Om Awignhamastu Nama Sidham,
Om Ksantawya ta Sang Hulun, tan kawrateng capa tulah,
Mangastawa Dhanyang mangke, Dhanghyang Dwijendra sinuhum,
Nganugraha tattwa kawruh, tattwa gama Hindu Bali,
Weda mantra tembang kidung – solah bhawa tatacara, lawan Pancayajna kabeh,
Dewayajneka maka di gumawe treptining kahyun, rahaywa jiwat maningong,
Mogha Dhanghyang tulus asung, mangasraya ri Sang Hulun,
Sidharekang don swanegara trepti winong …..
Semoga tidak ada bencana dan berhasil!
Sembah sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam prabawa Beliau, sebagai Sang Hyang Aji Saraswati yang selalu menjadi kekasih seorang sisya
di dalam perjalanannya menuju kesadaran kosmis, sehingga mendorong
keinginan untuk menjadi dekat dan berbakti kepada Beliau, sebagai
ungkapan rasa terima kasih atas ilmu pengetahuan serta pencerahan yang
telah diterima timbul kesadaran untuk mengabdikan diri (ngayah)
kepada Beliau dengan cara mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran dan simbol-simbol agama Hindu. Setiap aktivitas keagamaan tidak
terlepas dari simbol, atribut atau simbol-simbol tersebut merupakan
media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan sang Pencipta,
menghantarkan persembahan (yajna), mengadakan dialog (param parum = saka ‘Purusapura’ = sepi / heneng ‘Bali Semarapura’ melalui kemahatmianan genta pinara pitu) serta mohon perlindungan dan waranugraha-Nya.
Kata kunci dari dinamika kehidupan beragama dalam masyarakat Bali
adalah pelaksanaan yajna yang direpresentasikan dalam sistem upacara
yang rumit. Yajna merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan
oleh pemeluk agama Hindu dan berasal dari bahasa Sanskerta ‘yaj’
berarrti korban, sedangkan yajna berhubungan dengan pengorbanan
dilakukan berdasarkan rasa pengabdian dan cinta kasih (Putra, 1982:1).
‘Puputan Klungkung’
merupakan yajna Bali yang tidak terpisahkan dengan kejayaannya yang
telah mewarisi peradaban agung-adiluhung Nusantara ini sebagai salah
satu warisan kesatuan budaya yang dijiwai oleh agama Hindu di Bali
dengan berbagai nilai budaya yang berorientasi pada sejarah, sains, dan
seni. Untuk memahami nilai-nilai budaya tersebut perlu dilakukan
pembacaan kembali teks-teks masa lalu yang dikondisikan dengan sejarah
dan nilai-nilai kekinian. Pada saat yang sama, teks dan konteks
kekinian akan memberikan penafsiran yang mempengaruhi keberadaan masa
lalu. Membaca masa lalu tergantung pada penilaian tertentu terhadap
sejarah pada saat ini. Secara simultan pemahaman kita terhadap
lingkungan saat ini dipengaruhi oleh apa yang telah diwarisi oleh para
leluhur kita di masa lalu. Inilah Grebeg Aksara Prasadha 100 Tahun
Puputan Klungkung yaitu yajna (pengorbanan suci) jiwa & raga yang
membangkitkan Kemurnian Jiwa Ksatria Mahottama sebagai simbol
penciptaan serta kebangkitan spiritualitas etika dari adicita –
adistana satyam, sivam dan sundaram.
GENTA PINARA PITU : NADA BRAHMAN
Seluruh sistem agama Hindu dan Filsafat Hindu didasarkan pada ilmu tentang vibrasi yang disebut nada brahman (Donder, 2005: 74). Demikian pula halnya dengan suara genta sulinggih bisa juga disebut dengan nada brahman yang kemudian bervibrasi membentuk beraneka-ragam nada / suara yang dipakai dalam gambelan Bali.
Selanjutnya perkembangan ajaran filsafat Siwa dan Buddha dalam dimensi lima memiliki kesamaan, sehingga apabila di interpretasikan dalam bentuk empat kuku kawang dan satu lingga/pusuh cepaka akan mendapatkan formulasi sebagai berikut :
SIWA
|
BUDDHA
|
1. Panca Brahma : – Içwara (Sadhyota)
– Brahma (Bamadewa) – Mahadewa (Tatpurusa) – Wisnu (Aghora) – Çiwa (Icana) |
- Ratna sambhawa (Rih) - Amitabha (Trang) - Amogasiddhi (Hum) - Wairocana (Ang) |
2. Pancaksara : Na,Ma,Si,Wa,Ya | 2. Pancaksara : Na,Ma,Bu,Da,Ya |
3. Panca Mahabhuta : – Pertiwi
– Bayu – Apah - Teja – Akasa |
3. Panca Dhatu :- Akasa
- Apah - Teja - Bayu - Pertiwi |
Apabila disimak, makna yang terkandung
dari kutipan di atas bahwa dengan maksud mengundang para dewa, manusia
menyuarakan kentongan dewa, suara kentongan yang di dengar menimbulkan
reaksi asosiatif dari para dewa bahwa di dunia ada upacara ritual dan
manusia bermaksud mengundang para dewa. Geger atau hiruk pikuk, gemuruh
(Zoetmulder,2004: 285) merupakan wujud nyata dalam bentuk perilaku yang
timbul dari reaksi asosiatif karena mendengar suara genta.
Sesuai dengan konsep melakukan puputan sudah pasti diikuti dengan
suasana ramya dan sepi (Heneng = nengakna). Skema di bawah ini mungkin
lebih memudahkan untuk memahami fungsi asosiasi sebuah genta.
Skema Asosiatif Genta sebagai Sebuah Tanda
Gambar di atas merupakan imajiner dari pemahaman fungsi asosiasi genta. Dimulai dari sulinggih yang menyuarakan genta. Sulinggih berperan sebagai penanda atau yang memberikan tanda dalam bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh manusia di alam bwah loka, bhuta kala di alam bhur loka dan dewa-dewa di alam swah loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri loka mengasosiasikan tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai pertanda adanya upacara.
Skema Integrasi yang Bersumber dari Asosiatif Genta
Berdasarkan upacara yang berlangsung, genta memiliki beberapa fungsi praktis diantaranya :
- 1. Fungsi sebagai alat komunikasi dan menghantarkan persembahan umat
- 2. Fungsi praktis sebagai alat konsentrasi
Apabila bentuk genta dengan aksara ongkara pranawa dibandingkan akan ditemukan adanya persesuaian bentuk dan makna. Nāda ( ) disesuaikan dengan lingga/pusuh cepaka, windu ( O ) diposisikan pada pangkal lingga yang menyatukan ke-empat kuku kawang, ardha candra ( ) disesuaikan dengan dua kuku kawang dalam posisi horizontal, sedangkan angka tiga ( O ) diposisikan sama dengan tangkai dan bogem genta, apabila hal pendekatan tersebut digambarkan akan terlihat seperti:
Berdasarkan kutipan di atas, tentunya dapatlah dipahami bahwa genta berasal dari Śiwa (ghanta mijil saking nada), dipergunakan oleh sulinggih (Śiwa sekala), secara struktur mengandung konsep Śiwa dan nada atau suara genta kembali kepada Śiwa tertinggi atau sunia, kehampaan. Secara ringkas apa yang dipaparkan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar di bawah ini akan memudahkan pemahaman terhadap makna genta sebagai penyatuan tiga konsep arah pemujaan yang direalitakan dengan kehidupan di sebuah gunung.
Ramya artinya rame; dalam kehidupan berarti dinamis, penuh gejolak, semarak. Śūnya artinya kosong, kehampaan, sepi, sunyi, puput, nengakna tidak bergerak (Zoetmulder, 2004: 1147).
Dalam kehidupan di sebuah gunung, situasi ramya
terjadi pada bawah gunung. Di sana hidup bermacam-macam tumbuhan dan
binatang termasuk manusia sehingga menjadi ekosistem yang besar
menyebabkan rantai makanan yang panjang akibatnya timbulah kehidupan
yang dinamis, penuh gejolak. Diperlukan upaya untuk memelihara dan
menyeimbangkan kehidupan yang kompleks tersebut dan ini merupakan tugas
bhujangga (bhuta mātra), menghadapi situasi yang kompleks dan penuh resiko bhujangga mempergunakan banyak peralatan antara lain genta, genta uter, genta orag, ketipluk dan sangkha atau sunggu.
Pada kehidupan dipertengahan gunung,
ekosistem mulai mengecil, rantai makanan menjadi pendek, gejolak mulai
berkurang, secara kasat mata hanya tumbuhan dan hewan yang mampu
beradaptasi dengan udara dingin dan air yang mampu bertahan, untuk
menjaga keseimbangan alam tengah (air dan udara) disebut dengan prana mātra buddha mempergunakan genta dan bajra, selanjutnya pada ujung gunung sebagai simbol alam atas yang sudah sunya sulinggih Śiwa hanya mempergunakan genta,
ini merupakan tahapan terakhir dari proses pendakian spiritual atau
proses peleburan untuk mencapai kelanggenngan, kebijaksanaan, kesadaran
akan pengetahuan tertinngi (pradnya mātra).
Penelitian oleh para ahli terhadap
bunyi, banyak menghasilkan teori-teori yang sangat membantu kehidupan
manusia dalam bidang ilmu filsafat. Khususnya bidang kosmologi, lahir
sebuah teori yang dikenal dentuman besar atau ledakan mahadasyat (big bang),
yang sangat dibanggakan oleh dunia barat. Sebenarnya dalam kosmologi
Hindu hal tersebut sudah lebih dulu diungkapkan pada zaman Weda oleh para Rsi, walaupun dengan cara pandang dan gaya bahasa yang berbeda namun prinsip-prinsip dasarnya sama, yaitu teori big bang memandang bahwa semua zat (citta dan triguna) dalam prosesnya dahulu menjadi berbentuk suatu massa yang padat, yang menyerupai sejenis atom raksasa (hiranyagarbha), kemudian massa itu meletus (mahāswara, nāda, om) membentuk bola api (Brahmā).
Selanjutnya, materi ledakan lainnya yang terpencar membentuk gugusan
tata surya. Sedangkan esensi, asal dari semua zat yang disebutkan dalam
teori big bang belum dapat diuraikan melalui sains, hal itu hanya bisa dijelaskan melalui sudut pandang agama.
Pada Mikrokosmos, suara genta pinara pitu disamakan dengan tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh manusia di sekitar merudanda, yang dikenal dengan sapta cakra, yang mengandung pancaran energi ke-Tuhanan. Berikut gambar posisi cakra utama yang disesuaikan dengan badan fisik :
Sumber Gambar: Kamajaya, 1998: 67
Perputaran cakra-cakra tersebut menghasilkan gelombang-gelombang energi dan suara. Proses pengendalian cakra-cakra ini diajarkan dalam yoga. Pengaruh positif terhadap cakra-cakra bisa juga terjadi melalui berkah yang diberikan seorang yang suci (yogin) dengan meletakkan tangannya pada sahasrara cakra atau dapat disebabkan oleh bunyi (Kamajaya, 1998: 71).
Setiap titik cakra di dalam tubuh cenderung untuk merespon secara khusus bunyi, nada, irama tertentu. Cakra dasar merespon secara khusus terhadap nada- nada bass. Cakra dasar erat kaitanya dengan nada C, termasuk nada C minor dan C sharp (Setiadarma dalam Donder, 2005: 41). Terserapnya musik atau bunyi ke dalam sukma yang mempengaruhi perputaran cakra-cakra menuju puncaknya digambarkan oleh Granoka, sebagai berikut :
Pada esensi puncak dari suara genta pinarah pitu merupakan penyatuan purusa-pradana yang disebut dengan prana-pramana-tiga, yaitu suara Ongkara, sapta ongkara, nawa pranawa yang kemudian digambarkan sebagai berikut :
Sumber Gambar: Granoka, 1998: 44
Lontar Prakempa menyebutkan bahwa bunyi, suara mempunyai kaitan erat dengan panca maha bhuta
yang masing-masing memiliki warna dan suara, kemudian menyebar ke
seluruh penjuru bumi dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang
disebut pengider bhuana. Untuk jelasnya, berikut ini gambar yang kami kutip dari Prakempa :
Kemudian, oleh Bhagawan Wiswakarma suara-suara itu dibentuk menjadi dua kelompok nada, yaitu limanada laras pelog dan lima nada laras slendro. Laras pelog berkaitan dengan panca tirta sebagai manifestasi dari Bhatara Smara. Laras slendro berkaitan dengan panca gni sebagai manifestasi dari Bhatari Ratih. Dari sepulu nada yang dijiwai oleh Smara-Ratih, lahirlah tujuh buah nada yang kemudian disebut genta pinara pitu. suara genta juga dimaknai sebagai suara sukma, suara hati yang timbul dari Buddhi yang hning atau dikenal dengan Kecaping Buddha Kecapi.
Membicarakan kamahamiatmanan genta piara pitu tidak cukup memandang dari sudut panca nada (kukul, gambelan, kidung, genta dan mantra) karena menyangkut dua komponen yaitu genta
dan pemakainya. Namun, di dalam mengungkapkan atau mengkaji hal
tersebut di atas tidaklah mudah disebabkan oleh keterbatasan penulis.
Apalagi penulisan tentang Kemahamiatmanan Genta Pinara Pitu yang sangat rahasya seperti tersurat di dalam Lontar Pandita Kalimosada (druwen Grhya Wanasari Sanur 1b. …. agar diketahui jika kita tahu dengan katikelaning genta pinara pitu / perumusan sepuluh aksara suci, dan sastra sanga / sembilan aksara suci pengider bhuwana serta Bhodakacapi, boleh kita mengucapkan aksara Kalimosada putus dan sastra sanga serta Bhodakacapi ….., dst.
Dalam Lontar Prakempa, diuraikan asal, jenis, dan makna suara yang ada di jagat raya ini, yang disebut genta pinarah pitu yang memiliki hubungan erat dengan konsep genta yang akan dibicarakan. Menurut kamus bahasa Kawi-Indonesia, kata ghanta merupakan bahasa Kawi yang dalam bahasa Indonesia berarti lonceng, genta, tirtir (Simpen, 1982: 49).
- Genta artinya : Suara yang keluar dari dalam tubuh dan pikiran yang paling dalam yang mengandung kesucian yang lebih sering disebut “suara sukma“ atau suara batin, dengan kata lain genta merupakan perwujudan dari suara sukma atau suara batin
- Genta artinya : Suara yang maha suci dan agung yang memenuhi jagat raya yang bersumber dari inti bumi sehingga juga disebut dengan “Maha Suara”. Artinya genta merupakan replika dari sumber suara alam atau makrokosmosBerdasarkan dua sumber yang berbeda yaitu antara kamus dan hasil wawancara jelas sekali tampak adanya perbedaan yang mendasar dimana arti kata genta pada kamus masih bersifat fariatif/jamak sedangkan pada hasil wawancara arti kata genta dari beberapa pendapat sulinggih ada titik temunya (persamaanya) yaitu genta artinya suara, perbedaan terletak pada sumber suara yaitu antara buana alit dan buana agung. Demikian halnya, kata ghantā dalam kamus Simpen yang artinya lonceng, genta, tirtir belum menunjukan adanya hubungan dengan genta yang berarti suara karena masih bersifat kata benda. Namun, apabila dicermati ke-tiganya memiliki persamaan yaitu bisa mengeluarkan suara apabila difungsikan. Dalam pasang kalimat kata genta bisa berarti suara dimana kata genta akan berubah bunyi mengikuti sifat kalimat yang dimaksud. Misalnya, dalam kalimat “sambat-sambatnyâmlas-asih tan pendah gěntěr alaŋu”. Genter artinya suara guntur, atau dalam kalimat “swara niŋ mrdaŋga kalawan tabě-taběhan ahöm agěnturan”. Agenturan dalam hal ini artinya suara gemuruh (Zoetmulder, 2004: 290).
Suara atau bunyi merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, melalui suara atau
bunyi-bunyian manusia bisa berkomunikasi untuk menyampaikan segala
sesuatu yang ada dalam pikiranya baik itu berupa pendapat, permohonan,
tujuan dan lain-lain. Begitu pula halnya dalam kegiatan keagamaan
sangat dibutuhkan adanya suara dan bunyi-bunyian disesuaikan dengan
tingkat dan jenis upacara yang dilakukan, dengan harapan yang dilandasi
suatu keyakinan bahwa suara dan bunyi-bunyian tersebut mampu
menggantarkan dan menyampaikan maksud, tujuan dan isi dari upacara dan
upakara yang dimaksud. Karena suara/bunyi berperan penting dalam
upacara keagamaan sehingga dikenal adanya istilah panca nada (dalam konteks yadnya), yaitu suara: (1) kulkul, sunari dan pindekan, (2) kidung atau nyayian suci, (3) gambelan, (4) genta sulinggih atau pamangku, (5) mantra/doa.
Bandem, dengan judul Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali pada tahun 1986. Dari hasil penelitian Lontar Prakempa ditemukan adanya empat unsur pokok yang terkandung di dalam Lontar Prakempa yaitu unsur filsafat, unsur etika, unsur estetika dan teknik menabuh. Yang berkaitan dengan penelitian tentang genta adalah unsur filsafat yang mana dikatakan bahwa bunyi, suara, nada dan ritme diciptakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa yang diwujudkan dengan bisah ;, taleng e , dan cecek ,. Bersamaan dengan itu pula terciptalah panca tan matra dan panca maha bhuta yang masing-masing mengeluarkan suara dan aksara yang menyebar keseluruh penjuru yang kemudian disebut pengider bhuana.
Oleh konstruktor bunyi yaitu Bhagawan Wiswakarma dari nada-nada
tersebut dibentuklah bermacam-macam kelompok nada diantaranya kelompok
nada tujuh yang dikenal dengan genta pinara pitu yang disebutkan pula bahwa sumber bunyi berasal dari dasar bumi.
Lontar Śiwapakarana. Ada dua Lontar Śiwapakarana
yang dipakai sumber acuan yaitu lontar koleksi Ida Pedanda Gde Putra
Tembau serta lontar koleksi Perpustakaan UNHI Denpasar, secara prinsip
isi ke-dua lontar tersebut tidak jauh berbeda, secara umum isinya
memaparkan tentang dewa yang bersemayam pada masing-masing sarana
pemujaan, tempatnya dalam tubuh sang wiku, asal kedatangannya, hakikat dari karawista, hakikat dari air (tirta) dalam buana agung dan buana alit, inti sari dari petanganan dan selebihnya mengenai ajaran kediatmikan
Lontar Aji Gurnita dalam bentuk alih aksara pada tahun 1993, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali. Isi Lontar Aji Gurnita secara umum memiliki kesamaan dengan Lontar Prakempa, isinya antara lain menyebutkan apabila sang wiku sedang merapalkan weda-weda pada suatu yadnya
sepatutnya diiringi gambelan, dikatakan pula bahwa gambelan tidak hanya
membuat manusia berbahagia dan senang tetapi dewa pun ikut merasakan,
masing-masing jenis gambelan berpengaruh pada dewa-dewa tertentu pula,
termasuk bhuta kalapun memiliki gambelan dengan nada dan
tempo tertentu sehingga tertarik untuk datang ke tempat upacara. Ada
benang merah antara apa yang dipaparkan Lontar Aji Gurnita khususnya terhadap pengaruh bunyi terhadap dewa-dewa tertentu dihubungkan dengan banyaknya jenis-jenis genta yang mengeluarkan suara berbeda dengan fungsi yang berbeda-beda pula.
Kitab Sanghyang Kamahayanikan I.12 (Departemen Agama R.I, 1980: 47-48), menyebutkan :
Haywa ika umara-marahaken ika
Sanghyang Bajra ghanta mudra ring wwang adrasta mandala, tapwan
samayika rahasyan kubdan atah sira, tan awara wiryyakna irikang wwang
tapwan krtopadece ..…
Terjemahannya :
Janganlah engkau membicarakan bajra yang keramat ini, genta dan sikap tanganmu kepada orang yang buta terhadap alam semesta ini, demikian juga mengenai hakikat semuanya itu. Rahasiakan dan sembunyikan benar-benar semua itu, jangan diajarkan kepada orang yang belum sempurna pengetahuannya…
RAHASYA = MAKNA RUANG DAN WAKTU
Ruang dan waktu adalah sarana bagi
proses perkembangan manusia. Demikianlah Tuhan menciptakan masa lalu,
masa kini dan masa depan. Masa lalu memberikan kita pengalaman. Masa
kini memberi kita kesempatan untuk bertindak. Masa depan memberi kita
harapan. Makna dari ketiga waktu itu sangat penting bagi kita yang
percaya pada hukum karma dan reinkarnasi. Hidup kita sekarang merupakan
akumulasi dari pengalaman hidup kita sebelumnya. Masa depan kita tidak
terbatas. Kita memiliki bukan satu kehidupan, tetapi satu rangkaian
kehidupan.
Makna waktu berbeda bagi mereka yang percaya pada doktrin predestinasi,
yang percaya bahwa hidup dan keberadaan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh Tuhan. Waktu baginya adalah saat untuk melaksanakan skenario
Tuhan. Waktu adalah saat Ki Dalang memainkan wayangnya. Pengalaman
kesempatan bertindak, dan pengharapan tidak memiliki makna bagi wayang.
Memakai pengertian Eric Fromm, mereka yang percaya pada doktrin
predestinasi memiliki hidup yang sepenuhnya dijadikan oleh
Tuhan. Bagi kita yang percaya pada hukum karma dan reinkarnasi, hidup
adalah proses menjadi. Waktu adalah kesempatan bagi kita untuk
menjalani proses itu. Waktu mengajari manusia satu hal penting. Waktu
terus mengalir. Demikian pula hidup kita terus mengalir. Tetapi waktu
hanya mengalir ke satu arah, ke depan! Demikian hidup kita? Sungai
karena kodratnya dengan tekun terus mengalir ke laut. Tetapi kemanakah
hidup kita menuju? Tujuan akhir manusia, menurut agama Hindu adalah Moksa, Manunggaling kawula lan gusti. Bersatunya Atman dengan Brahman. Hidup kita menuju sangkan paraning dumadi,
asal dari kehidupan. Ada tiga jalan utama yang disediakan untuk
mencapai tujuan itu; jalan pengetahuan (Jnana Marga), jalan cinta kasih
(Bhakti Marga) dan jalan kerja (Karma Marga). Menurut Arvind Sharma,
guru besar perbandingan agama dari Universitas McGill, Kanada, jalan
yang cocok untuk zaman ini adalah Karma Marga. Sebab dalam Karma Marga
sudah terkandung unsur Jnana dan Bhakti, sebagaimana dipraktekkan oleh
Mahatma Gandhi. Namun sebelum mencapai tujuan akhir ini, ada tiga
tujuan lain yang juga sangat penting yang harus dicapai manusia, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Apabila orang tidak menghendaki dirinya dilanda dan hanyut menuju kemerosotan dari suksma menjadi sthula (materi), maka pikiran dan perbuatan haruslah dikendalikan dengan dharma. Tiga yang pertama tujuan kehidupan (triwarga) yang terdapat di jalan prawrtti ialah dharma, artha dan kama.
1. Dharma
Dharma artinya sesuatu yang
mesti dipegang erat-erat, misalnya ialah hukum, kebiasaan,
adat-istiadat, agama, kasih sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban,
prestasi dan moralitas. Jadi dharma itu tidak lain dari prinsip-prinsip
yang utuh dan kekal (sanatana) yang menyangga
seluruh alam semesta ini menjadi satu kesatuan, baik pada
bagian-bagiannya maupun pada keseluruhannya, hidup atau mati. “Sesuatu
yang menunjang dan mempersatukan seluruh makhluk di alam semesta
disebut dharma”. “Dharma dicanangkan untuk menciptakan dan memberikan
keutuhan hidup. Dharma itu menunjang dan memelihara. Karena dharma itu
menunjang dan mempersatukan, maka ia disebut dharma. Dengan dharma umat
manusia dipertahankan”. Jadi dharma itu bukan merupakan aturan
bikinan (artificial), tetapi merupakan kaidah (prinsip) untuk hidup
benar. Ciri-ciri dharma, sama dengan ciri-ciri kebaikan, yaitu perilaku
yang baik (achara), melalui perbuatan baik itu dharma itu
diwujudkan sehingga dicapailah kemashuran secukupnya di dunia ini dan
di alam-alam selanjutnya. Landasan dari sanatana dharma ialah revelasi (shruti) seperti tercantum di dalam sastra-sastra, seperti Smrti, Purana dan Tantra.
Dharma artinya agama, dharma juga berarti kewajiban-kewajiban. Memahami
kewajiban, memahami agama merupakan landasan bagi hidup bermoral.
2. Artha
Artha berarti benda atau sarana
yang dapat memuaskan naluri dan juga berarti tujuan hidup harta benda
dan kekayaan. Pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibutuhkan
untuk menunjang kehidupan ini dalam pengertian biasa berarti makanan,
minuman, uang, rumah, tanah, dan berbagai bentuk kekayaan yang lain;
lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang dapat memuaskan
keinginan luhur, seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan, di
mana untuk itu pun artha diperlukan. Bantuan yang diberikan kepada
orang lain, dalam bentuk apa pun, itu pun artha. Jadi tegasnya, artha
itu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memuaskan keinginan, yang
sifatnya rendah atau tinggi. Untuk kebahagiaan dan ketentraman hidup di
dunia ini, dorongan keinginan itu hendaknyalah dorongan keinginan yang
baik dorongan yang mengakui bahwa manusia harus tunduk kepada dharma
maka demikian itu pula halnya dengan benda-benda yang dicari untuk
memuaskan keinginan tersebut, benda-benda pemuas itu pula harus
dikendalikan oleh dharma. Ketika sedang menempuh prawritti marga,
triwarga harus dipupuk juga dengan penuh keseimbangan, karena orang
yang keranjingan kepada salah satu saja dari unsur triwarga itu yang
tidak dibenarkan (dharmmartha kamah samanewa sewyah yo hyekasaktah sa jano jagha nyah).
3. Kama
Kama ialah dorongan keinginan
(nafsu) dan dapat diterjemahkan dengan kata naluri, nafsu dan
keinginan, seperti misalnya dorongan keinginan untuk menikmati
kekayaan, kesuksesan, keluarga, kedudukan, atau bentuk-bentuk lain
kesenangan untuk sediri maupun untuk orang lain. Adapun naluri yang
sangat kuat mempengaruhi jiwa mahluk hidup terutama manusia, yaitu
lapar, dahaga dan nafsu birahi (sexual impulse). Selain dari pada itu
yang tiga jenis naluri, nafsu atau keinginan ini terdapat juga naluri
yang lain pada jiwa manusia sebagai takut, marah, senang dan
keinginan-keinginan untuk mendapat serba benda, kepuasan duniawi dsb.
Kama juga mendorong manusia untuk menikmati dan memiliki hal-hal yang
bersifat besar dan mulia, keinginan atau ambisi untuk memiliki hal-hal
sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya jiwa itu. Keinginan,
apakah tingkatnya tinggi atau rendah, haruslah diatur, dan manusia
dikendalikan oleh dharma yang mengatur kehidupannya. dalam kerangka
Dharma, Artha dan Kama memperdalam bobot spiritual manusia. Agama hindu
sama sekali tidak mengabaikan kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi ini
(dharma, Artha dan Kama) merupakan syarat untuk mencapai Moksa.
4. Moksha
Dari empat tujuan itu, moksha
atau mukti merupakan tujuan sejati dan terakhir. Tiga tujuan yang lain
itu masih dihantui oleh berbagai bentuk kekhawatiran, dan kematian
sebagai keakhirannya. Mukti berarti “membuka ikatan” atau membebaskan.
Jiwa dibebaskan dari ikatan samsara, ikatan dari eksistensi phenomenal
ini, sehingga dengan demikian menyatu dengan berbagai tingkat
kesempurnaan paramatma. Kebebasan sedemikian itu bisa didapatkan dengan
sarana pengetahuan spiritual (atmajnana) dan tentu saja pengetahuan
sedemikian itu harus terlebih dahulu dilandasi dengan kehidupan moral
melalui pelekatan diri kepada dharma. Untuk mencapai sifat kesejatian
jiwa itu, pengetahuan itulah yang diperlukan, belum cukup sekedar
memiliki moral dan etika itu diremehkan, moral dan etika harus dimiliki
terlebih dahulu, tetapi sampai tingkat kesadaran tertentu, moral itupun
kehilangan keampuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang
terakhir ini. Moksa itu merupakan ujung terakhir dari niwriti marga.
Triwarga (dharma, artha dan kama) ialah ujung terakhir prawritti marga.
Kautilya, atau Canakya, cendikiawan besar Hindu yang hidup kira-kira
2300 tahun yang lalu mengatakan “Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Bila satu dari keempat hal ini tidak dicapai oleh manusia, maka lahir ke dunia ini hanyalah untuk mati”.
KONTEMPLASI DAN PROYEKSI
Lalu apa makna puputan dengan genta
pinara pitu disini? Mengapa pada hari itu beliau memilih untuk puputan?
Mengapa pada saat itu beliau berparum param dengan Tuhannya menjadi
Mahaeswara-Maheswari merasuk ke dalam perut parashaktimaya ‘garbha
datu’ dan hadir di dalam swayambhu lingga kundalini? Simbolik apa yang
dikandungnya?
Marilah kita bayangkan kita
sedang menyusuri sungai dengan rakit. Setelah menempuh perjalanan
selama seabad, kita berhenti sejenak. Menepi ke pinggir sungai. Rakit
ditambatkan. Kita mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang.
Kita melihat ke belakang, menilai kembali ziarah kita. Berapa jauhkah
jarak yang sudah kita tempuh? Rintangan apa yang telah kita hadapi?
Bagaimana kita menghadapi rintangan itu? Apakah cara kita mengayuh
sudah benar? Setelah mengetahui hasil evaluasi ini, sekarang kita
melihat ke depan. Apakah tujuan itu tampak dengan jelas? Apakah arahnya
jelas? Jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan itu?
Berapa jauh jarak yang ingin kita tempuh selama seabad / berabad-abad
yang akan datang? Bagaimana kita mengayuh agar rakit kita bergerak
lebih cepat?
Demikian kita membagi
perjalanan kita dalam 100 tahun Puputan Klungkung. Di belakang kita ada
tahunan. Di depan kita tahunan lagi. Diantara kedua ruas waktu itu kita
ambil satu hari untuk menilai dan membuat rencana. Dalam bahasa
sekarang, pada hari itu kita melakukan kontemplasi, refleksi dan
proyeksi. Suasana yang hening dan sunyi dibutuhkan agar hal itu dapat
dilakukan dengan baik.
Perjalanan ke depan adalah
ziarah menuju harapan. Tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan.
Maka kita harus menyiapkan diri, secara jasmani dan rohani, mental dan
spiritual. Berbeda dengan air sungai yang mengalir begitu saja, sesuai
kehendak alam. Kita harus mengarahkan, mengatur, dan mengendaliakan.
Kita tidak ingin tenggelam dalam jeram yang dalam bersama rakit yang
kita biarkan hanyut terbawa arus tanpa kendali.
Parum-Param Puputan adalah Awal Penciptaan
Puput (Nengakna) adalah
awal dari sepi. Sepi adalah prasyarat bagi penciptaan (lihat Big Bang).
Rig Weda dalam sloka penciptaan (Hymn of Creation) mengatakan : Pada
awalnya tidak ada yang ada dan yang tidak ada, seluruh dunia adalah
energi yang belum terwujud. Yang Satu (Tuhan) bernafas, tanpa nafas,
dengan kekuasaanNya sendiri, tiada sesuatu pun di sana.
Ayat pertama Kitab Kejadian dari PerjanjianLama mengatakan : Pada
mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan
kosong ; gelap gulita memenuhi samudera raya, dan roh Tuhan
melayang-layang di atas permukaan air.
Dalam agama Buddha, bukan Tuhan, mahluk (being) atau substansi tetapi sepi atau Sunyata yang merupakan hakikat kenyataan yang terakhir (Ultimate reality).
Segala sesuatu berasal dari Sunyata. Karena Sunyata segala sesuatu
menjadi ada. Sepi dalam konsep Hindu, dan Sunyata dalam konsep Buddha
bukan sesuatu yang negatif. Seluruh penciptaan, dari penciptaan alam
semesta sampai penciptaan sebait puisi berawal dari sepi. Mencipta
adalah proses membuat ada dari yang tidak ada. Dengan melompati diskusi
filsafat, kehadiran serta kegiatan kita di dunia ini memerlukan satu
derajat sepi atau kekosongan. Kita memerlukan tempat kosong bila hendak
mendirikan rumah. Air hanya dapat ditaruh dalam gelas yang kosong.
Tanpa ruang kosong kita tidak bisa berada di atas bumi ini.
Penciptaan Adalah Kebahagiaan
Prasna Upanishad mengatakan : “Pada
awalnya Sang Pencipta merindukan kebahagiaan dari penciptaan. Ia diam
dalam meditasi, lalu muncullah Rayi, materi (zat) dan Prana, hidup.
“Kedua hal ini”, pikir-Nya, “akan menciptakan mahluk-mahluk untukKu”.
Chandogya Upanishad mengatakan :
Di mana ada penciptaan, di sana ada
kemajuan. Di mana tidak ada penciptaan, di sana tidak ada kemajuan
ketahuilah hakikat dari penciptaan.
Di mana ada kebahagiaan, di sana
ada penciptaan. Di mana tidak ada kebahagiaan, di sana tidak ada
penciptaan ; ketahuilah hakikat dari kebahagiaan.
Di mana ada yang Tak Terbatas, di
sana ada kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam yang terbatas; hanya
dalam yang Tak Terbatas ada kegahagiaan; ketahuilah hakikat dari yang
Tak Terbatas.
Di mana tidak ada sesuatu pun
terlihat, atau terdengar, atau diketahui, di sanalah ada yang Tak
Terbatas. Di mana ada sesuatu yang terlihat, terdengar atau diketahui
di sana ada yang terbatas. Yang Tak Terbatas abadi ; tetapi yang
terbatas fana.
Kita memulai perjalanan tahun kita dengan sepi, hening dan heneng (Nengakna).
Bersatu Dengan Kesadaran Murni
Dalam kehidupan manusia,
sepi merupakan bagian yang sangat penting. Deepak Chopra, penulis India
yang kini bermukim di Amerika Serikat, yang telah menulis banyak
buku-buku best seller, menulis: “Mempraktekkan diam berarti
membuat satu komitmen untuk mengambil satu waktu tertentu untuk semata
Menjadi (Be). Menjalani sepi berarti secara berkala menarik diri dari
aktivitas berbicara. Ia juga berarti secara berkala menarik diri dari
kegiatan-kegiatan menonton televisi, mendengar radio, membaca buku.
Bila anda tidak pernah memberi kesempatan diri anda untuk mengalami
sepi, ini akan menciptakan kekacauan dan keributan dalam dialog
internal (parum param) anda.”
“Mengapa kita memerlukan heneng?” kata
Chopra lagi, “Hakikat kita (manusia) adalah kesadaran murni. Kesadaran
murni adalah potensialitas murni; ia adalah wilayah segala kemungkinan
dan kreativitas yang tak terbatas. Kesadaran murni adalah inti
spiritual kita. Bersifat tidak terbatas dan tidak terikat, ia juga
adalah kebahagiaan murni. Atribut atau nama lain dari kesadaran adalah
ilmu pengetahuan murni, sepi tanpa batas, keseimbangan sempurna, yang
tak dapat ditaklukkan, kesederhanaan dan wara nugraha (rakhmat)”.
Melalui meditasi kita akan belajar
mengalami sepi murni dan kesadaran nurani. Dalam lapangan sepi yang
murni terdapat korelasi yang tak terbatas, lapangan penyatuan
kekuatan/kekuasaan yang tak terbats, landasan terakhir dari penciptaan
di mana segala sesuatu dihubungkan secara tak dapat dipisahkan dari
segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dalam sepi jiwa kita
(Atman) bersatu dengan jiwa alam semesta (Brahman atau Tuhan).
Taittiriya Upanishad mengatakan : “Dia
yang mengetahui Tuhan (Brahman) yang adalah Kebenaran, Kesadaran, dan
Kebahagiaan Tak Terbatas, tersembunyi di tempat terdalam dari jiwa kita
dan di surga yang tertinggi, menikmati segala sesuatu yang
diinginkannya dalam persatuan dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dari
Tuhan (Brahman) pada awalnya muncul ruang. Dari ruang muncul udara.
Dari Udara muncul api. Dari api muncul air. Dari Air muncul tanah yang
padat. Dari tanah muncul tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan muncul
makanan dan biji (bibit). Dan dari biji dan makanan muncullah satu
makhluk hidup, manusia”.
Mendengar Suara Hati Nurani : Dharma Sunya
Melalui aspek waktu kita
menilai hasil. Melalui suara hati kita menilai cara. Teknologi modern
telah menyediakan kita sarana untuk melakukan komunikasi secara ajaib.
Melalui teknologi telekomunikasi kita dapat berbicara dengan orang lain
yang berada di ujung dunia yang lain. Melalui teknologi elektronika
kita bisa bicara dengan jutaan orang sekaligus. Namun teknologi modern
tidak menyediakan kita sarana untuk bicara dengan diri kita sendiri.
Malah sebaliknya, teknologi modern telah mempersulit komunikasi itu.
Gemuruh suara mesin di jalan dan di tempat kerja, hingar bingar suara
hiburan dan banjir informasi dari alat-alat elektronik di rumah, telah
membuat telinga batin kita hampir tuli. Tetapi hambatan yang paling
besar berasal dari sikap hidup atau nilai-nilai kemodernan. Dua dari
padanya adalah nilai efisiensi dan kompetisi. Efisiensi dimaksudkan
bahwa semua aktivitas kita harus menghasilkan sesuatu dalam jumlah
sebanyak-banyaknya dan dengan mutu sebaik-baiknya. Kompetisi menetapkan
yang baik adalah yang menang. Dalam persaingan murni, yang menang
adalah yang paling efisien. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri
dengan kedua nilai-nilai ini. Sikap hidup dan teknologi modern telah
bersekongkol untuk merampas waktu kita untuk berdialog, untuk parum
param ttg dahsyatnya genta pinara pitu dengan diri kita sendiri.
Tetapi kita umat Hindu di
Indonesia sangat beruntung. Karena hari sepi (henengakna) memberikan
kita kesempatan penuh untuk melakukan dialog dengan diri kita sendiri.
Lalu apa yang kita bicarakan dengan hati kita? Hal-hal sederhana tetapi
sangat besar pengaruhnya terhadap hidup kita.
Kita bertanya : “Apakah
perbuatan kita selama ini membawa kebaikan kepada orang lain? Atau
sebaliknya merugikan orang lain? Apakah karena keberhasilan itu kita
telah menjadi sombong?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam ini
yang harus kita ajukan secara berulang-ulang. Kemudian kita harus
menunggu jawabannya dengan sabar. Suara hati itu sangat halus
getarannya. Makin tebal keserakahan dan kesombongan menutupi hati kita
makin sulit suara itu terdengar. Sebaliknya semakin bersih hati kita
akan semakin jernih suara itu kedengaran. Dalam masyarakat modern
Heneng, sepi, suara hati semakin relevan dan bagaimana aktualisasinya?
Itulah sabda Brahman dalam aktualisasi Kemahatmianan Genta Pinara Pitu dan Memaknai Puputan dalam konteks pembangunan semesta menuju ke kesempurnaan, kelepasan, Nirbhana/Tyaga.
Dalam kekawin Dharma Sunya buah karya Danghyang Nirartha disuratkan :
//ambek sang wiku siddha tan
pakahingan tamutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng licin
mamepekin bhuwana sahananing jagat raya/norang lor kiduling kidul telas
hane sira juga pamekas nirarsraya/kewat kewala sunya nirbana lengong
luput inangen-angen winarna ya //
Artinya : bathin seorang maha pandita
adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau alam
tertinggi/bhatinnya tidak terpencar lagi, tenang, halur dan menyusupi
seru sekalian alam/sebutan utara – selatan, telah tidak ada padanya,
hal itu disebutkan hakikat nirarsrata/langgeng, berbadan sunya yang
sempurna, indah, dan sangat sukar memikirkan dan menggambarkannya //
Pada bagian lain kekawin Dharma Sunya
ini menyuratkan bahwa bathin seorang mahayogi, mahamuni, atau mahakawi,
artinya dia telah memasuki alam Sunyata, adalah laksana samudera
cemerlang tanpa noda, bebas dari ikatan dan telah menikmati sari-sari
keindahan. Ia bagaikan seorang maha pandita yang nyata-nyata sebagai
lingganya dunia, bagaikan nyala api pemujaan hasil karyanya membawa
terang dimana-mana. Dan banyak lagi sejumlah karya sastra yang secara
eksplisit menyebutkan Sunya seperti Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa dll.
Yang terpenting dalam kajian sastra
tersebut dapat disimpulkan bahwa Sunya tersebut adalah kesadaran ketika
telah bersatu dengan Paramasiwa. Sunya adalah kesadaran Paramasiwa,
Kesadaran ketika telah menikmati bhoga paramasiwa sehingga para pengawi
terutama pada bagian pemujaan kekawin ini Danghyang Nirartha memuja
Paramasiwa sebagai Sang Hyang Sekalatma, berarti jiwa dari segala yang
hidup. Paramasiwa dilukiskan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah
aho”’ Ia yang tak ubahnya sebagai isi alam pikiran suci, dan “Sang
mawak ring tuturku”’ Ia yang mewujudkan alam kesadaranku. Kepada “Ia”
yang ada di dalam diri sang pengawi tersebut.
Demikian alam sunya adalah merupakan
tujuan ideal umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan yang tertinggi
tersebut diyakini dapat tercapai apabila melalui latihan-latihan yang
terus menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting
pada ajaran Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, serta melakukannya secara
bersamaan pada keyakinan akan melakukan tindakan Puputan-Kelepasan / Tyaga.sumber :: http://ibgwiyana.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar