BAB I
“Kehidupan seseorang manusia dibagi-bagi dalam tiga keadaan (tahap)
yaitu masing-masing alam-sadar, alam-mimpi dan alam-tidur tanpa mimpi. Namun di
atas ketiga tahap ini masih ada sebuah alam lain yang bersifat kesadaran yang
tertinggi . . . alam ini disebut sebagai yang Keempat.”
Mandukya
Upanishad
MANDUKYA & KARIKA
“Wahai para dewata, semoga kami senantiasa mendengarkan apapun yang
bersifat suci dan murni: wahai para dewata yang kami puja-puji, semoga kami
senantiasa melihat apapun yang bersifat suci dan murni. Semoga kami senantiasa
menjalani kehidupan kami secara sehat dan sejahtera, sambil senantiasa
memanjatkan doa-doa kami ke arahMu semua. Semoga Indra yang Kuna dan terkenal,
Pooshan (Surya) yang serba mengetahui; Bayu, dewata yang berkecepatan tinggi
yang senantiasa menyelamatkan kita dari segala bencana, dan Brihaspati yang
menjaga kekayaan spiritual kita semua dengan kekuatan budhi agar
kita dapat memahami skripsi suci ini, dan semoga kami dapat mengikuti ajaran
ini.”
Om Santhi-Santhi-Santhi
Keterangan : Demikianlah caranya dimasa lampau, para resi
memulai ajaran mereka, dengan melantunkan shanti-mantra di atas, bersama-sama
para sishya mereka sebelum memulai sesuatu ajaran Upanishad yang dianggap suci.
Mantra ini juga disebut Shantipat. Upanishad yang satu ini dianggap yang
tertinggi diantara 108 Upanishad lainnya, walaupun hanya berisikan 12 sloka
mantra saja, namun Karika (tafsir ditambah berbagai keterangan dan ajaran
lain-lainnya) cukup panjang dan melelahkan bagi kaum awam.
Kata kita dan kami di mantra tersebut di atas, dapat
diartikan sebagai berikut di dalam bahasa Inggris. We all = kita; we = kami.
Demikian agar tidak rancu dalam pemahamannya.
Sebelum memulai dengan ajaran ini, sebaiknya kita
menyimak dulu Upanishad yang satu ini, yang terkesan sangat khusus, yang selain
berisikan 12 mantra inti, juga Karika yang sulit dipahami oleh kaum awam dan
sebagian para resi sekalipun. Karika ditulis dan diajarkan oleh seorang
resi agung bernama Sri Gaudapada, dari aliran Sri Shankara Acharya, Bapak agama
Hindhu modern. Ajaran Karika ini telah diterima umat Hindhu sebagai pedoman
yang handal untuk Upanishad yang satu ini.
Karika ini sendiri bukan sembarang ulasan yang
bersifat biasa, tetapi lebih bersifat ulasan memorial dalam bentuk metrikal
agar mudah dipahami oleh sishya. Berbagai mantra dan sutra-sutra juga
ditambahkan agar lebih mudah pemahamannya. Agar memori para murid dan pembaca
terjaga dengan agak baik, banyak sekali mantra seloka terkesan
diulang-ulang, dan agak membosankan, namun sangat bermanfaat dikala kita lupa
akan intisari ajaran ini, yang seharusnya dihayati sedikit demi sedikit dan
tidak perlu dibaca sekaligus. Yang seharusnya diperhatikan adalah mempelajari
ilmu pengetahuan yang sarat filosofi ini, yang dicetuskan sewaktu bangsa Barat
belum mengenal peradaban dunia ini.
Sejauh ini belum ada seorangpun yang mampu menjabarkan
siapa gerangan penulis ajaran Upanishad ini, dan juga berbagai Upanishad yang
lainnya. Para ahli hanya bisa menduga-duga bahwasanya nama depan resi
penulis setiap Upanishad dipergunakan oleh para sishyanya, sebagai judul
kitab-kitab Upanishad ini. Sebagai contoh : Kathaka diduga adalah
pencetus Kathopanishad; Kena mungkin adalah penulis Kanopanishad dan
seterusnya. Namun untuk Upanishad yang satu ini, dugaan tersebut bisa saja
tidak berlaku, karena kata Mandukya dalam bahasa Sansekerta berarti
kodok, Upanishad ini bisa berarti ajaran Ajaran Sang Kodok (Katak). Konon ada
seorang resi yang menyatakan, bahwasanya penulis Upanishad ini begitu merendahkan
dirinya sehingga mengibaratkan dirinya sebagai seekor kodok yang terkungkung di
dalam sebuah tempurung, dan merasakan apa yang diajarkan ini masih jauh
dari sempurna, jadi beliau tidak mau namanya dicantumkan. Namun orang
suci ini juga berkomentar bahwasanya seekor katak biasanya menyisihkan sekitar
9 atau 10 bulan setahunnya untuk berhibernasi di kolam atau genangan lumpur
pekat, seakan-akan bermeditasi dalam suatu kesatuan kelompok, dan seakan-akan
menjauhi seluruh keaktifan duniawi dan hanya terserap di alam hibernasinya
saja, yang berkepanjangan namun hening ini. Pada musim hujan mereka keluar dari
keheningan ini dan mulailah orkes katak yang mempesona itu. Orkes katak ini
sudah tidak bisa dinikmati lagi oleh manusia yang tinggal di kota-kota
besar!
Bukankah para resi yang menyepikan diri mereka ke
hutan dan gua (para Sanyasi) melakukan hal serupa juga? Dengan pakaian yang
sangat minim, bahkan ada yang bertelanjang bulat; para resi di India ini
turun ke sungai Gangga setahun sekali pada hari raya Kumba Mela atau hari-hari
khusus lainnya, untuk mengumandangkan ajaran kebenaran mereka.
Kata Upanishad ini sendiri bisa berarti : Upa + ni +
shad yang berarti duduk didataran rendah (level yang ama). Maksudnya guru dan
murid duduk di level yang sama di lapangan terbuka, yang satu menghadap ke yang
lainnya. Inilah sistim sekolah tertua di dunia dan masih dipraktekkan di
Shantiniketan, sebuah universitas yang didirikan oleh Sri Rabindranath Tagore
di tahun empat puluhan.
Kembali ke Mandukya Upanishad ini, konon menurut
ajaran Muktiko Upanishad, adalah tepat untuk mengantarkan seseorang ke
arah pembebasan duniawi yang disebut mukti atau moksha. Di dalam bahasa
Sansekertanya dikatakan, “Mandukya ekam kevalan mumukshunam vimuktaye”.
Kedua-belas sloka mantra di Upanishad ini berbicara
mengenai sebuah topik utama kehidupan yang tidak lekang dari segala jaman, dan
masih merupakan misteri bagi dunia Barat yang serba sakit akibat kelebihan
duniawi mereka. Mandukya berbicara akan tiga tahap kehidupan manusia sehari-harinya
disamping menyiratkan ajaran akan “Non-dualisme”. Juga yang terkenal dari
ajaran ini adalah “Maha Vakya” yang merupakan ajaran untuk meditasi tingkat
tinggi.
Menurut
ajaran Sanathana Dharma, ada empat maha-vakya yang diperuntukkan bagi Vedanta
Shadana yang masing-masing diambil dari setiap Veda. Contoh : Yang diambil dari
Atharvana Veda yang terkenal adalah:
“Ayam Atma
Brahma” yang berarti “Atman ini adalah Sang Brahman”.
Kata Aku
(Atman) yang bersifat universal di atas juga hadir di Upanishad ini secara
dominan.
Sekarang
marilah membahas Karika , yang rumit dan panjang ini. Ada bab yang memuat 215
sloka, masing-masing disebut Agama Prakarana (bersifat skriptual) … bab 29.
Kemudian Vaithathya Prakarana (Ilusi) … bab 38, kemudian Adwaita Prakarana (Non-dualisme,
bab 48) dan Alatha Santi Prakarana (memenangkan kobaran api).
Agama Prakarana memuat 12 sloka inti Uphanisad ini,
dengan tambahan Karika disana-sini sesuai dengan ajaran Sruthi.
Selanjutnya mari kita ikuti bagian yang satu
ini:
AGAMA PRAKARANA
(SKRIPTUAL)
Pembukaan
Mandukya Uphanisad ini disebut sebagai “Perjanjian Skiptual (Penjelasan
Skriptual) karena isinya dan karena berbentuk metrikal yang disusun oleh Sri
Gaudapadiya, sehingga sering juga disebut sebagai Sri Gaudapadiya Karika oleh
peneliti asing. Disebut skriptual karena sloka-sloka mantra Uphanisad ini juga
pada teks aslinya memuat stanza-stanza Karika di titik-titik yang dianggap
penting. Pada prinsipnya dengan metodenya sendiri, Sri Gaudapadiya ingin
mengarahkan ajaran ini ke tahap paling penting, yang di Upanishad ini disebut
sebagai tahap Thuriya, yaitu Realitas Absolut yang bersifat Non-Dual. Itulah
sebabnya dalam bahasa Sanekerta, bab ini disebut Agama Prakarana.
Dalam bahasa Sansekerta aslinya, agama berarti:
bukti-bukti tradisional akan keberadaan (Hakikat) dari Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan Prakarana berarti ajaran-ajaran yang bersifat permulaan atau
dasar. Sri Gaudapadiya dalam ajarannya, mencoba untuk membimbing kita melampaui
tiga tahap yang kita tempuh sehari-hari dalam kehidupan kita yaitu:
Tahap Kesadaran,
Tahap Mimpi,
Dan tahap Tidur Lelap (tanpa mimpi)
Kata tahap bisa juga berarti alam, contoh: alam sadar,
alam mimpi dsb. Beliau, sang guru ini ingin membimbing kita melalui ketiga
tahap ini untuk mencapai alam atau tahap Thuriya. Bagi sishya modern disajikan
maket di halaman berikut ini.
Bagi yang tidak mementingkan maket, maka ajaran
selanjutnya akan sangat berguna dalam peningkatan daya spiritual dan pemahaman
akan misteri dan kehidupan ini, yang ternyata dibahas oleh Sri Gaudapadiya pada
suatu level seminar di India kuna, bersama-sama dengan berbagai utusan
resi-resi agung dari berbagai aliran agama (ajaran) Hindhu Dharma. Bayangkan
mereka semua ini duduk berhari-hari dalam suatu lingkaran untuk mencapai suatu
persamaan konsep akan Hakikat Yang Maha Kuasa, demi lestarinya umat
manusia ini. Om Shanti Shanti Shanti.
MANDUKYA UPANISHAD
Sloka - 1 “Harihi Om, Om, seluruhnya, hanya
terdiri dari satu patah kata ini saja. Penjelasannya adalah seperti berikut
ini. Semuanya dimasa lalu, dimasa kini, dan dimasa yang akan datang,
sebenar-benarnya adalah Om. Semua yang diluar ketiga masa tersebut juga
sebenar-benarnya adalah Om”.
Keterangan: Bagi seorang siswa atau sishya pemula, sloka
pembukaan ini bisa mengacaukan persepsi spiritual yang dianutnya selama ini.
Sebaiknya ia mempelajari dahulu berbagai Upanishad yang lainnya agar memaklumi
arti kata dan intisari Om. Om adalah Nama, obyek yang dituju oleh nama
ini, Om juga adanya, sebenarnya yang terlihat, terasakan dan terpikirkan oleh
umat manusia dari masa ke masa adalah Om itu sendiri, demikian sabda dari Sri
Shankara Acharya, seorang filsuf muda yang dianggap sebagai pembaharu agama
Hindhu. Beliau lahir kira-kira pada zamannya Sang Sidharta Gautama. Semua
benda dan makhluk, apa saja, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata
adalah juga Om. Tanpa kecuali semua berasal dariNya, untukNya dan kembali
kepadaNya juga. Beliau ini adalah Om.
Sloka - 2 “Semua ini secara hakiki adalah Brahman. Sang Atman
adalah Sang Brahman. Sang Atman ini memiliki empat bagian”.
Keterangan: Sloka ini dikategorikan sebagai sloka maha-vakya,
karena kandungan intisarinya yang amat dalam secara spiritual dan tidak
terbatas penalarannya. Semakin banyak seorang sishya memfokuskan
arah studi dan meditasinya ke makna yang dikandung oleh sloka di atas,
maka makin banyak yang akan diresapinya.
4 bagian Sang Jati Diri (Atman) adalah aspek-aspek
sehari-hari secara duniawi bagi seorang manusia, yaitu alam kesadaran, alam
mimpi dan alam tidur lelap (jumlah 3 tahap). Diatasnya baru hadir tahap keempat
yang disebut Thuriya, yaitu tahap kesadaran akan Hakikat Yang Maha Esa.
Bagi yang awam seakan-akan hadir 4 bagian ini, padahal bisa berarti Yang
Maha Esa secara hakiki hadir di dalam keempat alam ini.
Sloka - 3 “Seperempat tahap ini (Pada) disebut Vaiswanara yang
mencakup aktivitas tahap-tahap kesadaran, yang sadar akan obyek-obyek dunia
eksternal, yang memiliki tujuh organ perangkat dan 19 mulut (bibir), yang
menikmati berbagai obyek-obyek kasar duniawi ini.”
Keterangan : Alam atau tahap-tahap ini disebut sebagai
pengalaman oleh para resi guru, dan setiap pengalaman ini dibagi dalam tiga
faktor utama yaitu :
Yang mengalami, yang dialami, dan hubungan antara yang
mengalami dan yang dialami. Dan yang terakhir ini disebut juga sebagai
mengalami secara terus menerus. Sehari-harinya setiap insan manusia
berinteraksi dengan ketiga alam ini dan ketiga faktor yang eksis bersama-sama
ini. Sekilas ketiga alam ini berlainan dan tidak berkelompok secara
bersama-sama. Upanishad ini untuk selanjutnya akan membahas semua ini secara
terperinci.
Ego kesadaran manusia disebut Vaisnawara, dalam bahasa
Sansekerta atau Viswa. Ego ini menikmati seluruh alam kesadaran dan seluruh
aspek/obyek-obyek sensualnya. Juga semua fenomena sensual dinikmatinya, contoh:
suara, rasa, bau dan sebagainya. Dalam alam sadar semua faktor dan
fenomena ini bisa dinikmati oleh seluruh organ-organ sensual kita (indriyas).
Viswa ini diilustrasikan seakan-akan berorgan 7 dan bermulut 19, seakan-akan
seekor ular naga yang mengerikan bentuknya, padahal hanya kata-kata kiasan
saja, namun pada hakikatnya berarti dalam, ibarat naga yang menjerat kehidupan
kita dengan yang serba duniawi ini, melalui jerat indriyas.
Mulut disini berarti berbagai perangkat konsumsi
yang masing-masing adalah lima perangkat persepsi, lima perangkat berbagai
tindakan (pelaksanaan), lima aspek Prana, ditambah sang pikiran, budhi, egoisme
dan chitta (keterikatan).
Sloka-mantra di atas menyatakan bhwasanya Atman adalah
Brahman, dengan kata lain itu bisa diartikan sang ego individual adalag Ego
Totalitas (Absolut). Dengan kata lain “Sang Jati Diri yang terbatas” adalah
“Sang Jati Diri Yang Maha Tak Terbatas (Bentuk Universal).”
Para resi guru mengistilahkan fenomena ini sebagai
Vyasthi, yaitu mikrokosmos atau buana alit, dan Samasthi yaitu makrokosmos atau
biana agung. Diterangkan di Upanishad ini bahwa sang Atman didalam tahap
kesadaran bermanifestasi melalui raga kasar ini yaitu Vaiswanara yang juga
berperangkat 7 buah. Sekali lagi ditegaskan bahwa buana alit adalah Vaiswanara
dan buana agung adalah Virat (kata lain untuk bentuk Universal).
Chastra-widhi menyatakan Sang Jati Diri Vaiswanara ini
mencakup kepala (daerah bercahaya), mata (surya), udara sebagai nafasnya, antariksa
(bagian perutnya), ginjal (air), bumi (kaki) dan mulut (api yang disebut
sebagai Ahavaniya). Ungkapan-ungkapan ini pastilah membingungkan bagi para
pemula, namun tidak bagi yang telah mempelajari Bhagavat-Gita dan berbagai
Upanishad lainnya.
Sloka mantra berikutnya berbicara tentang mimpi.
Sloka - 4 “Pada yang kedua disebut Taijasa, berbagai
aktivitasnya disebut tahap (alam) mimpi. Tahap ini sadar akan kehidupan
internal dari berbagai obyek-obyek lembut (halus) yang berasal dari berbagai
aktivitas mental.”
Keterangan: Sloka sebelumnya berbicara akan alam sadar manusia,
sloka di atas menyatakan kekuatan yang sama itu bisa menjauhi dunia eksternal
dan mengidentifikasikan dirinya ke tahap (alam) mimpi dan berinteraksi
dengan alam ini dan juga dengan berbagai obyek lembut yang berasal dari badan
halus manusia itu sendiri. Tahap ini disebut Taijasa, dan ketujuh perangkat dan
19 mulut yang dimilikinya bersifat sama dengan uraian di sloka sebelumnya
di alam sadar. Kedua tahap ini yaitu Vaiswanara dan Taijasa, sang ego di alam
sadar dan sang ego di alam mimpi, adalah 2 bagian integral manusia. Kesadaran
sejati atau rasa eling yang berinterasi dengan raga kita memainkan peran
sebagai Vaiswanara dalam alam sadar, dan faktor yang sama ini juga sewaktu
ke alam mimpi, terserap oleh obyek-obyek dan fenomena halus di alam mimpi
ini, dan berubah menjadi sang (si) pemimpi (Taijasa) itu sendiri. Demikianlah
kedua Pada ini dijelaskan, kita akan memasuki Pada yang ketiga yaitu alam
tidur.
Sloka - 5 “Itulah tahap tidur-lelap, dimana yang tertidur
ini tidak mendambakan obyek apapun juga, dan iapun tidak menyaksikan mimpi
apapun juga. Pada ketiga ini disebut Prajnya yang tahapnya adalah tidur
lelap. Di tahap ini seluruh pengalaman bersatu dan tidak bisa dibeda-bedakan,
yang sebenarnya adalah kesadaran dalam bentuk homogeneou (kesatuan secara
keseluruhan), tahap ini merupakan pintu gerbang yang mengantar manusia ke arah
dua tahap kesadaran yaitu alam sadar dan alam mimpi.”
Keterangan: Ternyata alam tidur lelap adalah tahap kekosongan
yang tidak kosong, seperti antariksa yang mengelilingi seluruh alam semesta
ini. Tahap homogeneous ini merupakan kesatuan dari berbagai kesadaran, disebut
juga Prajnyanaghana, para resi juga menyebutnya sebagai alam kebahagiaan (Anandamaya)
karena di tahap ini manusia bisa lepas dari berbagai suka dan duka yang
mengikatnya, kemudian lepas dari alam ini, kita ibaratnya mendapatkan energi
baru, seperti alat yang telah direcharge lagi. Sebenarnya tubuh kita adalah
teknologi penciptaan yang amat menakjubkan, sayang manusia karena
kebodohannya merusak raga ini dengan obat terlarang dan perilaku serta minuman
keras yang merusak.
Dari tahap tidur lelap ini kemudian seorang manusia
diantar ke alam mimpi, lalu diproyeksikan kembali ke alam sadar dan kemudian ke
alam mimpi lagi dan seterusnya ke alam tidur lelap. Selama orang masih
hidup maka proyek ini berjalan terus. Demikianlah Pada ketiga telah
diuraikan secara manis sekali di sloka mantra di atas, selanjutnya mantra sloka
berikutnya akan berbicara mengenai Sang Prajnya.
Sloka - 6 “Inilah Tuhan (Sarreswara) dari semuanya; Yang
memahami semuanya; Inilah yang mengendalikan bagian-bagian alam; Inilah sumber
dari segala-galanya. Dan Ini adalah Itu yang merupakan asal-muasal dari
semua ciptaan dan kedalamNya juga, semua ini akhirnya akan melebur kembali.”
Keterangan: Kata Ini dan Itu adalah sebuatan
halus yang sangat bernuansa halus dalam sabda-sabda para resi untuk menjelaskan
akan Keberadaan dan Hakikat Tuhan Yang Maha Esa (Sarreswara) secara sederhana
sekali. Mereka, para resi teramat bijak senantiasa menyebut Yang Maha Esa
dengan kata-kata seperti : Ini, Itu, Yang, Nya, Dia dan sebagainya. Kata
Sarreswara (Tuhan) di sloka ini menggambarkan Kesadaran Maha Hakiki yang hadir
di dalam semua ciptaanNya. Dari Beliau semua ini berasal, dan kepadaNya juga
semua ini akan melebur kembali.
Selanjutnya akan hadir Karika
(Tafsiran) dari Sri Gaudapadiya.
K A R I K A
1.
“Viswa, Pada
yang pertama adalah dia Yang Maha Hadir, Yang merasakan obyek-obyek eksternal
yang kasar (disebut sebagai Yang Sadar). Taijasa, Pada yang kedua adalah dia
yang memahami bagian dalam, badan halus (disebut sebagai yang bermimpi).
Prajnya adalah dia yang berbentuk kesatuan kesadaran. Dia adalah ketiga-tiganya
yang dikenali di ketiga Pada (tahap-tahap kesadaran) ini.”
2.
“Viswa
bekerja melalui mata kanan. Taijasa bekerja melalui sang pikiran, dan Prajnya
bekerja melalui spasi yang ada di hati sanubari. Demikianlah, Satu Jati Diri
ini diperkirakan bekerja dari tiga titik pusat sebagai tiga fenomena yang
berlainan.”
3.
“Pahamilah
ketiga lapis pengalaman-pengalaman (hidup) ini; Vaiswanara senantiasa merasakan
obyek-obyek sensual yang kasar (badan kasar); Taijasa menikmati obyek-obyek
yang lembut yang berasal dari badan halus, dan Prajnya menikmati yang bersifat
kebahagiaan (Ilahi).”
4.
“Pahamilah
ketiga faktor ini sebagai tiga lapis pemuasan; Vaiswanara terpuaskan oleh
obyek-obyek kasar (luar), Taijasa terpuaskan oleh obyek-obyek yang halus,
dan Prajnya mendapatkan kepuasan dari yang bersifat kebahagiaan Ilahi
(Anandascha).”
5.
“Seseorang
yang mengalami kedua perihal ini, yaitu yang merasakan dan yang dirasakan,
sesuai dengan yang telah dijabarkan sejauh ini, sebagai yang berhubungan dengan
tiga tahap kesadaran, (maka) insan tersebut tidak akan terpengaruh sewaktu ia
merasakan masing-masing obyek ini, yang berasal dari ketiga tahap (alam) ini.”
Keterangan: Membaca sebuah buku masak memasak
tidak berarti lalu seseorang bisa langsung memasak. Diperlukan latihan terus
menerus, diperlukan juga ketekunan dan teknik memasak dan perlahan-lahan
seseorang akan trampil memasak. Demikian juga didalam kehidupan kita
sehari-hari, dari satu Pada ke pada yang lainnya dibutuhkan waktu, disiplin dan
ketrampilan tersendiri untuk suatu waktu nanti merealisasikan Kesadaran Yang
Paling Hakiki, yaitu Sang Atman yang juga dikenal sebagai Prajnya ini.
Latihan meditasi yang berkesinambungan, guru-resi dan berbagai masukan
spiritual yang positip harus senantiasa hadir didalam berbagai Pada
ini, barulah dengan karuniaNya, insan yang berusaha ini dapat merealisasikan
Kebahagiaan Ilahi ini, yang bersifat tanpa batas. Sekali terserap
kedalamNya, maka kehidupan sehari-hari hanya dilakukan demi lestarinya kehidupan
itu tanpa terikat kepada hasilnya.
6.
“Selama ini
telah ditegaskan bahwa sesuatu itu hanya bisa berasal dari sesuatu lainnya yang
eksis (bukan yang non-eksis). Sang Prana memanifestasikan berbagai hal yang
bersifat halus; Sang Purusha menciptakan makhluk-makhluk yang memiliki
kesadaran, yang juga memiliki ego, didalam berbagai bentuk ciptaan-ciptaan,
secara terpisah-pisah.”
Keterangan: Menurut Sri Gaudapada dan
para resi lainnya, dari aspek realitas (Prana) timbul hal-hal yang
bersifat halus dan gaib di dunia ini, dan dari aspek kesadaran Ilahi (Purusha)
lahirlah seisi dunia yang berwujud ini.
7.
“Ada
sementara peneliti dalam bidang penciptaan dunia ini berpendapat bahwasanya ini
adalah pancaran dari kekuatan Kemegahan Yang Maha Kuasa itu sendiri yang
bersifat Super Manusia; sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan
bahwasanya dunia ini sifatnya sama saja dengan mimpi atau ilusi.”
Keterangan: Sekarang kita akan mulai
menyimak berbagai argumentasi yang paling diajukan di forum Sri Gaudapada ini,
oleh sebagian resi guru yang teramat agung dan piawai dari sekte-sekte yang
berbeda aliran dan pendapatnya mengenai Hakikat Yang Maha Esa.
Secara pribadi, konon dikatakan
bahwasanya Sri Gaudapadiya tidak mengakui keberadaan ciptaan-ciptaan ini.
Menurut beliau, Realitas Yang Maha Suci ini tidak diciptakan dan dunia inipun
tidak pernah diciptakan olehNya. Semua yang kita lihat dan pahami ini
adalah proyeksi kita sendiri. Teori non-penciptaan ini disebut Ajatawada. Konon
dikatakan teori ini sinkron dengan filosofi permulaan ajaran Vedanta dan Yoga
Vashista. Namun Ajaran Vedanta berkembang terus dari zaman ke zaman, dan
dibawah Sri Shankara Acharya, ajaran Vedanta memasuki dimensi yang baru. Beliau
mengakui adanya Realitas relatif yang terbungkus dengan berbagai
obyek-obyek duniawi dan makhluk yang kita lihat dan rasakan sehari-hari.
Sedangkan para resi lainnya berpendapat pada hakikatnya kedua teori ini sama
saja isinya, dan kalau digabungkan malahan akan menambah khazanah dan wawasan kita
semua.
Ada ahli yang berpendapat bahwasanya
dunia ini sebagai sebuah mimpi yang panjang, seperti yang akan diterangkan oleh
Sri Gaudapadiya selanjutnya di karya ini juga. Sedangkan ada ahli
non-penciptaan yang percaya bahwa hidup ini adalah sebuah mimpi panjang, namun
mimpi ini bukan ilusi tetapi betul-betul eksis (sebenar-benarnya ada) dan
berjalan terus secara abadi. Mimpi itu benar-benar ada dan yang bermimpi juga
ada.
8.
“Para ahli
yang percaya akan penciptaan ini berpendapat bahwa manifestasi ini terwujud
karena Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan yang lainnya berpendapat,
bahwa Waktu adalah suatu perihal yang benar, dan menyatakan bahwa Sang Waktu
adalah penyebab semua manifestasi penciptaan-penciptaan ini.”
9.
“Yang lainnya
berpikir bahwasanya dunia ini diciptakan demi kenikmatan Yang Maha Esa,
kemudian yang lainnya lagi berpendapat bahwa dunia ini hanya sebuah benda
permainan dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun bagi Sang Atman Yang Bercahaya
Gilang-Gemilang, Beliau ini tidak berhasrat apapun juga, karena (sebenarnya)
apakah yang tidak mungkin didapatkanNya?
Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya telah
mengemukakan berbagai teori akan Hakikat Yang Maha Esa dari segala arah, namun
diakhir sloka ini beliau menegaskan bahwa sebenarnya Tuhan itu tidak
membutuhkan apapun juga, semua ini hanya teori-teori manusia saja. Dengan
ini Karika dari Sri Gaudapadiya diakhiri untuk sementara, dan kita kembali ke
Mandukya Upanishad, ke sloka 7, dimana kita akan mendapatkan penjelasan akan
tahap kesadaran alam Thuriya.
Kembali ke :
MANDUKYA UPANISHAD
Sloka - 7 “Tahap (alam) ini bukanlah sesuatu
yang sadar akan bagian dalam dunia yang bersifat subyektif, bukan juga sesuatu
yang sadar akan dunia luar, juga bukan sesuatu yang sadar akan kedua-duanya
ini, juga bukan kesatuan kesadaran, juga bukan bentuk kesadaran yang sederhana,
juga bukan tidak memiliki kesadaran. Tahap ini tidak terlihat oleh
indriyas yang manapun juga, tidak terhubungkan dengan apapun juga, tidak bisa diterangkan
oleh pikiran, tidak bisa ditembus, tidak terpikirkan, tidak bisa dijabarkan,
semata-mata adalah Sang Jati Diri itu sendiri, jauh dari semua bentuk fenomena,
bersifat shanti (damai) dan non-dual. Alam ini disebut sebagai tahap keempat
Thuriya. Ini adalah Sang Atman dan (Tujuan) yang harus dicapai dan disadari.”
Keterangan: Ada yang tersirat di sloka ini,
yaitu Sang Atman itu jauh dari segala-galanya.
Kembali ke
Karika:
10. “Di dalam sesuatu yang dikatakan
Tidak Berubah-ubah ini, yaitu Yang Maha Kuasa, terdapat akhir keseluruhan dari
segala bentuk penderitaan; Sesuatu yang disebut Thuriya, Yang Maha Bercahaya
Gilang-Gemilang secara Abadi dan Maha Hadir.”
11. “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ada
dibawah pengaruh “sebab dan akibat”. Namun Prajnya hanya ada dibawah pengaruh
“sebab”. Kedua faktor “sebab dan akibat” ini tidak hadir di tahap
Thuriya.”
Keterangan: “Sebab dan Akibat” adalah elemen-elemen hukum karma.
Secara spiritual “sebab” juga merupakan manifestasi dari kebodohan atau
kekurang-pengetahuan (Avidya) dari sifat asli kita sendiri.
12. “Prajnya tidak memahami apapun juga
yang berasal dari kebenaran atau non-kebenaran, tidak juga Prajnya faham akan
apapun yang berhubungan dengan Sang Jati Diri ataupun non-jati diri; Prajnya
tidak memahami apapun juga. Namun Thuriya ini abadi dan senantiasa adalah Yang
Maha Tahu (dan) Yang Maha Menyaksikan.”
13. “Faktor ketidak-pahaman akan
dualitas bersifat sama rata baik di tahap tidur maupun di tahap Thuriya, namun,
insan yang tidur, terkondisi di dalam tidurnya, berada didalam bentuk
“penyebab”, (dan) faktor ini . . . yaitu tidur dan penyebab (Avidya, kebodohan)
tidak hadir di dalam Thuriya.”
Keterangan : Secara sederhana
sloka-mantra ini menyatakan bahwa alam tidur masih berada di
bawah faktor-faktor duniawi yang diliputi oleh Avidya, yaitu kebodohan atau
kekurang pengetahuan. Dan Faktor ini tidak eksis di alam Thuriya, karena alam
ini adalah alamnya Sang Pencipta itu Sendiri, Yang Maha Mengetahui.
14. “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ini
berhubungan dengan berbagai keadaan mimpi dan tidur; Prajnya adalah tahap tidur
tanpa mimpi. Mereka-mereka yang memahami Kebenaran tidak merasakan tidur maupun
mimpi di tahap Thuriya.”
15. “Mimpi adalah sebuah tahap dimana
Realitas tidak bisa dipahami secara tepat (pemahaman yang menyimpang),
sedangkan tidur adalah tahap dimana Realitas tidak dapat dipahami karena
kebodohan (Avidya). Sewaktu pengetahuan yang salah dikedua tahap ini
menghilang, (maka) tercapailah tahap Thuriya.
Keterangan: Secara psikologis dan filosofis,
pernyataan diatas adalah fantastis sifatnya. Renungkanlah dengan baik:
Seandainya Avidya dapat ditumpas maka efeknyapun tidak akan hadir di dalam
kehidupan kita pribadi, dan itu berarti insan ini terangkat ke alam Thuriya, alam
Yang Maha Esa itu sendiri.
16. “Sewaktu sang jiwa yang
bersifat individual (tertidur dibawah pengaruh Sang Maya yang tidak bermula)
ini, terjaga dari tidurnya, maka sang jiwa ini manyadari akan faktor
Non-dualitas yang hadir di dalam dirinya, yang bersifat tanpa mula dan tanpa
mimpi.”
Keterangan: Dari saat kita dilahirkan sampai
saat ini, kita hidup dalam keadaan “tertidur”, yaitu alam-sadar yang terbungkus
oleh Sang Maya (materi duniawi). Tahap ini disebut tahap ketidak-pahaman akan
Realitas. Sewaktu seseorang melalui upaya shadananya berhasil “bangun”
dari tidurnya (tidur duniawi) ini, maka ia akan sadar bahwa sebenarnya Sang
Realitas (Kebenaran Hakiki) ini bersifat non-dual (diluar faktor dan fenomena
negatif-positif), tanpa mula dan tanpa mimpi.
Para resi di berbagai upanishad dan
Sruthis selalu bersabda tanpa henti-hentinya “bangun dan bangkitlah”. Demikian
juga seluruh ajaran Sanathana Dharma senantiasa menyiratkan demikian, “Wahai
manusia, janganlah lelap dan terbius oleh ayunan tidur Sang Maya ini”.
Melalui meditasi dan renungan yang berkesinambungan, seseorang akan mencapai
tahap Thuriya ini, dimana Sang Maya tidak hadir.”
17. “Seandainya pruralitas yang
selama ini kita pahami betul-betul bersifat realitas, maka keadaan tersebut
akan menghilang suatu saat. Dualitas ini dipahami sebagai ilusi dari Sang Maya
semata-mata. Yang Maha Kuasa (Realitas) adalah satu-satunya yang bersifat
Non-Dualitas.”
Keterangan: Yang dimaksudkan sebagai
pruralitas adalah alam-semesta dan seluruh isinya, seluruh ciptaan ini, dan
yang dimaksud dengan dwidasas adalah dua unsur yang saling bertentangan dalam
harmoni yaitu positip-negatip, baik-buruk, panas-dingin dsb. Di sloka ini
dikatakan seandainya alam-semesta dan segala isinya itu benar-benar eksis maka
suatu saat nanti akan tidak eksis dan begitupun sebaiknya. Itu hukum
alam! Dwandas adalah produk Sang Maya, dan Yang Maha Kuasa (Realitas)
berada jauh dari fenomena ini. Beliau adalah Satu-satunya yang
keberadaanNya disebut Non-dual semata-mata (advaitan paramathatah).
18. “Seandainya ada yang berkhayal atau
berpikir akan adanya berbagai unsur di alam-semesta ini, maka semua itu akan
menghilang. Keterangan ini diberikan untuk tujuan mengajar para sishya.
Dualitas yang baru saja diperbincangkan ini juga akan sirna sewaktu Kebenaran
Tertinggi tercapai.”
Keterangan: Stanza kedelapan belas ini
sementara mengakhiri ulasan Sri Gaudapada, dan kita kembali lagi ke Mandukya
Upanishad sloka ke 8. Para pembaca yang budiman, sudilah maklum akan gaya penulisan
buku ini, yang aslinya memang ditulis dari Mandukya ke Karika dan sebaliknya
ini.
Sloka - 8 “Dari pemahaman alfabet, Atman yang
sama ini adalah Aum. Aum dengan Pada-pada (bagian-bagian)Nya akan
kita pelajari dari segi suara atau Aksara. Pada-pada disini adalah aksara
(suara) dan aksara-aksara ini adalah Pada-pada. Aksara ini adalah A, U, dan M”.
Keterangan: Kalau sebelumnya sampai sloka 7
Mandukya Upanishad ini menerangkan mengenai bagian (Pada) dari Sang Atman, maka
ternyata sekarang ini akan diterangkan melalui pemahaman aksara dan suara.
Dalam bahasa Sansekerta ketiga Pada ini disebut sebagai tiga
Matras. Satu Pada adalah ¼ bagian dari keseluruhan Atman.
Sloka - 9 “Seorang yang bersifat Vaiswanara
yang tahap-tahap aktifitasnya berpola tahap kesadaran adalah A, aksara pertama
dalam komposisi AUM, dan aksara ini adalah yang selalu utama dalam (suara dan
pembicaraan) atau selalu di depan (yang pertama). Faktor-faktor ini adalah
biasa di kedua keadaan ini. Barangsiapa menyadari hal ini akan mencapai
berbagai hasrat-hasratnya dan menjadi utama (pertama diantara semuanya (yang
lain-lainnya).”
Keterangan: Sekarang ajaran Mandukya
menekankan atau menambahkan sebuah makna baru yang bersifat duniawi sekali. AUM
dijelaskan secara duniawi, baru A saja sudah bermakna utama atau prima, apalagi
ditambah U dan M yang secara psikologis saja sudah pasti akan memberikan dampak
sugesti yang bersifat suci dan spiritual. Sama dengan sugesti yang kita
ciptakan sewaktu memuja kepada arca ini dan arca itu, benda-benda keramat dan
lain sebagainya. Sugesti dapat menghadirkan kesucian, ketakutan, kecemasan
bahkan kebahagiaan dan kesembuhan.
Demikian juga seandainya A-U-M
ini dijadikan fokus meditasi kita, dan disimbolkan sebagai manifestasi Hyang
Maha Esa, atau Bhur-Bwah-Swah ataupun Tri Murti (Brahma-Vishnu-Shiva), maka
dampaknya akan muncul. Dan lagi tidak menghadirkannya, apapun tidak akan muncul
dihadapannya. Para resi konon mengatakan A adalah bagian dari AUM yang
diutarakan oleh seorang jabang bayi yang baru lahir. Ada yang mengatakan
teriakan jabang bayi yang pertama adalah bernada uah, uah. Ada yang
mengatakan oeh, oeh dan sebagainya, tetapi para resi yakin suara pertama
jabang bayi apapun kebangsaannya adalah Aum, Aum dan Aum, dan A adalah yang dominan
di aksara ini.
Sloka - 10 “Seseorang yang tergolong Taijasa,
yang tahap aktivitasnya adalah tahap mimpi, adalah U, aksara kedua dalam
komposisi AUM (OM), yang menandakan superioritas atau juga bersifat
“ditengah-tengah keduanya”. Barangsiapa yang paham akan hal ini akan
mencapai ilmu pengetahuan yang dahsyat (superior) dan akan diperlakukan
secara sama rata oleh semuanya dan insan ini akan memiliki turunan yang dari
waktu ke waktu akan paham (akan) Sang Brahman.”
Sloka - 11 “Prajnya, yang tahap aktivitasnya
adalah tahap tidur lelap, adalah M, aksara ketiga dari AUM, akara ini adalah
‘timbangan’ dan juga “sesuatu dimana semuanya menjadi kesatuan
(satu)”. Seseorang yang memahami identitas “Prajnya” dan M ini akan mampu
menyadari sifat sejati dari berbagai benda dan manusia di dunia ini, dan
memahami (menerangkan) semuanya di dalam dirinya.”
Kembali ke
Karika:
19. “Sewaktu identitas Viswa dan suara A
dijelaskan (maka) perihal yang sama diantara kedua-duanya adalah “pertama” pada
posisinya masing-masing; faktanya: kedua-duanya memang serba utama.”
20. ”Jelas sekali terlihat bahwa Taijasa
bersifat sama dengan U diantara AUM, persamaan kedua-duanya adalah sifat
“superioritas”, alasan selanjutnya adalah ciri khas mereka adalah posisinya yang
berada ditengah-tengah.”
21. “Identitas Prajnya dan M mempunyai
persamaan yang nyata, kedua-duanya bersifat “timbangan”. Alasan yang lainnya,
demi menunjang identitas itu adalah karena “semuanya menjadi satu” di Prajnya
dan di M.”
22. “Seseorang yang paham tanpa
ragu-ragu kaidah-kaidah sama yang hadir didalam ketiga tahap (alam) ini, akan
dipuja dan dikagumi oleh semua makhluk; dan sebenar-benarnya insan ini adalah
seorang resi yang mulia (teragung).”
23. Suara aksara A membantu yang bermeditasi
mencapai tahap Viswa yang terbentuk dengan baik. Sedangkan yang bermeditasi ke
U, akan mencapai Teja (Tejasa, kekuatan pikiran dan budhi) yang telah terbentuk
dengan baik, dan yang bermeditasi ke m akan mencapai Prajnya. Di tahap yang
“tidak bersuara (beraksara)” tidak ada pencapaian (tidak ada yang harus
dicapai).”
Keterangan: Ternyata menurut para resi guru
yang handal, memang kalau meditasi difokuskan ke salah satu aksara atau suara
AUM maka akan timbul semacam karunia spiritual yang tinggi seperti disaratkan
oleh sloka-mantra Mandukya Upanishad berikutnya.
Kembali ke
Mandukya:
Sloka - 12 “Sesuatu Itu yang tidak memiliki
bagian-bagian (Pada), tidak bersuara, yang tidak dapat dijabarkan, jauh berada
di atas seluruh indriyas, akhir dari seluruh bentuk-bentuk fenomena, senantiasa
berada dalam kebahagiaan (Ilahi) dan adalah AUM yang non-dual; adalah (alam)
tahap yang keempat dan sebenarnya sama dengan Sang Atman. Seseorang yang
memahami perihal ini akan meleburkan dirinya ke dalam Jati Diri Yang Maha Agung
. . . Sang individu ini terlebur ke dalam Keseluruhan.”
Keterangan: Secara mikrokosmis (buana
alit), alam keempat ini bisa hadir tanpa disengaja oleh sadhaka yang sedang
bermeditasi secara serius. Menurut para resi guru, sewaktu seseorang didalam
meditasinya yang khusyuk mengucapkan mantra AUM berulang-ulang, maka
spasi kosong diantara satu AUM ke AUM yang lainnya bisa juga diartikan sama
dengan tahap keempat yang dituju oleh para sadhaka, dan kalau si sadhaka
beruntung terhubungkan secara langsung ke Sang Atman dalam kekosongan
ini, maka jatuhlah berkahNya. Spasi ini eksis di dalam keheningan dan disebut
spasi Thuriya. Sebenarnya mantra AUM adalah mantra meditasi tertinggi ,
lihat Bhagavat Gita, khususnya bab VI yang membahas meditasi spiritual ajaran
langsung dari Sri Kreshna kepada umat manusia. Japa Gayatri adalah
japa-mantra yang tertinggi, namun untuk meditasi AUM adalah yang tertinggi.
Namun semua ini harus dilakukan tanpa pamrih dan pengharapan sama sekali.
Dengan ini berakhirlah seluruh sloka-mantra Bab I
mengenai Mandukya Upanishad. Dan selanjutnya kita kembali akan
mempelajari uraian Sri Gaudapadiya dalam bentuk Karikanya. Kita kembali lagi ke
Karika.
Kembali ke
Karika:
24. “Mantra AUM (Omkara) ini harus
dipahami secara Pada dari Pada, tidak perlu diragukan bahwa pada-pada ini sama
dengan suara (morae). Setelah menggapai seluruh makna Omkara ini, maka
tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang lainnya.”
Keterangan: Sloka ini menerangkan Sri
Gaudapada yang sedang menjabarkan teknik-teknik meditasi yang harus difokuskan
ke Omkara. Teknik-teknik ini mencakup naik-turun nada AUM dari nada tinggi ke
nada rendah, namun teknik ini sebenarnya membutuhkan tuntunan seorang guru yang
handal.
25. “Bersihkan (mandikan) pikiran dengan
raungan AUM; Kenalilah sang pikiran melalui suara AUM; AUM adalah Brahman Yang
Maha Gagah Berani (Perkasa). Barangsiapa yang senantiasa terjalin dengan AUM,
tidak akan pernah kenal dengan rasa takut dalam bentuk apapun juga.”
26. ”Om adalah sebenarnya Brahman
(bagian bawah) dan Beliau dinyatakan juga sebagai Brahman Yang Maha Kuasa.
Pranawa (AUM) ini bersifat tanpa asal, tanpa manifestasi berikutnya,
tanpa sesuatu apapun diluarnya, dan tidak berubah-ubah.”
27. “AUM adalah sebenar-benarnya
permulaan (Adi), bagian tengah (Madhyana) dan akhir (Anta) semuanya. Memahami
AUM seperti ini, maka seseorang pasti segera akan mencapai Realitas Yang
Maha Kuasa itu.”
28. “Pahami AUM sebagai Iswara
(Penguasa), Tuhan, Yang senantiasa hadir di alam pikiran semuanya; Seseorang
yang bijak yang telah memahami AUM sebagai Yang Maha Hadir, tidak akan pernah
khawatir (akan sesuatu hal apapun juga).”
29. Seseorang yang memahami AUM, yang
tanpa suara dan (juga bersuara ini) dan senantiasa damai karena jauh dari
pengaruh sifat-sifat dualitas, maka orang tersebut adalah seorang suci yang
benar, bukan yang lain-lainnya.”
Dengan ini
Sri Gaudapadiya mengakhiri Karikanya, yang mengulas Bab Pertama Mandukya
Upanishad ini.
BAB II
VAITHATHYA PRAKARANA
(Non-realitas yang berasal dari
dunia yang bersifat obyektif)
Sloka - 1 “Kaum bijak menyatakan bahwasanya
semua obyek mimpi bersifat ilusi, semua obyek ini berlokasi di dalam badan dan
juga karena kehadiran obyek-obyek ini terbatas di dalam spasi yang amat ketat.”
Keterangan: Sri Gaudapadiya ingin menjelaskan
bahwa menurut pendapat para resi yang bijak, maka raga manusia ini merupakan
sebuah wadah yang menyimpan alam mimpi secara sangat padat, ketat dan terbatas
spasinya. Oleh karena itu beliau berteori bahwa alam mimpi itu bukan hal yang
bersifat realitas.
Sloka - 2 “Sehubungan dengan singkatnya waktu
(mimpi) maka tidak mungkin yang bermimpi itu mengunjungi dan melihat-lihat
obyek-obyek mimpinya. Juga sewaktu ia sadar dari tidurnya, ia tidak berada di
ruang di mana ia menyaksikan adegan-adegan mimpinya ini.”
Keterangan: Seseorang yang bermimpi,
sebenarnya dibatasi sekali oleh durasi waktu mimpi itu sendiri, karena
singkatnya waktu mimpi itu sendiri, yang kadangkala bisa terasa panjang sekali,
bahkan terputus-putus. Lokasi didalam mimpinya bisa saja ribuan
kilometer jauhnya, bahkan ke loka-loka lainnya, namun begitu sadar dari
tidurnya ia segera saja menyadari bahwasanya ia tidak pernah bergerak jauh dari
tempat tidurnya. Sebab itu Sri Gaudapada berteori (menyatakan) bahwa
fenomena mimpi ini bukan suatu hal yang bersifat realitas, karena dibatasi oleh
waktu dan ruang (spasi).
Sloka - 3 “Berdasarkan alasan-alasan logika
yang penuh disiplin (ketat), Sruthi yang menyatakan bahwa kereta-kereta kuda tersebut
tidak eksis, (namun) diterima dan diilusikan oleh yang bermimpi. Oleh karena
itu para resi mengatakan bahwa Sruthi sendiri juga menyatakan bahwa
pengalaman-pengalaman mimpi itu sebenarnya adalah bersifat ilusi, demikian juga
Sruthi menyabdakannya melalui logika dan alasan-alasan (yang dapat diterima
oleh akal).”
Keterangan: Sekali lagi kami ingatkan, yang
disebut Sruthi adalah jajaran Shastra –Widhi suci dari Veda ke Bhagavat-Gita.
Salah satu dari naskah suci ini adalah Brihadaranyaka Upanishad yang dalam
salah satu penjelasannya mengenai ilusi dan mimpi menyatakan seandainya
seseorang bermimpi mengendarai kereta kuda padahal memiliki saja tidak,
maka sewaktu ia terjaga dari mimpinya ia merasa kehilangan kereta dan
kuda-kudanya, namun kenyataannya tidak ada yang hilang karena memang di
alam-sadar orang tersebut memang tidak memiliki kereta tersebut., jadi kereta
dan kuda-kudanya hanya ilusi belaka, kata Sri Gaudapada.
Sri Shankara Acharya, dalam karyanya
yang disebut Brahma Gyanavali menyatakan bahwa semua benda di dunia ini dapat
dibagi didalam dua golongan, yaitu ilusi benda-benda duniawi, dan dunia ilusi
yang diilusikan oleh kita semua ini. Vedanta berpendapat bahwa insan yang
berilusi sebenarnya adalah bentuk Kebenaran, sedangkan yang diilusikan
berbentuk tambahan-tambahan (superimposisi). Jadi dengan kata lain seluruh
dunia dan kita semua adalah hasil ilusi belaka!
Sloka - 4 “Berbagai obyek-obyek yang muncul
didalam mimpi bersifat ilusif karena obyek-obyek ini dipancarkan untuk hadir (eksis).
Dengan alasan yang sama, berbagai obyek yang dilihat di alam sadar ini sama
saja sifatnya, seyogyanya dianggap ilusi juga. Perbedaan satu-satunya
adalah, terbatasnya spasi di alam mimpi karena semua obyek mimpi terlihat di
dalam diri sendiri.”
Keterangan: Sri Shankara Acharya dalam hal ini
berkomentar sama: “Baik dalam mimpi maupun dalam kesadaran, ada suatu persamaan
yang utama yaitu: obyek-obyek ini terlihat!
Sloka - 5 “Orang-orang yang berpikiran luas
berbicara tentang persamaan alam-sadar dan alam mimpi berdasarkan adanya
kesamaan dalam obyek-obyek ini yang diterima dikedua tahap ini, dan berdasarkan
alasan-alasan yang telah diuraikan di sloka-sloka di atas.”
Keterangan: Sekali lagi, menurut teori di
Vedanta, dunia dan obyeknya ini adalah superimposisi yang ditambahkan kepada
Sang Atman, oleh karena itu berbagai obyek ini tidak eksis secara
sendiri-sendiri (independen) dari substratum (sumber atau Atman). Jadi berbagai
obyek-obyek duniawi yang terrealisasi ini adalah permainan sang pikiran belaka.
Hanya Atman itu sendiri yang bersifat abadi, dan merupakan Realitas Yang
Maha Hadir.”
Sloka - 6 “Sesuatu yang bersifat non-eksis
pada permulaannya dan pada akhirnya juga bersifat non-eksis bahkan pada saat
ini juga. Berbagai obyek ini ibaratnya berbagai ilusi yang kita lihat, namun
obyek-obyek ini dianggap sebagai hal yang nyata.”
Keterangan: Sri Gaudapada menyatakan disini,
bahwasanya benda/obyek apa saja yang tidak pernah eksis sebelumnya, tidak akan
eksis pada saat ini, maupun pada saat/masa-masa yang akan datang.
Sloka - 7 “Obyek-obyek di alam sadar dapat
membantu kebutuhan-kebutuhan kita, hal ini bersifat kontradiktif dengan
alam-mimpi. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu dikatakan bahwa semua obyek-obyek
ini bersifat ilusif . . . baik di alam sadar maupun di alam mimpi .
. . Karena memiliki permulaan dan akhir.”
Keterangan: Ternyata ada oposisi/bantahan yang
ditujukan kepada teori Sri Gaudapadiya dan teori Sri Shankara Acharya.
Oposan ini menambahkan bahwa di alam sadar kita bisa membuat masakan yang enak,
dan masakan tersebut betul-betul eksis, tetapi di alam mimpi itu tidak
nyata. Namun ada persamaannya, karena ada permulaan dan ada akhir untuk setiap
benda dan kehidupan ini, secara tersirat ini disebut ilusi, baik alam sadar
maupun alam mimpi.
Sloka - 8 “Berbagai obyek yang didapatkan oleh
seseorang yang bermimpi bersifat tidak selaras dengan alam sadar, obyek-obyek
ini sudah pasti mampu hadir sesuai dengan jalan pikiran orang yang bermimpi
itu, dan jalan pikiran ini ibarat jalan pikiran mereka-mereka yang tinggal di
swarga-loka. Sang pemimpi ini yang menggabungkan dirinya dengan dunia mimpinya,
mengalami berbagai pengalaman seakan-akan ia diperintahkan agar pergi
(berkelana) dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan menyaksikan berbagai
obyek-obyek yang hadir di tempat tersebut.”
Keterangan: Sloka ini memuat pendapat yang bertentangan dengan
ilustrasi yang terdapat di Vedanta. Vedanta menyatakan bahwa alam-sadar
bersifat sama dengan alam mimpi, yaitu sama-sama tidak realistis. Namun
yang berpendapat lain menyatakan alam-mimpi itu tidak realistis, dan
tetapi alam sadar tidak bisa diperbandingkan secara keseluruhan dengan alam
mimpi, karena di alam mimpi kita sering mengalami berbagai pengalaman yang
aneh, bahkan ramalan atau kejadian di masa depan diproyeksikan lebih awal di
dalam suatu mimpi, juga berbagai firasat dan peringatan dapat hadir lebih
awal di dalam mimpi, disamping fenomena-fenomena aneh seperti melayang, alam
gaib dan lain sebagainya yang tidak lazim terjadi di alam sadar. Jadi
kesimpulannya alam mimpi itu tidak bersifat realistis dan berbagai obyek di
dalamnya juga tidak bersifat realistis. Sebaiknya alam sadar ini memiliki ritme
dan sebuah bentuk keharmonisan, dan selalu bergerak sesuai dengan sifat-sifat
alaminya; disimpulkan bahwa alam sadar tidak bisa begitu saja diperbandingkan
dengan alam mimpi.
Sloka - 9 -10 “Di alam mimpi apapun yang
diimajinasikan oleh sang pemimpi di dalam pikirannya bersifat ilusif dan apapun
yang dikenali olehnya di luar mimpi terkesan seakan-akan bersifat realistis.
Namun sesungguhnya kedua faktor ini tidak benar . . . kedua-duanya ini adalah
mimpi, Demikian juga di alam sadar, apapun yang diimajinasikan sang pikiran
dianggap ilusif dan yang dialami di luar pikiran terkesan seperti benar,
padahal kedua faktor ini harus dianggap tidak realistis melalui jalan pikiran
yang rasionil.”
Keterangan: Dengan dua seloka ini, Sri
Gaudapadiya menyatakan pendapatnya melalui dua aspek kehidupan ini, yaitu
obyek-obyek dan dunia-pikiran. Di alam mimpipun kedua faktor ini hadir.
Di alam mimpi, orang yang bermimpi dan menerima dunia obyek dari mimpi-mimpinya
seakan-akan bersifat realistis, namun secara logika dan jalan pikiran yang
logis seharusnya berbagai imajinasi pikiran itu dianggap sebagai ilusif (asat).
Sloka - 11 “Seandainya berbagai obyek yang
dikenali di kedua alam ini bersifat ilusif, lalu siapakah (apakah) yang
mengenali semua obyek yang bersifat ilusif ini dan siapa (apa) lagi yang
mengimajinasikan semua ini?”
Keterangan: Lagi-lagi ada oposan yang bertolak
belakang pendapat dengan kaum Vedantin (Pengikut Vedanta).
Sloka - 12 “Keputusan Vedantik adalah seperti
berikut ini: “Sang Atman, yang bercahaya dari Dirinya Sendiri, melalui
kekuatan-kekuatan yang timbul dari delusi (maya)Nya sendiri, berimajinasi da
dalam Dirinya , oleh Dirinya, akan seluruh obyek-obyek ini, dan berbagai
pengalaman di berbagai alam, baik alam yang di dalam maupun yang diluar
dinikmati oleh si individualNya Sendiri. Hanya beliau semata-mata yang paham
akan obyek-obyek yang telah diciptakanNya.”
Keterangan: Pada sloka 10 dan 11 ini, Sri
Gaudapada menjawab tuntas para oposan ini. Namun tidak begitu mudah untuk
memahami makna jawaban ini sesungguhnya. Sang Atman harus dipahami dulu
HakikatNya, dan hal ini bukanlah suatu proses yang mudah bagi seorang sadhaka.
Sloka - 13 “Tuhan Yang Maha Esa, Sang Atman,
dengan pikiranNya yang tertuju keluar, berimajinasi akan berbagai obyek yang
hadir di alam dalam dan di alam luar yang hadir di dalam jalan PikiranNya
sebagai Vasanas atau Samsakaras atau berbagai bentuk nafsu. Kemudian Sang Atman
sekali lagi menunjukkan pikirannya ke dalam dan memikirkan (mengimajinasikan)
berbagai ide/ pengalanan dan obyek.”
Keterangan: Atman di atas, adalah
personifikasi dari kesadaran setiap individu yang hadir dalam setiap jiwa.
Sloka - 14 “Kedua faktor ini adalah imajinasi
semata-mata. Semua yang dikenali (dipahami) di dalam (hadir) selama
dikenali, oleh masa berlakunya pikiran tersebut; demikian juga dengan berbagai
hal yang dirasakan yang menghubungkan kedua titik waktu ini. Tidak ada
alasan lain untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya.”
Keterangan: Sloka di atas adalah suatu
pendapat yang beroposisi terhadap teori Vedantin. Menurut pendapat di atas,
maka dunia (alam) dalam pikiran itu hanya dikuasai oleh satu masa (waktu)
saja, dan alam luar berbagai obyek terkungkung oleh dua titik sang waktu.
Menurut mereka (kaum oposan ini),
alam sadar itu sifatnya lebih realistis karena bersandarkan dua masa sang
waktu, sedangkan alam mimpi hanya hadir di dalam pikiran saja (satu titik sang
waktu) dan hanya selama masa pikiran itu berlangsung. Di luar itu, tidak eksis
lagi.
Sloka - 15 “Berbagai imajinasi yang bersifat
subyektif yang hanya hadir di dalam sang pikiran, yang dipahami sebagai yang
tak termanifestasi, juga berbagai hal lainnya yang hadir di dunia luar dalam
bentuk termanifestasi obyek-obyek; kedua-duanya ini adalah imajinasi belaka,
yang berbeda diantara keduanya adalah organ-organ sensual (indriyas), yang melalui
indriyas inilah dunia luar seakan-akan terpahami.”
Keterangan: Sri Gaudapada menerangkan di sloka
ini seluruh jawaban untuk suara oposan yang berpendapat bahwa ada perbedaan
diantara dunia (alam) pikiran di dalam dan di dunia (alam) obyek di luar. Dunia
pikiran bersifat “tidak termanifestasi” sedangkan “dunia luar” yaitu
obyek-obyek di dalam kehidupan ini bersifat “manifestasi”, jadi menurut mereka
di luar ini lebih berbobot daripada dunia pikiran.
Sri Gaudapada menjawab, dengan
menyatakan disini bahwasanya kedua faktor tersebut di atas adalah imajinasi
belaka, karena dibawah pengaruh berbagai indriyas sendiri. Semua fenomena dan
faktor-faktor ini bisa (dapat) bermanifestasi atau sebaliknya sesuai dengan
permainan/pengaruh dari berbagai indriyas ini.
Menurut beliau, pertama-tama
imajinasi individu-individu yang berbeda-beda yang dikenal dengan nama Jivatma
Bhavana (ide-ide ego sentris). Setiap egosentris yang berhubungan dengan setiap
AtmanNya ini lahir dengan konsep yang berbeda-beda. Sewaktu sang pikiran
menanjak naik ke alam kesadaran yang tinggi maka naik juga elemen-elemen
egosentris yang terkesan realistis ini dan lalu beradaptasi dengan
menyelaraskan sifat-sifat, berbagai karakter, pelaksanaan sehari-hari sesuai
dengan media yang terproyeksikan yaitu kondisi pikiran (mental-condition).
Begitu proyeksi egosentris ini
bersentuhan dengan Sang Atman, delusi ini menciptakan berbagai jenis
delusi-delusi lainnya yang mengentalkan elemen-elemen kebatilan (yang bersifat
asurik, iblis) dan menjauhkan kita semua dari Hakekat Yang Maha Benar, dan
makin lama egosentris ini makin menjerumus ke dalam dunia mimpinya sendiri yang
berbentuk nama, rupa yang saling menunjang sesamanya (dengan kuat).
Sloka - 16 “Pertama-tama, sifat-sifat
egosentris (Jiva-Bhavana) diproyeksikan dan kemudian menyusul setelah itu
berbagai imajinasi dari berbagai elemen, baik yang berciri obyektif dan
subyektif. Begitu sifat ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat memorinya.”
Keterangan: Timbul pertanyaan kini, seandainya
semua yang bersifat obyektif dan subyektif adalah imajinasi belaka, maka
seperti apakah bentuk dari sumber dari segala imajinasi ini?
Pada saat ini yang berbantah
pendapat dengan teori Vedantin mulai menyadari akan sesuatu hakikat yang
sifatnya lebih tinggi dari kedua faktor tersebut di atas. Hakikat yang
lebih tinggi ini tidak mungkin pikiran adanya, karena pikiran itu sifat dan
bentuknya masih materi; bukan juga Sang Atman karena Beliau adalah Pengetahuan,
dan tidak mungkin di dalam Pengetahuan itu hadir delusi (Begitu sifat
ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat memorinya). Seandainya pengetahuan
tidak ada, maka tidak akan eksis juga memori. Memori kita semua eksis
berdasarkan fondasi ilmu-pengetahuan (dalam hal ini berdasarkan fondasi
(tingkat) atau kualitas ilmu-pengetahuan kita masing-masing).
Sloka - 17 “Ibarat seutas tali dalam
kegelapan, dianggap sebagai seekor ular, demikian juga Sang Atman (senantiasa
diibaratkan) dalam berbagai bentuk.”
Keterangan: Perumpamaan di atas sangat populer
di Sanathana Dharma dan sering dipergunakan dalam berbagai ajaran spiritual.
Sloka - 18 “Sewaktu sifat asli tali ini
terungkap, maka berbagai ilusi mengenai tali inipun menghilang dan kemudian
sadarlah kita bahwa sebenarnya itu hanyalah seutas tali yang tidak pernah
berganti-ganti bentuk; dekikian juga sifat dari Sang Atman, yaitu Ilmu
Pengetahuan Yang Maha Murni.”
Keterangan: Di dalam kegelapan atau situasi
yang remang-remang sering kita merasa (berilusi) bahwa benda panjang dihadapan
kita adalah seekor ular, namun sewaktu terang baru kita sadar bahwa yang kita
lihat itu adalah seutas tali atau benda panjang lainnya.
Sloka - 19 “Sang Atman diimajinasikan dalam
berbagai variasi yang tak terhitung, seperti prana dan lain sebagainya. Hal ini
terjadi karena kekurang-pengetahuan yang diakibatkan oleh Sang Maya yang
berasal dari Sang Atman Yang Bercahaya dari Dirinya Sendiri, melalui Sang Maya
ini Sang Atman menyesatkan dirinya.”
Keterangan: Dari sloka ini kita
mendapatkan sebuah teori tambahan dari kaum Vedantin bahwasanya Sang Atmanlah
penyebab dari semua kebodohan dan kegelapan kita. Berbagai ajaran Upanishad
sebenarnya menuntun kita ke tahap: Hakikat Yang Maha Esa, demikian juga dengan
Upanishad yang satu ini. Di sloka-sloka berikutnya hadir 35 pandangan akan penciptaan
ini yang diberikan melalui sudut pemikiran yang berbeda-beda. Di zamannya Sri
Gaudapada itu sendiri, semua pandangan ini dianggap asing dan tidak bersifat
filosofis.
Sri Gaudapada dengan sangat
bijaksana menuliskan semua pandangan ini di dalam uraian Karika ini demi kita
semua tanpa memilah-milahnya. Beliau betul-betul adalah seorang resi yang
mulia, dan tanpa Karika ini mungkin kita telah kehilangan suatu
kesempatan besar. Semoga amal perbuatan beliau ini mendapatkan
Karunia Yang Maha Esa secara setimpal. Om Tat Sat.
Sedemikian demokratisnya beliau ini
sehingga beliau menerima pendapat apa saja, walaupun sifatnya tidak rasional
demi ilmu-pengetahuan yang dikembalikan ke kita semua. Karena hal
sama selalu terulang dari waktu ke waktu.
Sloka - 20 “Mereka-mereka yang mengenal
(memahami) Prana tersebut Sang Atman sebagai Prana, yang mengenal Bhutas
menyebutNya sebagai Bhutas; mereka-mereka yang mengenal Gunas (sifat-sifat)
alami menyebut Sang Atman sebagai Gunas; dan mereka yang mengenal Thatwas, menyebutnya
sebagai Thatwas (3 unsur Realitas yaitu: Atman, Avidya dan Shiva).”
Keterangan: Kaum Vaiseshikas yakin bahwa
Realitas yang hadir dibalik semua nama dan ciptaan-ciptaan ini adalah Prana.
Prana disini diidentikan dengan Hairanyagarbha (Pencipta, yang di Vedanta
dikenal dengan nama Suthratma).
Mereka-mereka yang yakin akan
kepercayaan ini memujaNya sebagai Realitas Yang Maha Utama dan mereka menyebut
Hundu Dharma dengan nama Hiranyagarbhakas.
Ada empat teori yang berbeda-beda di
sloka di atas mengenai Sang Atman, demikian juga dengan sloka-sloka berikutnya.
Teori Charraka (berorientasi ke
materi/bhutas), teori ini disebut juga Lokayathas, penganut teori ini tidak mau
menerima adanya ether sebagai salah satu elemen penciptaan di dunia ini, bagi
mereka hanya ada 4 bhutas saja, yaitu udara, api, air dan tanah.
Teori Sankyas di atas mengatakan:
Dunia ini berasal dari tiga sifat gunas yang masing-masing berintikan unsur
(physic dan psichological) seperti a) non-aktivitas, b) aktivitas, dan c) tidak
aktif. Menurut mereka, Pralaya (kiamat) adalah suatu bentuk penghancuran
dunia ini yang menyisakan kondisi manifestasi yang bersifat homogeneous sewaktu
ketiga gunas ini memasuki tahap equilibrium. Pada saat keselarasan
equilibrium ini terganggu atau diganggu, maka gunas ini lalu hancur berantakan
ibarat rumah yang disusun dari kartu, ke dalam nama dan bentuk (rupa) yang
berbagai ragam ini dan menghasilkan pruralitas alam-semesta ini!
Di India hadir aliran Saivas (Pemuja
Shiva) yang percaya akan Eksistensi Yang Maha Esa (Realitas) berdasarkan tiga
faktor utama, yaitu yang disebut tiga bentuk Tatras: Sang Atman – Avidya
(kegelapan-kebodohan) – Shiva.
Sloka - 21 “Mereka-mereka yang terbiasa dengan
empat bagian Padas menyebut Sang Atman sebagai Padas; Mereka-mereka yang
terbiasa dengan berbagai indriyas menyatakan bahwa dasar-dasar dunia ini adalah
berbagai obyek-obyek sensual ini; mereka-mereka yang terbiasa dengan berbagai
loka (planet dan sebagainya) menyatakan bahwa Sang Realitas adalah Loka-loka
itu Sendiri dan mereka-mereka yang mengenal para dewata (Devas) juga menyatakan
bahwa Sang Realitas adalah gabungan dari para dewa-dewa ini.”
Keterangan: Penjelasan lengkap mengenai 4
bagian Padas telah hadir pada permulaan karya ini, lihat keterangan mengenai Om
Upasana di awal buku ini.
Menurut Vatsayana dan
pengikut-pengikutnya, Realitas terakhir adalah berbagai obyek sensual dalam
bentuk berbagai suara, bentuk, bau-bauan, rasa dan sentuhan.
Menurut Panarikas (mythologis), Sang
Realitas terdiri dari tiga dunia (loka) yang disebut “Bhur”, “Bhuva” dan
“Suvah”.
Menurut Meemamsakas,
penganut-penganut penuh disiplin dari berbagai Vedas, Dewa Agni, Indra dan
lain-lainnya, maka gabungan dari semua dewa-dewi ini adalah Realitas yang
Abadi. Para dewa-dewa ini oleh para penganut ini dianggap sebagai Penjaring
dari berbagai karma dan pahala-pahalanya (Karmaphaladatas).
Sloka - 22 “Mereka-mereka yang memahami
berbagai Vedas menyebutNya sebagai Vedas; mereka-mereka yang mengenal berbagai
bentuk pengorbanan menyebutNya sebagai Pengorbanan suci. Mereka yang memahami
sang penikmat menyatakan Beliau itu sebagai Sang Maha Penikmat, dan
mereka-mereka yang memahami berbagai obyek kenikmatan menyebutNya sebagai obyek
berbagai kenikmatan.”
Keterangan: Para Vedins yakin bahwa Tuhan itu
adalah berbagai Veda-veda itu sendiri.
Para penganut aliran Bodhyanas
menyatakan bahwa berbagai bentuk pengorbanan (yagnas) adalah Sang Realitas.
Tanpa pengorbanan agung dari Sang Pencipta, tidak mungkin alam-semesta ini bisa
tercipta pada mulanya, dan pengorbanan tersebut dilakukan secara tulus dan oleh
bakti yang dilandasi paham-paham ajaran Veda. Bagi para ahli lainnya, pendapat
ini dinilai tidak filosofis, jadi tidak benar karena mana mungkin benda-benda
duniawi menciptakan Yang Maha Esa.
Pandapat kaum Sankhyas menyatakan
Sang Realitas adalah penikmat. Menurut mereka ini, Sang Atman bukanlah pelaku
juga bukan tuhan, sebaliknya Beliau adalah Penikmat (dari semua bentuk
kehidupan dan seluruh ciptaan ini).
Ada juga kaum Sapukaras (juru
masak), yang beranggapan bahwa Sang Penikmat itu adalah Sang Realitas atau
sebaliknya (bukan Penikmat).
Sloka - 23 “Mereka-mereka yang memahami
unsur-unsur lembut, menyebutNya sebagai Yang Lembut; mereka-mereka yang
memahami wujud-wujud (benda) kasar menyebutnya sebagai Yang Kasar (padat,
penuh, berbentuk) dan mereka-mereka yang memuja sebuah bentuk menyebutNya
sebagai seseorang yang berbentuk dan mereka-mereka yang yakin akan yang tidak
berbentuk menyebutNya sebagai Kekosongan.”
Keterangan: Kaum Naiyayikas (pemaham logika)
menyatakan dunia ini adalah modifikasi (parinama) dari realitas Yang Maha
Utama. Parinama ini terdiri dari tiga faktor yaitu sesuai dengan dimensi
realitas yang dikenal; yang pertama bersifat atomik (Anu-Parinam), yang
kedua ukurannya sebesar raga manusia itu sendiri (Madhyama-Parinam) dan
yang ketiga bersifat universal (Vibhu-Parinama). Menurut teori yang
pertama: Realitas adalah bentuk terkecil dan terlembut di alam-semesta ini yang
juga hadir di dalam relung hati sanubari yang paling dalam. Kata lembut disebut
Sukshma (Suksuma) dan sifatnya adalah terkecil dari yang terkecil (atom) . . .
Anuparinam.
Penganut aliran Lokayathas
(materialis) berpendapat, raga ini adalah Realitas yang Utama yang
terutama di dalam kehidupan ini. Penganut aliran ini terbagi dalam tiga aliran
kepercayaan. Yang pertama percaya bahwasanya badan atau raga ini adalah
Realitas Utama, mereka ini disebut Deha-Atma-Vadins. Yang kedua percaya
bahwasanya berbagai indriyas adalah Sang Realitas Utama, mereka ini disebut
Indriya-Atma-Vadins, sedangkan aliran ketiga berkeyakinan bahwa Sang Realitas
adalah sang pikiran itu sendiri. Mereka dikenal dengan nama Man-Atman-Vadins.
Kaum Agamikas adalah penganut
berbagai agamas …. Mereka yakin Sang Realitas memiliki bentuk-bentuk suci dan berbagai
nama seperti Maheswara (dengan Trisulanya), sebagi Vishnu dengan Cakranya, atau
sebagai Sri Krishna dengan serulingnya.
Adalah satu golongan Buddhis yang
disebut Nihilis telah berketetapan bahwasanya Realitas Yang Maha Utama adalah
Non-eksistensi yang memproyeksikan semua bentuk dan nama di alam-semesta ini.
Sloka - 24 “Mereka-mereka yang percaya akan
Sang Waktu (Kala) menyebutNya sebagai Sang Waktu, yang percaya akan antariksa
menyebutNya sebagai Sang Hyang Antariksa (Disa). Para alkemis dan ahli-ahli
sulap menyebutnya sebagai Vada (ilmu fisika) dan mereka-mereka yang memahami
berbagai dunia ini menyebutNya sebagai Bhuvanan (gabungan dari berbagai loka,
dunia).”
Keterangan: Para ahli astrologi dan astronomi
di jaman tersebut yakin bahwa dunia (alam-semesta) ini lahir dari Faktor
Eternal yang disebut Kala (Sang Waktu), mereka yakin alam-semesta ini ditunjang
oleh Sang Kala dan akan menyatu kembali ke dalam Sang Waktu. Oleh karena itu,
bagi mereka faktor utama adalah Sang Kala. Namun banyak ahli yang tidak
sependapat, karena menurut mereka sang waktu selalu berubah-ubah, jadi tidak
mungkin bisa bersifat abadi.
Kaum Swarodayavadins adalah golongan
pemikir yang sangat piawai dalam membaca hal-hal yang berhubungan dengan
masa-masa yang akan datang dan implikasinya dengan berbagai swara (suara dan
nada) yang dihasilkan oleh para fauna-fauna dan berbagai elemen/fenomena di
dunia ini. Mereka ini mampu menghitung dan mendeteksi berbagai suara di
alam ini dan meramalkan hal-hal yang akan terjadi. Bagi mereka ini arah
mata-angin (desa) adalah basis Abadi dari kehidupan yang serba pruralistik ini.
Golongan ini juga terdiri dari Dhatuvadins (atau mantravadins) yang melakukan
kegiatan magis mereka dengan menggunakan berbagai perangkat seperti kristal, mantra-mantra,
ramu-ramuan dan lain sebagainya. Seni magis ini mereka sebut Vada, dan bagi
para alkemis ini, Faktor Kebenaran di alam-semesta yang serba berubah-ubah ini
adalah Yang Terutama.
Sloka - 25 “Mereka-mereka yang percaya akan
sang pikiran (mana) menyebutNya Sang Mana; mereka-mereka yang yakin akan sang
intelek murni menyebutNya sebagai Sang Budhi, mereka-mereka yang percaya akan
inti sang pikiran menyebutNya sebagai Chit (Chittam); dan mereka-mereka yang
mengenaliNya sebagai Kebenaran menyebutNya sebagai Dharma dan Adharma.”
Keterangan: Penganut Sang Buddhi di atas,
disebut juga Budhis. Ada juga golongan Buddhis lainnya yang menyebut
Yogachaeas, yang yakin bahwa Chit (Buddhi tertinggi yang hadir di dalam Sang
Pikiran) adalah Sang Realitas Abadi. Mereka ini yakin, tanpa Chit yang
merupakan Prinsip bercahaya, maka seseorang tidak akan dapat mencapai
persepsiNya. Ketiga kategori pemuja ini masuk dalam satu wadah Buddhis yang
berorientasi ke unsur-unsur materi, yang agak berbeda persepsi keyakinannya.
Kemudian ada golongan
meemsakas (baca mimsakas) yang yakin bahwa Dharma dan Adharma (Punya dan Papa),
adalah realitas yang bersifat fundamental dan merupakan basis alam-semesta ini.
Bagi mereka alam-semesta ini terkendali oleh faktor kebajikan dari masa lampau
dan faktor masa kini akan menentukan masa depan alam-semesta di masa-masa
yang akan datang.
Sloka - 26 “Sementara ahli berpendapat
bahwasanya Sang Realitas ini terdiri dari 25 golongan (kategori), ada yang
mengatakan 26 dan ada juga yang berpendapat bahwa jumahnya tidak terbatas.”
Keterangan: Bagi kaum Sankhyan di India, Yang
Maha Esa mengekspresikan ManifestasiNya dalam 25 bentuk fenomena yang dinilai
dengan mula-prakriti dan kemudian bermodifikasi seterusnya dan berjumlah 25
kategori penunjang kehidupan di seluruh alam-semesta ini. Namun yogin lainnya
berkata 26 manifestasi, para yogin ini beraliran Patanjali. Kemudian ditambah
satu lagi yaitu Ishwara Thatwa. Sedangkan aliran Pasupatas menyatakan
unsur-unsur ini ada 31 dan lengkapnya sebagai berikut:
1)
Shiva
2) Sukh 3)
Sada-Shiva 4) Ishwara 5) Vidya
6)
Purusha 7)
Maya 13)Prakriti
Yang Tak Bermanifestasi
14)
Mahat 15)
Ahamkar 16) Manas
5 organ indriyas; 5 organ segala
tindakan; 5 thanmatras = 31 dan 5 unsur maha panca butha = 36.
Di atas ini Sri Gaudapada menyebut
31 kategori, padahal masih ada unsur Sang Waktu (8), raga (12) dan sebagai
implikasi Sang Maya (7). Namun ada juga yang berpendapat bahwasanya Yang Maha
Esa itu tidak terbatas manifestasiNya.
Sloka - 27 “Bagi mereka-mereka yang gemar
menyenangkan hati orang lain yaitu kaum Lukikas, menyebutNya sebagai “tindakan
yang membahagiakan dunia ini”, bagi kaum Ashramas yang setia, mereka
menyebutNya sebagai Ashramas; bagi ahli tata-bahasa, Beliau dikategorikan
sebagai pria, wanita dan banci; dan ada lagi yang menyatakan Beliau ini Para
dan Apara (Brahman minor dan Brahman major).”
Sloka - 28 “Para pengagum penciptaan ini
menyebutNya sebagai Penciptaan, yang percaya akan kiamat (laya) menyebutNya
Sang Kiamat, dan yang percaya akan bentuk pemeliharaan menyebutNya Sang
Pemelihara (Pengayom). Sebenarnya semua pemikiran ini hanyalah (berbagai)
imajinasi Sang Atman.”
Sloka - 29 “Bagi seorang Sadhaka, maka ia
mengenaliNya seperti yang diajarkan oleh gurunya. Sang Atman senantiasa
menyelaraskan Dirinya dengan berbagai hasrat para pemuja-pemujaNya, dan
melindungi mereka (dengan bentuk tersebut). Dengan demikian sang Pemuja akan
meyadari Hakikatnya . . . sebagai satu-satuNya bentuk Kebenaran.”
Keterangan: Seperti halnya Sri Krishna
di Bhagavat-Gita, maka Sri Gaudapada pun dengan sangat liberal menyatakan bahwa
Yang Maha Esa menyelaraskan DiriNya untuk dipuja dalam bentuk dan agama/ajaran
apapun juga. Lalu untuk apa kita ribut sesama agama? Atau dengan umat
lain? Tuhan sendiri tidak protes dan malahan berkenan, mengapa harus
kita-kita yang selalu merasakan diri kita benar dan yang lainnya salah?
Sloka - 30 “Sang Jati Diri, walaupun tidak
memisahkan diri dari kesemuanya ini, terkesan terpisah dan jauh keberadaanNya.
Seseorang yang hanya dengan memahami makna ini saja, seyogyanya akan mampu
memahami makna dari berbagai Veda tanpa keragu-raguan sedikitpun.”
Sloka - 31 “Ibarat mimpi yang berasal dari
berbagai ilusi, atau “istana kediaman bidadari Morgana” yang terlihat di
langit, demikian juga alam-semesta ini diamati oleh para Vedantin yang telah
penuh dengan pengalaman (Kebijaksanaan dan ilmu-pengetahuan).”
Sloka - 32 “Tidak ada pralaya (kiamat), juga
tidak ada kelahiran; tidak juga hadir keterikatan, ataupun seseorang pencari
kebijaksanaan, ataupun ada seorang pencari kebebasan, araupun seseorang yang
telah dibebaskan. Hanya inilah Kebenaran Yang Maha Utama.”
Keterangan: Bagi yang telah mencapai
Kemanunggalan dengan Sang Jati Diri maka semua fenomena spiritual diatas
pun tidak eksis lagi. Baca Ashtavakra-Gita yang berisikan intisari dari sloka
ini.
Sloka - 33 “Sang Atman (Jati Diri) ini
diimajinasikan sebagai yang tidak nyata dan juga sebagai Yang Nyata.
Berbagai obyek diimajinasikan di dalam Non-dualitas Itu Sendiri. Oleh karena
itu dikatakan bahwaanya, Sang Non-dualitas ini adalah bentuk Kesucian yang
Tertinggi.”
Sloka - 34 “Berbagai lapisan pruralitas ini
tidak eksis seperti yang diidentifikasikan dengan Sang Atman. Namun Ia juga
tidak dapat lepas dari bebas merdeka dari DiriNya Sendiri. Ia tidak terpisahkan
dari Sang Brahman, tidak juga Non-pruralitas berpisah DariNya. Demikian kata
para kaum bijaksana yang telah memahami berbagai Upanishad.”
Sloka - 35 “Oleh para resi-resi suci yang agung
yang berasal dari kurun masa yang lampau, yang tidak memiliki keterikatan, rasa
takut (khawatir) dan kemarahan, yang telah mempelajari kebenaran berbagai
Upanishad secara mendalam, maka kaum suci ini disadari sebagai “Sesuatu” yang
secara total lepas dari berbagai imajinasi dan bebas (merdeka) dari berbagai
lapisan ilusi, Beliau juga dipahami sebagai Eksistensui Yang Abadi dan Non-dual
HakikatNya.”
Keterangan: Penjelasan di atas ini sebenarnya
termuat di sebuah kitab ajaran yang disebut Prakarana Granth yang berisikan
berbagai instruksi hasil ajaran para guru resi yang mengkhususkan mengajar para
peniti jalan shadana. Sri Gaudapadiya secara tidak langsung mengisyaratkan
kepada para murid-muridnya agar mempelajari berbagai Upanishad dan kitab-kitab
suci yang bernuansa adi-luhung agar mampu menjangkau HakikatNya.
Sloka - 36 “Oleh karena itu setelah menyadari
akan Hakikat Sang Atman yang bercirikan demikian, persatukanlah dirimu
denganNya. Setelah menyadariNya secara penuh sebagai Realitas yang bersifat
Non-dual, kemudian bergeraklah di dalam kehidupan ini penuh dengan kesadaran
hakiki.”
Keterangan: Kesadaran yang hakiki berarti
orang yang saat ini, nantinya secara murni tidak akan berpihak ke agama ataupun
ajaran-ajaran lainnya, karena ia sadar bahwa Yang Maha Esa sebagai Hakikat
Tertinggi tidak terjangkau oleh nalar manusia yang terikat dengan berbagai
dogma, kepercayaan dan keyakinan. Ia sadar bahwasanya hanya Yang Maha Esa saja
yang mampu hadir di berbagai ajaran dan agama sebagai tujuan tertinggi.
Sloka - 37 “Seorang suci yang telah
mengendalikan dirinya, seharusnya berada di atas semua bentuk pujian dan
kehormatan (yang diarahkan kepadanya), juga diatas berbagai ritual ….. diatas
berbagai agama dan lain sebagainya. Baginya hanya Sang Atman saja yang menjadi
penyandang raganya dan ia hanya berpasarah diri dalam memenuhi berbagai
kebutuhan fisiknya ini.”
Sloka - 38 “Setelah memahami Kebenaran tersebut
di dalam raganya maka di dunia (alam) eksternal ia menyatu dengan Sang
Realitas; dan selanjutnya (senantiasa) menyerap berbagai bentuk kebahagiaan
dariNya dan ia tidak pernah tersesat dari Kebenaran ini.”
Dengan berakhirnya sloka tersebut di
atas maka
Berakhirlah Bab Kedua dari
Gaudapada Karika ini.
BAB III
ADWAITA
PRAKARANA
(Penjelasan
mengenai Faktor Non-dualisme)
Pada kedua bab sebelumnya Sri
Gaudapada secara jelas dan terperinci menerangkan berbagai ekspresi dari
berbagai agama-agama di jaman tersebut. Di bab pertama beliau menerangkan
eksistensi agung dari Sang Realitas yang bersifat non-dual, keterangan yang
diberikan berdasarkan skripsi-skripsi yang telah beliau pelajari. Kemudian di
bab kedua kita diberikan sajian berupa berbagai argumentasi dari berbagai
aliran (agamas) untuk membuktikan sifat ilusif dari dunia yang serba
pruralistik ini. Di bab ini beliau menuntun kita ke arah fenomena dunia yang
serba pruralistik ini yang ternyata sebaliknya tidak bersifat ilusif. Bab ini
penuh dengan berbagai sitiran dari berbagai skripsi suci dan juga menuntun kita
ke arah meditasi kita sehari-hari.
Konon, di bab yang akan kita
ikuti ini (bab III), tersirat adanya ajaran unik yang hadir dalam Vedanta yang
disebut “Asparse Yoga”. Yoga ini tersirat juga di ajaran Sang Buddha Gautama.
Di akhir bab III, Sri
Gaudapada meneriakkan ajaran filosofinya mengenai non-penciptaan. Di sloka
tersebut mengungkap seluruh sari pati ajaran Karika ini hanya dalam dua kalimat
yaitu:
“Tak ada satu jiwapun yang
pernah dilahirkan; tidak ada alasan apapun juga untuk melahirkannya.
Itulah kebenaran yang
tertinggi, yaitu tidak ada sesuatupun yang pernah lahir.”
ADWAITA
PRAKARANA
Dimulai
Sloka
- 1 “Setiap
ego individual yang sedang meniti jalan bakti (upasana) berimajinasi bahwasanya
ia terhubungkan ke Sang Brahman, yang diperkirakan olehnya telah
memanifestasikan DiriNya. Insan (Ego) ini disebut memiliki budhi yang rendah,
karena insan ini berpikir bahwa sebelum terjadi penciptaan, maka semua ini
bersifat Realitas yang belum dilahirkan.”
Sloka
- 2 “Oleh
karena itu, akan kuterangkan padamu, akan Sang Brahman ini, yang lepas
dan merdeka dari berbagai keterbatasan, yang tidak pernah dilahirkan dan
bersifat homogeneous (sama jenis), dan dariNya ini sebenarnya tidak ada yang
dilahirkan, walaupun terkesan berbentuk berbagai manifestasi yang tidak ada
habis-habisnya.”
Sloka
- 3 “Sang
Atman yang mirip dengan Akash (ether) bermanifestasi dalam berbagai bentuk ego,
dan dapat dibandingkan dengan spasi/ruang dalam bejana. Sekali lagi, spasi
dalam bejana dikatakan diproduksi oleh spasi-total, oleh karena itu disebutkan
bahwasanya bentuk-bentuk kasar (kasat mata) diciptakan dari Sang Realitas.
Inilah ilustrasi bagi dunia dalam bentuknya yang bermanifestasi.”
Keterangan: Di dalam
filosofi Vedanta terdapat analogi tentang spasi total (kehampaan alam-semesta)
dan ruangan hampa, contoh ruang hampa dalam gerabah seperti pot, bejana,
tempayan dan sebagainya. Spasi total adalah antariksa, ether, langit yang
mengelilingi kita, sedangkan ruangan dalam bentuk dan ukuran apapun juga
adalah sebagian kecil dari kehampaan total alam-semesta ini.
Sloka
- 4 “Sewaktu
jambangan yang terbuat dari gerabah ini pecah, maka spasi (ruang) dalam gerabah
ini menyatu kembali dengan Akash (kehampaan alam-semesta), demikian juga setiap
ego (individu) menyatu kembali dengan Sang Atman.”
Sloka
- 5 “Mengisi
ruang kosong gerabah dengan asap atau tanah tidak berarti lalu seluruh ruang
hampa di alam-semesta jadi terisi. Demikian juga halnya akan kebahagiaan
dan penderitaan di dalam hati seseorang tidak harus menjadi penderitaan dan
kebahagiaan semuanya. Pengalaman jiwa seseorang tidak harus jadi pengalaman
semua yang lain.”
Sloka
- 6 “Di
sana-sini terdapat berbagai perbedaan di dalam berbagai bentuk, fungsi dan
nama, namun di alam-semesta yang tak terterangkan ini tidak terdapat semua
perbedaan ini. Demikian juga halnya dengan kebenaran, Beliau hadir secara
sama-rata di dalam berbagai individu ciptaan-ciptaanNya.”
Sloka
- 7 “Spasi
hampa di dalam sebuah gerabah bukanlah hasil ataupun sebagian dari spasi total
alam-semesta; demikian juga dengan halnya setiap ego (jiwa, individu)
yang bukan hasil dari Roh tersebut dan juga bukan sebagian dari Roh ini.”
Sloka
- 8 “Ibarat
langit yang terkesan penuh polusi (dari sudut pandang anak-anak bodoh), demikian
juga Sang Atman (sering) terkesan diliputi oleh noda-noda dari sudut pandangan
orang-orang yang kurang berpengetahuan.”
Sloka
- 9 “Sang
Atman yang bersemayam di dalam setiap raga, di dalam proses setiap kelahiran,
kematian atau perpindahan (reinkarnasi), sebenarnya tidak berbeda dengan
fenomena spasi hampa di dalam sebuah bejana.”
Sloka
- 10 Setiap perangkat
(organ-organ kehidupan) seperti badan, pikiran dan intelek terciptakan akibat
pemahaman yang salah mengenai hakikat sejati Sang Jati Diri. Tidak ada sebuah
alasan rasional apapun yang dapat dipergunakan untuk menyatakan realitas
(semua) ini, apakah yang satu lebih superior daripada yang lainnya, ataukah
yang satu sederajad dengan yang lainnya.”
Sloka
- 11 “Sang Jati Diri
Yang Maha Agung yang bukan lain dan bukan tidak adalah Sang Brahman yang
berciri Non-dual, adalah Sang Jati Diri dari ke lima unsur seperti fisik,
mental dan lain sebagainya seperti yang telah diterangkan di Taittireeyaka
Upanishad. Beliau Yang Maha Agung ini adalah seperti yang telah diterangkan
sebelum ini oleh kami, yaitu ibarat spasi hampa total di dalam semesta ini.”
Sloka
- 12 “Keterangan
mengenai berbagai bentuk pasangan dari Akasa (ether) yang juga hadir di bumi,
juga di dalam perut seseorang, walaupun berbagai ragam sebutannya, sebenarnya
adalah sama bagi Sang Brahman; demikian menurut ajaran yang terdapat di Madhu
Brahman, dimana Beliau dikenal sebagai Adhyatma dan Adhi-Daiva.”
Keterangan: Yang disebut
berbagai pasangan di sloka ini adalah pasangan-pasangan dari buana-alit dan
buana-agung, spasi gerabah versus spasi alam semesta, dan di Madhu Brahmana,
fenomena ini disebut sebagai Adhyatmik dan Adhydaivik.
Sloka
- 13 “Karena identiras
Sang Jiwa dan Sang Jati Diri (Atman) diantara mereka berdua ini selalu diperdebatkan
di berbagai skripsi, maka dikatakan bahwasanya non-dualitas adalah satu-satunya
hal yang bersifat rasional dan tepat.”
Sloka
- 14 Perbedaan antara
Sang Jiwa dan Sang Atman yang telah dijabarkan secara ritual di dalam Veda yang
berhubungan dengan Alam-Semesta ini, dapat bersifat figuratif karena
berhubungan dengan keterangan mengenai yang mengantisipasi hal-hal yang akan
terjadi. Keterangan mengenai konsep dualistik ini (sebenarnya) dapat
tidak berarti apapun juga secara literal.”
Keterangan: Di dalam bab
yang mengulas Karma-Kanda di Veda (bagian ritualistik), terdapat berbagai
keterangan seperti di atas.
Sloka
- 15 “Berbagai
pernyataan yang diilustrasikan oleh berbagai contoh dari bumi, besi, cahaya dan
lain sebagainya . . . Yang berhubungan dengan penciptaan dunia ini ataupun
sebaliknya . . . memang dapat menerangkan keberadaan (fenomena) penyatuan
antara Sang Jati Diri secara perseorangan dengan Sang Jati Diri Yang Bersifat
Universal. Sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan fenomena yang
beragam-ragam ini tidak eksis sama sekali.”
Keterangan Di
Brihadarayaka Upanishad, banyak disajikan contoh-contoh seperti misalnya
penciptaan dunia ini dari berbagai elemen yaitu tanah, besi dan lain-lainnya.
Sedangkan pesan-pesan di dalam Vedanta menyiratkan “melalui dunia ini menuju ke
dunia yang lain.” Sloka di atas menyatakan bahwa seluruh penciptaan
ini sebenarnya berasal dari delusi semata-mata (Pelajaran ini).
Sloka
- 16 “Berdasarkan
berbagai tahap dan kadar intelektual yang berbeda-beda seperti misalnya jiwa
yang bersifat di bawah, di tengah dan di atas, maka kehidupan ini dapat
dibagi-bagi diantara tiga tahap skripsi-skripsi suci yang berdasarkan
prinsip-prinsip kasih sayang yang mengajarkan penalaran semacam ini agar
bermanfaat bagi mereka-mereka yang belum mencapai penerangan.”
Keterangan: Bagi penganut
Vedantin, upaya-upaya utama pada mulanya adalah ajaran-ajaran penuh disiplin
(Upasana), agar jalan pikiran dan budhi mereka menyatu, untuk kemudian
diarahkan ke level yang lebih tinggi. Sruthi pada mulanya mengajarkan
kita akan berbagai bentuk penciptaan yang bersifat pruralitas yang tercipta
dari Kebenaran. Namun teori ini diajarkan berdasarkan kasih sayang bagi para
pemula yang masih kurang pengetahuannya akan Hakikat yang sesungguhnya
(sejati).
Sloka
- 17 “Kaum dualis
bersiteguh pada hasil-hasil kesimpulan mereka sendiri dan menganggapnya sebagai
kebenaran. Jadi mereka sering berdebat satu dengan yang lainnya, namun kaum
Advaitin tidak pernah berkonradiksi diantara mereka sendiri.”
Keterangan: Yang disebut
kaum dualist adalah golongan kepercayaan seperti kapila, Kanada, Jaina dan
lain-lainnya.
Sloka
- 18 “Non-dualitas
adalah Realitas Utama yang sejati; dualitas adalah efeknya. Kaum dualis
merasakan hadirnya dualitas baik di dalam Yang Maha Hakiki dan di dalam
berbagai fenomena (dunia ini). Oleh sebab itu, non dualisme adalah sebuah
filosofi yang tidak bertentangan dengan posisi kaum dualis.”
Sloka
- 19 “Sang Brahman
yang non-dual dan tidak berganti-ganti ini, sebenarnya tidak dilahirkan, dan
terkesan berubah-ubah karena terbungkus oleh ilusi atau Sang Maya, jadi bukan
bersifat de facto. Karena, seandainya perubahan ini benar maka Sang
Brahman Yang Maha Abadi akan berubah menjadi tidak abadi.”
Keterangan: Sebagian
manusia dikarenakan oleh ilusinya sendiri merasakan Tuhan itu berganti-ganti
bentuk, contoh: berbagai dewa-dewi, fenomena alam, berbagai bentuk Tuhan dan
agama, ajaran, aliran kepercayaan dan sebagainya. Padahal Beliau adalah Hakikat
Yang Maha Murni yang tak mungkin terjangkau oleh berbagai teori dan ajaran
mulut manusia sebetapa canggihnya manusia tersebut.
Sloka
- 20 Kaum dualis
bersikeras bahwasanya Sang Atman yang tidak pernah dilahirkan dan tidak
berubah-ubah bentuk ini, menjalani perubahan bentuk. Bagaimana mungkin Zat yang
bersifat konstan dan abadi ini dapat berubah menjadi benda mati (mengenal
kematian).”
Sloka
- 21 “Yang Abadi tidak
bisa berubah menjadi tidak abadi dan sebaliknya yang tidak abadipun tidak bisa
menjadi Abadi, karena pada hakikatnya tidak pernah terjadi bahwa sesuatu itu
dapat berganti-ganti sifat bawaannya yang dominan (utama), jadi dikatakan
sesuatu itu senantiasa bersifat sama.”
Sloka
- 22 “Bagiamana
mungkin seseorang yang percaya bahwa unsur Abadi yang utama berubah
menjadi tidak abadi, tinggal di dalam KeabadianNya setelah berubah bentuk,
kemudian mempertahankan bentuk utamanya yang bersifat immutabilitas (tidak bisa
diganti).”
Sloka
- 23 “Kedua bentuk
pandangan bahwasanya, ciptaan ini adalah realitas dan juga sebaliknya telah
diajarkan oleh Sruthi secara seimbang. Apa yang telah didukung dan dinyatakan
Sruthi ini dan telah difahami secara logika adalah yang dapat diterima sebagai
Kebenaran bukan hal-hal yang lainnya.”
Sloka
- 24 “Melalui
(konsep-konsep) seperti yang terdapat di berbagai sloka-sloka di berbagai
skripsi suci, contoh: “tidak ada bentuk jamak di sini”, atau, “melalui ilusi
Sang Maya, dan sebagainya” . . . kita memahami behwasanya Sang Atman walaupun
tidak dilahirkan, terkesan berbentuk aneka ragam (vineka) melalui penalaran
Sang Maya (yaitu ilusi duniawinya sang manusia itu sendiri).”
Sloka
- 25 “Sekali lagi,
sewaktu fenomena penciptaan ditolak (Sambuthi) maka terjadilah penolakan
terhadap teori ini. Kasualitas akan Sang Atman sekali lagi tidak diterima oleh
pernyataan seperti ini :” Siapakah yang mampu mengakibatkanNya untuk lahir?”
Keterangan: Tersirat di
sloka ini behwasanya hukum karma (sebab dan akibat) hanya bisa eksis dalam
jalan pikiran manusia. Hukum ini tidak berlaku untuk Sang Pencipta, Beliau ini
tidak dilahirkan dan tidak melahirkan!
Sloka
- 26 “Berhubungan
dengan ketidak-mampuan skripsi-skripsi suci untuk menerangkan Hakikat Sang
Atman dengan jelas maka sering sekali skripsi-skripsi suci ini menyatakan: “Ia
adalah bukan ini, bukan juga itu,”. . . dua bentuk ekspresi ini selalu
disajikan demi memahami Sang Atman. Oleh karena itu, Sang Atman yang tidak
dilahirkan ini saja yang eksis . . . bukan bentuk dualitasNya.”
Sloka
- 27 “Beliau (Zat
tersebut) yang selalu Maha Hadir terkesan melahirkan (atau dilahirkan) melalui
penalaran konsep yang salah (delusi). Menurut sudut pandang Realitas, maka hal
ini tidaklah benar. Mereka-mereka yang percaya akan fenomena kelahiranNya
sebagai suatu hal yang benar, menegaskan bahwasanya sesuatu yang dilahirkan,
akan dilahirkan kembali (ad infinitum).”
Sloka
- 28 “Yang Maha Tak
Nyata, tidak bisa dilahirkan baik secara nyata maupun secara delusi (tidak
nyata), konsep berpikir yang salah. Ibarat anak yang dikandung oleh seorang
wanita yang mandul, tidak bisa dikatakan dilahirkan de facto ataupun dilahirkan
melalui delusi.”
Sloka
- 29 “Ibarat di dalam
sebuah mimpi, sang pikiran bertindak melalui Sang Maya (delusi, ilusi) dan
menampilkan berbagai penampakan akan dualitas, maka demikian juga dalam
tahap sadar (tidak tidur), sang pikiran terangsang oleh Sang Maya dan
mengakibatkan penampakan berbagai dunia yang penuh dengan berbagai obyek-obyek
duniawi.”
Sloka
- 30 “Secara pasti
dapat dikatakan bahwasanya Sang Pikiran yang bersifat non-dual terkesan berantakan
di dalam pluralitas mimpi-mimpinya. Demikian juga, Sang Realitas yang bersifat
Non-Dual nampak sebagai penuh dengan berbagai variasi di tahap (alam) sadar
ini.”
Sloka
- 31 “Apapun yang kita
sadari (capai) di dunia ini baik yang bersifat bergerak maupun yang tidak
bergerak, adalah tidak lain tetapi persepsi dari sang pikiran itu sendiri
. . . yaitu sang pikiran itu sendiri. Karena, pluralitas itu tidak mungkin
dapat terpikirkan kalau sang pikiran mampu dikuasai.”
Sloka
- 32 “Sewaktu sang
pikiran tidak berimajinasi lagi karena telah memahami hakikat akan
ilmu-pengetahuan tentang Kebenaran, yaitu Sang Atman (Kesadaran murni), maka
sang pikiran itupun berhenti berilusi. Sang pikiranpun lepas dari berbagai
ide-ide pemahaman demi memahami obyek-obyek yang dipahami ini.”
Sloka
- 33 “Ilmu pengetahuan
yang tidak dilahirkan dan bebas dari semua imajinasi selalu bersifat tak
terpisahkan dari yang mengetahuinya. Sang Brahman yang tak pernah
dilahirkan dan Yang Tak Dapat Tersentuh adalah tujuan satu-satunya dari
ilmu-pengetahuan ini. Yang bersifat tidak dilahirkan hanya dapat dipahami oleh
mereka-mereka yang tak terlahirkan.”
Sloka
- 34 “Pahamilah jalan
pikiran (sifat) dari sang pikiran yang berada di bawah kendali yang sempurna .
. . yang lepas dari semua imajinasi (Sankalpa) . . . yang
berdasarkan pemikiran yang murni. Keadaan sang pikiran di dalam tahap tidur
lelap berbentuk sangat luas dan berlainan dan tidak seperti pikiran terkendali
secara damai.”
Keterangan: Tiga tahap
(alam) telah dijabarkan di bab-bab sebelumnya, mulai sloka ini akan diterangkan
mengenai alam Thuriya, yaitu tahap kesadaran yang tertinggi dimana berbagai
faktor pluralistik tidak akan hadir. Namun bagi para resi dan sadhaka yang
telah bertahun-tahun tidak mampu menembus ke alam ini, maka mereka bisa kembali
ke alam duniawi dan berubah menjadi liar dan beringas, penuh dengan kebejatan
dan pamrih. Ingat selalu, jalan shadana itu tidak dapat dipaksakan, bukan kita
yang memilih Sang Dharma, namun sebaliknya Sang Dharma yang memilih kita.
Sloka
- 35 “Dalam tahap
(alam) tidur lelap, sang pikiran tenggelam di dalam kebodohan belaka, namun di
dalam pelaksanaan disiplin Vedantik, maka hal tersebut berbeda sekali. Oleh
karena itu ada perbedaan diantara seseorang yang tertidur lelap dan seseorang
yang telah memasuki alam kesadaran dalam menghayati berbagai fenomena
kehidupannya. Jalan pikiran seorang Jnyani menjadi identik dengan Sang Brahman
Yang Maha Gagah Perkasa; yang menjadi batas antara mereka berdua adalah
(perbedaan) antara Sang Atman dan Sang Brahman belaka.”
Sloka
- 36 “Sang Brahman
tidak dilahirkan ditinjau dari sudut kondisi alam tidur dan alam mimpi, tanpa
nama dan tanpa bentuk, senantiasa bercahaya dan maha hadir. Tidak diperlukan
upacara apapun juga, dan dalam bentuk apapun yang harus dilaksanakan di
altarnya Sang Brahman.”
Sloka
- 37 “Sang Jati
Diri ini berada jauh dari berbagai ekspresi maupun kata-kata, jauh dari
berbagai pelaksanaan sang pikiran. Beliau adalah yang serba damai, serba
(senantiasa berkilauan, lepas dari berbagai pelaksanaan dan ketakutan (rasa
khawatir). Beliau dapat dipahami (dicapai) melalui budhi-daya yang
terkonsentrasi.”
Sloka
- 38 “Di sana, di
dalam Sang Jati Diri, yang merupakan pencapaian terakhir dari berbagai
pelaksanaan sang pikiran, tidak hadir persepsi maupun projeksi diri ke dalam
berbagai bentuk-bentuk ide. Kokoh terserap kedalam Ilmu-Pengetahuan …
Jnyani ini akan mencapai tahap yang tak tergoyahkan dan merupakan tahap
kesatuan.”
Sloka
- 39 “Yoga ini disebut
Sentuhan dari yang tidak tersentuh, yoga ini sulit untuk dicapai oleh para
pencari kebenaran. Para yogin takut akan Jalan ini, karena mereka
ketakutan akan Itu (KehadiranNya) ……. Yang (sebenarnya) adalah tempat
dimana seseorang mampu merasakan tahap sebenarnya akan tidak hadirnya rasa
kekhawatiran dalam bentuk apapun juga..
Sloka
- 40 “Para yogin yang
tidak meniti Jalan Ilmu-Pengetahuan seperti yang dinyatakan di dalam Karika ini
akan berada (sepenuhnya) didalam kendali dari pikiran mereka dalam menghadapi
rasa tidak-ketakutan, penghancuran berbagai penderitaan, dan juga
ilmu-pengetahuan akan Sang Jati Diri dan kedamaian.”
Keterangan: Yang dimaksud
dengan para yogin ini, adalah penganut hatha-yoga yang hanya mengandalkan
pranayama dan berbagai gerak asanas (gerakan-gerakan dan posisi badan), yang
sebenarnya diperuntukkan bagi kebugaran jasmani mereka. Fisik yang baik akan
mengantarkan seseorang ke strata spiritual yang baik, namun kalau hanya terpaku
kepada hatha-yoga saja tanpa meniti jalan-pengetahuan, maka jalan pikiran
mereka akan tetap rapuh dan mudah terombang-ambing oleh berbagai aspek
kehidupan ini.”
Sloka
- 41 “Sang pikiran itu
dapat dikendalikan, namun diperlukan usaha yang tidak ada habis-habisnya,
ibaratnya mengosongkan sebuah samudra dengan menimba airnya setetes demi
setetes dengan mempergunakan sehelai rumput kusa.”
Keterangan: Mungkin ada
sebagian sidang pembaca yang menanggapi dengan pesimis makna sloka ini,
sepertinya sia-sia saja usaha mengosongkan sebuah samudra, sudah setetes
demi setetes, menggunakan rumput kusa lagi, tentu saja tetesannya semakin
kecil saja.
Ada sebuah kisah kuno, disebuah
shastra yang dikenal dengan nama Hitopadesa, kisah ini sendiri termuat di
sebuah bab yang disebut Tithipopakhyaha. Konon diceritakan di sini akan kisah
seekor burung kecil yang menetaskan telur-telurnya di pasir sebuah
pantai. Namun disuatu saat air laut pasang, dan telur-telur ini terseret
semuanya ke laut. Sang burung kecil kehilangan ini, tidak mau menerima
kenyataan ini, dan dengan menggunakan sehelai rumput kusa, sang burung setiap
harinya berusaha menimba air laut tersebut setets demi setetes dengan harapan
sang laut akan kosong suatu saat nanti, dan ia akan mendapatkan kembali
telur-telurnya. Usaha ini secara diam-diam diperhatikan oleh Sang Garuda yang
amat bersimpati kepada burung kecil ini. Sang Garuda menghampiri dewa laut dan
mengancam akan menyerangnya kalau tidak mengembalikan telur-telur tersebut.
Ternyata dewa laut ini sangat takut dan segan kepada Sang Garuda dan segera
mengembalikan telur-telur ini kepada si burung kecil.
Pesan yang dikandung kisah ini
jelas sekali: Walaupun mengalahkan sang pikiran itu adalah hal yang musykil dan
tidak mungkin, namun seandainya seseorang itu beriman dan berusaha terus
secara berkesinambungan penuh dengan disiplin dan bhakti, maka Yang Maha Esa
secara pribadi akan datang membantunya. Di Bhagavat-Gita, Sang Krishna
menyatakan selangkah seseorang itu melangkah ke arahnya, maka 1000
langkah Beliau maju menjemputnya, dan coba renungkan betapa besar, agung dan luasnya
satu langkah Tuhan Yang Maha Esa ini. Kita berusaha tanpa pamrih di dalam
kesehari-harian kita, biarkan Yang Maha Esa yang menentukan hasilnya; dengan
melatih diri kita secara demikian, maka akan timbul hubungan denganNya, dan
hubungan yang gaib ini penuh dengan kesadaran yang mencengangkan sang bhakta
ini sendiri, ibaratnya ia tinggal di dunia ini, tetapi paada saat yang lain ia
melihat dan juga hidup dan merasakan berbagai dimensi pikiran yang lain, karena
sang pikiran yang tidak sibuk dengan berbagai suka-duka ini lalu secara
otomatis masuk ke dimensi yang selama ini “tertutup” oleh kesibukan, kegalauan
dan berbagai aktifitas kita, padahal di dalam kehidupan ini, ada keajaiban di
dalam tubuh kita sendiri yang harus kieksplorasi oleh kita sendiri!
Sloka
- 42 “Sebuah jalan
pikiran yang tidak tertarik akan berbagai keinginan (hasrat, nafsu), dan
demikian juga sang pikiran yang menikmati kenikmatan dari “alam tidur yang
menyeluruh, disebut Laya”, harus digiring di bawah disiplin yang ketat dan
sempurna, dengan menyadarkan sang pikiran ini melalui berbagai
jalan-jalan yang seharusnya. Karena “alam trance (kesurupan) atau “alam
tertidur lelap” yang disebuut Laya ini sama merugikan seperti halnya dengan
berbagai cobaan dan gangguan berbagai nafsu dan keinginan.”
Keterangan: Di sloka ini,
Sang Guru, yaitu Sri Gaudapada memperingatkan para sadhaka agar berhati-hati
dengan shadananya. Walaupun seseorang telah menanggalkan berbagai hasrat dan
nafsu-nafsunya, namun ada faktor lain yang pasti akan menjegal jalan dhyananya,
yaitu yang disebut Laya (Kesurupan/trance atau tahap setengah tidur / setengah
mengawang yang dapat membawanya ke alam-alam yang penuh dengan cobaan-cobaan
yang bersifat negatif dan bahkan cenderung bersifat sidhi/kesaktian).
Sloka
- 43 “Jauhkanlah sang
pikiran dari berbagai kenikmatan dengan keyakinan bahwasanya berbagai indriyas
ini sebenarnya terbungkus dengan teka-teki dan misteri. Dualitas yang tercipta
(dari sang jalan pikiran) kemudian tidak akan mempu menembus persepsi kita seandainya
kita secara terus menerus berrefleksi kepada Sang Brahman yang tak pernah
dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti (status dan bentuk ini.)
Sloka
- 44 “Dalam tahap
trance ini, kita menyadarkan pikiran kita; sewaktu terganggu, harus kita
damaikan; sementara ini kita juga menyadari bahwasanya sang pikiran ini penuh
dengan berbagai hasrat dan nafsu yang tak pernah puas (termanifestasikan),
namun masih penuh dengan potensi tersebut. Seandainya sang pikiran telah
mencapai tahap keseimbangan yang sempurna, maka kemudian jangan diganggu
lagi.”
Keterangan: Seandainya
seseorang merasa telah mampu mengalahkan jalan pikirannya, maka ia harus
berhati-hati, karena potensi nafsu di dalam pikiran itu sebenarnya besar
sekali, potensi ini akan menyerang sang sadhaka melalui sifat-sifat animalistik
(peri-kebinatangan) yang terpendam di dalam dirinya sendiri. Potensi yang
menghancurkan ini hadir dalam samadhi setiap sadhaka pada saat-saat akhir
penyempurnaan samadhinya, dan disebut Kashaya. Ini menunjukkan sebenarnya
sebelum mengalami evolusi menjadi manusia kita mungkin adalah juga sejenis
fauna, namun berbudi-daya lebih tinggi dari yang lain-lainnya, dan kehidupan
sedang membawa kita ke evolusi masa depan. Seperti apakah bentuk dan tingkah
laku manusia ini, evolusi dan kehendak Sang Pencipta saja yang akan
menentukannya di masa depan.
Kembali ke sang sadhaka yang
sedang mendaki shadananya, seandainya ia berhasil melampaui tahap yang sulit
ini, maka ia akan berada langsung di depan pintu gerbang Sang Brahman, Sang Realitas.
Sang Sadhaka kemudian tinggal “mengetuk” pintu ini. Tahap di pintu gerbang ini
disebut tahap keseimbangan. Pintu ini dibuka olehNya, masa penantian ini harus
dijaga secara hati-hati, agar jangan terganggu lagi pada saat yang paling
akhir. Yang paling mampu mengganggu kita adalah kita sendiri, demikian
pesan Sri Gaudapadiya kepada para sadhakanya.
Sloka
- 45 “Sang pikiran
(dalam tahap samadhi ini) tidak boleh diajak menikmati Karunia Ilahi yang
terpancar dari samadhinya. Melalui penalaran yang murni, ia harus melepaskan
dirinya dari kenikmatan spiritual ini. Seandainya, sang pikiran, sekali
mencapai tahap keseimbangan ini, masih ingin keluar menikmati obyek-obyek
di luar, maka sang pikiran ini harus disatukan kembali dengan Sang Jati Diri
sekali lagi, melalui upaya-upaya dirinya sendiri.”
Keterangan: Ternyata,
tahap karunia transedental Ilahi dalam samadhi juga masih merupakan sebuah
ikatan yang bersifat kebahagiaan. Karena terbius oleh kenikmatan spiritual ini,
sang sadhaka lalu “larut atau tenggelam di dalamnya.” Ia harus menyadarkan
dirinya bahwa Sang Atman adalah tujuannya, dan ia harus sekuat
tenaga keluar dari tahap kebahagiaan ini demi penyatuannya dengan Sang
Atman. Ternyata jalan shadana ini tidak mudah sama sekali dan
terkesan rumit dan musykil. Namun jangan putus asa karena Iswara Kripa (atau
Guru Kripa = Karunia Yang Maha Esa) pasti diberkahkan kepada yang layak
mendapatkannya. Bersyukur dan berterima-kasihlah kita kepada Sri Gaudapadiya
yang sudi menuntun kita semua.
Sloka
- 46 “Lepas dari
ikatan-ikatan tahap trance (kesurupan) ini, dan juga dari segala ikatan-ikatan
berbagai nafsu dan hasrat-hasratnya, maka sang pikiran ini lalu berubah menjadi
tenang dan damai dan tidak mengembara lagi, sang pikiran ini lalu
sebenar-benarnya telah merubah menjadi Sang Brahman.”
Keterangan: “Manusia
tanpa pikiran adalah Tuhan (Brahman), Tuhan ditambah sang pikiran adalah
manusia (Atman).”
Sang pikiran hadir dalam keadaan
(Asanti) tidak tenang, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa hadir di dalam shanti.
Pada saat pikiran sang sadhaka sudah tidak eksis lagi karena berada di bawah
karunia total Yang Maha Esa, maka Sang Atman langsung melebur kembali ke
Sang Brahman. Pada saat itu Sang Atman sudah bersih dari kontaminasi pikiran
dan berubah murni identik dengan asalnya, yaitu Sang Brahman. Di tahap ini
terjadilah tarikan magnet yang dahsyat dan sang buana alit langsung melebur ke
buana agung. Itulah hukum dan rahasia alam-semesta dan ciptaanNya yang
berbentuk manusia.
Sloka
- 47 “Karunia
tertinggi ini didasarkan atas penemuan Sang Jati Diri. Ia merupakan bentuk
kedamaian yang identik dengan pembebasan, tidak dapat diterangkan dan tidak
pernah dilahirkan. Ia (beliau) ini kemudian diterangkan sebagai Sang Brahman
Yang Maha Hadir, karena Ia satu (manunggal) dengan Sang Jati Diri yang tidak
dilahirkan, yang merupakan tujuan dari pencari Ilmu Pengetahuan Yang
Hakiki.”
Keterangan: Sewaktu yang
dituju selalu ini tercapai, maka terciptalah sejenis kedamaian yang sulit
dijabarkan ke individu yang belum pernah mengalami fenomena ini.
Sloka
- 48 “Tidak ada Jiwa .
. .Makhluk-makhluk khusus yang berego-sentris . . . yang pernah dilahirkan.
Tidak ada suatu sebab (alasan) yang dapat menciptakan berbagai jiwa ini sebagai
hasil akibatnya. Inilah Kebenaran yang tertinggi yaitu tidak ada sesuatu apapun
yang pernah dilahirkan.”
Keterangan: Ajaran
di atas adalah teori Ajatavada yang diajarkan oleh Resi Vasishta (di
Yoga-Vasishta) kepada Sri Rama, muridnya, ribuan tahun yang silam, sebelum
hadir Bhagavat-Gita. Di ajaran ini, Resi Vasishta meramalkan kepada Sri Rama
bahwasanya Beliau akan beravatara ribuan tahun kemudian sebagai Sri Krishna dan
mencetuskan ajaran Bhagavat-Gita untuk zaman Kali-Yuga.
Pada sloka terakhir bab ini, Sri
Gaudapadiya menyimpulkan inti-sari dari berbagai ajaran-ajarannya bahwasanya
Yang Maha Esa itu tidak pernah dilahirkan, jadi tidak juga pernah melahirkan
apapun juga. Semua yang kita rasa, alami dan saksikan, halunisasi belaka.
Mencari-cari asal-usul Tuhan dan penciptaan ini sama seperti mencari
jejak-jejak burung yang terbang di angkasa. Kaum Buddhist menyebut fenomena ini
sebagai, “Soonya Vadins.”
Dengan ini berakhirlah Bagian ke lima
dari Bab – 3
BAB IV
ALATHA SANTI
( MEMADAMKAN BARA API )
Para ahli
dan peneliti agama Hindhu menyatakan bahwa bab ini sangatlah penting karena
dianggap sebagai suatu karya tersendiri. Ada yang menyatakan bahwa seluruh
Gaudapada Karika sebenarnya bukan hasil seorang pengarang, namun mungkin saja
hasil banyak orang, yang kemudian diakumulasikan menjadi satu buku (dari
aslinya berjumlah 4 buku). Ada juga yang menyatakan, karena buku ini dibuka
dengan sebuah doa puja, maka bab empat ini sebenarnya adalah karya yang
khusus tersendiri. Ada lagi yang berkomentar bahwasanya bab IV ini penuh dengan
pengulangan yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, yang memang benar
demikian adanya.
Sri
Gaudapada (Gaudapadiya) di bab ini berusaha menerangkan :
1) Ketidak mampuan secara piawai dari
aspek kasualitas melalui unsur dialektika;
2) Menerangkan berbagai bentuk ilusi
dari dunia pluralistik dengan memperbanding-kannya dengan pola-pola palsu yang
diciptakan oleh Alatha (bara-api);
3) Menekankan pemakaian istilah-istilah
Buddhist bahwasanya Yang Maha Kebenaran bersifat Non-dual (Eka, Esa) Tidak
bermula dan senantiasa Abadi.
Oleh sebab
itu di atas, banyak ahli juga menyatakan bahwa Sri Gaudapadiya mengajarkan
filosofi Sang Buddha di buku ini, namun banyak sekali ahli lainnya yang
membantah, karena Ashtavakra-Gita yang tahun sebelum karya ini telah hadir di
zamannya Raja Janaka, dan itu sudah ribuan tahun sebelum karya ini, atau
lahirnya Sri Gaudapada itu sendiri. Kemudian ada yang berkata bahwa karya ini
menyiratkan ajaran Vedanta di dalam Buddhisme, namun banyak juga yang
berpendapat bahwa karya ini adalah sebuah bentuk Upanishad yang teramat unik
dan sarat akan berbagai pengetahuan yang teramat spesifik dan sulit dimengerti
oleh kaum awam, apalagi untuk dicernakan begitu saja. Yang terakhir ini
ternyata mengandung kebenaran dan kebenaran ternyata sulit untuk dijabarkan,
dari masa ke masa, dari tempat ke tempat, apalagi dari satu persepsi ke
persepsi yang lain, apalagi kalau ditunjang dari segi adat budaya dan tradisi
yang sudah mengakar, yang salah bisa benar dan begitu juga sebaliknya.
Di bawah ini
dihadirkan sebuah sloka yang menjelaskan hierarki dari para Acharyas, dari Sri
Shankara Acharya dan para sishya-sishyanya. Menurut para ahli hierarki ini
bermula dari dewa Vishnu, dan dari Beliau ini ajaran-ajaran yang diturunkan ke
manusia mencapai kita secara berantai (estafet), dari satu ke yang lainnya
dengan urut-urutan seperti berikut ini: Sri Nayarana (Vishnu), Vasishta,
Sakti, putranya Parasara, Vyasa, Suka, Gaudapada, Govindapada, Sri Shankara
Acharya, Padmapada, Hashamalaka, dan Throtakacharya.
Ternyata
guru dari Sri Shankara Acharya, yaitu Sri Govindapada adalah murid langsung
dari Sri Gaudapada. Demikianlah ajaran ini diturunkan ke kita semua dari kurun
waktu yang teramat silam ke masa kini dan seterusnya.
Sloka - 1 “Aku bersujud kepada yang terbaik
diantara manusia, yang melalui jalan ilmu pengetahuan, yang mirip dengan
antariksa, dan tidak berbeda-beda dari obyek ilmu-pengetahuan, telah
menyadari akan sifat dari berbagai Jati-Diri individual, yang juga mirip dengan
antariksa itu sendiri.”
Keterangan: Dengan doa-puja ini Sri
Gaudapada memulai bab ke empat ini. Doa ini dihaturkan kepada gurunya
sebagai tanda terima kasih dan sebagai wujud penghormatan, karena tanpa seorang
guru pembimbing yang non-pamrih tidak mungkin Gaudapada mencapai status yang
mulia ini. Konon ada juga yang berpendapat bahwa doa ini ditujukan kepada Sang
Buddha Gautama; dan ada juga yang mengatakan bahwa doa ini ditujukan kepada
Sang Hyang Vishnu (Narayana), karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya
Sri Gaudapada ini adalah pemuja konstan dari Sri Vishnu di sebuah kuil di
daerah Badrinath. Disanalah konon beliau mendapatkan dharsana Hyang Nayarana,
Ishta Dewatanya. Karya Karika ini dianggap para ahli Hindhu Dharma sebagai
ekspresi Sri Gaudapada, yang didapatkan dari berbagai pengalaman spriritualnya
secara pribadi.
Sloka - 2 “Aku bersujud ke yoga yang disebut
Asparsa ini, yang diajarkan melalui berbagai skripsi, yoga yang mempromosikan
(menghantarkan) kebahagiaan kepada semuanya, yang langsung terbebaskan dari
berbagai penderitaan dan pertentangan.”
Keterangan: Setelah menghaturkan sembah ke
Yang Maha Esa, Sri Gaudapada kemudian menghaturkan sembah ke jalan yoga
(ilmu-pengetahuan) yang dihayatinya selama ini. Di dalam Sanathana Dharma,
Tujuan dan Jalan yang meniti ke Tujuan dianggap sama-sama penting dan sakral,
jadi layak untuk dijadikan pujaan. Jalan ilmu pengetahuan adalah jalannya para
Aryan yang sadar sekali akan hakikat Tujuan dan jalan ke Sang Tujuan ini.
Mengenai Asparsa-yoga, telah diterangkan di bab sebelumnya, jalan ini ternyata
dianjurkan oleh Sri Gaudapada kepada para nya, melalui karya ini.
Sloka - 3 “Banyak para peneliti yang
berbantah-bantahan dantara mereka sendiri, ada yang menyatakan behwasanya
sesuatu zat yang memang sudah hadir dari dahulunya ini sedang mengalami
perubahan-perubahan evolusi; dan ada juga yang menyatakan (seakan-akan mereka
ini sangat bijaksana) bahwasanya sebuah evolusi sedang berlangsung keluar Zat
tersebut.”
Keterangan: Pandangan yang pertama adalah
pandangan kaum Sankhyanas yang pada masa tersebut menyatakan, setiap benda yang
eksis di alam-semesta ini diproduksi oleh suatu sebab, sedangkan pandangan
kedua menyatakan teori kaum Nyaya-Vaisheshikas, yang percaya bahwa setiap
benda/perihal dan fenomena di alam semesta ini diproduksi atau tercipta dari
sebab-sebab non-eksisten.
Sloka - 4 “Yang sudah eksis tidak bisa
dilahirkan kembali, juga tidak mungkin bagi yang tidak eksis untuk eksis
kembali. Demikianlah, berbantah-bantahan diantara mereka sendiri, tanpa
disadari mereka menegaskan teori Adwaita dan mendukung teori non-penciptaan
Yang Maha Hakiki.”
Sloka - 5 Kami menyetujui teori non-penciptaan
yang berasal dari kaum Ajathi yang dideklarasikan oleh kaum dualis. Kami tidak
berbantah-bantahan dengan mereka. Sekarang dengarkanlah dari kami apakah itu
Realitas Yang Maha Utama yang lepas dari berbagai kontradiksi dan
pertengkaran.”
Sloka - 6 “Kaum dualis yang selalu bertengkar
diantara mereka ini selalu bersikeras bahwasanya yang tak dilahirkan . . .
yaitu Zat yang tak berubah-ubah . . . Sang Atman, yang mengalami perubahan.
Bagaimana mungkin suatu Zat yang tidak berubah-ubah dan abadi sifatnya berubah
sifat menjadi tidak abadi?”
Sloka - 7 “Yang tidak abadi tidak bisa berubah
menjadi abadi, demikian juga sebaliknya, karena tidak mungkin sesuatu
berganti-ganti sifat.”
Sloka - 8 “Bagaimana mungkin bisa ia percaya
behwasanya Zat abadi secara alami ini dapat berubah menjadi tidak abadi,
(kemudian) bersikeras bahwasanya yang abadi ini setelah menjalani kelahiran
mempertahankan sifatnya yang tidak berubah-ubah?”
Sloka - 9 “Kami mengerti akan istilah Prakriti
atau sifat-sifat duniawi yang dominan dari berbagai benda, yaitu sewaktu
berhasil dicapai, menjadi pelengkap total dari berbagai harta-benda ini; yaitu
kualitas yang tidak berbentuk artifisial (imitasi atau palsu). Dan tidak
ada sesuatu apapun yang mampu menonjolkan sifatnya (yang asli).”
Sloka - 10 “Semua zat yang bersifat
egosentris, sesuai dengan sifat-sifat (aslinya) lepas dari berbagai kekotoran
dan kematian. Para jiwa yang berimajinasi, berpikir bahwa mereka ini
dapat berubah-ubah bentuknya, dan dengan demikian, melalui pikiran mereka,
mereka terkesan tersesat dari sifat mereka (yang sejati).”
Keterangan: Sang Atman adalah percikan Sang
Brahman itu sendiri, jadi tidak mungkin dikotori oleh apapun juga, dan tidak
mungkin dapat mati. Namun sewaktu terbungkus di dalam sesuatu bentuk jiwa, maka
Sang Atman yang terbungkus oleh ilusi duniawi ini terkesan terbius dan sering tersesat
dari sifatnya yang sejati dan sering berhalunisasi seakan-akan ia mengalami
perubahan-perubahan terus-menerus sepanjang hidupnya.
Sloka - 11 “Mereka-mereka yang saling
berbantahan ini, yang beranggapan bahwa akibat adalah sebab, berkata sebab itu
lahir dari akibat. Bagaimana mungkin sebab itu berubah-ubah seandainya sebab
lahir sebagai akibat? Bagaimana mungkin sebab bersifat abadi kalau sebab itu
terkurung oleh berbagai modifikasi sang waktu?”
Sloka - 12 “Seandainya seperti yang dikau
katakan, sebab itu identik dengan akibat, maka sifat-sifat akibat pastilah
abadi dan tak terlahirkan. Lebih lanjut lagi, bagaimana mungkin sebab bersifat
langgeng atau abadi seandainya ia tidak berbeda (identik dengan) dari akibat
yang bersifat dilahirkan?”
Sloka - 13 “Tidak ada sebuah ilustrasi apapun
di dalam kehidupan ini yang mampu mendukung kepercayaan bahwasanya akibat itu
lahir dari sebab-sebab yang tidak dilahirkan. Sekali lagi, seandainya dikatakan
bahwasanya akibat diproduksi oleh sebab yang sebenarnya bersifat dilahirkan
(diciptakan), maka hal tersebut sama saja dengan melakukan kebohongan secara
logika (Anavashta Dosh).”
Sloka - 14 “Bagaimana mungkin mereka-mereka
yang bersikeras bahwasanya akibat adalah sebab dari sesuatu sebab, dan sebab
adalah sesuatu sebab dari akibat yang mempertahankan sifat tanpa mula
(kelahiran)nya baik bagi sebab maupun akibat.”
Sloka - 15 Mereka-mereka yang bersikukuh
bahwasanya akibat adalah sebab yang berasal dari sebab dan sebab adalah sebab
dari akibat; yang menerangkan, sebenarnya, (seakan-akan) adanya sebuah
evolusi (terbalik), yaitu ibarat kelahiran seorang ayah dari putranya sendiri.”
Sloka - 16 Seandainya sebab dan akibat
dipertahankan secara semestinya, maka urutan sebab dan akibat ini harus
ditetapkan. Kalau seandainya dikatakan bahwasanya mereka berdua timbul
pada saat-saat yang bersamaan, maka mereka ibaratnya adalah dua buah tanduk
dari seekor fauna, yang tidak ada hubungannya dengan yang lainnya (walaupun ada
di satu kepala).”
Keterangan; Sepasang tanduk memang tidak
berhubungan satu dengan yang lain, namun kalau dipergunakan secara bersamaan
dapat berakibat fatal. Pernyataan dari Sri Gaudapadiya ini
ditujukan sebagai sindiran kepada kaum Mimasaka yang senantiasa bersikeras
dalam mempertahankan teori mereka. Sindiran ini sifatnya humoris.
Sloka - 17 “Sebab itu tidak bisa diwujudkan
seandainya diproduksi dari akibat, (lalu) bagaimana mungkin sebab yang dikau
akibatkan (timbulkan) yang bersifat tidak berwujud dapat melahirkan sesuatu
akibat?”
Sloka - 18 “Seandainya sebab dilahirkan dari
akibat dan juga seandainya akibat dilahirkan dari sebab, maka yang manakah yang
dilahirkan dahulu, dan yang manakah yang bersandar kepada lainnya?”
Sloka - 19 “Ketidak-mampuan untuk menjawab“,
“kebodohan akan sesuatu hal”, dan “Ketidak-mungkinan” untuk mengukuhkan sesuatu
yang berhubungan dengan sebab dan akibat, secara jelas mempertegas pendirian
kaum bijak untuk tetap bertahan pada teori non-penciptaan Yang Maha Hakiki
(Ajati).”
Keterangan: Pernyataan di atas ini adalah
ajaran inti dari Sri Gaudapadiya dalam karya ini, khusus bagi yang suka
memperdebatkan hakikat Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Ajati (yaitu
Hakikat Yang Tak Terciptakan).
Sloka - 20 Ada sebuah teori yang harus
dibuktikan, yaitu hubungan antara sebuah benih (biji) tanaman dan
kecambah hasil dari benih tersebut. Ilustrasi-ilustrasi yang masih memerlukan
pembuktian ini tidak bisa dipergunakan untuk menegaskan sebuah usul yang masih
harus dibuktikan.”
Keterangan: Rupanya para penentang teori Sri
Gaudapadiya mengajukan teori benih kecambah (sebab dan akibat) namun oleh Sri
Gaudapadiya dijawab dengan sloka di atas ini. Menurut beliau, “sebab dan
akibat” hanyalah merupakan kondisi sebuah unsur (sang benih) yang sama dengan
sang kecambah, yang hadir pada dua tahap waktu yang berlainan. Perihal “benih”
yang sama adalah “sebab dan akibat” dan juga “akibat yang menjadi sebab lagi”,
yang berhubungan dengan waktu dan kondisi yang berbeda (mendatang). Jadi kita
sebenarnya tidak tahu yang mana yang berasal dari yang mana pada awalnya, sang
biji atau sang kecambah, seperti teori telur: ajam dulu atau telur dulu?
Dilihat dari sudut kondisi dan waktu, maka yang satu bisa berubah menjadi yang
lainnya dan begitu pula sebaliknya. Jadi Sri Gaudapadiya tidak mau menerima
teori di atas sebelum teori ini dipastikan dulu.
Sloka - 21 Ketidak-mampuan untuk menunjukkan
hubungan atau sebaliknya dari sebeb dan akibat ini jelas membuktikan tidak
hadirnya evolusi atau penciptaan. Seandainya …….. akibat zat ego-sentris ini
(sang jiwa) memang betul dilahirkan dari suatu sebab, lalu mengapa dikau tidak
mampu menjabarkan secara pasti hubungannya dengan sebab?”
Sloka - 22 “Tidak ada sesuatu apapun yang
pernah dilahirkan, apakah itu dari dirinya sendiri, atau dari yang lainnya,
atau dari kedua-duanya ini. Tidak ada sesuatu apapun baik yang berbentuk
makhluk hidup maupun yang tidak berbentuk makhluk hidup ataupun kedua-duanya
yang pernah dilahirkan.”
Sloka - 23 “Sebab itu tidak bisa diproduksi
dari sebuah akibat yang bersifat tanpa mula, juga tidak bisa akibat terlahir
dari akibat itu sendiri. Sesuatu yang tanpa mula itu seharusnya bebas dari
kelahiran.”
Sloka - 24 “Ilmu pengetahuan berciri subyektif
harus mempunyai sebab yang berciri obyektif; kalau tidak, kedua-duanya haruslah
tidak eksis. Oleh karena alasan ini, juga didasarkan pada teori
pengalaman penderitaan eksternal para Dwaitin, haruslah diterima.”
Keterangan: Teori pengalaman penderitaan
eksternal para kaum Dwaitin menyatakan bahwa penderitaan itu sifatnya
realistik, karena berasal dari dunia yang penuh dengan penderitaan ini. Dunia
ini bersifat realistik kata mereka, maka begitu juga isinya. Argumen ini
oleh Sri Gaudapada dibalas dengan teori Buddhistik yang dicetuskan oleh
kaum Vijnana Vadin. Teori Buddhistik ini hadir di sloka-sloka berikutnya (sloka
25, 26 dan 27).
Sloka - 25 Sejauh ini sesuai dengan
alasan-alasan yang ada; maka fakta akan berbagai prularitas ini harus diterima
(teori Yukti Dharsana). Namun dari susut pandang teori penganut Yang Maha
Absolut (teori Bhuta Dharsana), dunia pruralistik dengan seluruh
variasi-variasinya dan berbagai hubungannya ini bersifat ilusif.”
Sloka - 26 “Sang pikiran tidak melakukan kontak
dengan berbagai obyek-obyek dunia ekstenal, tidak juga berbagai ide-ide yang
tampil sebagai obyek eksternal berrefleksi ke sang pikiran. Kami tegaskan
demikian, karena berbagai obyek bersifat non-eksis, dan berbagai ide, yang
terkesan sebagai berbagai obyek dari dunia luar, tidak bersifat berjauhan dari
sang pikiran.”
Sloka - 27 “Sang pikiran tidak memasuki
hubungan kausal di dalam tiga periode waktu. Bagaimana mungkin sang pikiran
dapat dipengaruhi oleh delusi, karena tidak ada alasan untuk terjadinya tipuan
mental semacam itu.”
Keterangan: Sri Gaudapadiya sedang mencoba
menerangkan, bahwasanya sang pikiran itu tidak bisa memasuki hubungan dengan
apapun juga di tiga periode sang waktu, jadi beliau ini membantah adanya dunia
yang realistik di manapun juga, tetapi iapun ingin membuktikan bahwa sang
pikiran tidak akan terpengaruh oleh berbagai impresi walaupun ada dunia yang
eksis ini. Ketiga periode sang waktu adalah: Periode permulaan (awal) dunia,
waktu di tengah dan akhir zaman.
Sloka - 28 “Yang pernah dilahirkan …….. bukan
berbentuk sang pikiran, juga bukan berbagai obyek yang dipersepsi oleh sang
pikiran. Mereka-mereka yang bersikeras akan aspek-aspek kelahiran ini sebaiknya
mencoba menemukan jejak-jejak burung di angkasa.”
Keterangan: Sri Gaudapada rupanya sudah tidak
sabar lagi menghadapi kaum muda di hadapannya yang lebih condong teori dualis.
Untuk membuat mereka faham ia harus mengulang-ulang secara tegas agar para
pemuda ini dapat terpancing untuk berdiskusi dengannya penuh dengan pemahaman,
dan tidak secara emosional maupun dengan menebak-nebak.
Sloka - 29 “Di dalam jalan pikiran para hadirin
yang sedang berbeda faham ini, maka Itu (Yang Maha Esa) yang tak pernah
dilahirkan ini dinyatakan telah lahir. Beliau akan senantiasa bersifat tak
dilahirkan. Adalah tidak mungkin bagi sesuatu untuk berubah bentuk ke lainnya
(sesuai dengan sifat-sifat aslinya yang dominan).”
Keterangan: Api itu sifatnya panas, jadi tidak
ada itu yang disebut api dingin, atau es yang panas sekali. Demikian juga akan
Yang Maha Pencipta, Beliau ini tidak pernah dilahirkan dan tidak akan pernah
dilahirkan, karena memang sudah demikian hukum alam atau kodratNya Yang Maha
Agung ini, jadi sia-sia saja mendiskusikanNya, kata Sri Gaudapadiya.
Sloka - 30 “Seandainya dunia ini diakui sebagai
tak bermula …… seperti ditegaskan oleh para pembahas ini ….. maka dunia ini
tidak dapat bersifat non-abadi. Moksha atau pembebasan itu tidak mungkin
memiliki permulaan dan akan selalu bersifat abadi.”
Sloka - 31 Sesuatu yang bersifat non-eksis pada
awalnya dan pada akhirnya, seharusnya juga bersifat non-eksis di tengah-tengah
kedua periode sang waktu tersebut. Berbagai obyek yang kita saksikan adalah
ilusi belaka, namun dianggap sebagai benar (realistik).”
Sloka - 32 “Argumentasi yang menyatakan bahwa
berbagai obyek-obyek yang berada di alam-sadar, yang dianggap bermanfaat, hadir
secara terbalik (sebaliknya) di alam-mimpi. Oleh karena itu, semua ini secara
pasti diterima sebagai ilusi bagi para peneliti, karena dianggap mempunyai
permulaan dan akhir.”
Keterangan: Banyak ahli di India percaya bahwa
dunia mimpi itu bersifat realistik. Selama seseorang mampu bermimpi, maka mimpi
mereka itu pastilah dianggap benar. Perhatikan dan simaklah dengan naik
argumentasi selanjutnya.
Sloka - 33 “Semua obyek yang dikenal
(dialami) di dalam berbagai mimpi bersifat tidak realistis karena semua ini
disaksikan di dalam raga itu sendiri. Bagaimana mungkin menjabarkan berbagai
benda yang telah dijabarkan sebagai eksis, berada benar-benar di dalam (raga)
?”
Sloka - 34 “Tidak mungkin bagi si pemimpi untuk
pergi mendapatkan berbagai pengalaman obyek-obyek mimpinya karena terbatasnya
waktu untuk melakukan perjalanan tersebut. Dan begitu ia sadar, ternyata ia
tidak berada di tempat seharusnya ia berada di dalam mimpinya itu.”
Sloka - 35 “Si pemimpi, sewaktu ia terbangun
dari mimpinya menyadari akan pembicaraan ilusif yang terjadi dengan seseorang
atau dengan beberapa orang selama ia bermimpi. Lebih dari itu, ia tidak
mendapatkan sesuatu apapun juga yang berasal dari mimpinya itu.”
Sloka - 36 “Raga atau badan yang aktif
berpartisipasi di kehidupan (alam) mimpi, seyogyanya dianggap tidak realistis
(nyata) karena raga lainnya dari orang yang bermimpi ini dianggap tidur di atas
ranjang, sedangkan raga satunya beraktifitas di dalam mimpinya. Sama halnya
dengan raga (manusia ini, maka apa saja yang dikenali (dialami) di dalam mimpi
seharusnya tidak bersifat realistis (nyata, benar).”
Sloka - 37 “Karena berbagai pengalaman dan
obyek-obyeknya yang terdapat di alam mimpi ini mirip dengan berbagai pengalaman
dan obyek-obyeknya di alam sadar, maka diperkirakan bahwasanya berbagai
pengalaman di alam-sadar adalah penyebab berbagai mimpi. Didasari oleh
pemikiran (alasan) ini maka berbagai pengalaman alam-sadar, yang dianggap
sebagai penyebab mimpi, nampak hadir seakan-akan nyata bagi orang yang
bermimpi itu saja.”
Sloka - 38 “Karena penciptaan atau evolusi ini
tidak dapat ditegaskan secara de facto maka semua (fenomena) ini dikatakan
sebagai tidak pernah dilahirkan. Adalah tidak mungkin selamanya sesuatu yang
bersifat tidak nyata dilahirkan dari sesuatu yang nyata.”
Sloka - 39 “Begitu terkesannya (terpesonanya)
seseorang dengan berbagai obyek yang dilihatnya di alam-sadar ini, sehingga
seseorang “melihatnya” juga di dalam mimpi-mimpinya ini, tidak ditemui lagi di
alam-sadar (nya).”
Keterangan: Ada sesuatu yang tidak pernah
didiskusikan dalam karya Upanishad ini, yaitu bagaimana menjabarkan sesuatu
yang kita sakssikan di dalam mimpi, yang kemudian terulang lagi baik di dalam
mimpi-mimpi berikutnya beberapa waktu kemudian, juga bisa terjadi persis
dikehidupan alam sadar. Kemudian ada mimpi yang dapat menjadi petunjuk atau
peringatan dini bagi seseorang, dan ini beragam sekali sifatnya. Terkesan semua
orang yang berdebat ini termasuk Sri Gaudapada tidak mengacuhkan fenomena ini,
padahal Smritis yaitu berbagai legenda Hindhu yang dianggap suci penuh dengan
berbagai kisah-kisah mimpi yang menjadi petunjuk handal bagi yang
mengalaminya. [mohan.m.s ]
Sloka - 40 “Yang tidak nyata tidak dapat
meyatakan yang tidak nyata sebagai sebab, tidak juga Yang Nyata
dihasilkan dari yang tidak nyata. Yang Nyata tidak mungkin adalah sebab dari
Yang Nyata. (Lalu) bagaimana mungkin Yang Nyata dapat menjadi penyebab dari
yang tidak yata?”
Sloka - 41 “Seperti seseorang yang berada di
alam-sadar berbpikir bahwa alam ini bersifat nyata (melalui ilmu-pengetahuan
yang salah) berbagai obyek yang sifatnya tidak dapat dijabarkan, demikian juga
secara sama, di alam-mimpipun melalui ilmu-pengetahuan yang salah, seseorang
mendapatkan bebagai obyek yang kehadirannya dimungkinkan hanya karena kondisi
tersebut.”
Sloka - 42 “Seseorang yang bijaksana mendukung
teori kasualitas ini. Hanya demi mereka yang khawatir akan Yang Maha Esa
(Hakiki), yang Tak Diciptakan, mereka ini bersiteguh kepada teori realitas yang
menikmati berbagai obyek (duniawi) dan berdasarkan cara berpikir dan iman
mereka yang gemar melaksanakan berbagai upacara.”
Keterangan: Kepada para sadhaka pemula, para
resi mengajarkan akan Hakikat Yang Maha Esa dalam bentuk Kasualitas, agar
mereka-mereka yang masih awam ini dan terikat pada berbagai praktek
upacara tidak bingung dan bimbang. Lambat laun para sadhaka dibimbing ke arah
teori Akomisme (Ajata vada) ini. Kalau langsung diajarkan akan hakikat yang
Maha Esa Yang Tak Berwujud, Yang Tak Terlahirkan, maka para sadhaka akan
bingung dan kehilangan kepercayaan mereka akan pujaan yang mereka kenal secara
tradisionil. Melalui tahap-tahap ritual, bakti dan upasana, baru kemudian
dibimbing ke arah filosofi yang terkesan berat ini, yang tentu saja bukan
merupakan “santapan rohani” kaum awam. Itulah sebabnya seluruh karya ini
dikhususkan bagi mereka-mereka yang telah melewati berbagai bakti, ritual dan
upasana dalam bakti mereka ke Yang Maha Esa.
Pada mulanya memang karya ini terasa
kacau dan membingungkan sekali, namun setelah mempelajari berbagai Upanishad,
Bhagavat-Gita, karya-karya shahtra-widhi lainnya dan kembali mendalami ajaran
ini, maka akan terbukalah wawasan intelektual (budhi) seorang sadhaka
yang sedang berorientasi ke penelitian mengenai Hakikat Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi karya ini sebaiknya difahami sebagai sebuah studi banding untuk
bakat-bakat khusus saja.
Sloka - 43 “Mereka-mereka yang khawatir akan
Sang kebenaran sebagai hakikat Non-manifestasi dan juga berdasarkan persepsi
mereka akan dunia obyek-obyek dan berbagai fenomena ini, mereka tidak
terpengaruh oleh pengaruh iblis karena mereka percaya akan teori kasualitas.
Kalaupun ada pengaruh ini, maka pengaruh tersebut tidak begitu terlalu nyata.”
Keterangan: Pada mulanya teori kasualitas
mengajar kita semua dengan berbagai praktek, cara berbakti, ritual, pemahaman
akan simbol AUM dan sebagainya. Lama-kelamaan kita bertanya-tanya apakah benar
semua ini benar-benar jalan ke Yang Maha Esa, dan seperti apakah Hakikat Beliau
ini (Yang Maha Agung). Bagi para sadhaka, dalam tahap inilah baru ajaran
Upanishad dari Sri Gaudapadiya ini bisa bermakna. Sering orang-orang bertanya,
salahkah kita, kalau orang menyembah ke berbagai dewa-dewi, ataukah semua ini
disesatkan oleh iblis? Tidak!, jawab Sri Gaudapadiya, karena memang
demikian prosesnya, dari kurang pengetahuan, menjadi faham secara benar,
persisi sama seperti sekolah saja.
Sloka - 44 “Ibarat seekor gajah yang dihadirkan
oleh imajinasi (seorang tukang sulap), dikatakan eksis (di depan mata para
penonton), oleh karena (a) …. Hal tersebut dirasakan, (b) karena gerak-gerik
sang gajah yang meyakinkan akan kehadirannya. Demikian juga dengan berbagai
obyek duniawi ini yang (a) …. Hadir karena dirasakan dan (b) karena
memenuhi hasrat-hasrat manusia itu sendiri akan kebutuhannya untuk berbagai
obyek duniawi tersebut.”
Sloka - 45 “Kesadaran murni yang terkesan
dilahirkan, atau yang bergerak atau yang mengambil bentuk sesuatu benda,
sebenarnya tidak pernah dilahirkan, tidak bergerak dan lepas dari materi;
beliau itu sifatNya Kedamaian Total dan Tunggal.”
Sloka - 46 “Demikianlah sang pikiran ini
(sebenarnya) tidak terikat oleh kelahiran atau perubahan. Semua makhluk
sebenarnya bebas dari kelahiran. Mereka-mereka yang telah menyadari (memahami)
hakikat kebenaran ini tidak akan terpengaruh oleh ilmu-pengetahuan yang palsu
….yaitu berbagai penalaran yang salah akan Yang Maha Hakiki.”
Sloka - 47 “Ibarat alur bara-api sewaktu sedang
bergerak terlihat lurus, berkelok-kelok, bergulung-gulung dan sebagainya,
demikian juga dengan kesadaran sewaktu bergetar akan terkesan seakan-akan
ia adalah “yang menyadari” atau “yang disadarkan” dan lain sebagainya.”
Keterangan: Alur api (Alata) ini disebut-sebut
di ajaran Maitrayam Upanishad sewaktu menggambarkan Sang Hyang Brahman
yang oleh masing-masing individu dipandang dan dihayati secara berbeda satu
dari yang lainnya, sesuai dengan tahap kesadaran masing-masing individu itu
sendiri; walaupun “Itu intinya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan itu adalah api.”
Sloka - 48 “Sewaktu tidak bergerak maka alur
bara api akan lepas dari berbagai bentuk dan terkesan diam. Demikian juga
dengan kesadaran, sewaktu tidak tergetar dengan berbagai imajinasinya
akan lepas dari berbagai bentuk dan bersifat (terlihat) diam tanpa
berganti-ganti bentuk.”
Sloka - 49 “Sewaktu alur api sedang berada
dalam bentuk gerakan, maka berbagai bentuk alur apipun ttidak akan pergi
kemana-mana, tidak juga dapat dikatakan bahwasanya berbagai bentuk api tersebut
telah menyatu ke api ini, sewaktu alur api berhenti bergerak.”
Sloka - 50 Berbagai bentuk alur api ini tidak
berasal dari api tersebut karena memang bukan “benda” substantial. Demikian
juga dengan kesadaran itu sendiri yang memiliki kesamaan dengan dua kasus
tersebut di atas.”
Sloka - 51 - 52 “Sewaktu kesadaran dihubungkan
dengan sefat-sifat, maka apa yang terlihat dan terkesan, tidak berasal dari
manapun juga. Sewaktu kesadaran sedang aktif, maka berbagai kesan yang
terlihat juga tidak pergi kemanapun juga. Demikian juga dengan berbagai
kesan yang terlihat, tidak juga pernah memasukinya; kesan-kesan yang nampak
terlihat ini tidak pernah muncul dari Kesadaran tersebut karena tidak bersifat
nyata; Semua fenomena ini berada di luar (jalan pikiran) dan kata-kata, karena
memang tidak berhubungan dengan ikatan sebab-akibat.”
Sloka - 53 “Sesuatu benda fisik dapat saja
merupakan produk dari benda yang lain; demikian juga sesuatu yang bersifat
bukan benda bisa memproduksi sesuatu benda lain yang bukan juga bersifat benda.
Demikianlah, pusat-pusat ego dikatakan tidak bisa bersifat benda maupun berbeda
dengan benda.”
Keterangan: Ego-sentris seorang individu
disebut bukan sebagai benda (Dravya), juga bukan “bukan benda (Anyabhava)”.
Tidak ada sesuatu apapun yang dapat menciptakannya, demikian juga ia tidak
dapat menciptakan sesuatu.
Sloka - 54 “Demikianlah bentuk eksternal
berbagai obyek indriyas, tidak diciptakan oleh sang pikiran, juga tidak bisa
dikatakan bahwasanya sang pikiran sebaliknya diciptakan oleh berbagai indriyas
ini. Oleh karena itu semua manusia yang bijak berprinsip bahwasanya
non-penciptaan atau non-evolusi adalah Kebenaran Sejati.”
Sloka - 55 “Selama seseorang percaya kepada
prinsip Kebenaran Sejati (hukum Kasualitas ini), maka selama itu pula ia akan
menyadari berfungsinya hukum ini, namun sewaktu prinsip ini hilang dari jalan
pikiran seseorang sadhaka, maka hukum sebab-akibatpun akan hilang darinya.”
Sloka - 56 “Selama seseorang percaya akan
kasualitas yang berintikan berbagai kematian dan kelahiran (tanpa
habis-habisnya), maka fenomena itu akan eksis. Namun sewaktu kepercayaan
tersebut hancur oleh ilmu-pengetahuan, maka kelahiran dan kematian berubah
menjadi tidak eksis lagi.”
Sloka - 57 “Konsep tentang kelahiran hanyalah
sebuah pengalaman ilusif yang tercipta karena didasari oleh sebuah kebodohan
(kekurang-pengetahuan), jadi sebenarnya tidak ada sesuatu apapun yang abadi.
(Karena) semua ini berasal dan bersatu dengan Realitas Utama, maka dikatakan
tidak ada yang pernah dilahirkan dan, tidak ada itu yang disebuat kiamat
(penghancuran, kematian).”
Keterangan: Secara duniawi kita memang lahir
dan mati, tetapi proses tersebut terulang terus secara sistematis, dan sifatnya
malahan abadi. Dari sudut pandangan Sang Pencipta tidak ada lahir dan mati, yang
eksis hanya prosesnya saja; dari sudut pandangan dan pikiran manusia semua
fenomena ini dianggap ada, dan manusia ketakutan sendiri akan pralaya (kiamat,
kematian).
Sloka - 58 “Berbagai elemen (unsur-unsur)
yang brhubungan dengan pusat-pusat ego disebut dilahirkan; namun dari sudut
pandangan Realitas Utama, hal tersebut tidak dimungkinkan. Oleh karena itu
dikatakan kelahiran itu sifatnya adalah obyek ilusi. Dan yang namanya ilusi itu
bersifat tidak eksis.”
Sloka - 59 “Kecambah ilusi tumbuh dari benih
ilusi. Kecambah ilusi ini tidak permanen maupun non-permanen sifatnya. Demikian
juga dengan berbagai jiwa-jiwa (ini).”
Sloka - 60 “Unsur “permanen” ataupun
“non-permanen” tidak dapat diaplikasikan kepada ego-ego yang belum dilahirkan.
Sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata tidak bisa dibeda-bedakan
sebagai benar ataupun salah.”
Sloka - 61 “Ibarat di dalam mimpi sang pikiran
terkesan berperi-laku melalui delusi, dan memproduksi dualitas akan dirinya
sendiri, demikian juga di alam-sadar ini sang pikiran ini terkesan melaksanakan
berbagai hal melalui Maya dan memproduksi berbagai penampakan (hal, fenomena
yang bersifat) pruralistik.”
Sloka - 62 “Tak ada keragu-raguan bahwasanya
sang pikirang yang sebenarnya tidak non-dual sifatnya, memecah-mecah dirinya
menjadi banyak di alam-mimpi. Demikian juga di alam sadar ini sang pikiran ini
bersifat non-dual dan melakukan hal yang sama.”
Sloka - 63 “Berbagai bentuk kelahiran dari
berbagai jenis telur, keringat, dan lain-lainnya, selalu terlihat oleh
seseorang yang bermimpi sewaktu ia hidup di dalam mimpinya, ia kesana-kemari,
ke 10 arah di dalam mimpinya ini, ---- (sebenarnya) semua ini tidak eksis, jauh
dari sang pikiran si pemimpi tersebut.”
Sloka - 64 “Berbagai pusat-pusat sang pikiran
yang berbeda-beda ini, yang adalah berbagai obyek sang pikiran itu sendiri
tidak memiliki eksistensi mereka masing-masing selain dari pikiran itu sendiri.
Demikian juga, pikiran sang pemimpi ini diterima sebagai obyek persepsi sang
pemimpi itu sendiri. Oleh karena itu, pikiran sang pemimpi itu tidak terpisah
dari sang pemimpi itu sendiri.”
Sloka - 65 - 66 “Berbagai bentuk kelahiran dari
pusat-pusat ego yang dilahirkan dari berbagai unsur (jenis) telur, keringat,
biji-bijian dan lain sebagainya, yang dirasakan oleh seseorang di alam sadar,
di sepuluh arah, adalah hanya obyek sang pikiran dikala ia berada di alam
sadar. Demikian juga, pikiran seseorang di alam sadar ini diterima sebagai
berbagai obyek-obyek persepsi dari orang yang berada di alam sadar itu sendiri.
Oleh karena itu, sang pikiran disebut tidak berpisah dari orang yang merasakan
itu semuanya.”
Sloka - 67 “Kedua-duanya, yaitu sang pikiran
dan berbagai pusat-pusat ego, adalah obyek-obyek persepsi bagi satu dengan yang
lainnya; lalu bagaimana dapat dikatakan mereka ini lepas bebas satu dari yang
lainnya? Kedua-duanya tidak memiliki ciri (tanda) tertentu yang dapat
membedakan mereka, karena yang satu hanya dapat dikenali melalui yang satunya
lagi.”
Sloka - 68 “Seperti halnya dengan jiwa di
alam-mimpi merealisasikan dirinya sebagai mahluk dan kemudian sirna, demikian
juga halnya dengan berbagai ego yang hadir di dalam alam-sadar kita, muncul
kemudian hilang.”
Sloka - 69 “Seperti halnya dengan gabungan
berbagai unsur merealisasikan dirinya dan kemudian berlalu, demikian juga
halnya dengan berbagai jiwa yang terasakan kehadirannya di alam sadar, datang
dan pergi.”
Sloka - 70 “Ibarat semua pusat-pusat ego yang
bersifat artifisial (tidak asli) datang dan pergi, demikian juga dengan
berbagai jiwa yang terasakan di alam-sadar datang dan pergi.”
Sloka - 71 “Tiada satu makhlukpun yang pernah
dilahirkan; tidak juga ada alasan untuk penciptaan ini. Kebenaran Sejati
adalah behwasanya tidak ada sesuatu apapun dilahirkan.”
Sloka - 72 “Dunia yang bersifat dualitas ini
dicirikan berdasarkan konsep hubungan antara subyek dan obyek, dan kemudian hal
ini diterima oleh yang menerima konsep ini; semua ini adalah pekerjaan sang
pikiran. Sang pikiran ini sekali lagi (sebenarnya) tidak pernah berhubungan
dengan salah satu obyek apapun juga (ini). Oleh karena itu, sang pikiran
ditegaskan sebagai abadi dan tak tersentuh.”
Keterangan: Teori Vedantin di atas ini
menyatakan bahwa Sang Pikiran adalah Sang Brahman itu sendiri, jadi
bersifat abadi dan tidak dapat disentuh oleh fenomena maupun benda apapun juga.
Sloka - 73 “Sesuatu yang eksis berdasarkan
kekuatan ilusi, pada hakikatnya tidak eksis. Sesuatu yang dikatakan eksis
berdasarkan kekuatan pandangan yang didukung oleh berbagai aliran kepercayaan
lainnya, sebenarnya (pada hakikatnya) tidak pernah eksis.”
Keterangan: Penjelasan di atas dapat
dikategorikan mencengangkan atau menakjubkan untuk sementara ahli. Yang Maha
Esa dan Hakikatnya yang oleh berbagai aliran kepercayaan di dunia ini (dari
masa ke masa) itu disebut sebagai Yang Maha Hakiki, tetapi kalau ada yang
menentang teori ini, (yang tidak dipaksakan); karena Hakikat itu eksis
atau tidak bukan karena berbagai golongan menyatakan pro dan kontranya,
namun karena KehendakNya belaka! Yang Maha esa ini, sekali lagi bukan untuk
diperdebatkan, namun untuk dihayati dan difahami.!
Sloka - 74 “Sang Atman, dikatakan sebagai tidak
dilahirkan ditinjau dari sudut pengalaman dan pandangan sehari-hari. Bahkan
dikatakan sebenarnya Sang Atman memang tidak pernah dilahirkan (eksis). Sang
Atman terkesan hadir karena hal tersebut adalah kepercayaan dari berbagai
aliran kepercayaan.”
Sloka - 75 “Manusia mempunyai persepsi
kepercayaan yang “amburadul” sifatnya akan Realitas ini Yang Tidak Nyata ini.
“Tidak ada dualitas. Seseorang yang telah menyadari akan ketidak-hadiran
dualitas, tidak pernah dilahirkan kembali, karena sudah tidak ada alasan lagi
untuk dilahirkan.”
Keterangan: Sri Gaudapada di sloka ini
seakan-akan menyatakan konklusi terakhirnya akan sifat-sifat manusia yang agak
“konyol atau amburadul”. Sekali sebagian manusia ini berpersepsi, mereka
langsung menjadi fanatik dengan kepercayaan tersebut, dan mereka ini atas nama
agama, adat ataupun budaya bisa lebih “tuhan“ dari Yang Maha Esa itu sendiri.
Keperyaan ini disebutnya amburadul atau konyol (Abhinivesa), dan sebenarnya
sangat menghancurkan sang individu maupun kelompoknya sendiri. Namun beliau
juga berkata bahwasanya seseorang yang egonya telah mati dan mengenal Hakikat
Yang Maha Esa (Realitas Sejati) dan memahamiNya, maka bagi insan ini tidak
akan berreinkarnasi, namun pada hakikatnya semua fenomena duniawi ini
sudah bukan masalah lagi baginya!
Sloka - 76 “Sewaktu sang pikiran tidak
mendapatkan suatu alasan utama atau yang tidak utama atau yang di tengah-tengah
kedua faktor ini, maka sang pikiran ini berubah bebas dari kelahiran. Bagaimana
mungkin bisa terjadi akibat kalau sebabnya tidak hadir?”
Sloka - 77 “Tahap ilmu-pengetahuan, atau
non-evolusi dari sang pikiran yang tidak pernah dilahirkan dan tanpa hubungan
apapun juga, bersifat absolut dan konstan. Semua hal lainnya, oleh karena
itu secara sama rata tidak dilahirkan, karena kemajemukan sebenarnya adalah
proyeksi obyektif dari sang pikiran itu sendiri.”
Sloka - 78 “Setelah menyadari (memahami)
ketidak-hadiran unsur kasualitas sebagai Sang Jati Diri (Atman), yaitu
Kebenaran Yang Tidak Terbatas …… maka, sewaktu seseorang tidak menemukan
sesuatu alasan atau sebab untuk bermanifestasi lagi …. maka orang tersebut akan
mencapai pembebasan Sang Jati Diri yang lepas dari kekhawatiran, berbagai
nafsu, berbagai hasrat dan ketakutan.”
Sloka - 79 “Oleh karena ikatan seseorang kepada
benda-benda yang tidak nyata (duniawi), maka sang pikiran ini berlari mengejar
berbagai obyek indriyas tersebut. Namun hal tersebut bisa berbalik sewaktu
seseorang berubah tidak terikat lagi ….. memahami dirinya ……. sewaktu ia
meyakini akan ketidak-nyataan semua obyek ini secara total."
Sloka - 80 “Jalan pikiran seseorang yang telah
hancur dari berbagai ikatannya akan menarik dirinya dari berbagai godaan …….
Kemudian akan mencapai tahap Kemurnian yang tidak berubah-ubah. Faktor ini
difahami oleh para kaum bijak sebagai sesuatu yang tidak bisa dibeda-bedakan
(dibanding-bandingkan), tidak memiliki kelahiran, dan non-dual.”
Keterangan: Yang disebut faktor di atas adalah
Tuhan Yang Maha Esa.
Sloka - 81 “Sang Jati Diri yang lepas dari
kelahiran dan lepas (bebas) dari “tidur” dan “mimpi” mengungkapkan diriNya oleh
diriNya juga; karena pada hakikatnya, ang Jati Diri ini, bersifat senantiasa
bercahaya gilang-gemilang.”
Sloka - 82 ‘Karena sang pikiran selalu terikat
kepada berbagai obyek individual (duniawi), maka Kebahagiaan Ilahi
(Sukham-avriyate nityam) itu selalu terselubung sifatnya, dan berbagai
penderitaanpun muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Esa
(Bercahaya) ini sulit untuk direalisasikan.”
Sloka - 83 “Mereka-mereka yang masih bersifat
“kekanak-kanakan” mengungkap (menjabarkan), Kebenaran ini sebagai: eksistensi,
non-eksistensi ………dan, analisa mereka ini datang dari berbagai ekspresi
seperti: yang permanen (abadi), yang tidak permanen (tidak abadi), yang
memiliki sifat abadi dan tidak abadi, (keabadian dan ketidak-abadian).”
Keterangan: Aliran Vaisheshikas berpendapat
bahwa Sang Atman itu jauh adanya dari raga, indriyas dan prana. Atman oleh
mereka disebut Eksistensi.
Kaum Buddhis dari aliran
Kshanika Vijnana Vadine berpendapat bahwasanya sang Atman itu walaupun terpisah
dari raga ini, bersifat identik dengan sang intelek (buddhi).
Menurut aliran Jaina, Sang Atman
adalah “Eksistensi dan Bukan Eksistensi” (Asti-Nasti). Bagi mereka ini ukuran
Sang Atman itu sama besarnya dengan raga yang menyandangNya, dan sewaktu
raga itu eksis, sang Atman pun ikut eksis. Sewaktu raga ini binasa, Sang Atmanpun
tidak eksis. Yang terakhir adalah kepercayaan dari salah satu aliran
Buddhis yang disebut kaum Nihilis, menurut mereka tidak ada realitas yang dapat
dibanding-bandingkan dengan sang Atman. Semua yang lain apakah itu makhluk
hidup maupun benda mati berakhir dengan kehancuran (kematian). Jadi bagi
mereka “Penolakan Absolut” (Nasti-Asti) adalah “Kebenaran Yang Maha Utama.”
Sloka - 84 “Di sini terpapar empat pendapat
alternatif yang berhubungan dengan sifat Sang Atman. Karena berhubungan dengan
keterikatan seseorang kepada pendapat-pendapat ini, maka Sang Atmanpun
terselubung dari pandangan orang-orang tersebut. Barangsiapa yang faham
bahwasanya Sang Atman ini tidak tersentuh oleh berbagai teori ini,
sebenarnyalah yang merasakan (melihat dan juga memahami) Sang Atman.”
Sloka - 85 “Seandainya orang tersebut telah
mencapai tahap Sang Brahman, sebuah tahap non-dualitas yang sempurna, yang
tidak bermula tidak berakhir, dan tidak bertengah (masa diantara mula dan
akhir) ……..maka apa lagi yang harus dihasratkan?
Sloka - 86 “Kesadaran akan Hakikat Sang Brahman
ini adalah dengan sendirinya merupakan kerendahan hati alami bagi Sang Brahman.
Orang-orang yang sadar ini sifatnya selalu spontan. Mereka-mereka ini dikatakan
telah mencapai kendali atas indriyas mereka secara sempurna ……, dan ini mereka
dapatkan secara alami (sebagai suatu kewajaran spiritual). Barang siapa
yang menyadari akan hakikat Sang Brahman Yang Maha Shanti, maka orang tersebut
akan berubah menjadi shanti (tenang dan damai).”
Sloka - 87 “Vedanta mengakui tahap empirik dari
tahap alam-sadar dimana unsur pruralitas berhubungan dengan berbagai obyek dan
ide-ide yang dikenal (selama ini). Vedanta juga mengakui tahap lembut lainnya
dimana pruralitas dialami, dimana berbagai ide (faham, pikiran) berhubungan
dengan berbagai obyek yang sebenarnya tidak eksis.”
Keterangan: Sri Gaudapadiya di sloka ini
menyitir ajaran dari aliran kaum Buddhis yang disebut Yogacharas. Di dalam
ajaran ini, alam sadar disebut Laukika, dan alam-mimpi disebut sebagai
Suddha Laukika. Mandukya Upanishad ini telah menerangkan kedua tahap ini
sebelumnya.
Dalam tahap Laukika dan Suddha
Laukika, terdapat hubungan antara yang merasakan dan yang dirasakan
dan satu-satunya perbedaan (kelainan) adalah dalam tahap sadar, “orang yang
sadar” merasakan berbagai obyek yang terkesan nyata, sebaliknya “orang yang
bermimpi” merasakan berbagai obyek yang sebenarnya adalah ide atau faham
yang berasal dari pikiran yang terobsesi oleh alam mimpi ini.
Sloka - 88 “Dan ada lagi sebuah tahap lain dari
kesadaran yang diterima oleh kaum yang bijak, pendapat ini bebas dari hubungan
obyek-obyek eksternal dan juga bebas dari brbagai bentuk jalan pikiran yang
hdir secara internal. Tahap ini jauh dari berbagai pengalaman empirik. Kaum
bijak selalu menjabarkan ketiga-tiganya ini ….., yaitu sebagai
ilmu-pengetahuan, ilmu-pengetahuan akan berbagai obyek, dan yang harus dipahami
….., yaitu Sang Realitas Utama.”
Sloka - 89 “Ilmu-pengetahuan dan ketiga lapis
yang difahami ini, sewaktu dimengerti secara susunan yang benar, satu sesudah
yang lainnya, maka seseorang yang memiliki naluri yang tinggi secara
spontan akan mencapai tahap ilmu-pengetahuan yang hadir dimana saja dan di
dalam apa saja di kehidupan ini.”
Keterangan: Tahap yang dimaksud di atas
disebut sebagai tahap Thuriya dari Kesadaran Murni, seseorang yang mampu
mencapai tahap ini disebut seorang yang suci (Sant, Santa). Ia terserap
ke dalam Sang Atman dan berubah menjadi Atman itu sendiri, dan mampu hadir dan
faham akan berbagai fenomena di mana saja dan dalam bentuk apapun juga.
Sloka - 90 “Empat hal yang harus diketahui pada
saat permulaan adalah (1) hal-hal yang harus dihindari; (2) obyek
(tujuan) yang harus direalisasikan; (3) hal-hal yang harus dicapai dan (4)
berbagai jalan pikiran yang dirasakan sebagai tidak efektif; diantara ke empat
ini, semua unsur-unsur tersebut di atas selain unsur yang harus direalisasikan,
hadir hanya sebatgai imajinasi belaka.”
Sloka - 91 “Semua unsur sesuai dengan
sifat-sifat alaminya bersifat tanpa mula dan tak terlihat, ibarat kehampaan
(ruang angkasa). Tidak ada varietas sedikitpun di dalam unsur-unsur ini dilihat
dari sudut manapun, maupun pada dimensi waktu apapun.”
Keterangan: Dalam tahap Thuriya,
Kebenaran Hakiki ini tidak tersentuh oleh unsur apapun, dalam bentuk
apapun, maupun oleh sang waktu itu sendiri.
Sloka - 92 “Semua unsur-unsur ego-sentris,
sesuai dengan sifat-sifat asli, telah terang (dicahayai) dari permulaan, dan
mereka ini tak tergoyahkan sifatnya. Barangsiapa berdasarkan ilmu-pengetahuan
ini, sudah merasa cukup dan tidak mencari ilmu-pengetahuan lain, maka ia
seorang diri akan mampu menyadari (Hakikat) Kebenaran Yang Maha Tinggi.”
Sloka - 93 “Semua unsur-unsur ego-sentris yang
dari permulaan dan dikarenakan oleh sifat alami mereka berciri sama, tidak
dilahirkan dan bebas secara sempurna; sifat utama mereka adalah kesamaan dan
tidak berbeda-beda satu dari yang lainnya. Oleh sebab itu, berbagai unsur ini
sebenarnya tidak bukan dan tidak lain dari Sang Atman, yang tidak dilahirkan,
selalu bersemayam secara mantap di dalam “Persamaan dan Kemurnian.”
Keterangan: Sekali lagi kami jelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ego-sentris itu sama artinya dengan jiwa
(individual).
Sloka - 94 “Mereka-meraka yang selalu bersandar
pada konsep perbedaan, tidak akan pernah merealisasikan Kemurnian alami yang
hadir di dalam Sang Jati Diri. Karena itu, mereka-mereka yang terserap di dalam
faham pruralitas ini dan mereka-mereka yang membedakan setiap benda dan
individu satu dari yang lainnya, disebut sebagai orang-orang yang berpikiran
sempit (Kripanah).”
Sloka - 95 “Hanya mereka yang dapat disebut
teramat bijaksana yang sangat teguh dengan iman mereka akan Hakikat Sang Jati
Diri, Yang Tak Dilahirkan dan Senantiasa Sama; fenomana ini, tidak bisa difahami
oleh manusia awam.”
Sloka - 96 “Kesadaran murni, intisari dari
berbagai unsur (jiwa) yang berlainan dikatakan sebagai Jati Diri yang tak
dilahirkan dan tidak berhubungan dengan obyek-obyek eksternal apapun juga.
Ilmu-pengetahuan ini dikatakan tidak bersyarat (tidak bisa ditawar-tawar lagi),
karena bagaimanapun juga tidak berhubungan dengan obyek-obyek lain dalam bentuk
apapun juga.”
Keterangan: Teori di atas adalah kepercayaan
kaum Naiyayaka, akan Sang Atman.
Sloka - 97 “Sedikit saja pemahaman akan
hadirnya unsur-unsur pruralitas dalam Sang Atman oleh seseorang yang kurang
pengetahuannya, akan menghalangi mereka dalam mendekati Beliau Yang Hakiki ini,
di manakah kemudian akan ada kehancuran tirai penutup Hakikat Asli Sang Atman
ini?”
Sloka - 98 “Semua jiwa (sebenarnya) bebas dari
ikatan dan murni sifatnya. Mereka ini senantiasa bercahaya dan merdeka semenjak
masa permulaan. Namun, tetap saja para kaum bijak menyebut para individu ini
sebagai “mereka-mereka yang berkemampuan untuk memahami” …………Sang Jati Diri.”
Sloka - 99 “Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang yang telah sadar, yang teramat bijak, tidak akan tersentuh oleh
berbagai obyek (duniawi). Semua unsur, sama halnya dengan ilmu-pengetahuan juga
tidak tersentuh oleh obyek-obyek apapun juga. Ini bukan pandangan Sang Buddha.”
Keterangan: Dua sloka terakhir ini adalah
akhir dan konklusi Sri Gaudapadiya, pernyataan ini mirip dengan ajaran
Sang Buddha Gautama, yang juga berasal dari kurun waktu yang sama dengan
Sri Gaudapadiya. Pada masa itu di India, kaum brahmana yang picik, sangat
alergi terhadap ajaran sang Buddha Gautama. Sri Gaudapada menegaskan bahwa
ajaran-ajarannya bukan berasal dari ajaran Sang Buddha, namun intisarinya
memang sudah hakikatnya demikian (jadi tidak ada perbedaan antara Hindhu dan
Buddha sebenarnya!). Filosofi Buddhis amat mendekati ajaran Advaita secara
dialektik, namun ada perbedaan-perbedaan yang tipis diantara keduanya. Sang
Budha sebenarnya tidak pernah mengajarkan bahwasanya Yang Maha Absolut
adalah Realitas Yang Terakhir.
Sloka - 100 “Setelah menyadari tahap Realitas
Utama ini, yang hakikatnya sulit untuk digapai secara murni ….yaitu tidak
dilahirkan, senantiasa sama, secara total bersifat ilmu-pengetahuan dan lepas
dari pruralitas ……..maka kami menghaturkan puja hormat kami sebaik mungkin
dengan kemampuan yang kami miliki.”
Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya
menutup ajarannya ini dengan puja syukur penuh hormat kepada Sang Hakikat Yang
Maha Utama. Dengan teramat rendah hati beliau berkata bahwasanya puja
hormat ini adalah minimum sifatnya dibandingkan dengan kemampuan Tuhan
Yang Maha Esa di dalam bidang apapun juga. Dengan kata lain beliau
mengingatkan kita semua bahwa seberapapun tingginya ilmu yang kita miliki,
sebenarnya tidak berarti apa-apa di depan Yang Maha Esa. Jadi berhentilah
berdiskusi akan kepercayaan orang lain, dan mempermasalahkan kepercayaan agama
orang lain, namun sebaiknya senantiasa giatlah selalu memahami Sang Jati dirimu
sendiri. Inilah intisari yang tersirat di ajaran yang terkesan amat
rumit ini. Salam puja penuh hormat bagi Sri Gaudapadiya yang
telah bersusah payah beryagna bagi umat manusia melalui karya Karika
Upanishad ini. Puja sujud dan hormat sekali lagi baginya dan Yang Maha Hakiki
serta seluruh jajaran resi Sanathana Dharma dari masa ke masa, sesuai
dengan kemampuan yang teramat minim yang kami miliki secara duniawi ini.
“Tak Terikat, Tak Terikat, Tak
Terikat Aku ini lagi dan lagi; Aku bersifat Absolut; Eksistensi
Ilmu-Pengetahuan ……..Kebahagiaan Ilahi; Aku adalah Aku ……Yang Abadi, yang Tak
Terbinasakan, Yang Tak Terhancurkan !!!”
OM SARVAM BHUTAM MANGGALAM
OM SHANTI SHANTI SHANTI
OM TAT SAT
Dengan ini berakhirlah karya Mandukya Upanishad dan
Karika ini
semoga bermanfaat bagi semuanya.
sumber :: http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar