yang dapat menimbulkan
energi dashyat bagi yang melakukannya.
Menurut
Prakriya Vedantik, setiap indriya tubuh kita dijaga oleh seorang dewa dan mata
kita ini dijaga Surya yang tanpa cahayanya kita semua akan buta seperti fauna
yang ditemukan di dalam gua tanpa cahaya atau di kedalaman lautan yang tak
tertembus oleh sinar matahari.
Telinga
didominasi oleh dewa antariksa dan seterusnya, seluruh tubuh dan sistem cakra
tubuh dijaga dengan ketat dan berfungsi karena dan oleh para dewata yang
merupakan motor-motor kecil dari seluruh sistem cakra, persendian, urat-urat
syaraf di raga kita. Kata dewa/dewata itu sendiri bermakna banyak seperti :
a. yang bercahaya atau pemberi (pembawa) cahaya.b. Yang memberi kekayaan.c. Yang memperhatikan kesehatan.d. Yang menunjukan jalan.e. Yang membuat orang atau benda lain bersinar.f. Yang menyenandungkan nada-nada musik.
Di
bagian lain ajaran Hindu Dharma raja atau pemimpin dari berbagai indriyas adalah
sang pikiran yang diibaratkan sebagai Dewa Indra, yaitu rajanya para dewa.
Karena tubuh manusia adalah buana alit dan alam semesta adalah buana agung, maka
seluruh jajaran dewa-dewi dan elemen yang hadir di buana agung itu hadir di
buana alit ini secara sempurna. Kalau di alam sana Dewa Surya adalah penuntun
para dewa ke alam Yang Maha Esa, maka di raga kita mata menuntun kita ke arah
dhyana dan membawa kita ke Sang Atman. Indriyas dalam bahasa Sansekerta selain
berarti organ-organ tubuh juga berarti “anak-anak” atau ponggawa. Semoga
penjelasan ini bisa menyiratkan secara lebih baik arti dari sloka di atas.
6.“Datanglah kesini,
datanglah kesini, ”demikian sabda bara api (persembahan) kepada sang pemuja,
dan membawanya melalui berkas-berkas cahaya Sang Surya sambil bertutur sapa
penuh kata-kata puja-puji baginya: ini adalah loka suci Sang Brahman (yang telah
dikau hasilkan) berkat pekerjaan-pekerjaan baik yang telah dikau laksanakan.”
Keterangan
: Sloka di atas masih berhubungan dengan ajaran Agni-hotra, dan terkesan
masih adanya pahala yang besar bagi sang pelaksana Agni-hotra ini dan
diibaratkan bahwa setelah seseorang penyelenggara Agni-hotra ini meninggal dunia
nanti, maka ia akan melalui berkas-berkas cahaya Sang Surya dan jiwa raganya
akan dituntun ke Brahma loka untuk mencicipi karma baiknya hasil dari
pekerjaan-pekerjaan baiknya selama ia berada di dunia ini. Tetapi coba resapi
dan hayati sloka berikutnya ini
7.“Perahu Yajna ini bersifat
sangat rapuh (adradha), dikemudikan oleh delapan belas pengemudi yang tanpa
mereka upacara ini tidak akan berarti. Orang-orang bodoh yang berbahagia karena
menganggap ritual ini sebagai hal yang tertinggi, akan kembali mengalami masa
tua dan kematian secara berulang-ulang.”
Keterangan
: 18 pengemudi (unsur) Yajna Agni-hotra adalah : enam belas pendeta yang
disebut ritviks, lalu 2 pengurus rumah tangga yaitu yang disebut Yajamana dan
istrinya. Bagi yang melaksanakan Agni-hotra demi suatu kaul atau hasrat duniawi
maka kedelapan belas unsur ini harus disebut di upacara tersebut, tanpa
kehadiran mereka Yajna tersebut tidak memenuhi syarat. Harap diingat semua
ritual duniawi ini tetap menghasilkan reinkarnasi dan derita karena tidak ada
yang gratis di dunia ini. Hasil dari berbagai Agni-hotra dan ritual-ritual yang
borospun bersifat sementara saja dan tidak pernah abadi.
8.“Manusia-manusia yang
terpesona ditengah-tengah kebodohan mereka ini, tetapi merasa bahwa mereka
adalah insan-insan bijak dan terpelajar, mereka ini akan berputar-putar kesana
kemari dan menderita ibarat orang buta yang dituntun oleh orang yang buta.”
Keterangan
: Sindiran dan pesan yang sama ini juga hadir di Kathopanishad,
Brihadaranyakopanishad, Bhagawatha-Purana, dan sebagainya. Berbagai ritual yang
sia-sia hanya mengantarkan kita kearah kebodohan spritual, tetapi pelaksanaan
dharma sehari-hari lebih bermanfaat.
9.“Terbungkus oleh cara-cara
yang bodoh, orang-orang ini berpikir secara kanak-kanak bahwa mereka telah
menghasilkan pahala dan bahkan tujuan terakhir didalam kehidupan ini. Namun
terikat oleh berbagai nafsu dan keterikatan duniawi, mereka ini (sebenarnya)
tidak pernah menggapai ilmu pengetahuan, dan kemudian mereka jatuh terjerumus
secara menyedihkan, sewaktu pahala dari berbagai kebajikan mereka usai waktunya.”
Keterangan
: Ternyata masih banyak pendeta, pemangku, orang-orang suci yang berjubah
spritual masih saja diliputi oleh kegelapan dan kebutuhan duniawi sehingga tanpa
mereka sadari sebenarnya mereka masih di situ-situ juga.
10.“Orang-orang yang bodoh
ini, walaupun telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan dan kerja-kerja
sosial utama, sebenarnya tidak memahami jalan lain untuk mendapatkan Karunia
Yang Maha Esa. Setelah menikmati swargaloka yang penuh dengan berbagai
kenikmatan, mereka kembali lagi ke dalam kehidupan ini sebagai manusia atau
bahkan ke dalam bentuk kehidupan-kehidupan yang lebih rendah sifatnya.”
Keterangan
: Jadi sorga bukan jaminan buat kita semua bahwa setelah itu kita akan lebih
suci jadinya, ternyata begitu karma pahala kita di sorga habis masanya kita
kembali menikmati neraka dan penderitaan, yang lebih runyam lagi bisa-bisa lahir
ke bentuk-bentuk yang sangat rendah derajatnya. Faktor ini harus jadi
pertimbangan untuk kita semua. Di Mahabrata dikisahkan setelah Pandawa dan
Kaurawa meninggal dunia ternyata para Pandawa juga harus melalui neraka dulu
untuk menetralisir dosa-dosa mereka, jadi upacara Megah Aswa Medha apa gunanya?
Bukankah upacara tersebut untuk membersihkan dosa-dosa para Pandawa, dan
semuanya yang gugur di Kurushetra ? Tanpa berpedoman kepada Smritis dan Srutis
bisa-bisa seluruh penalaran agama kita menjadi kacau-balau.
11. “Tetapi mereka-mereka yang melaksanakan berbagai tapa, dan sradha di
hutan, yang telah mengendalikan indiryas mereka, yang berilmu pengetahuan dan
hidup sebagai orang-orang suci, pergi melintasi jalannya (orbit) sang surya,
kebajikan dan kebatilan mereka musnah, mereka pun mencapai loka di mana
bersemayam Sang Purusha Yang Bersifat Abadi dan Tak Pernah Layu dimakan oleh
sang waktu.”
Keterangan : Jalan
atau orbit sang surya (surya dwarina) adalah rute perjalanan sang jiwa setelah
kita meninggal dunia. Ada 2 jalan yaitu yang kesatu melalui jalur Chandra
(rembulan) dan yang kedua jalurnya sang Surya.
Jalur
Surya disebut Utarayana dan jalur rembulan disebut Dakshinayana. Melalui jalan
surya orang-orang yang baik mencapai Brahmaloka dan berbagai sorga lainnya dan
kemudiaan begitu masa hidup di sorga-sorga tersebut habis, mereka kembali ke
dunia ini atau berinkarnasi sesuai
dengan karma mereka. Pembebasan murni atau yang disebut ”Kaivalya Mukti”
atau Sadyomukti (pembebasan langsung), hanya bisa dicapai oleh individu-individu
tertentu seperti Buddha, Guru Nanak, Sankara Acharya, Ramakishna Parahamsa dan
lain-lain. Beliau para resi dan utusan-utusan Yang Maha Esa ini ada yang
jasadnya sirna begitu saja, ada yang meninggal dunia dalam meditasi. Mahatma
Gandhi walaupun dibunuh sudah menyatakan kematiannya beberapa hari sebelumnya.
Di samping para kaum awam yang amat berbakti juga bisa mengalami kematian yang
tenang ini.
12.“Sebaiknya seorang
Brahmana (pemuja), setelah mempelajari berbagai loka yang telah dicapainya
melalui jalur karma, mencoba untuk mencapai kebebasan dari berbagai keinginan,
sambil merenungkan bahwa tiada sesuatupun yang bersifat abadi itu dapat dicapai
melalui jalur karma. Sebaiknya ia dalam mencapai ilmu pengetahuan abadi ini,
membawa air pengorbanan (samitpanih) di kedua tangannya dan mempersembahkan
tirta ini kepada seorang guru spritual yang piawai, yang sarat dengan
pengetahuan tentang Veda dan telah bersatu dengan Sang Brahman (Yang Maha Esa).”
Keterangan
: Secara spritual seorang sadhaka (pencari kebenaran), atau seorang sishya
di jalan spritual yang sedang mempelajari dharma disebut Brahmana juga.
Seseorang tidak begitu saja tertarik untuk masuk ke jalan spritual ini. Menurut
ajaran Sanatana Dharma biasanya masa-masa lalunya yang mendorong insan tersebut
untuk lebih progresif lagi di kelahiran selanjutnya. Sloka di atas menyiratkan
bahwa seorang sishya yang pernah hidup di loka-loka yang pernah dicapainya,
dalam kehidupan selanjutnya bisa mendapatkan seorang guru yang akan membawanya
ke strata yang lebih tinggi dan bukan ke sorga atau loka-loka yang pernah
dicapainya, karena sorga-sorga ini tidak abadi sifatnya. Untuk berguru ada
syarat sederhana yaitu dengan membawa air dan mencuci kaki gurunya sebagai tanda
pemasrahan diri secara total. Guru yang dimaksud haruslah seorang yang
betul-betul tanpa pamrih dan teramat luas pengetahuannya.
Biasanya
bagi yang sudah ”jodoh” atau yang memang memiliki karma khusus antara guru
dan murid, maka jalinan spritual mereka pun akan sangat khusus sekali, kemudian
ada golongan murid-murid biasa yang umumnya belajar ke sang guru untuk lebih
maju bidang materinya dan berbagai alasan lainnya. Untuk jenis golongan yang
kedua ini sang guru tidak akan menurunkan kesaktian maupun pembangkitan
spritualnya. Guru yang teramat bijaksana ini sulit didapatkan, tetapi masih
banyak yang eksis dan tidak terkesan sebagai guru spritual karena ibarat padi
yang makin bunting akan makin merunduk, demikian juga insan-insan yang suci,
tidak mau menampilkan diri mereka secara sejati dan di zaman kali ini mereka
hidup seperti manusia lainnya, bekerja sehari-hari dalam berbagi kegiataan.
13.“Kepada sang sishya yang
telah menghampirinya penuh dengan rasa hormat, yang jalan pikirannya telah
tenang dan yang berbagai indriyasnya berada dalam keadaan terkendali, maka
kepadanya, oleh seorang guru yang baik diajarkan Brahma Vidya (ilmu pengetahuan
tentang hakikat Sang Brahman) secara benar, melalui ajaran ini sang murid
akan mengerti arti sebenarnya akan Sang Purusha Yang Maha Abadi dan
Hakiki.”
Keterangan
: Sruti mengisyaratkan bahwa guru spritual yang bijak dan suci dan
berkwalitas memerlukan murid yang baik dan begitupun sebaliknya. Dengan memahami
hakikat Yang Maha Esa dari guru semacam ini maka seseorang tidak perlu lagi ke
Brahma loka yang menjadi dambaan banyak insan di dunia ini karena loka tersebut
juga punya masa habis. Guru yang suci bisa menuntun seseorang langsung ke Yang
Maha Esa dan menyatu dengannya. Seandainya kita sadar bahwasanya bumi ini adalah
sebuah sekolah spritual yang
terbaik di alam semesta ini, dan dilahirkan sebagai manusia ini sebenarnya
merupakan evolusi spritual bagi sang jiwa itu sendiri dalam melanglang buana
dari satu kehidupan ke hidupan yang lainnya maka insan tersebut akan terbuka
”mata ketiganya” dan sadar betapa mulianya ciptaan Tuhan yang disebut
manusia ini.
Dengan ini berakhirlah Bab I, Bagian ke II
BAB
II
BAGIAN
I
1.“Ini adalah kebenaran;
ibarat percikan api yang berjumlah ribuan dan berbentuk sama dan memancar keluar
dari bara api, demikian juga dari Yang Maha Abadi lahirlah berbagai bentuk jiwa
muda dan mereka kemudian mencari jalan kembali ke asalnya.”
Keterangan
: Kalau di dalam bab I diuraikan secara panjang lebar berbagai fenonema akan
“ilmu yang rendah” ini, maka di bab II ini akan diterangkan berbagai
penjelasan akan ilmu yang bersifat maha ini. Namun begitu menerangkan Hakikat
Yang Maha Esa dengan sarana bahasa seberapapun canggihnya dan indahnya masih
saja tetap kurang dan tidak akan mampu mengungkapkan keagunganNya karena beliau
ini memang serba maha dalam berbagai aspek.
Mundakopanishad pun berusaha sebisa mungkin, selanjutnya terletak pada
intuisi, nalar dan kemampuan serta persiapan kita dalam memahami ajaran
Upanishad ini yang pernyataan-pernyataannya bisa terkesan sangat kontroversial.
Adalah
suatu perihal kebenaran bahwasanya kita semua berasal dariNya dan diayomi
olehNya untuk kemudian kembali kepadaNya juga, ibarat percikan-percikan api
(yang juga) adalah api itu sendiri yang berasal dari bara api kemudian
menghilang dan mencari jalan kembali keasalnya.
2. “Bercahaya sendiri (Divyo),
tanpa bentuk, tanpa asal mula dan hakiki, Yang Maha Hadir ini bersemayam di
dalam dan di luar (setiap benda dan mahluk), permulaan dalam (setiap) kehidupan
dan pikiran; Beliau melampaui bahkan yang tergaib, yang tak bermanifestasi,
Beliau adalah asal-muasal alam semesta ini.”
Keterangan : Seandainya
semua jiwa di alam semesta adalah percikan-percikan api lalu konon seperti
apakah bara api itu sendiri. Upanishad yang satu ini sedang menjabarkannya
secara terperinci. Yang Maha Esa di sloka mantra di atas disebut Divyo yang
berarti bercahaya melalui cahaya yang berasal dari diriNya sendiri yang tak
terangkan. Berbagai ajaran dan kepercayaan lainnya mrenyiratkan Yang Maha Esa
dalam bentuk api, cahaya, nur, dan sebagainya. Yang kesemuanya ini tak mampu
dijabarkan kecuali dihayati. Sang Maha Cahaya ini bersifat Hakiki dan merupakan
asal muasal seluruh alam semesta dan isinya, dan juga hadir di tengah-tengah ke
dua alis mata kita (Apo Jyoti) dan menjadi fokus meditasi para sadhaka di jalur
Dhyana Yoga.
3.“DariNya
lahir Prana (kehidupan), pikiran, berbagai organ tubuh, Akasa (ether), angin,
api, air dan bumi yang menyanggah semuanya ini.”
Keterangan : Dari
sloka mantra ini jelas sekalli diterangkan bahwa seluruh penunjang kehidupan ini
dan berbagai produk kehidupan lahir atau tercipta dari Sang Brahman dan bumi ini
dipersiapkan untuk menyanggah dan mengayomi dan melahirkan (menciptakan)
berbagai produk-produk kehidupan baru secara berkesinambungan, seperti manusia,
mahluk halus, fauna, flora, kuman, virus, dan sebagainya. Bumi juga memelihara
dan mengembang-biakkan semua ciptaan ini secara berkesinambungan dan penuh
dengan ”welas asih” yang diimbangi dengan hukum alam itu sendiri. Dalam
Sanatana Dharma, Manifestasi Tuhan diwujudkan dalam tiga elemen utama yaitu,
Bhur (bumi), Bwah (alam semesta dan segala isinya ), Swah (kekosongan yang
menyelimuti alam semesta dan segala isinya ini, termasuk bumi). Khusus berbicara
tentang bumi pertiwi ini, maka dibutuhkan evolusi selama jutaan tahun untuk
berubah seperti dewasa ini; khusus untuk penciptaan manusi bumi harus bekerja
keras dalam mempersiapkan seluruh sarana yang dibutuhkan oleh manusia ini
seperti fauna dan flora yang lengkap, belum lagi lima elemen maha panca butha
dan sang jiwa itu sendiri.
Dalam Sanatana Dharma bumi adalah wujud dari Yang Maha Esa
itu sendiri dan disimbolkan sebagai sebuah titik paling atas di simbol OMKARA,
kemudian baru bulan sabit (simbol alam semesta), kemudian lengkungan di sebelah
kanan huruf/aksara 3 yang melambangkan kekosongan antariksa. Ketiga unsur ini
disebut AUM, A = Brahma, Pencipta, Kekosongan : U = Vishnu, Pengayom, Alam
semesta ; M = Shiva, Pendaur ulang setiap jiwa, Bhumi. AUM juga disebut Tri-loka,
dikenal juga sebagai Tri-Shakti : Saraswati,
Laksmi dan Durga, AUM juga adalah Ganeshya, yang melambangkan ilmu pengetahuan
duniawi (gading yang retak) dan ilmu pengetahuan yang sejati (gading yang
sempurna). Tidak ada upacara dharma yang dilakukan tanpa memulai mantra dengan
OM (AUM) dan diawali dengan mantra Ganeshya yang adalah dewanya para dewa.
Kembali ke bumi, maka beliau juga dikenal sebagai ibu atau
bunda (Mariaman) dalam bahasa Tamil (Dravidia), dengan kata lain bumi itu adalah
perwujudan dari Tuhan itu sendiri dalam bentuk ibu. Itulah sebabnya bumi
dimanifestasikan sebagai Saraswati yaitu Dewi dari kultur budaya, peradaban,
sastra-widhi, Ilmu pengetahuan, rasa keindahan dan kasih sayang dan sebagainya.
Bumi juga dimanifestasikan sebagai Laksmi yaitu
Dewi Kemenangan, Sri Dewi
kemakmuran dan kejayaan. Bumi juga dimanisfestasikan sebagai Dewi Durga,
Perthiwi, Uma. Juga sebagai Kali dan keseluruhan dari dewi-dewi ini adalah
Gayatri, yaitu ibu alam semesta yang bertubuh satu tetapi berkepala lima,
masing-masing Saraswati, Laksmi, Parwati, Durga dan Kali. Gayatri adalah Sang
Maya, Ilusi Ilahi Tertinggi yang membawa kita ke Sang Purusha, yaitu sang bapak,
Yang Maha Esa itu sendiri. Tuhan dalam bentuk ibu menuntun kita keTuhan dalam
bentuk Bapak, kemudian melebur jiwa kita ke dalam dirinya yang diatas kedua
unsur tersebut, inilah yang disebut Manunggaling Kawula Gusti yang sulit
dijabarkan dengan kata-kata.
Gayatri adalah juga mantra tertinggi yang merupakan sari pati
dari 108 Upanishads yang dilambangkan dengan Ganatri (tasbih), dan kekosongan
atau nol di dalam lingkaran tasbih itu melambangkan Omkara. Tanpa disadari kita
semua, seluruh ajaran mengenai bumi ditiru oleh ajaran-ajaran lainnya dan hampir
semua doa, sholat, sembah, puji-puji selalu mengarah dan menyentuh bumi dengan
berbagai gaya dan cara. Tasbih yang adalah lambang bumi dan alam semesta menjadi
tasbih bagi semua umat seperti umat katholik, Islam, Buddhist, Tao dan
sebagainya.
5.“Darinya
diciptakan langit (api yang pertama) yang bahan bakarnya adalah mentari (surya);
dari rembulan diciptakan awan (api yang kedua); dari awan (curah hujan)
diciptakan tumbuh-tumbuhan di atas bumi (api yang ketiga), dari ini
semua,diciptakan pria (api yang keempat), yang memancarkan air maninya ke rahim
wanita (yoni) atau api yang kelima, demikianlah berbagai bentuk kehidupan ini
dilahirkan dari Sang Purusha.”
Keterangan : Sloka
mantra di atas adalah laporan tangan pertama dari ”iptek” yang ditelusuri
secara spritual oleh para resi guru di zaman-zaman yang lampau. Dunia barat baru
sadar beberapa abad yang lalu mengenai hal-hal ini. Dapat dibayangkan betapa
canggih dan majunya budaya Sanatana Dharmaini di masa-masa yang lalu yang
mencakup hampir semua bidang kehidupan termasuk kedokteran, astronomi, dan
sebagainya. Dari segi spritual berbagai api ini bermakna sangat sakral dan
merupakan ilmu pengetahuan tersendiri, demikian pesan para resi guru. Di
Chandogya-Upanishad, terdapat ajaran yang disebut “meditasi kelima bentuk (rupa)
Agni”. Bagi yang memahaminya Upasana ini tersirat di sloka mantra diatas. Di
India dan juga di Indonesia pada masa yang silam (yang masih dilakukan oleh
beberapa kalangan aliran kepercayaan sampai kini) terdapat beberapa berbagai
bentuk Upasana seperti meditasi dengan memanfaatkan prana dari Sang Surya, dari
rembulan (disebut kum-kum), prana lautan, sungai, sumur, kolam, dan sebagainya
seperti prana bumi, prana suara (ning), prana ether,dan juga gabungan dari
berbagai prana ini seperti cahaya surya dan prana lautan. Upasana yang sama
dapat menghasilkan ilmu hitam seandainya dilakukan secara sembarangan atau
dengan tujuan kebatilan.
Dari hujan tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan, dari
tumbuh-tumbuhan ini setelah dimakan mahluk hidup terciptalah sperma. Ini disebut
hubungan langsung antara tumbuh-tumbuhan dan mahluk hidup tersebut. Hubungan
yang tidak langsung adalah tumbuh-tumbuhan tersebut dimakan oleh binatang
seperti kambing, sapi, dan sebagainya. Dan kemudian binatang atau hewan ini
disantap oleh manusia atau hewan lain. Produk sperma yang tidak langsung
bersifat hewani bagi hewan dan bagi manusia bisa bersifat hewani atau setengah
hewani. Jadi dianjurkan untuk bersantap sajian vegetarian agar didapatkan
turunan yang satvik sifatnya. Protein hewani didapatkan dari susu dan
produk-produk sampingan dari susu, seperti yogurt, keju, dan sebagainya. Dan
bukan dengan menyantap hewan. Ingat susu ibu selama masa jabang bayi kita mampu
menghidupkan dan menumbuhkan kita, demikian juga suplemen susu sapi mempunyai
keampuhan yang sama untuk mahluk dewasa. Semua jenis hewan termasuk ular
menyukai susu sapi. Demikianlah bumi dan alam semesta telah diciptakan secara
sistimatis dan dalam rangkaian teknologi yang begitu canggih sehingga manusia
tinggal melaksanakan beberapa upaya saja tanpa dilandasi ego dan pamrih.
Penyantapan hewan akan menghasilkan elemen-elemen asuras di
dalam jiwa dan raga kita, begitu juga konsumsi rokok dan alkohol, apalagi
narkotik karena tidak sinkron dengan jiwa raga kita yang tidak diciptakan untuk
tujuan tersebut.
Di India terdapat sebuah hari raya besar yang disebut
Deepavali yang merupakan permulaan tahun Syaka setiap tahunnya. Selama tiga hari
pemujaan kepada Yang Maha Esa disampaikan dengan memuja Dewi Saraswati, Ganeshya,
Laksmi dengan maksud menyadarkan manusia bahwa kehidupan manusia ini sia-sia
tanpa dilandasi oleh elemen Saraswati, yaitu welas asih, budaya, etika,
keindahan dan pemahaman akan Veda-Veda. Kemudian tanpa elemen Ganeshya yaitu
ilmu pengetahuan dan Laksmi yang merupakan elemen dinamika, keberanian, dharma,
dan kemakmuran, maka manusia itu sama dengan hewan biasa. Ketiga elemen kalau
digabung dan dihayati baru bisa memberi makna kepada manusia dan baru bisa
mengantar kita semua ke Hyang Maha Agung, tanpa itu pemujaan dan kehidupan ini
bersifat semu dan hanya untuk kepentingan diri pribadi saja. Sloka mantra diatas
akan lebih bermakna seandainya kita semua mempelajari Bhagavat-Gita khususnya
bab 13 secara utuh.
7.“DariNya
lahir ketujuh sifat (bentuk) Prana, ketujuh bentuk bara api, ketujuh bentuk
bahan bakar, ketujuh lipatan (lapis) bentuk pengorbanan, dan juga ketujuh loka
di mana berbagai Prana ini bergerak di dalam relung-relung raga (setiap) mahluk
hidup; tujuh dan tujuh.”
Keterangan :
Aksara tujuh bukanlah aksara pemanis, tetapi memang bermakna secara spritual.
Sri Shankara Acharya, filsuf terkenal di zamannya, pernah mengatakan bahwa yang
dimaksudkan ketujuh prana ini adalah ketujuh indriyas vital kita, yaitu 2 mata,
2 lubang hidung dan mulut semuanya ini berada di bagian kepala. Kemudian lubang
anus dan kemaluan, telinga tidak dihitung karena dianggap tidak mengeluarkan
prana. Kemudian ketujuh bahan bakar adalah berbagai objek yang mempunyai
hubungan ke tujuh prana tersebut.
- Ke tujuh bentuk pengorbanan diartikan sebagai berbagai ilmu
pengetahuan dan kekuatan yang
didapatkan dari pelaksanaan berbagai prana. Seharusnya semua pelaksanaan
prana-prana ini demi “pengorbanaan/persembahan” kepada Yang Maha Esa dari
mana semua ini berasal.
- Ke tujuh loka bisa berarti tujuh cakra utama di alam raya
maupun yang terdapat di raga manusia yang menjalankan fungsi prana vital baik
secara buana agung maupun secara buana alit.
Angka atau tujuh dengan demikian selalu berhubungan dengan alam semesta
itu sendiri dan secara spritual dianggap sakral.
8.“DariNya
lahir, semua samudra dan semua pegunungan; dariNya lahir berbagai jenis dan
bentuk sungai; DariNya juga lahir semua bentuk tanam-tanaman dan sari yang
dikandung berbagai tanaman ini yang menghidupi badan halus (berbagai mahluk
hidup) yang terbungkus oleh raga kasar (badan ini).”
Keterangan : Sloka
mantra diatas menggambarkan bagaimana bumi ini dibentuk dan dirancang melalui
proses evolusi alam yang sebenarnnya berasal dari Yang Maha Esa secara
sistimatis. Seluruh sarana di bumi ini kemudian dipergunakan oleh manusia,
tetapi tidak berarti lalu manusia ini boleh bertindak secara sembrono dan
merusak bumi ini, tetapi mengambil yang diperlukan saja. Dari berbagai
tumbuh-tumbuhan ini diproduksi berbagai sari kehidupan untuk konsumsi dan
kesehatan manusia secara satvik, sisanya bisa dipergunakan untuk berbagai
kebutuhan hidup lainnya, Seluruh potensi alam dari mentari ke bumi dapat
dipergunakan untuk keperluan teknologi asal manusia yang berakal budi mau
memanfaatkannya secara hati-hati. Sloka diatas juga mengatakan berbagai makanan
yang sehat bukan saja bermanfaat bagi raga kasar kita tetapi juga kepada prana
dan jiwa dan badan halus kita.
9.“Sang
Purusha itu secara pribadi adalah seluruh alam semesta ini, seluruh bentuk karma
dan tapa. Semua adalah Brahman, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Abadi; dan wahai
pemuda yang tampan, barang siapa memahami (fenonema) ini, yaitu yang bersemayam
di relung paling dalam setiap mahluk hidup, maka olehNya akan dibukakan
simpul-simpul kebodohan insan tersebut, di dunia ini juga.”
Keterangan : Barang
siapa sadar akan makna sloka mantra di atas, maka kebodohannya selama ini bisa
terhapus oleh kesadarannya sendiri. Kalau saja kita mau merenungkan hakikat
penciptaan ini maka akan terungkap makna kehidupan ini secara perlahan tapi
pasti. Dengan ini diakhiri pesan-pesan spritual mengenai harapan, kebebasan dari
kebodohan dan kegelapan yang selama ini menyelimuti kita.
OM
TAT SAT
Akhir Bab II, Bagian 1
BAB I I
BAGIAN 2
1.“Terang
benderang hadir sangat dekat, bergerak di dalam hati sanubari;di dalamnya
terpusat seisi alam semesta; (dan juga) apa saja yang bergerak, bernafas dan
berkerdip. Fahamilah (zat) itu yang tanpa bentuk dan juga yang berbentuk,Yang
Maha Dikagumi,Yang Maha Tinggi diantara yang hidup dan, satu-satunya Yang Maha
tak terjangkau oleh pemahaman berbagai mahluk hidup.”
Keterangan : Sruti
mencoba sekali lagi tanpa bosan-bosannya dan menegaskan sekali lagi dengan
berbagai paradox, metafor dan perumpamaan akan berbagai manifestasi dan wujud
Yang Maha Esa baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Kata terang
benderang ataupun gilang gemilang adalah salah satu manifestasinya yang berupa
cahaya yang bisa terlihat di dalam diri kita sendiri maupun di luar diri kita,
seperti dalam meditasi kita, di suatu tempat yang sakral, dan berbagai
pengalaman lainnya. Beliau Hyang Maha Esa adalah sumber dari segala cahaya di
alam semesta ini.
Hadir sangat dekat, adalah gambaran atau posisi Sang Atman
yang sebenarnya dekat sekali bersemayamnya yaitu di dalam diri kita sendiri,
dengan memfokuskan dhyana kita ke dua alis mata tepatnya ditengah-tengah kedua
alis mata kita secara suci dan berkesinambungan tanpa pamrih,maka sinar beliau
akan dikaruniakan kepada kita. Buat apa mencari Tuhan jauh-jauh ke kuil maupun
ke pura, atau dengan memuja arca atau lain sebagainya, kalau sebenarnya bisa
dicapai melalui diri sendiri.
Bergerak di dalam hati sanubari, adalah sisi lain Sang Atman
yaitu budhi atau daya intelek positif yang hadir di dalam nurani kita sendiri.
2.“Bercahaya
lebih lembut dari pada yang terlembut, Sang Brahman Yang Tak Terbinasakan ini
adalah wahana seluruh dunia dan isinya ini. Beliau adalah kehidupan, wicara,
pikiran, realitas dan keabadian. Tanda-tanda ini seharusnya difahami oleh sang
pikiran. Masukilah (fahami dan pelajarilah), wahai sahabatku.”
Keterangan : Sang
guru (Sruti) di sloka mantra di atas menjadi begitu lembut hatinya karena
terliput oleh pemahamannya akan Yang Maha Esa sehingga ia menyebut
muridnya”wahai sahabatku”, ini di karenakan sang murid telah menghayati
ajaran-ajarannya dengan baik sehingga terjalin tali spritual diantara mereka
berdua ibarat Sang Krishna dan Arjuna. Fenomena ini sulit dicapai oleh simurid
dari seorang guru yang penuh welas asih tetapi juga bersifat ketat dalam
menjalani disiplin spritualnya. Di sloka mantra berikutnya akan diterangkan
bagaimana caranya memasuki dan memahamiNya.
3.”Setelah
mengangkat gandawa (busur panah) yang dibalut oleh berbagai Upanishad……senjata
maha dashyat……dan kemudian meletakan anak panah yang diarahkan berdasarkan
pengamatan (fokus) meditasi yang terus menerus dan dengan memusatkan sang
pikiran ke arah Sang Brahman, lepaskanlah anak panahmu wahai pemuda tampan! Ke
titik pusat……yaitu Sang Brahman Yang Abadi.”
4.”Sang
Pranawa adalah gandawanya, Sang Atman adalah anak panah,Sang Brahman dikatakan
sebagai titik pusat. Dan titik pusat ini harus dituju oleh seseorang yang telah
mandiri (mantap) didalam dengan jati dirinya agar yang menuju dan yang dituju
menjadi satu yaitu dengan Sang Brahman (anak panah yang menancap tepat pada sang
titik pusat dianggap menyatu dengan titik tersebut).”
Keterangan : Para
penghayat spritual di India berdecak kagum akan isi kedua sloka mantra di atas,
karena bagi yang memahaminya dan sanggup menghayati makna paling dalam, maka
kedua sloka tersebut sebenarnya merupakan inti sari dari seluruh ajaran Sanatana
Dharma yang diturunkan dari masa ke masa, dari satu Avatara ke Avatara yang
lainnya dan seterusnya. Satukan Sang Atman yang ada di dalam dirimu dengan Sang
Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Ada perumpamaan yang tersembunyi di sloka mantra di atas yang
harus direnungkan : Sewaktu anak panah diangkat dan diletakkan di atas Gandiwa
maka tidak akan terdengar suatu bunyi atau suara apapun juga, tetapi suatu anak
panah melesat ke sasaran maka akan terdengar dengungan lembut dan suara ini
berhenti begitu anak panah sampai ke sasaran. Ibaratkan suara dengungan tersebut
adalah mantra Om yang lembut. Dan sewaktu anak panah melesat maka anak panah ini
melalui ruangan kosong (udara) agar sampai ke sasaran; tidak mungkin dengan cara
lain. Begitupun jalan dhyana untuk sampai ke Sang Brahman, sang jiwa yang
menyandang Sang Atman yang bersemayam didalam diri kita harus dilatih dahulu
secara terus menerus ibarat Arjuna berlatih panah, begitu mahir dan sudah
menjadi ahli baru membidik ke arah yang tepat. Kehidupan spritual ternyata
memerlukan ketekunan, latihan, kekosongan ibarat anak panah tersebut.
5.”Beliau
yang di dalamnya terpusat langit dan bumi dan kekosongan yang meliputi seluruh
alam semesta, juga sang pikiran dan seluruh bentuk-bentuk prana……fahamilah
diriNya semata sebagai Sang Jati Diri yang Maha Tunggal bagi semuanya, dan
jangan lagi membicarakan hal-hal diluar ini. Inilah jembatan bagi insan yang
menyeberangi jalan spritualnya agar sampai ke pantai Keabadian.”
Keterangan :
Diantara manusia dan Yang Maha Esa walaupun jaraknya dekat sekali, ternyata
terdapat suatu ”samudra yang luas” yang memisahkan keduanya ini. Samudra
tersebut adalah kebodohan atau kekurangan pengetahuan kita semua akan hakikat
kahidupan ini, akan hakikat jiwa raga dan tujuan yang kita sandang dalam
perjalanan (yatra) spritual ini. Hanya dengan memahami OM secara benar kita akan
mampu menyeberangi kebodohan kita. Pelajarilah wahai manusia dirimu sendiri,
demikian selalu sabda-sabda yang dikumandangkan oleh para resi guru. Mantra
sloka selanjutnya perlu kita simak dengan seksama.
6.”Dimana
semua urat-urat syaraf bertemu ibarat jeriji-jeriji sebuah roda yang terpusat di
as…..demikian juga Beliau bergerak di dalam hati kita, sambil melipat gandakan
DiriNya. Semoga Yang Maha Esa menuntunmu secara cepat melintasi lautan kegelapan
ini.”
Keterangan : As
sebuah roda adalah pusat dari sebuah roda di mana satu jeriji dihubungkan dengan
jeriji yang lainnya. Salah satu dari ujung jeriji ini berada di as dan ujung
lainnya di masing-masing posisi melingkar/di bagian dalam roda. Nampaknya sebuah
as adalah perangkat lunak yang sederhana namun tanpa as seluruh mekanisme roda
tidak akan bergerak dan akibatnya tahu sendiri. Di sloka mantra ini Yang Maha
Esa dibaratkan sebagai as tersebut.
Kemudian, ada lagi petunjuk tersirat di Sruti, yaitu Yoga
Sastra di mana terdapat petunjuk akan adanya 82 ribu nadi (syaraf-syaraf lembut)
di dalam raga kita yang berpusat pada as di raga kita ini. Dunia kedokteran
barat tidak bisa menemukan syaraf-syaraf ini karena merupakan cahaya-cahaya
prana yang sangat lembut dan transparan seperti jiwa kita sendiri. Syaraf-syaraf
ini merupakan penghubung pikiran, rasa, dan lain sebagainya ibarat motor-motor
yang bergerak terus tanpa lelah. Om adalah pusat dari jiwa raga dan Atman
kita,jadi sebaiknya berfokus diri ke OM yang bahkan didambakan oleh para
dewa-dewa itu sendiri. Terjagalah dari kebodohanmu, sabda para resi.
7.”Beliau
(Tuhan Yang Maha Esa) ini bersifat Maha Bijaksana dan Maha Tahu,milik Beliau
seluruh berkah di bumi ini dan berbagai manifestasi-manifestasinya. Di langit
yang terdapat di dalam relung hati sanubari kita…….di Brahmapure Sang
Brahman yang penuh dengan cahaya gemerlapan…….Beliau bersemayam berjubahkan
sang pikiran dan menuntun kehidupan dan raga (kita semua). Dengan tahtanya yang
terletak di hati kita, Beliau menghidupi seluruh raga manusia. Seseorang bijak
yang meneliti ilmu pengetahuan yang sempurna akan DiriNya akan menyadari tahap
keabadian yang amat membahagiakan ini.”
Keterangan : Kata
Brahmapure dibaca Brahmapuri; puri bisa berarti kerajaan bisa juga tempat yang
suci, contoh Dewapuri (tempat tinggal para dewa). Sedangkan pura dalam bahasa
Sansekerta berarti tempat yang ramai (kota), contoh : Jodhpur, Amlapur, dan
sebagainya. Orang bijak yang bertirtayatra ke berbagai tempat suci dan akhirnya
mencapai kebahagiaan spritual sejati disebut dhirah. Jadi ibarat seorang dhirah,
barang siapa dapat menghayati ajaran Upanishad ini akan mencapai kebahagiaan
spritual sejati dan hakiki yang sulit dijabarkan dengan kata-kata karena
merupakan anugrah kebahagiaan yang tertinggi yang diberikan Sang Atman (Sang
Jati Diri) kepada jiwa individu tersebut.
8.”Sewaktu
ia telah menyaksikan kedua sisi yaitu yang lebih tinggi dan yang lebih rendah,
maka simpul pengikat hatinya akan terlepas; seluruh keraguan-keraguannya akan
sirna; dan seluruh karma-karmanya akan terserap habis.”
Keterangan :
Bhagavat-Gita mengajarkan seluruh ajaran-ajarannya agar seseorang mencapai
pemahaman akan hakikat dari manifestasi sang jiwa (yang lebih rendah) dan Sang
Atman (yang lebih tinggi). Begitu ego dan ikatan-ikatan duniawi terlepas, maka
yang lebih rendah akan memahami yang lebih tinggi. Kedua faktor ini hadir dalam
setiap raga manusia, dan kalau sang jiwa berhasil melebur jadi satu dengan Sang
Atman, maka terjadilah penyatuan yang dalam bahasa jawa kuno dikenal dengan
sebutan ”Manunggaling Kawula Gusti”, yaitu penyatuan antara Sang Hamba dan
Sang Gusti. Di sana bahkan dharma dan adharmapun melebur menjadi satu. Baca
Asthavakra-Gita seandainya anda sudah membaca dan mempelajari Upanishad ini dan
juga Bhagavat-Gita, agar tercapai pemahaman yang lebih baik akan kesatuan antara
Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa).
9.”Yang
Tak Ternoda, Yang Tak Terbagi-bagi, Yang Murni, cahaya dari semua cahaya,
bersemayam di dalam relung hati sanubari yang paling dalam. Itulah yang difahami
oleh mereka-mereka yang memahami Sang Atman.”
Keterangan :
“Relung hati yang paling dalam”, diibaratkan sebagai sarung pedang yang
terbuat dari mas (Hiranmaye pare koshe). Ujung bagian paling depan, bagian
didalamnya tentunya gelap dan tak terhembus pandang, demikian juga relung
sanubari manusia yang paling dalam. Tetapi ternyata di dalam relung inilah Yang
Maha Esa itu bersemayam, dan Beliau sebenarnya adalah Maha Cahaya dari semua
cahaya duniawi dan spritual.
10.”Di
sana Sang Surya tidak bersinar, tidak juga sang chandra (rembulan) dan juga
tidak bintang-bintang; berbagai cahaya ini juga tidak bercahaya……lalu
bagaimana halnya dengan api duniawi ini ? Pada hakikatnya semua cahaya ini
bercahaya mengikuti Beliau yang penuh cahaya. Seisi jagat raya ini diterangi
oleh Cahaya Beliau.”
Keterangan : Inilah
mantram yang amat terkenal yang senantiasa dijapakan pada saat melaksanakan arti
yaitu pelaksanaan pemujaan sehari-hari ataupun di kuil dan di perayaan tertentu.
Arti ini terdiri dari sebuah talam yang ditaburi bunga-bunga harum warna-warni,
campher, dupa, vibhuti, tilak merah dan kuning, sedikit beras dan bubuk cendana,
dan boleh ditambahkan pelita kecil.
“Di sana tidak bersinar sang surya dan rembulan….”adalah
lokanya Yang Maha Kuasa karena loka tersebut adalah sumber cahaya Keabadiaan itu
sendiri, dan seluruh cahaya yang disandang dan dipancarkan oleh apapun juga di
alam semesta ini bersal DariNya semata. Di Bhagavat-Gita loka atau Yang Maha Esa
ini diibaratkan seperti 1000 mentari yang bersinar sekaligus. Tetapi fenomena
ini baru dijabarkan secara duniawi (buana alit); dari sudut spritual cahaya ini
ternyata juga berada di dalam relung hati kita yang paling dalam, dan dapat
dicapai oleh kita semua seandainya hakikat Yang Maha Esa bisa dianugrahkan
kepada kita. Pengalaman tersebut pleh para resi disebut sebagai sesesuatu yang
dashyat dan amat menakjubkan.
11.
“Pada hakikatnya semua (fenomena) ini adalah Sang Brahman yang Maha
Abadi, (Beliau) hadir di atas, di bawah, di depan dan di belakang, di sebelah
kanan dan kiri, Beliau hadir di mana-mana : Seluruh alam semesta ini pada
hakikatnya adalah sang Brahman Yang Maha Kuasa.”
Keterangan : Sruti
menutup bab ini dengan menegaskan sekali lagi secara sangat meyakinkan bahwa
Yang Maha Esa itu hadir di mana saja dan bahkan dikedalaman pikiran dan intuisi
kita. Seluruh alam semesta yang disebut jagat raya ini dan segala isinya terisi
olehnya semata, Beliau inilah ajaran Sruti dan jelas dijabarkan oleh Raja Janaka
dan Resi Ashtavakra di Ashtavakra Gita. Sewaktu yang mencari dan yang dicari
menjadi satu, maka tercapailah moksha di bumi ini dan itu terjadi sewaktu
seseorang itu masih hidup. Itulah hakikat pencapaian seorang manusia, pencapaian
yang tertinggi !
Dengan ini berakhir Bab II, Bagian 2
BAB III
BAGIAN 1
1.”Dua
ekor burung yang terjalin dalam suatu kesatuan persahabatan yang intim, hinggap
di sebuah pohon berjati diri sama. Burung yang satu menyantap buah-buahan pohon
tersebut, penuh dengan rasa nikmat, sedangkan yang satunya lagi memandang terus
tanpa menyentuh apapun.”
Keterangan : Sloka
mantra di atas oleh para resi dianggap sakral karena amat bermakna. Burung yang
satu adalah Jivatman (sang jiwa) dalam diri kita semua, sedangkan burung yang
satu lagi adalah Sang Jati (Atman) yang juga adalah Paramatman yaitu Yang Maha
Kuasa yang hadir dan menjadi saksi dalam diri setiap individu. Tragisnya hampir
semua manusia di dunia tidak sadar akan hakikat ini. Pohon adalah raga kita dan
berbagai aspek karma dan kehidupan kita yang dilambangkan oleh cabang, ranting,
dedaunan, biji, bunga dan seterusnya. Serangga, semut, nyamuk, ulat, kupu-kupu,
belalang, burung, dan lain sebagainya adalah pengunjung pohon ini, yang berarti
dampak dari kehidupan itu sendiri yang berinteraksi dengan berbagai aspek
kehidupan itu sendiri. Anehnya burung yang satu (jiwa) terbius oleh ilusi
duniawi yang pekat dan tidak sadar akan burung Yang Maha (Sang Penuntun) yang
hadir di sebelahnya.
2.”Bertengger
di pohon jati diri yang sama, salah seekor burung ini, yaitu sang ego…..tenggelam
di dalam kebodohan dan tersesat; (kemudian) sang burung ini meratapi ketidak
berdayaannya. Namun sewaktu ia menatap ke burung yang satu lagi…..yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa, Yang Maha Terpuja……dan KeagunganNya, maka burung ini pun
lalu lepas bebas dari keputus-asaannya.”
Keterangan : Yang
di sebut ego di sloka mantra ini adalah sang jiwa yang selalu membandel dan
tenggelam dalam keangkuhannya sendiri, padahal Sang Atman telah mendampingi kita
dari permulaan hidup sampai ke akhir hayat kita. Manusia yang egois tidak pernah
mau menuruti hati nuraninya sendiri yang senantiasa membimbing dan mengayominya,
ia malahan merusak elemen-elemen tubuhnya dengan berbagai makanan dan kebiasaan
hidup yang tidak layak.
3.”Sewaktu
seseorang yang suci menyadari akan Hakikatnya……yang Maha Kuasa,Yang Maha
Pencipta dan bahkan yang menjadi sumber dari sang pencipta (Dewa Brahma) itu
sendiri…..orang bijak ini kemudian, terlepas dari segala pahala dan sebaliknya
dan berbagai tindakannya selama ini, kemudian berubah menjadi tak ternoda, dan
mencapai tahap yang teramat stabil (tak tergoyahkan oleh fenomena apapun juga).”
Keterangan : Mengenai
ajaran tahap stabil ini keterangannya ada di Ashtavakra-Gita, suatu dialog yang
sarat dengan ajarannya yang teramat kontradiktif.
4.”Begitu
menyadari akan hakikat Yang Maha Esa, orang yang bijak ini larut dalam
ketenangan yang paling dalam. Ia berkarma dengan dirinya sendiri; ia berbahagia
dengan dirinya sendiri dan melaksanakan tugas-tugasnya (selaras dengan kehendak
Yang Maha Kuasa), diantara yang mengenal Sang Brahman, manusia bijak ini adalah
yang terbaik.”
Keterangan : Sukar
sekali memahami kehidupan dan tindak-tanduk manusia bijak ini. Ada yang
senantiasa berdiam diri, ada yang menjauhkan dirinya dari keramaian masyarakat,
ada yang sangat energik dan revolusioner seperti Mahatma Gandhi, sastrawan agung
seperti Rabrindanath Tagore, ada yang suci bersih seperti ibu Theresia, bahkan
ada yang senantiasa telanjang bulat di Himalaya.
Di Jakarta ada seorang pengemis tua yang yang senantiasa
memberikan hasil yang didapatkan dari pengunjung mesjid ke pengemis-pengemis
lainnya yang lebih membutuhkannya, sewaktu kami tanya mengapa ia mengemis kalau
hasilnya untuk orang lain, dengan santai ia menjawab, “saya hanya mengambil
hak saya yang cukup untuk hari ini, lebihnya hak orang lain yang membutuhkannya.
Hari esok masih jauh jadi tidak perlu saya pikirkan.” Bandingkan dengan
koruptor yang menguras uang negara tanpa habis-habisnya. Ternyata pengemis yang
non Hindu ini sudah menyadari hakikat Sang Atman yang hadir di setiap insan dan
mahluk lainnya.
5.”Sang
Jati Diri dapat dicapai melalui
ketulusan, konsentrasi kebijaksanaan (antah karana suddhi) dan disiplin spritual;
(demikianlah) keseluruhan upaya-upaya ini agar dilaksanakan secara
berkesinambungan. Sewaktu kekotoran (duniawi) tergoyahkan (rontok), orang yang
suci akan menyaksikanNya……Yang Maha Tak Ternoda, dan bercahaya gilang
gemilang (Jyotirmayo)…..di dalam raganya sendiri.”
Keterangan :
Seseorang suci dan bijak dengan kriteria-kriteria di atas melaksanakan
tugas-tugas sehari-harinya penuh dengan satyam (kebenaran), sundaram (keresikan,
keindahan) dan berdasarkan ahimsa (non kekerasan) dan penuh kendali diri dari
berbagai nafsu termasuk seks (Brahmacharyam). Semua sifat utama ini disebut
candi dari Dharma itu sendiri. Raga kita ini sebenarnya diciptakan dalam bentuk
candi atau padmasari (padmasana), lengkap dengan semua cakra dan strata suci
yang di sebut loka dalam bentuk buana alit yang sama dengan yang ada di buana
agung. Aduh, tetapi manusia masih tergila-gila dengan yang di luar sana, candi
milik pribadi ditinggalkan hanya untuk bertirtayatra ke candi-candi lain yang
jauh lokasinya. Dirinya sendiri tidak dispritualkan tetapi arca dan candi-candi
lain dipuja-puji setengah mati. Seandainya kita mau berdisiplin diri sedikit
dengan berpuasa, bermeditasi, memuja siang, pagi, petang dan malam barang lima
menit saja seharinya, mau membersihkan diri kita dengan tidak mengkomsumsi
benda-benda yang mengotorkan dan menyengsarakan tubuh dan jiwa kita, maka Beliau
yang bersemayam di dalam candi ini pasti akan bersinar.
6.”Hanya
kebenaran yang jaya raya, bukan ketidak benaran ! melalui jalan kebenaran
terletak jalur suci yang oleh para kaum suci yang sadar, yang lepas dari
berbagai hasrat-hasrat duniawi, didaki menuju ke tempat suci di mana bersemayam
yang Maha Benar (yaitu Kebenaran Hakiki).”
Keterangan : Ada
berbagai jalan dan jalur ke berbagai loka setelah sang jiwa ini meninggalkan
raganya (meninggal dunia). Di sloka mantra ini, jalur suci khusus bagi orang
yang bijak ini ternyata disediakan secara tersendiri oleh Yang Maha Esa, dan
jalan ini disebutkan mendaki melalui jalur khusus ke arah bersemayamnya
kebenaran Yang maha Hakiki ini.
“Hanya kebenaran yang menang dan bukan sebaliknya” (Satyameva
jayatenaanritam) adalah ungkapan atau sabda sakral yang sering di utarakan kaum
suci dan bijak kepada mereka-mereka yang berjalan di jalan dharma yang menanjak,
yang sulit dan bertebing-tebing, dengan jurang menganga di sekelilingnya, dan
angin topan, salju dan hujan selalu menerjang secara kejam tanpa ampun. Semakin
ke atas semakin dingin dan membeku, tetapi jalan dharma mempunyai senjata yang
tak terkalahkan yaitu kemenangan itu sendiri, yang akan datang tanpa diminta.
“Tidak ada yang sia-sia di jalan dharma”, kata para resi guru; ”Dikau
boleh kehilangan semua milikmu tetapi sebenarnya dikau tidak kehilangan apapun
juga, dikau kehilangan dharma maka dikau kehilangan semuanya.”
7.”Sangat
luas, suci, jauh di atas segala imajinasi bercahaya Kebenaran Sang Brahman, (Beliau)
ini lebih lembut dari yang terlembut, lebih jauh dari yang terjauh. Di dalam
kehidupan ini para resi menyadarnya sebagai yang bersemayam di dalam hati
sanubari.”
8.”Sang
Jati Diri tidak bisa terjangkau oleh mata maupun kata, tidak dapat dirasakan
oleh berbagai indriyas, tidak terungkapkan oleh berbagai ritual dan tapabrata.
Sewaktu pemahaman (seseorang) berubah menjadi terang, bersih dan murni, maka di
dalam meditasinya ia akan mencapai Yang Maha Hakiki.”
Keterangan : Sruti
menyabdakan sekali lagi bahwasanya Sang Atman ini tidak dapat dijangkau dengan
cara apapun juga, kecuali seseorang berubah menjadi murni jalan pikirannya.
Sewaktu terjadi penyatuan antara sang Yogi dan Sang Yogeshwara, maka insan ini
akan berubah secara total dan kehidupannya sehari-hari terasa aneh bagi yang
tidak memahami keadaan spritualnya. Ia tidak bisa berkomunikasi secara gegabah
dengan siapa saja karena akan dianggap gila dan tidak wajar. Itulah sebabnya
ajaran-ajaran mereka tidak di turunkan ke masyarakat luas karena bisa
menimbulkan kerancuan dan kerawanan sosial. Ajaran-ajaran adiluhung mereka hanya
bisa diturunkan ke beberapa murid yang memenuhi syarat-syarat khusus saja dan
itupun prosesnya rumit. Namun begitu, mereka yang senantiasa bermeditasi ke
arahNya dengan sifat-sifat di atas, akan mencapainya.
9.”Melalui
jalur Cahayanya, sang Buddhi dalam seseorang seyogyanya memahami hakikat lembut
Sang Atman yang terdapat di dalam raganya yang berisikan kekuatan kehidupan (prana)
yang berlapis lima. Budhi manusia teranyam dengan berbagai indriyasnya. Sewaktu
budhi tersebut berubah menjadi murni, Sang Jati Diri (langsung sekatika)
bersinar keluar.”
Keterangan :
Budhi atau nurani atau daya intelek spritual selalu terkait erat dengan
mata, hidung, pikiran, dan seluruh indra-indra di tubuh kita sehari-harinya, dan
hal ini mempermudah diri kita untuk stress dan egois, serta marah dan murung,
yang akan mempengaruhi perjalanaan spritual kita. Namun kalau semua itu bisa
disingkirkan dan Sang Budhi lalu bersifat stabil dan murni, maka beliau yang
bersemayam di dalam diri kita dipastikan akan langsung terpancar keluar.
10.”Srata
apapun yang dikehendaki oleh seseorang yang telah bersifat suci murni; benda
apapun yang dikehendakinya, maka akan didapatkan olehnya semua strata (loka) dan
benda-benda tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang mendambakan kemakmuran
seyogyanya menghormati seseorang yang telah menyadari Jati Dirinya sendiri.”
Keterangan : Apa
saja yang dihasratkan oleh yang bersifat murni ini, baik disengaja maupun dengan
tidak sengaja bisa mudah didapatkannya, tetapi berhati-hatilah, sebab inilah
tahap siddhi yaitu kesaktian yang kalau dilakukan dengan pamrih sesedikit apapun
juga akan menyesatkan insan ini ke jalan yang sesat. Bagi yang non pamrih semua
karunia ini (Iswarakripa) akan merupakan anugrah tidak terhingga dan berguna
untuk seluruh mahluk ciptaannya.
Manusia-manusia yang menghasratkan kesuksesan duniawi
dianjurkan oleh Upanishad ini untuk mendekati insan-insan suci penuh kesaktian
ini, dan memohon semua yang duniawi kepadanya. Bagi sang yogi sloka ini kalau
dituruti bisa menjadi bencana baginya. Kalau imannya lemah maka ia akan goyah
oleh siddhinya, namun seandainya ia kuat di jalan dharma maka semua orang yang
mengemis kepadanya tidak akan dihiraukannya kecuali yang betul-betul memerlukan
pertolongan tanpa pamrih.
Dengan ini berakhirlah Bab III, bagian 1
BAB
III
BAGIAN
2
1.”Seseorang
yang telah sadar akan Jati Dirinya sendiri, akan memahami Sang Maha Brahman Yang
Maha Bercahaya gilang gemilang, yang adalah asal-muasal dunia ini. Dan
mereka-mereka yang telah bersih sanubarinya, yang tanpa pamrih akan materi
duniawi berhasrat untuk berbakti kepada orang-orang yang telah sadar akan
Hakikat Yang Maha Esa ini, akan terlepaskan diri siklus-siklus kelahiran mereka.”
Keterangan : Kalau
pada sloka mantra sebelumnya orang-orang yang masih duniawi diarahkan ke jalan
yang melenceng, maka di sloka ini mereka-mereka yang jalan di jalur dharma
dianjurkan untuk berguru dan berbakti kepada para guru spritual yang sudah
manunggal ini. Hal ini amat berguna baik bagi sang guru maupun sang sishya dalam
menjalankan kehidupan dharma mereka secara bermanfaat bagi semua mahluk.
2.”Barang
siapa menghasratkan dan mengejar berbagai objek tanpa henti-hentinya, maka
mereka ini akan selalu lahir di sana sini demi tercapainya berbagai
hasrat-hasrat tersebut. Tetapi dalam halnya seorang yang suci yang berbagai
hasrat-hasratnya telah mencapai kesempurnaan yang terakhir dan telah menyadari
akan hakikat jati dirinya maka berbagai hasrat-hasrat ini akan sirna bahkan di
kehidupan ini.”
Keterangan :
Berhati-hatilah dengan segala hasrat duniawi yang bisa menjerat kita kedalam
kehidupan selanjutnya demi pencapaian hasrat-hasrat tersebut yang bisa
membawakan penderitaan dan lingkaran kehidupan yang tidak ada henti-hentinya.
3.”Sang
Jati Diri tidak dapat dicapai melalui berbagai prarachanena (dharma wacana,
satsangh, bhajan, puja, tirta yatra, dan sebagainya) tidak juga dapat dicapai
dengan menghafal berbagai mantra-mantra suci, juga tidak dengan belajar secara
berlebih-lebihan. Sang jati Diri hanya bisa dicapai oleh seseorang yang
berhasrat untuk mencapainya, dengan upaya seluruh jiwa dan raganya. Kepada
pemuja ini Sang Jati Diri akan menampakkan hakikatnya yang sejati.”
4.”Sang
Jati Diri tidak dapat dicapai oleh manusia-manusia yang lemah (baik jiwa raga
maupun budhinya), juga tidak dapat dicapai oleh mereka-mereka yang tidak tulus,
juga tidak oleh mereka-mereka yang melaksanakan berbagai upacara dan tapa brata
yang sesat, tetapi manusia-manusia yang bijak yang berusaha sekuat tenaga dengan
semangat, perhatian, dan displin yang murni akan mencapai penyatuan dengan Sang
Brahman.”
5.”Sewaktu
para kaum suci ini mencapai sang Atman, mereka terpuaskan oleh ilmu pengetahuan
mereka, tujuan mereka terpenuhi, mereka pun terbebas dari berbagai hasrat dan
mencapai Sang Atman Yang Maha Hadir di segala sisi, para insan suci ini
selanjutnya membaktikan diri mereka ke Sang Jati Diri, dan melebur (memasuki)
segala-galanya.”
6.”Setelah
menetapkan secara seksama dan jauh dari segala keraguan-raguan akan isi
sebenarnya dari berbagai Upanishad, dan setelah membersihkan pikiran-pikiran
mereka dengan ”yoga penyerahan diri,” semua orang suci ini berlabuh di
lokanya Sang Brahman; dan mendapatkan keabadian dan kebebasan penuh (lepas dari
karma dan reinkarnasi) pada saat kematian mereka.”
Keterangan :
Mereka-mereka yang telah mempasrahkan kehidupan ini secara total akan
mendapatkan moksha dalam bentuk pembebasan dari seluruh karma dan reinkarnasi di
masa-masa mendatang, dan pembebasan tersebut tercapai di saat orang yang bijak
dan suci ini menunggalkan hayatnya di dunia ini. Bagi Sri Shankara Acharya
kematian yang disebut di sloka ini diibaratkan : ”kematian dari segala bentuk
ego (positif dan negatif) dan hasrat-hasrat duniawi dari insan yang suci ini.
”Di persada Bali, fenomena ini disimbolkan dengan arca atau
lukisan Achyinta (sang Hyang Widhi Wasa) dalam bentuk non keterikatan alias
jabang bayi yang tak berbusana lepas dari semua yang bersifat duniawi, dan
berdhyana secara shanti dan dalam bentuk sachitananda di atas ruang kosong di
Padmasari atau Padmasana. Sayang insan Hindu Bali kebanyakan tidak mengerti
makna simbol beliau Yang Maha Suci ini.
7.”Kelima
belas kala (bagian) memasuki elemen (unsur-unsur) mereka masing-masing, para
dewata (yang hadir di dalam tubuh kita) kembali ke unsur kedewataan mereka
masing-masing . Seluruh karya pelaksanaan mereka dan seluruh pengetahuan jati
diri mereka menyatu dengan Yang Maha Tunggal (tinggi) dan Yang Maha Tak
Terbinasakan yaitu Maha Brahman.”
Keterangan : Pada
saat kematian seluruh elemen (unsur-unsur) di raga kita kembali ke unsur-unsur
inti di alam semesta dari mana semua itu berasal sesuai dengan keterangan yang
terdapat di sloka ini. Kelima belas kala ini adalah masing-masing : prana, iman,
akasa (ehter), air, udara, api, bumi, indriyas, pikiran, makanan, kekuatan jalan
pikiran, berbagai mantra, berbagai loka baik yang kasat mata di dunia ini maupun
yang tidak kasat mata dan terletak jauh dari bumi.
Tubuh kita adalah Padmasana yang sesungguhnya, bukan
tuga-tugu yang dipuja di halaman rumah kita. Di berbagai titik tubuh kita hadir
berbagai dewa-dewi contoh : Ganeshya di cakra utama (Muladhara cakra) yang
terletak di antara kemaluan pria dan rektum, Brahma di pusar, dan seterusnya
menurut anatomi sistem yoga. Seluruh buana alit dengan 4 milyar unsur cahaya
dalam bentuk dewa-dewi dan asuras hadir dalam buana alit ini persis seperti di
buana agung.
8.”Ibarat
berbagai aliran sungai yang kehilangan nama dan bentuk diri mereka begitu
menyatu dengan sang samudra, demikian juga seorang yang bijaksana lepas dari
berbagai identifikasi diri termasuk nama dan rupanya dan menyatu dengan Yang
Tertinggi di antara yang tinggi……yaitu Yang Maha Kuasa (suci).”
9.”Barang
siapa mengenal Sang Maha Brahman berubah menjadi Brahman dan di jalurnya (dalam
keturunannya) tidak akan terlahir orang-orang yang tidak mengenal Brahman. Ia
akan melampaui (berbagai) rasa khawatir, dosa (papmanam) dan melalui berbagai
simpul-simpul yang berhubungan dengan hati sanubari, ia akan berubah menjadi
abadi.”
Keterangan : Ternyata
pahala bagi yang telah memahami dan menyadari akan Hakikat Yang Maha esa itu
fantastis sekali sifatnya. Bukan hanya mereka saja yang bisa memahaminya tetapi
di dalam garis keturunannya diberikan anugrah ini juga. Tentunya para resi yang
telah manunggal ini tidak akan bohong dengan pernyataan ini tetapi tentunya
telah terbukti sebelumnya. Alangkah bahagianya insan suci ini yang di dalam
garis turunannya tidak akan dilahirkan orang-orang yang kafir.
“Simpul-simpul yang berhubungan dengan hati sanubari”……adalah
berbagai indriyas yang mengikat hati sanubari atau nurani kita dengan segala
keterikatan duniawi kita. Para resi guru mengatakan sewaktu suatu waktu nanti
simpul-simpul ini terlepas, maka lepas juga beban duniawi kita dan sang jiwapun
meneguk ”amritattwa” yaitu air keabadiaan. Fenomena keabadian ini sulit
dijabarkan dengan kata-kata dan bisa berlainan versinya dari satu aliran
kepercayaan ke aliran yang lainnya, dari satu individu ke individu lainnya
walaupun intisarinya sama.
10.”Di
dalam Veda mantra (Richa), ajaran yang khusus ini telah diterangkan secara
berikut : “Ajaran mengenai Sang Brahman ini hanya khusus diajarkan kepada
mereka-mereka yang melaksanakan berbagai ritual, yang membaca dan mempelajari
berbagai Veda-Veda, yang menitik beratkan meditasi mereka ke arah Sang Brahman,
yang beriman dan menyerahkan diri mereka sebagai persembahan ke api yang disebut
Yekarshi; dan yang telah melaksanakan secara penuh disiplin upacara Sirovrita.”
Keterangan : Veda-veda
hadir jauh sebelum lahirnya berbagai Upanishad dan sepintas tidak berhubungan,
tetapi hampir seluruh resi guru pencipta Upanishad tetap berkiblat ke Veda dan
sering sekali menyitir dan mengambil persamaan dari Veda yang isinya tidak jauh
dari intisari Upanishad itu sendiri. Secara spritual apa yang tersirat di Veda
ada dan hadir juga di Upanishad dan terasa masih relevan di era yang modern ini.
- Richa = mantra-mantra atau puja-puji yang terdapat di Veda.
Ada yang menarik dengan sloka di atas, banyak resi guru
yang tidak mau mengakui keberadaan mantra sloka di atas karena dianggap telah
keluar jalur Upanishad yang hakiki seperti upacara yang disebutkan di atas yang
sebenarnya tidak diperlukan. Menurut para ahli Hindhu Dharma dalam naskah
aslinya sloka ini tidak ada, dan merupakan sebuah korupsi yang dilakukan oleh
para Brahmana keji yang berkuasa untuk kurun waktu yang lama sekali di India
sampai lahirnya Sang Buddha Gautama. Sisipan ini sengaja dimasukkan karena pada
zaman itu berbagai Veda dan Upanishad hanya diturunkan kepada turunan mereka,
diluar itu tidak diajarkan. Inilah pengacauan sistem kasta yang keji yang masih
berlaku di Bali dan sebagian India. Sloka ini boleh diabaikan karena kami
tambahkan sekedar untuk studi banding saja.
- Sirovrita = Di Atharva Veda ada sejenis ritual yang disebut
Sirovrita
Yaitu Sang Sadhaka harus meletakan sebuah cawan berisi api di
kepalanya. Upacara ini dikecam keras oleh para sanyasin karena bersifat hitam
dan merusak elemen cakra dan tubuh kita dan bertujuan kesaktian dan penuh pamrih,
jadi bertentangan sekali dengan jalur ajaran Upanishad yang ahimsa dan non
pamrih ini.
- Yekarshi : Berbagai upacara yang dilakukan para Brahman
untuk mendapatkan pamrih-pamrih tertentu termasuk upacara agni-hotra yang
nonsense dan pamer kekuatan.
11.”Itu
adalah kebenaran. Para Resi Angira menyabdakan perihal ini kepada para murid
mereka di masa-masa yang silam. Tidak seorangpun, yang belum bersumpah (berketetapan)
mengambil jalan atau diri, yang layak untuk mempelajari (kebenaran) ini.
Puja-puji kami haturkan kepada para resi yang agung; kami menunduk dan
menghaturkan sembah kepada para insan-insan yang suci ini (Namah paramarishibhyo
namah paramarishibhyah).”
Keterangan : Ini
dan itu senantiasa diekspresikan para resi yang tidak henti-hentinya menjabarkan
akan perihal hakikat Kebenaran Yang Maha Esa ini. Begitulah gaya spritual di
zaman Vedanta dan Upanishad dalam bahasa Sansekerta yang halus dan puitis
penyampaiannya. Pesan dan saran ketat di sloka ini mengatakan seandainya seorang
sishya atau shadhaka belum berketetapan atau bersumpah di depan gurunya, maka ia
sebaiknya tidak mempelajari Upanishad ini lebih jauh, karena tanpa pemasrahan
total tidak ada pemahaman. Bayaran yang harus dibayarkan setiap sishya adalah
pemasrahan total diri mereka kepada sang guru baru kemudian dipratekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sekilas terkesan sangat otoriter, sebenarnya tidak juga
karena pesan ini disampaikan pada akhir Upanishad ini, bukan pada awalnya, jadi
bersifat demokratis : ”ambil atau tinggalkan”. Tentunya secara sadar dan
penuh dedikasi dan penghayatan.
Puja-puji kepada para Resi agung yang telah Abadi,
Puja-puji dan Kekaguman kepada para insan-insan pencetus Veda
dan Upanishad yang bersifat Suci dan Murni.
OM……….SHANTIHI……….SHANTIHI………. SHANTIHI
OM
TAT SAT
Dengan ini berakhirlah ajaran suci
Mundakopanishad, Semoga bermanfaat bagi kita semua.
…………………………….
Disarikan
ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan m. s.
sumber :: http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar