Prakata
Sukhmani
Sahib terdiri dari 24 Astapadi dan setiap Astapadi memuat 24 sloka, dan jumlah
keseluruhan aksara yang terdapat di seluruhnya karya suci ini adalah 24.000
ribu aksara. Manusia Hindu percaya bahwa manusia setiap harinya bernafas 24.000
ribu kali, ini sudah termasuk kita tidur di malam hari. Oleh karena itu barang
siapa dengan tulus mempelajari dan membaca keseluruhan Sukhmani satu kali saja
sehari, maka jiwa-raga insan tersebut akan diberkahi di dunia ini. Dan barang
siapa mempelajari dan membaca kitab suci ini 2 kali sehari, maka selain
keselamatan di dunia ini, maka keselamatan di dunia lainpun akan terjamin.
Sebenarnya
karya ini diajarkan oleh Guru Arjan Dev, yaitu guru ke lima dalam hierarki
agama Sikh, tetapi seperti juga tradisi Sanatana Dharma, maka beliau
mengatas-namakan karya ini atas nama Guru Nanik, guru pertama dan penemu ajaran
Sikh. Ajaran ini dimaksud menyelamatkan manusia di era Kaliyuga yang ganas dan
penuh dengan kegelapan yang mengerikan.
Mudah-mudahan
selain pahala di atas para pembaca karya suci ini bisa mendapatkan misteri lain
yang tersembunyi di ajaran ini, yang isinya penuh dengan bimbingan rohani yang
menggetarkan kalbu.
BAB I
“Kehidupan
Grhasta yang ideal”
Resi Sukadewa
Goswami mengisahkan dialog antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada
Prabu Parikesit. Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai
menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal dengan nama
Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut terselengara dengan baik sang
raja yang teramat bijaksana ini selalu saja resah dengan kehidupannya sebagai
seorang kepala rumah tangga. Pada saat seperti itu turunlah Resi Narada dari
Kahyangan berkunjung kepada sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini
langsung saja memohon diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk
zaman Kali-Yuga ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu
Dharma selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya
karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, maka akan diperlukan pola pemujaan yang
sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai dengan ajaran
Veda-Veda walaupun tidak harus seratus persen seperti ajaran Veda, karena
dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan rangkuman dan intisari dari
berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka sempurnalah Hindu Dharma dari segi
ritual dan filosofi. Semenjak saat itu sebenarnya Hindu Dharma sudah
dipersiapkan untuk menjadi agama modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan
dibebani dengan ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan
segelintir kaum Brahmana yang salah jalan.
1. ”Maharaja
Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai Prabhu,
sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan
rumah tangga ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini, dapat
mencapai kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.”
Keterangan : Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada
telah menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban
seorang Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon
di zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi
dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan kehidupan
Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas bab tentang grhasta
saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal sehari-harinya. Di dunia Barat
kehidupan grhasata sudah mulai rapuh, nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan
kita di Timur sedang mengikuti irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan
mass-media dan teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan
budaya dan dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang
berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang lebih
utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara langsung
maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini dari masa ke masa.
Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima kasih kepada semua resi
dan manusia-manusia agung di atas ini yang berkenan untuk mengajarkan
ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita semua dengan penuh kesadaran akan
hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya terhadap umat manusia ini.
2. Resi Narada
bersabda :
“Wahai raja yang kukasihi, mereka-mereka yang
menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan
mereka, dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka,
seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada
Kresna Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat
dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para bakta-bakta
agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”
Keterangan : Ribuan tahun berlalu setelah
sabda di atas diturunkan dan semenjak maupun sebelum itu sudah menjadi
keharusan bagi pencari kebenaran untuk mencari seorang guru penuntun atau
berasosiasi dengan para orang-orang suci demi mempelajari hakikat akan
kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang lahir sekitar 550 tahun yang lalu
berulang-ulang menganjurkan hal ini kepada para pengikutnya agar mampu
menghayati ilmu Vasudewapana yaitu ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan
segala manifestasi maupun misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan
bakta-bakta ini bisa lebih efektif mengajari kita semua dari pada
upacara-upacara yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah
intisari Sanatana Dharma yaitu belajar satu dari yang lain secara
berkesinambungan. Seandainya seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi
dan penggemar tajen, maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan
kebiasaan-kebiasaan buruk ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan
yang satvik maka lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik.
Ini sudah menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan
jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci, maka
sia-sialah pengharapan anda itu.
3/4. Resi
Narada melanjutkan :
“Seorang
grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci dan
dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang
Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di
Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas. Selanjutnya secara bertahap ia
melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya ibarat seseorang yang
terbangun (sadar) dari mimpinya.”
Keterangan : Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk
mendapatkan sesuap nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal
(satvik) atau tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat
Yang Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali
kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan setiap
harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu apa bedanya kita
dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita. Tubuh yang menyandang Sang
Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan dengan alasan bahwa zaman telah
berubah, tetapi mari kita coba menatap ke langit dan mempelajari apakah sang
langit dan bintang-bintang di sana juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan
Yang Maha Esa dari zaman ke zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat
penting bagi kita semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah
bentuk dharma yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta
bersifat lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus
meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal di
rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya.
Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih terikat dengan anak istri,
mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak masa muda.
Sang Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu
siap menyesatkan kita dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu
tugasnya, tetapi seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun
persiapan kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus,
jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap Sang
Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan spritual
dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang mengaku sudah menjadi
Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih sibuk main sabung ayam.
5. Resi Narada
bersabda :
“Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang
kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar
(pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan
berbagai masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia
terkesan terikat kepada keluarganya.”
Keterangan
: Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan
menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai seorang
pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia bisa saja berasal
dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah bahwa kehidupan sebagai
manusia adalah medium ke strata spritual yang lebih tinggi. Keluarga adalah
salah satu dari medium tersebut yang setelah sampai waktunya harus ditinggalkan
juga dengan penuh kesadaran, dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi
spritual yang kita selalu dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan
menuju ke sorga tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian
yang wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita
akan moksha ?
6. Resi Narada
melanjutkan sabdanya :
“Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah
masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana.
Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat,
putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib
menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan
untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena kehidupan semacam
itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.”
Keterangan : Begitu seseorang merubah
kehidupannya sehari-hari ke arah spritual, maka setiap anggota keluarga,
sahabat dan handai tolan akan terkejut melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi
tiba-tiba berubah menjadi sangat sederhana, vegetarian dan lebih menyukai keheningan,
dan sebagainya. Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini terlalu
bersandar ke kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal dengan
berbagai nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan meteri
demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta yang
bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan nasehat ini
dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di dalam hatinya ia harus
selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual agar tidak terpengaruh jalan
keTuhanan yang sedang dijalaninya itu. Ciri-ciri seseorang yang bijaksana ini
adalah ia selalu pasrah, penuh percaya diri, sederhana dalam setiap
tindak-tanduknya dan satvik dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun
memiliki kharisma dan ilmu pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang
tinggi.
7. ”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang
Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup.
Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh :
hujan, udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi,
hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di atmosfir
(yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh :
keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”
Keterangan : Menurut
ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan di bumi ini, dan
untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah menyediakan kebutuhan dan sarana
kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Yang Maha kuasa ini sehingga seekor semutpun telah dijamin makan minumnya
beserta tempat tinggalnya, tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan hanya
bersembahyang dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan
diberikan kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan
orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang bersifat
gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini kompleks sekali dan
mahal bayarannya.
Jauh sebelum manusia diciptakan,
Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama jutaan tahun memproses bumi ini dari
zaman es ke seperti yang kita tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan
dikeluarkan dari perut bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan
seluruh sistem tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam
evolusi maha karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses
pemutaran Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia
seperti fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan
dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat asura dan
dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi Tuhan dalam
bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen kejeniusan, kebodohan,
kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk menjalankan maha karya kehidupan
ini sendiri, sebaiknya kita menghayati misteri yang agung dan sulit dimengerti
ini, dan jangan hanya terpaut kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual
saja. Hidup lebih berharga dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip
neraka dari pada swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Manusia dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan,
menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup bangsa-bangsa lain,
bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan dimana-mana tanpa
henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana lingkungan kita
mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi, mengkomsumsi alkohol dan
obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah
mau berpikir bahwa diperlukan jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan lingkungan
hidup ini, dan kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama agama, dan
sebagian itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa keparat.
8. ”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan
jiwa dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus
dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.”
Keterangan : Di masa
lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu berlimpah dengan hasil
bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang penuh dengan sifat
gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk desa selalu saling
menunjang satu dengan yang lainnya.
Saat ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit,
sistem ekonomi barat yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan
kehidupan manusia yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress,
kebutuhan pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan
mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja.
Sloka di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi
hasil pendapatan kita bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita
kepada orang / mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda
tidak serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat timbal
balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup matanya untuk
orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah kekurangan karena merekalah
sebenarnya orang-orang yang kaya dengan berbagai hal, bukan orang kaya yang
hanya bisa menyelewengkan kredit bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara,
padahal sewaktu mati nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta.
9. ”Seseorang
wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta, keledai,
kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat mereka ini adalah
putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan
anak-anak kecil.”
Keterangan : Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan
itu tidak suci dan tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi
ibarat anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan
materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami dan di
alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia cukup
menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi manusia dan
anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan akumulasi dari semua itu
bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan
mecaru, karena kata mecaru berasal dari kata Sansekerta caruya yang berarti
sesajen yang terdiri dari hasil panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi
Sri, tidak lebih dan tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering
hewan-hewan yang tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan
dengan iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman Purana,
yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban manusia masih
primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi kelanjutan agama
Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun kehidupan kita. Purana
telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda yang sarat dengan berbagai ilmu
pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai Purana dan berbagai Upanishad kemudian
disarikan oleh ratusan resi yang mengatas namakan Resi Vyasa kemudian
menghasilkan maha karya Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang
lebih beradab kini. Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang
berarti kuno, bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik
sifatnya, ingat di Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak
menyukai orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia
sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan atau
manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa. Misalnya Kresna
menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya dharma, tentunya di dalam
perang tersebut banyak manusia, hewan dan mahluk-mahluk halus yang musnah
tetapi pahala mereka adalah swarga, karena mereka mati demi bangsa dan negara.
Tentanglah dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat
ahimsa para pelaku caru ini, sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan
naik statusnya di masa mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan
turun statusnya akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang
merubah suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan
sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama
mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa itu
sendiri.
Di Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah
tikus-tikus dimusnahkan oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu
masyarakat itu sendiri yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben
tikus. Dari suatu pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus
diaben seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak
lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti akan
menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu ini, lalu
salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi karena ular sawah
sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian pestisida dan pupuk urea, hukum
alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri dan akibatnya ditanggung oleh dirinya
juga.
10. ”Walaupun
seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang Brahmachari atau
sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya tidak berusaha sekuat
tenaga demi agama, demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin) ataupun demi
pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah
tangga, ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang
menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara
bersama-sama, sesuai dengan tempat dan zaman ia berada, dengan karunia Yang
Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma.
Keterangan : Di dalam kepercayaan masyarakat
Hindu dikenal 4 jenis dasar dari tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing
adalah dharma, artha, kama dan moksha ditambah beragama, pencapaian status
ekonomi tertentu, pemuasan berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya.
Dari segi agama saja banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara
besar-besaran dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka,
demi agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan
banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang
berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya harus
mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya belum pernah
ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas jelas menegaskan bahkan
moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya tidak perlu dipaksakan secara
mati-matian atau secara fanatik.
11. ”Anjing, orang
yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing),
semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua
kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan
istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang, harus
dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada
umumnya.”
Keterangan : Sloka sabda resi Narada di atas
sekali lagi menjelaskan hak dari kaum miskin, binatang-binatang kelaparan
disekitar kita bahkan mereka-mereka yang dianggap hina karena sesuatu dan lain
hal, apalagi orang-orang gila dan sebagainya.
Mempersembahkan istri berarti sang istri ikut
berpartisipasi dengan sang suami yang merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan
istri sebagai wujud Dewi Laksmi shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan
masyarakat beserta seluruh kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan
harmonis oleh setiap suami (purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan
efek yang sangat satvik sifatnya.
12. ”Ada
orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi
yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya
atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan
gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan
dengan istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang
Tak Terkuasakan oleh siapapun juga.”
Keterangan : Ada jenis pria tertentu yang
terlalu dikuasai oleh para istri mereka, dan ada yang terlalu terobsesi oleh
daya pikat kecantikan atau seksual mereka, ada juga istri yang status sosialnya
lebih tinggi dan ada yang mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu
membuat para suami bertekuk-lutut di
depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah ini mampu berbuat apa saja demi
istri-istri mereka ini, para pria ini bahkan mampu membunuh atau menyakiti
orang lain demi membela istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang
pria itu sangat beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya,
ibaratnya ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri
yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa Yang
Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini begitu
disayangi olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari Yang Maha
Esa.
13. ”Melalui budi
dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan
keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada
suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah
harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit
yang luas dan tanpa tepi ini ?
Keterangan : Ada tipe-tipe pria yang hidupnya
melulu demi pemuasan seks istrinya saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak
ada habis-habisnya tanpa mau sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan
mati dan disantap cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak
bernyawa, karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan
rumah tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari dan
dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak dilepas adalah
Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri.
14. ”Seseorang yang
cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan
kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna).
Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari
raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang
ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status
sebagai seorang mahatma.”
Keterangan : Di masa yang silam manusia tidak
pernah khawatir akan kekurangan makanan atau perhatian atau sandang pangan
karena semangat kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga.
Dewasa ini
sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja
sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki kehidupan
setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan spritual semakin
lama semakin pudar, dan yang timbul adalah masalah-masalah sosial dan agama
yang makin semu dan bernuansa rawan. Seyogyanyalah seseorang aktif dalam
berbagai kegiatan sosial, seni budaya dan spritual secara sadar bahwa yang
memerlukan suplemen bukan saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga
memerlukan santapan spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia
sadar semacam ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi
kalau ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma
karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini.
15. ”Setiap hari,
ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan berdasarkan
pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi, para
orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja
leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha
Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.”
Keterangan : Ternyata kita semua memerlukan
medium dan tahap-tahap dalam penitian kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa.
Banyak pemuja merasa dengan berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan
mereka-mereka ini menganggap persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa
dan leluhur, persetan dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan
sebagainya. Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan
disiplin dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk
secara bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka
kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada orang tua,
guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi dulu bumi Pertiwi
tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi semua produk dari bumi ini
yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua itu mungkin hidup kita tidak
lama. Kalau semua bakti secara sadar telah terlaksana dengan baik barulah kita
meniti ke bakti kita kepada Yang Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat
egois dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi
sesama mahluk tidak memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang
hari mereka berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci
Om shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan
kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan seluruh
isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi dan alam semesta,
jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti dan otomatis kita dan
semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi ucapan ini harus tulus dan
dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja ucapan ini.
16. ”Sewaktu seseorang
memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh kendali,
dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau memuaskan
Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai upacara yajna,
agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai
sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.”
Keterangan : Di dalam
shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual yang di sebutkan di
atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan untuk membagi harta dan ilmu
pengetahuan demi langgengnya ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar
kita.
Pada zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu
tahun dapat beryadnya dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga
dengan berbagai bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman
Dvapara-Yuga, yajna dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di
zaman Kali ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan
melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana yajna
yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan mahluk-mahluk
lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan, atau harta
benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan kita
masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah sudah lewat, malahan
upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban hutang dan stress yang teramat
berat dan kalau hal ini kita biarkan maka diperkirakan dalam kurun waktu seratus
tahun lagi umur manusia akan berkisar 30 tahun saja karena dilanda berbagai
depresi dan lingkungan hidup yang bermutu rendah.
17. ”Tuhan Yang
Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun
walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang
kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman
dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana
yang memenuhi syarat.”
Keterangan : Di sini
jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha Kuasa kurang
berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal biayanya yang hanya
menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan mantega untuk dilalap api dan
jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau semua itu diberikan kepada para
Brahmana yang suci dan miskin yang tidak mengharapkan pamrih sewaktu
melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita semua. Para Brahmana ini bisa saja
terdiri dari para pemangku, sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang sehari-harinya
hidup sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi masyarakat
sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana berhak menerima
sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati telah terpilih
jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia. Mereka-mereka yang sudah
menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih menyantap telur, dan
mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana. Sesajen yang diberikan kepada
mereka tidak perlu dalam bentuk masakan tetapi bisa berbentuk sesari atau yang
belum dimasak. Biasanya kita menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak
tangan kita sambil mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti
kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan pitra-yajna,
maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas tetapi nama Sri Kresna
diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi dua kali berdoa, pertama atas
nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama leluhur.
18. ”Selanjutnya,
wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum
Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang
berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke
mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau
akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan
mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan
ini.”
Keterangan : Di dalam
Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya disinggung bahwa
seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri maka yang dimakannya
adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin ke sorga sendiri maka ia
tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari sesajen tidak perlu yang mahal
atau berbentuk pameran kekayaan tetapi untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali
buah-buahan ditusuk dengan lidi lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam
ini tidak layak dihaturkan kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut
sudah tidak satvik lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan
tercemar oleh bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi
oleh manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi
peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang menikmati, lalu
apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa saudara-saudara Hindu sedharma lebih
satvik caranya, sesajen yang bisa berupa apa saja dihaturkan secara sederhana
bahkan ditutup dengan kain bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan
bersama sama dengan keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja
beryajna dengan menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan
sekali secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih
berkenan bagi Yang Maha Esa.
19. ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan
persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada
akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para
sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang
diselenggarakan pada bulan Asvina.”
Keterangan : Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan
pada tanggal 15 sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh
pada bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik.
20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat
Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau
pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke
arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari
Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut
Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat
gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga
pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari
Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa
terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin,
pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang
pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh;
hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini
berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas
(rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang
disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada.
Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas
(rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha
atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada
hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau
dengan Sravana-naksatra.”
Keterangan : Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25
tertulis jelas tentang enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang
disebut sebagai Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan
berikutnya matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau
jalan selatan.
Pada hari
pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki wilayah Capricorn,
dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan selanjutnya sewaktu Sang Surya
memulai gerakan ke arah selatan, dan memasuki wilayah Cancer disebut sebagai
Karkata-Sankranti. Pada kedua hari yang khusus ini seseorang seharusnya
melakukan upacara shradha. Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama
Mewsa-Sankranti, di kala Sang Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari
Tula-Sankranti, Sang Surya memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta
hanya sekali dalam setahun.
Vyatipata-yoga
adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang Surya
dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan ketujuh-belas
disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga sangat baik untuk
melaksanakan upacara shradha.
Tithi adalah
sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun rembulan). Kadang-kadang
sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam. Seandainya tithi dimulai setelah
matahari terbit pada suatu hari tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari
terbit keesokan harinya, maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya
akan bersentuhan dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa
yang sering disebut juga persentuhan antara tiga tithis.
Banyak resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya
tidak dilaksanakan pada hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para
leluhur yang menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang
pandita yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah hal-hal yang
berlaku di india sampai saat ini.
24. ”Semua waktu
(saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat
untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan
semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci
sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang
dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.”
25. ”Pada saat-saat
pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau
di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja,
agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa,
para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun
yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat
bermanfaat.’
26. ”Wahai Raja
Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan
upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama
upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka
diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas
yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar
dalam bentuk pahala.”
Keterangan : Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus
dikerjakan seseorang pada hari-hari baik seseorang atau secara garis besar
keluarga dan leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke
Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima.
Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk
mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah memberikan
wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa terpuaskan hanya dengan
sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang sama beliau juga mengatakan
sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke shastra-widhi dan para orang-orang
suci. Intinya shrada diharuskan, tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir
dan tidak buang-buang uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk
shradha yang berbentuk buku-buku suci
yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya, berdonor darah
untuk sesamanya dan lain sebagainya yang sesuai dengan hati nurani dan
kemampuan masing-masing individu. Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini
mempunyai pengalaman yang unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke
India pada tahun enam puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan
saja untuk para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih
hidup hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin. Yang
kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya beliau memanggil
kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia ini dengan segera dan
satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan upacara shradha adalah kami,
karena selama hidup beliau, kami sebagai putranya selalu memijit ibu kami ini
setiap malam karena beliau menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini menimbulkan
problem di kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena keluarga besar
kami tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan keluarganya
maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara tersebut tetapi
kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara selesai kami pasti
akan memakan sesajen yang tersisa.
27/28.Resi Narada melanjutkan
sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana
pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di
mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha
Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang
sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam
semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak
bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa
dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana
para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda
berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan
kasih-sayang, adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.”
Keterangan : Di zaman
yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di tengah-tengah
keramaian kota New York, dan di salah satu sudut apartemennya ia meletakkan
sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab suci tersebut sambil memuja Yang
Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas
dianggap sesuai dengan penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena
para pemuja Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi
Maha-Vishnu Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang
Vaisnawa, bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama.
Konon di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat
besar alam semesta ini sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di
zaman-zaman yang lampau konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang
kemudian dialihkan ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat
pengelola alam semesta beserta seluruh isinya
dipegang oleh Maha-Vishnu dengan berbagai manifestasi dan reikarnasinya
dan buku suci hindu yang terutama adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu
adalah masyarakat yang bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran
spritual, ada kesan yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme
menghormati dan ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain,
Buddhisme juga dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama
adalah reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme
tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari Sanatana
Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan tradisi Sanatana
Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang sama yaitu AUM (OM) yang
ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk aliran Sikhisme yang Nabi sucinya
disebut Guru Nanak.
29. ” Lokasi-lokasi
di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah
dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci
yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu
hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut
pastilah akan sangat bermanfaat.”
Keterangan : India dan
Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai tempat-tempat suci dan keramat
(sakral) baik yang terletak di tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan.
Semua tempat sakral atau yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai
untuk memuja baik secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara
spritual, jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi
yang sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai
lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak
terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini.
30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para
kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama,
Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi,
Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat
di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan
Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang
terkenal seperti Mahendra dan Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini
dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol
Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja
seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat tersebut
memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan spritual pasti akan
berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti jalan spritual ke
hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu kali lebih besar
jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang dilaksanakan di
tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).”
Keterangan : Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai
Kresna Vasudewa diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud
dan attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja dengan
berbagai cara di berbagai belahan bumi ini.
Karena hanya
ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut Sanatana
Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau diperkenankan
boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun pasir bahkan di taman
bunga atau di tepi jalan raya, asalkan diperhatikan bahwa lokasinya bersih.
Lalu bolehkah penganut aliran kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri
di kuil atau di Pura Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan
itu Esa dan Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di
mata hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh
oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka secara
pribadi akan disambut olehNya.
34. ”Wahai Raja
bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai
bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya
semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang
terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.”
35. ”Wahai Raja
Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat
putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan
upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara
yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir
memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.
Keterangan : Ada
protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan Sang Krishna
dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel yang teramat singkat
binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna.
36. ”Seisi alam
semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon
yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan
memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi
agung sudah dipuja.”
37. ”Yang Maha Esa
(Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau
dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para
dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya
ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai
Purusavatara.
38. ”Wahai raja
Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap
raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai
dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu
Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang
bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif
pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.”
39. ”Wahai Raja
yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara
tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu
memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala
tata-caranya (ritual-ritualnya) .”
Keterangan : Konon
pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan kepada Sang Hyang
Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga terjadi kontaminasi dan
distorsi di kalangan para Brahmana yang korup, khususnya para Vaisnawa (pemuja
Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa dihina dan dicampakkan oleh para pengikut
Sanatana Dharma lainnya. Pada permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil
inisiatif dengan memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di
berbagai kuil yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan
didentikkan dengan kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman
Dvapara-Yuga sampai saat ini (Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan
simbol-simbol makin meningkat intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah
pemujaan terhadap yang tidak berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi
yang kuat, Dewasa ini pemujaan sedang bergeser ke bentuk japa-mantra-dhyana
(meditasi).
Dunia Barat
dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di Asia ini kedua
cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama atau tersendiri.
Lahirnya Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta Buddha Gautama sekitar 4000
tahun yang lalu merupakan reformasi terhadap kine-kerja para Brahmana yang
buruk tersebut. Pada saat itu Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan
kepada kaum awam dengan berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana
keparat ini khawatir terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang
korup, sama seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan
pengikut Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana Bali
yang serba mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya. Baik di India
maupun di Bali sampai kini masih terdapat golongan Brahmana yang melakukan
pemiskinan moral dan harta benda para pemuja dengan cara-cara yang licik dan
business-like dari pada mengajar secara benar. Sesajen-sesajen yang
berlebih-lebihan, biaya penyelengaraan yang aduhai dan upacara-upacara yang
ngawur diselenggarakan demi lestarinya dapur Sang Brahmana tersebut dan demi
bertahannya kaum Brahmana ini secara dominan.
Di masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan
masuknya pengaruh Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan
karena arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang
agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan
gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa ini sudah
menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang Buddha sampai akhir
hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara beserta Swastika oleh Beliau
tetap dijadikan pedoman dan simbol ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak
ada dirjen agama Hindu maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp
tidak memuat identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan
Hinduisme mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti aslinya dan
tidak merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya lagi pribumi, ditambah
aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang Hindu, maka akan terdapat
sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut dharma dan faktor ini bisa menjadi
kekuatan yang besar baik secara spritual maupun di arena politik.
40. ”Kadang-kadang
seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual
pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi
pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka
Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.”
Keterangan : Banyak
pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk memuja
simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang lainnya. Hal
ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang utama adalah
penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri, tanpa itu sang
pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain sementara arca memang
bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai dengan misi Yang Maha Kuasa
di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk meniti jalan dharma yang benar
diperlukan seorang guru atau / lebih untuk menuntun kita ke jalan dan
pengertian yang benar bisa-bisa malahan menyesatkan pikiran kita yang gelap.
Jadi banyak berdiskusi, berguru dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci
pasti akan berdampak sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua.
Menurut sabda Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang
benar tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya.
41. ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan,
seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah
dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan
oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai
suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah
menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”
Keterangan : Seseorang Brahmana yang telah mencapai status
Dwijati ini adalah hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya
tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa
yang tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah diri
ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang utusan atau
wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri.
42. ”Wahai Raja
Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu
mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan
dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para
Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki
(debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak
untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).”
Keterangan : Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka
ini adalah bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi
penghayatan akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh
Yang Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat
bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus menjaga
para baktanya dengan caranya sendiri
(baca kisah mengenai Sudharsana cakra di akhir buku ini).
Hubungan
intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan yang
misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap bhaktanya ibarat
sang bhakta selalu terintosikasi oleh
nektar spritual ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan,
menyayangi dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami
oleh para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Para
bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang lain karena
mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang harmonis dan selaras
walaupun para bakta ini masih menyandang raga. Fenomena ini disebut
Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan merupakan dambaan setiap
pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa terwujud tanpa disadari oleh sang
pemuja ini.
Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang
dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal”
OM....TAT....SAT
BAB I
“Kehidupan
Grhasta yang ideal”
Resi Sukadewa
Goswami mengisahkan dialog antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada
Prabu Parikesit. Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai
menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal dengan nama
Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut terselengara dengan baik sang
raja yang teramat bijaksana ini selalu saja resah dengan kehidupannya sebagai
seorang kepala rumah tangga. Pada saat seperti itu turunlah Resi Narada dari
Kahyangan berkunjung kepada sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini
langsung saja memohon diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk
zaman Kali-Yuga ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu
Dharma selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya
karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, maka akan diperlukan pola pemujaan yang
sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai dengan ajaran
Veda-Veda walaupun tidak harus seratus persen seperti ajaran Veda, karena
dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan rangkuman dan intisari dari
berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka sempurnalah Hindu Dharma dari segi
ritual dan filosofi. Semenjak saat itu sebenarnya Hindu Dharma sudah
dipersiapkan untuk menjadi agama modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan
dibebani dengan ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan
segelintir kaum Brahmana yang salah jalan.
1. ”Maharaja
Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai Prabhu, sudikah
menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan rumah tangga
ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini, dapat mencapai
kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.”
Keterangan : Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada
telah menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban
seorang Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon
di zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi
dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan kehidupan
Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas bab tentang grhasta
saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal sehari-harinya. Di dunia Barat
kehidupan grhasata sudah mulai rapuh, nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan
kita di Timur sedang mengikuti irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan
mass-media dan teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan
budaya dan dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang
berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang lebih
utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara langsung
maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini dari masa ke masa.
Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima kasih kepada semua resi
dan manusia-manusia agung di atas ini yang berkenan untuk mengajarkan
ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita semua dengan penuh kesadaran akan
hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya terhadap umat manusia ini.
2. Resi Narada
bersabda :
“Wahai raja yang kukasihi, mereka-mereka yang
menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan
mereka, dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka,
seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada
Kresna Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat
dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para
bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”
Keterangan : Ribuan tahun berlalu setelah
sabda di atas diturunkan dan semenjak maupun sebelum itu sudah menjadi
keharusan bagi pencari kebenaran untuk mencari seorang guru penuntun atau
berasosiasi dengan para orang-orang suci demi mempelajari hakikat akan
kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang lahir sekitar 550 tahun yang lalu
berulang-ulang menganjurkan hal ini kepada para pengikutnya agar mampu
menghayati ilmu Vasudewapana yaitu ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan
segala manifestasi maupun misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan
bakta-bakta ini bisa lebih efektif mengajari kita semua dari pada
upacara-upacara yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah
intisari Sanatana Dharma yaitu belajar satu dari yang lain secara
berkesinambungan. Seandainya seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi
dan penggemar tajen, maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan
kebiasaan-kebiasaan buruk ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan
yang satvik maka lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik.
Ini sudah menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan
jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci, maka
sia-sialah pengharapan anda itu.
3/4. Resi
Narada melanjutkan :
“Seorang
grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci dan
dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang
Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di
Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas. Selanjutnya secara bertahap ia
melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya ibarat seseorang yang
terbangun (sadar) dari mimpinya.”
Keterangan : Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk
mendapatkan sesuap nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal
(satvik) atau tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat
Yang Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali
kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan setiap
harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu apa bedanya kita
dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita. Tubuh yang menyandang Sang
Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan dengan alasan bahwa zaman telah
berubah, tetapi mari kita coba menatap ke langit dan mempelajari apakah sang
langit dan bintang-bintang di sana juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan
Yang Maha Esa dari zaman ke zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat
penting bagi kita semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah
bentuk dharma yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta
bersifat lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus
meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal di
rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya.
Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih terikat dengan anak istri,
mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak masa muda.
Sang Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu
siap menyesatkan kita dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu
tugasnya, tetapi seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun
persiapan kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus,
jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap Sang
Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan spritual
dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang mengaku sudah menjadi
Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih sibuk main sabung ayam.
5. Resi Narada
bersabda :
“Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang
kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar
(pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan
berbagai masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia
terkesan terikat kepada keluarganya.”
Keterangan
: Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan
menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai seorang
pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia bisa saja berasal
dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah bahwa kehidupan sebagai
manusia adalah medium ke strata spritual yang lebih tinggi. Keluarga adalah
salah satu dari medium tersebut yang setelah sampai waktunya harus ditinggalkan
juga dengan penuh kesadaran, dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi
spritual yang kita selalu dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan
menuju ke sorga tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian
yang wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita
akan moksha ?
6. Resi Narada
melanjutkan sabdanya :
“Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah
masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana.
Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat,
putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib
menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan
untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena kehidupan semacam
itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.”
Keterangan : Begitu seseorang merubah
kehidupannya sehari-hari ke arah spritual, maka setiap anggota keluarga,
sahabat dan handai tolan akan terkejut melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi
tiba-tiba berubah menjadi sangat sederhana, vegetarian dan lebih menyukai
keheningan, dan sebagainya. Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini
terlalu bersandar ke kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal
dengan berbagai nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan
meteri demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta
yang bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan nasehat
ini dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di dalam hatinya ia
harus selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual agar tidak terpengaruh
jalan keTuhanan yang sedang dijalaninya itu. Ciri-ciri seseorang yang bijaksana
ini adalah ia selalu pasrah, penuh percaya diri, sederhana dalam setiap
tindak-tanduknya dan satvik dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun
memiliki kharisma dan ilmu pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang
tinggi.
7. ”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang
Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup.
Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh :
hujan, udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi,
hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di atmosfir
(yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh :
keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”
Keterangan : Menurut
ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan di bumi ini, dan
untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah menyediakan kebutuhan dan sarana
kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Yang Maha kuasa ini sehingga seekor semutpun telah dijamin makan minumnya
beserta tempat tinggalnya, tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan
hanya bersembahyang dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan
diberikan kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan
orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang bersifat
gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini kompleks sekali dan
mahal bayarannya.
Jauh sebelum manusia diciptakan,
Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama jutaan tahun memproses bumi ini dari
zaman es ke seperti yang kita tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan
dikeluarkan dari perut bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan
seluruh sistem tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam
evolusi maha karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses
pemutaran Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia
seperti fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan
dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat asura dan
dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi Tuhan dalam
bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen kejeniusan, kebodohan,
kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk menjalankan maha karya kehidupan
ini sendiri, sebaiknya kita menghayati misteri yang agung dan sulit dimengerti
ini, dan jangan hanya terpaut kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual
saja. Hidup lebih berharga dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip
neraka dari pada swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Manusia dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan,
menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup bangsa-bangsa lain,
bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan dimana-mana tanpa
henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana lingkungan kita
mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi, mengkomsumsi alkohol dan
obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah
mau berpikir bahwa diperlukan jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan
lingkungan hidup ini, dan kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama
agama, dan sebagian itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa
keparat.
8. ”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan
jiwa dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus
dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.”
Keterangan : Di masa
lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu berlimpah dengan hasil
bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang penuh dengan sifat
gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk desa selalu saling
menunjang satu dengan yang lainnya.
Saat ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit,
sistem ekonomi barat yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan
kehidupan manusia yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress,
kebutuhan pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan
mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja.
Sloka di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi
hasil pendapatan kita bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita
kepada orang / mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda
tidak serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat timbal
balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup matanya untuk
orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah kekurangan karena merekalah
sebenarnya orang-orang yang kaya dengan berbagai hal, bukan orang kaya yang
hanya bisa menyelewengkan kredit bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara,
padahal sewaktu mati nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta.
9. ”Seseorang
wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta, keledai,
kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat mereka ini adalah
putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan
anak-anak kecil.”
Keterangan : Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan
itu tidak suci dan tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi
ibarat anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan
materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami dan di
alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia cukup
menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi manusia dan
anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan akumulasi dari semua itu
bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan
mecaru, karena kata mecaru berasal dari kata Sansekerta caruya yang berarti
sesajen yang terdiri dari hasil panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi
Sri, tidak lebih dan tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering
hewan-hewan yang tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan
dengan iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman Purana,
yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban manusia masih
primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi kelanjutan agama
Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun kehidupan kita. Purana
telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda yang sarat dengan berbagai ilmu
pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai Purana dan berbagai Upanishad kemudian
disarikan oleh ratusan resi yang mengatas namakan Resi Vyasa kemudian
menghasilkan maha karya Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang
lebih beradab kini. Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang
berarti kuno, bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik
sifatnya, ingat di Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak
menyukai orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia
sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan atau
manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa. Misalnya Kresna
menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya dharma, tentunya di dalam
perang tersebut banyak manusia, hewan dan mahluk-mahluk halus yang musnah
tetapi pahala mereka adalah swarga, karena mereka mati demi bangsa dan negara.
Tentanglah dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat
ahimsa para pelaku caru ini, sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan
naik statusnya di masa mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan
turun statusnya akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang
merubah suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan
sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama
mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa itu
sendiri.
Di Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah
tikus-tikus dimusnahkan oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu
masyarakat itu sendiri yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben
tikus. Dari suatu pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus
diaben seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak
lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti akan
menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu ini, lalu
salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi karena ular sawah
sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian pestisida dan pupuk urea, hukum
alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri dan akibatnya ditanggung oleh dirinya
juga.
10. ”Walaupun
seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang Brahmachari atau
sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya tidak berusaha sekuat
tenaga demi agama, demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin) ataupun demi
pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah
tangga, ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang
menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara
bersama-sama, sesuai dengan tempat dan zaman ia berada, dengan karunia Yang
Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma.
Keterangan : Di dalam kepercayaan masyarakat
Hindu dikenal 4 jenis dasar dari tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing
adalah dharma, artha, kama dan moksha ditambah beragama, pencapaian status ekonomi
tertentu, pemuasan berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya. Dari
segi agama saja banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara
besar-besaran dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka,
demi agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan
banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang
berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya harus
mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya belum pernah
ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas jelas menegaskan bahkan
moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya tidak perlu dipaksakan secara
mati-matian atau secara fanatik.
11. ”Anjing, orang
yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing),
semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua
kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan
istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang, harus
dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada
umumnya.”
Keterangan : Sloka sabda resi Narada di atas
sekali lagi menjelaskan hak dari kaum miskin, binatang-binatang kelaparan
disekitar kita bahkan mereka-mereka yang dianggap hina karena sesuatu dan lain
hal, apalagi orang-orang gila dan sebagainya.
Mempersembahkan istri berarti sang istri ikut
berpartisipasi dengan sang suami yang merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan
istri sebagai wujud Dewi Laksmi shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan
masyarakat beserta seluruh kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan
harmonis oleh setiap suami (purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan
efek yang sangat satvik sifatnya.
12. ”Ada orang-orang
tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi yang tidak
boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya atau
orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan gurunya
spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan dengan
istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak
Terkuasakan oleh siapapun juga.”
Keterangan : Ada jenis pria tertentu yang
terlalu dikuasai oleh para istri mereka, dan ada yang terlalu terobsesi oleh
daya pikat kecantikan atau seksual mereka, ada juga istri yang status sosialnya
lebih tinggi dan ada yang mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu
membuat para suami bertekuk-lutut di
depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah ini mampu berbuat apa saja demi
istri-istri mereka ini, para pria ini bahkan mampu membunuh atau menyakiti
orang lain demi membela istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang
pria itu sangat beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya,
ibaratnya ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri
yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa Yang
Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini begitu disayangi
olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari Yang Maha Esa.
13. ”Melalui budi
dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan
keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada
suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah
harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit
yang luas dan tanpa tepi ini ?
Keterangan : Ada tipe-tipe pria yang hidupnya
melulu demi pemuasan seks istrinya saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak
ada habis-habisnya tanpa mau sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan
mati dan disantap cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak
bernyawa, karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan
rumah tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari dan
dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak dilepas adalah
Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri.
14. ”Seseorang yang
cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan
kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna).
Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari
raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang
ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status
sebagai seorang mahatma.”
Keterangan : Di masa yang silam manusia tidak
pernah khawatir akan kekurangan makanan atau perhatian atau sandang pangan
karena semangat kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga.
Dewasa ini
sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja
sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki kehidupan
setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan spritual semakin
lama semakin pudar, dan yang timbul adalah masalah-masalah sosial dan agama
yang makin semu dan bernuansa rawan. Seyogyanyalah seseorang aktif dalam
berbagai kegiatan sosial, seni budaya dan spritual secara sadar bahwa yang
memerlukan suplemen bukan saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga
memerlukan santapan spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia
sadar semacam ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi
kalau ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma
karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini.
15. ”Setiap hari,
ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan
berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi,
para orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja
leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha
Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.”
Keterangan : Ternyata kita semua memerlukan
medium dan tahap-tahap dalam penitian kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa.
Banyak pemuja merasa dengan berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan
mereka-mereka ini menganggap persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa
dan leluhur, persetan dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan
sebagainya. Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan
disiplin dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk
secara bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka
kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada orang tua,
guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi dulu bumi Pertiwi
tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi semua produk dari bumi ini
yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua itu mungkin hidup kita tidak
lama. Kalau semua bakti secara sadar telah terlaksana dengan baik barulah kita
meniti ke bakti kita kepada Yang Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat
egois dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi
sesama mahluk tidak memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang
hari mereka berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci
Om shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan
kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan seluruh
isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi dan alam semesta,
jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti dan otomatis kita dan
semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi ucapan ini harus tulus dan
dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja ucapan ini.
16. ”Sewaktu
seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh
kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau
memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai
upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di
dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang
Maha Agung.”
Keterangan : Di dalam
shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual yang di sebutkan di
atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan untuk membagi harta dan ilmu
pengetahuan demi langgengnya ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar
kita.
Pada zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu
tahun dapat beryadnya dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga
dengan berbagai bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman
Dvapara-Yuga, yajna dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di
zaman Kali ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan
melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana yajna
yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan mahluk-mahluk
lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan, atau harta
benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan kita
masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah sudah lewat, malahan
upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban hutang dan stress yang teramat
berat dan kalau hal ini kita biarkan maka diperkirakan dalam kurun waktu
seratus tahun lagi umur manusia akan berkisar 30 tahun saja karena dilanda
berbagai depresi dan lingkungan hidup yang bermutu rendah.
17. ”Tuhan Yang
Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun
walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang
kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman
dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana
yang memenuhi syarat.”
Keterangan : Di sini
jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha Kuasa kurang
berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal biayanya yang hanya
menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan mantega untuk dilalap api dan
jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau semua itu diberikan kepada para
Brahmana yang suci dan miskin yang tidak mengharapkan pamrih sewaktu
melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita semua. Para Brahmana ini bisa saja
terdiri dari para pemangku, sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang
sehari-harinya hidup sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi
masyarakat sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana
berhak menerima sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati
telah terpilih jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia. Mereka-mereka
yang sudah menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih menyantap telur, dan
mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana. Sesajen yang diberikan kepada
mereka tidak perlu dalam bentuk masakan tetapi bisa berbentuk sesari atau yang
belum dimasak. Biasanya kita menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak
tangan kita sambil mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti
kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan
pitra-yajna, maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas tetapi nama
Sri Kresna diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi dua kali berdoa,
pertama atas nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama leluhur.
18. ”Selanjutnya,
wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum
Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang
berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke
mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau
akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan
mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan
ini.”
Keterangan : Di dalam
Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya disinggung bahwa
seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri maka yang dimakannya
adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin ke sorga sendiri maka ia
tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari sesajen tidak perlu yang mahal
atau berbentuk pameran kekayaan tetapi untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali
buah-buahan ditusuk dengan lidi lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam
ini tidak layak dihaturkan kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut
sudah tidak satvik lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan
tercemar oleh bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi
oleh manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi
peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang menikmati, lalu
apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa saudara-saudara Hindu sedharma lebih
satvik caranya, sesajen yang bisa berupa apa saja dihaturkan secara sederhana
bahkan ditutup dengan kain bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan
bersama sama dengan keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja
beryajna dengan menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan
sekali secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih
berkenan bagi Yang Maha Esa.
19. ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan
persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada
akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para
sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang
diselenggarakan pada bulan Asvina.”
Keterangan : Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan
pada tanggal 15 sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh
pada bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik.
20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat
Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau
pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke
arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari
Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut Vyatipata;
pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat gerhana bulan
atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga pada hari
Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari
Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa
terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin,
pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang
pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh;
hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini
berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas
(rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang
disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada.
Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas
(rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha
atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada
hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau
dengan Sravana-naksatra.”
Keterangan : Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25
tertulis jelas tentang enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang
disebut sebagai Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan
berikutnya matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau
jalan selatan.
Pada hari
pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki wilayah Capricorn,
dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan selanjutnya sewaktu Sang Surya
memulai gerakan ke arah selatan, dan memasuki wilayah Cancer disebut sebagai
Karkata-Sankranti. Pada kedua hari yang khusus ini seseorang seharusnya
melakukan upacara shradha. Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama
Mewsa-Sankranti, di kala Sang Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari
Tula-Sankranti, Sang Surya memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta
hanya sekali dalam setahun.
Vyatipata-yoga
adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang Surya
dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan ketujuh-belas
disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga sangat baik untuk
melaksanakan upacara shradha.
Tithi adalah
sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun rembulan). Kadang-kadang
sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam. Seandainya tithi dimulai setelah
matahari terbit pada suatu hari tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari
terbit keesokan harinya, maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya
akan bersentuhan dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa
yang sering disebut juga persentuhan antara tiga tithis.
Banyak resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya
tidak dilaksanakan pada hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para
leluhur yang menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang
pandita yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik mengapa
hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah hal-hal yang berlaku
di india sampai saat ini.
24. ”Semua waktu
(saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat
untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan
semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci
sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang
dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.”
25. ”Pada saat-saat
pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau
di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja,
agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa,
para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata,
apapun yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang
amat bermanfaat.’
26. ”Wahai Raja
Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan
upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama
upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka
diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas
yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar
dalam bentuk pahala.”
Keterangan : Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus
dikerjakan seseorang pada hari-hari baik seseorang atau secara garis besar
keluarga dan leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke
Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima.
Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk
mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah memberikan
wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa terpuaskan hanya dengan
sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang sama beliau juga mengatakan
sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke shastra-widhi dan para orang-orang
suci. Intinya shrada diharuskan, tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir
dan tidak buang-buang uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk
shradha yang berbentuk buku-buku suci
yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya, berdonor darah
untuk sesamanya dan lain sebagainya yang sesuai dengan hati nurani dan
kemampuan masing-masing individu. Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini
mempunyai pengalaman yang unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke
India pada tahun enam puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan
saja untuk para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih
hidup hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin. Yang
kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya beliau memanggil
kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia ini dengan segera dan
satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan upacara shradha adalah kami,
karena selama hidup beliau, kami sebagai putranya selalu memijit ibu kami ini
setiap malam karena beliau menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini
menimbulkan problem di kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena
keluarga besar kami tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan
keluarganya maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara
tersebut tetapi kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara
selesai kami pasti akan memakan sesajen yang tersisa.
27/28.Resi Narada melanjutkan
sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana
pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di
mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha
Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang
sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi
alam semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang
tidak bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa dianggap
sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana para
Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda berdasarkan
ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang,
adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.”
Keterangan : Di zaman
yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di tengah-tengah
keramaian kota New York, dan di salah satu sudut apartemennya ia meletakkan
sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab suci tersebut sambil memuja Yang
Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas
dianggap sesuai dengan penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena
para pemuja Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi Maha-Vishnu
Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang Vaisnawa,
bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama.
Konon di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat
besar alam semesta ini sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di zaman-zaman
yang lampau konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang kemudian
dialihkan ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat pengelola
alam semesta beserta seluruh isinya
dipegang oleh Maha-Vishnu dengan berbagai manifestasi dan reikarnasinya
dan buku suci hindu yang terutama adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu
adalah masyarakat yang bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran
spritual, ada kesan yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme
menghormati dan ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain,
Buddhisme juga dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama
adalah reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme
tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari Sanatana
Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan tradisi Sanatana
Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang sama yaitu AUM (OM) yang
ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk aliran Sikhisme yang Nabi sucinya
disebut Guru Nanak.
29. ” Lokasi-lokasi
di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah
dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci
yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu
hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut
pastilah akan sangat bermanfaat.”
Keterangan : India dan
Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai tempat-tempat suci dan keramat
(sakral) baik yang terletak di tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan.
Semua tempat sakral atau yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai
untuk memuja baik secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara
spritual, jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi
yang sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai
lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak
terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini.
30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para
kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama,
Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi,
Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat
di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan
Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang
terkenal seperti Mahendra dan Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini
dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana
simbol-simbol Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan
boleh saja seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di
tempat tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan
spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti
jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu
kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang
dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).”
Keterangan : Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai
Kresna Vasudewa diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud
dan attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja dengan
berbagai cara di berbagai belahan bumi ini.
Karena hanya
ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut Sanatana
Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau diperkenankan
boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun pasir bahkan di taman
bunga atau di tepi jalan raya, asalkan diperhatikan bahwa lokasinya bersih.
Lalu bolehkah penganut aliran kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri
di kuil atau di Pura Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan
itu Esa dan Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di
mata hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh
oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka secara
pribadi akan disambut olehNya.
34. ”Wahai Raja
bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai
bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya
semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang
terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.”
35. ”Wahai Raja
Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat
putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan
upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara
yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir
memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.
Keterangan : Ada
protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan Sang Krishna
dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel yang teramat singkat
binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna.
36. ”Seisi alam
semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon
yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan
memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi
agung sudah dipuja.”
37. ”Yang Maha Esa
(Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau
dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para
dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya
ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai
Purusavatara.
38. ”Wahai raja
Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap
raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai
dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu
Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang
bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif
pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.”
39. ”Wahai Raja
yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara
tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu
memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala
tata-caranya (ritual-ritualnya) .”
Keterangan : Konon
pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan kepada Sang Hyang
Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga terjadi kontaminasi dan
distorsi di kalangan para Brahmana yang korup, khususnya para Vaisnawa (pemuja
Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa dihina dan dicampakkan oleh para pengikut Sanatana
Dharma lainnya. Pada permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil inisiatif
dengan memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di berbagai kuil
yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan didentikkan dengan
kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman Dvapara-Yuga sampai saat ini
(Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan simbol-simbol makin meningkat
intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah pemujaan terhadap yang tidak
berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi yang kuat, Dewasa ini
pemujaan sedang bergeser ke bentuk japa-mantra-dhyana (meditasi).
Dunia Barat
dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di Asia ini kedua
cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama atau tersendiri. Lahirnya
Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta Buddha Gautama sekitar 4000 tahun
yang lalu merupakan reformasi terhadap kine-kerja para Brahmana yang buruk
tersebut. Pada saat itu Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan kepada kaum
awam dengan berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana keparat ini
khawatir terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang korup, sama
seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan pengikut
Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana Bali yang serba
mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya. Baik di India maupun di
Bali sampai kini masih terdapat golongan Brahmana yang melakukan pemiskinan
moral dan harta benda para pemuja dengan cara-cara yang licik dan business-like
dari pada mengajar secara benar. Sesajen-sesajen yang berlebih-lebihan, biaya
penyelengaraan yang aduhai dan upacara-upacara yang ngawur diselenggarakan demi
lestarinya dapur Sang Brahmana tersebut dan demi bertahannya kaum Brahmana ini
secara dominan.
Di masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan
masuknya pengaruh Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan
karena arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang
agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan
gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa ini sudah
menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang Buddha sampai akhir
hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara beserta Swastika oleh Beliau
tetap dijadikan pedoman dan simbol ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak
ada dirjen agama Hindu maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp
tidak memuat identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan Hinduisme
mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti aslinya dan tidak
merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya lagi pribumi, ditambah
aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang Hindu, maka akan terdapat
sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut dharma dan faktor ini bisa menjadi
kekuatan yang besar baik secara spritual maupun di arena politik.
40. ”Kadang-kadang
seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual
pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi
pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka
Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.”
Keterangan : Banyak
pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk memuja
simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang lainnya. Hal
ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang utama adalah
penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri, tanpa itu sang
pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain sementara arca memang
bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai dengan misi Yang Maha Kuasa
di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk meniti jalan dharma yang benar
diperlukan seorang guru atau / lebih untuk menuntun kita ke jalan dan
pengertian yang benar bisa-bisa malahan menyesatkan pikiran kita yang gelap.
Jadi banyak berdiskusi, berguru dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci
pasti akan berdampak sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua.
Menurut sabda Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang
benar tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya.
41. ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan,
seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah
dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan
oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai
suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah
menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”
Keterangan : Seseorang Brahmana yang telah mencapai status
Dwijati ini adalah hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya
tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa
yang tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah diri
ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang utusan atau
wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri.
42. ”Wahai Raja
Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu
mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan
dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para
Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki
(debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak
untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).”
Keterangan : Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka
ini adalah bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi
penghayatan akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh
Yang Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat
bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus menjaga
para baktanya dengan caranya sendiri
(baca kisah mengenai Sudharsana cakra di akhir buku ini).
Hubungan
intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan yang
misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap bhaktanya ibarat
sang bhakta selalu terintosikasi oleh
nektar spritual ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan,
menyayangi dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami
oleh para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Para
bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang lain karena
mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang harmonis dan selaras
walaupun para bakta ini masih menyandang raga. Fenomena ini disebut
Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan merupakan dambaan setiap
pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa terwujud tanpa disadari oleh sang
pemuja ini.
Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang
dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal”
OM....TAT....SAT
BAB III
KISAH
MAHARAJA AMBARISA
DAN
DURVASA MUNI
(Bagian ke I)
Tulisan yang satu ini merupakan salah satu
rangkaian kisah-kisah yang diambil dari Srimad Bhagavatham. Konon di kisah ini
diceritakan secara singkat mengenai sejarah Maharaja Nabhaga dan putranya yang
bernama mirip dengan ayahnya yaitu Naabhaaga. Nabhaga adalah putra Sang Manu,
manusia pertama. Naabhaaga, cucu Sang Manu ini bertahun-tahun hidup di gurukula
yaitu perguruan di zaman lampau yang mendidik para putra raja dengan ilmu
kebatinan dan lain sebagainya, sebelum para pangeran ini diangkat jadi raja.
Karena terlalu lama belajar di gurukula maka saudara-saudaranya beranggapan
bahwa Naabhaaga tidak berhasrat kembali ke kerajaannya, dan tanpa berunding
dengan ayah maupun dirinya, mereka membagi-bagi kerajaan di antara mereka
sendiri. Suatu saat pangeran Naabhaaga kembali ke kerajaannya dan oleh para
saudaranya ia diberitahu akan pembagian warisan ini dan sudah tidak ada apapun
lagi di kerajaan yang dapat diwariskan selain ayah mereka yang sudah lanjut
usia, jadi sang ayah inilah yang diwariskan kepadanya.
Sang ayah merasa telah terjadi kecurangan
diantara putra-putranya dan beliau menitahkan Naabhaaga untuk bertapa di sebuah
tempat pemujaan pengorbanan. Naabhaaga dibekali dengan dua buah mantra yang
harus dipanjatkan di tempat ini sewaktu diperlukan. Lokasi pengorbanan dan
pemujaan yang suci ini dihuni oleh para resi yang dipimpin oleh Resi Angira
yang banyak sekali mendapatkan harta dalam bentuk dana-punia yang disumbangkan
oleh masyarakat kepadanya. Seluruh harta ini kemudian diwariskan kepada
Naabhaaga, tetapi Dewa Shiwa sebagai penunggu di tempat suci tersebut ingin
menguji iman sang pangeran ini, ternyata Naabhaaga malahan menyerahkan seluruh
harta ini kepada Dewa Shiwa, yang tentu saja sangat memuaskan hati sang dewa
yang kemudian mengembalikan seluruh harta ini kepadanya.
Konon Naabhaaga suatu waktu berputrakan
Ambarisa, seorang raja yang sangat dashyat kesaktiannya dan juga merupakan
pemuja ideal Yang Maha Kuasa, dan sangat terkenal di negaranya. Begitu dashyat
kekuasaannya sehingga pada zamannya beliau dianggap raja dunia karena menguasai
sebagian besar bumi ini, tetapi sang raja sendiri konon sangatlah sederhana dan
rendah hati dan sebagai pemuja Maha-Vishnu beliau selalu beranggapan bahwa
semua harta benda dan kekuasaan beliau adalah milik Yang Maha Kuasa, ia secara
pribadi tidak ingin terikat dengan segala kebesaran ini. Beliau mengarahkan
seluruh aktifitas kehidupan spritualnya ke Yang Maha Esa semata-mata
(Yuktah-Vairagya). Beliau bahkan tidak menghasratkan moksha, karena kehidupan
bagi beliau adalah kewajiban tanpa pamrih.
Pada suatu hari di keheningan Vrandawana
(tempat kelahiran Sang Krishna), sang raja memuja sesuai dengan tradisi upacara
Dvadasi, yaitu hari yang jatuh sesudah hari Ekadasi. Pada saat beliau akan
berbuka puasa hadirlah seorang resi yang teramat sakti tanpa diundang yang
bernama Durvasa Muni. Dengan segala kebesaran dan rasa hormat yang dalam sang
resi diterima olehnya dan diajak untuk bersantap bersama, sang resi menerima
undangan berbuka puasa ini tetapi memunta waktu sejenak untuk mandi dan
membersihkan dirinya di sungai Yamuna di siang hari itu. Konon begitu lamanya
sang resi ini berada di sungai tersebut sehingga waktu berbuka puasa hampir
lewat dan kalau sang raja tidak berbuka puasa pada saat itu, ia harus berpuasa
setahun lagi lamanya. Tentu saja hal ini menimbulkan dilema bagi sang raja dan
para resi yang hadir, dan akhirnya diputuskan bersama untuk meneguk sedikit air
sebagai simbol berbuka puasa tetapi tanpa menyentuh santapan karena menunggu
datangnya kembali Durvasa Muni. Sang resi yang datang terlambat ternyata sangat
murka sewaktu menyadari bahwa sang raja telah meneguk air tanpa menunggunya dan
menyadari kesalahannya dengan sangat angkuh dan penuh angkara murka ia
menciptakan seorang iblis yang menakutkan dari rambutnya.
Sang iblis langsung menyerang sang raja, tetapi
Maharaja Ambarisa tidak dapat tersentuh oleh iblis ini karena tiba-tiba entah
dari mana muncullah Sudharsana-cakra milik Sang Hyang Maha Vishnu dan menangkis
serangan ini. Hancur dan musnahlah sang iblis dalam sekejab, kemudian sang
cakra meleset ke arah Durvasa Muni, yang langsung kabur dan terbang ke angkasa
karena tidak dapat menahan kedashyatan cakra ini. Dari satu loka ke loka
lainnya ia terbang mencari perlindungan para dewa tetapi tidak ada seorang
dewapun yang mau menolong resi yang takabur ini, akhirnya ia menyerahkn dirinya
ke Sang Hyang Narayana, tetapi Beliaupun menolaknya dan memerintahkan sang resi
yang angkuh ini agar meminta maaf langsung ke Maharaja Ambarisa yang masih
menunggunya kembali; selama menunggu kembalinya sang resi, sang raja
melanjutkan puasanya dan tanpa disadari kurun waktu setahun telah terlampaui.
Puasa sang raja yang agung ini dianggap sebagai sebuah yoga tersendiri bagi
pemuja Yang Maha Esa khususnya pemuja Vishnu dan Kreshna Vasudewa yang
sebenarnya adalah satu. Sloka-sloka di akhir kisah ini akan menyadarkan kita
akan keserahkahan dan kesaktian sementara Brahmana yang selalu sema-mena kepada
kaum yang berasal dari varna lainnya. Disisi lain Yang Maha Esa itu sendiri
sangat berendah hati dalam melindungi umatnya dengan proteksi total. Semoga
kisah suci ini bisa menambah wawasan kita dalam mendekatkan diri kita kepadda
Tuhan Yang Maha Esa.
OM.....TAT.....SAT
1. Sukadewa
Goswami bersabda kepada Raja Parikesit :
“Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga
hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya,
sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa
grhastanya. Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara
mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya. Sewaktu Naabhaaga
kembali dari perguruannya, mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.”
2. Naabhaga
memohon, “Wahai para saudara-saudaraku, di manakah hak-hakku akan kekayaan
ayahku ?” Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami
sebagai bagianmu.” Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal
tersebut, sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang
penuh dengan berbagai tipu-daya, aku bukan milikmu.”
3. Ayah
Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah
upacara pengorbanan, dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap
hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan
mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik dan mereka akan melakukan
berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.”
4/5.Ayah
Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini dan jabarkan dua
mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan
upacara pengorbanan mereka (dan tidak kacau lagi pada hari ke enam upacara),
maka mereka semua akan pergi ke swargaloka, mereka akan memberikan sisa
harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu. Jadi cepatlah
pergi.” Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya dan berhasil mendapatkan
kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil
moksha ke loka-loka lainnya.”
6. ”Tak
lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini, dari utara datang seseorang yang berkulit
hitam-legam dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.”
7. Naabhaaga
kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku, para resi yang agung
telah menganugrahkannya kepadaku. Setelah ia selesai dengan ucapannya, pria
hitam ini kemudian berkata,”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan
memintanya untuk menuntaskan masalah ini,” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul
ini.”
8. Sabda
ayah Naabhaga : “Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena
pengorbanan Daksa-Yajna itu, sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa, jadi
semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.”
9. ”Selanjutnya,
dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa, Naabhaaga berkata :
“Wahai Tuhan yang kupuja (Isa), semua di arena itu adalah milikMu. Aku tunduk
pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat, aku bersujud kepadaMu,
sudilah mengampuniku.”
10. Dewa
Shiwa bersabda : “Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar, dan
yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama. Oleh karena itu, Aku yang
memahami mantra-mantra Veda-Veda, akan menjabarkan ilmu pengetahuan
transendental (mistik/spritual) kepadamu.”
11. ”Dewa Shiwa bersabda : “Sekarang dikau
boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena kuanugrahkan
kepadamu.” Setelah berkata demikian, Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan
sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.”
12. ”Seandainya
seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap
pagi dan petang penuh dengan perhatian, maka orang tersebut pasti akan berubah
menjadi terpelajar, penuh dengan pengertian akan ajaran Veda, dan tangkas dalam
mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.”
13. ”Dari
Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa. Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang
pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya, beliau dipuja-puji
karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti, ternyata
kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.”
14. ”Raja
Parikesit bertanya : “Wahai resi yang mulai, Maharaja Ambarisa adalah seorang
yang terhormat dan penuh dengan kebajikan. Kami ingin tahu lebih banyak tentang
beliau. Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat
kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.”
Keterangan
: Seluruh kisah-kisah di Srimad Bhagavatam ini, sebenarnya adalah dialog antara
Resi Goswami dan Parikesit. Dan di dalam dialog ini termuat anak kisah dari
berbagai dialog yang saling berkesinambungan. Harap para pembaca tidak bingung
karenanya.
15/16.Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa
adalah seorang yang amat beruntung, beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri
dari 7 benua (sapta-dvipa-vatim) dan sang maharaja ini telah mencapai status
yang tak terkalahkan dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan kemakmuran
yang amat sangat di atas muka bumi ini. Walaupun status semacam ini sulit
dicapai oleh seorang manusia, Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah
mengacuhkan semua itu, karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi
duniawi dan serba materi, dan suatu saat pasti akan hancur. Sang maharaja sadar
sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi (dunia
kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).”
17. ”Maharaja
Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Vasudewa, dan berada
dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa. Karena baktinya yang
sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya
sebuah batu biasa.”
18/19/20.”Maharaja Ambarisa dalam
semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna, beliau selalu
memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa, tangan beliau secara pribadi selalu
membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa. Telinganya selalu
mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna atau hal-hal mengenai Sang Krishna.
Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura
dan Vrandavana. Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua
bakta Sang Krishna, dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun
Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati
berbagai prashadam bagi Yang Maha esa. Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan
diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa, dan selama 24 jam sehari-harinya
beliau bersujud dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total
seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa. Sebenar-benarnya
beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara
pribadi. Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat
lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan secara total menjauhi berbagai hasrat
duniawi.”
21. ”Dalam
melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja, Maharaja Ambarisa selalu
mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang
adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya dan begitu juga Yang
Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi
duniawi ini. Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para
brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia, dengan demikian
beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.”
22. ”Di
negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja
Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti
Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa, Penguasa Utama seluruh yagna
(Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi
semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi
para brahmana yang hadir dan berpartisipasi, yang dipimpin oleh Resi Vasistha,
Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci
ini.”
Keterangan : Negara-negara yang
bergurun pasir bisa diartikan berbagai negara bagian di India kini, tetapi juga
bisa berarti jazirah Timur-Tengah di mana pada zaman tersebut sungai Sarasvati
pernah mengalir dan berujung di teluk Arabia. Konon orang-orang di Timur-Tengah
baik yang keturunan Yahudi dan Arab atau Palestina dipercayai oleh masyarakat
India sebagai keturunan mereka (keturunan wangsa Bharata pada zaman dahulu
kala). Yesus Kristus sangat dihormati di India karena dianggap sepertiga
turunan Arya-India, dan tiga orang Majus yang menghadapnya dengan ratna mutu
manikam sewaktu Beliau lahir adalah sebagian dari utusan para resi dari India;
dari sekitar puluhan utusan hanya tiga orang saja yang mampu menghadiri
kelahiran sang Kristus.
Menurut versi India, Kristus
pada usia 12 tahun diajak ke India dan kembali sebagai seorang resi-yogi yang
brahmacari pada usia sekitar 32 tahun, Beliau juga bersifat vegetarian, ahimsa
dan memuja Yang Maha Esa (Isa), dan mengajarkan kembali inti Hindhu-Dharma
kepada kaum Yahudi yang tidak mau menerima ajaran ini. Akhirnya beliau disalib,
dan diselamatkan oleh ketiga resi tersebut dan dibawa kembali ke India dan
meninggal dunia pada usia yang sangat tua di suatu tempat di Kashmir, konon
kuburan Beliau dan turunan Beliau masih eksis sampai saat ini di lokasi
tersebut. Demikian versi India ini. Konon itulah sebabnya Beliau bernama Isa,
karena Beliau adalah pemuja Isa.
23. ”Pengorbanan
(Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para
anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang
kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para
dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian
penyelenggaraan yajna ini.”
24. ”Penduduk
di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan
puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para penduduk ini
ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat
moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka, walaupun mereka juga sadar bahwa
loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.”
25. ”Mereka-mereka
yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang
Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian dan berbagai kedashyatan para kaum
mistik, karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi
pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati
sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan
memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.”
26. ”Maharaja
Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini, khusus demi upacara ini
melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang
sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan
Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya, beliau mengesampingkan
seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.”
27. ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua
ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri,
teman-teman dan handai-taulan, bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang
teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda, kereta-kereta perang dan emas
permata, berbagai perhiasan, jubah-jubah yang mewah dan harta benda yang serba
gemerlapan ditinggalkan semua, karena beliau beranggapan semua ini sebagai
tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.”
28. ”Tuhan
Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat
tekun dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja,
agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para
musuhnya.”
Keterangan : Umumnya para pemuja atau bakta Yang Maha Esa
terkesan selalu lemah-lembut, penakut, mengalah dan sebagainya, karena
mereka-mereka ini selain bersikap sangat pasrah juga bersifat ahimsa, apalagi
yang sadar bahwa Sang Atman hadir di dalam segala mahluk hidup, tidak akan
menyakiti seseorang walaupun disakiti olehnya.
Para mahluk jahat, asura dan manusia-manusia yang penuh
dengan kebatilan selalu ingin mempersulit para pemuja yang lemah-lembut ini
dengan berbagai cara dan alasan. Tetapi tanpa disadari para pemujaNya, Yang
Maha Kuasa (Hari) selalu menjaga para bakta-baktaNya dengan cara-cara yang
penuh dengan keajaiban, sering sekali di luar nalar manusiawi kita. Sang
Maharaja yang mendapatkan anugrah Cakram ini sebenarnya sama sekali tidak
menyadari akan fungsi dan keampuhan cakra ini karena beliau ini sudah jauh dari
sidhi dan pamrih.
29. ”Maharaja
Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa, beserta istri
(permasuri)nya yang tidak kalah imannya dari sang suami, beritikad untuk
melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.”
Keterangan : Hanya pria
yang beruntung saja yang bisa mendapatkan istri yang sama imannya, begitupun
hanya seorang istri yang beruntung mendapatkan pasangan suami yang beriman sama
karena hal ini amatlah langkah di dunia yang serba materi ini. Masyarakat Hindhu
India percaya bahwa dengan berpuasa setahun penuh, khusus untuk hari-hari yang
disebut di atas dapat membahagiakan dan memuaskan Sang Kresna Vasudewa.
Biasanya setelah selesai dengan upacara ini seseorang akan memasuki kehidupan
Vanaprastanya.
30. ”Pada bulan Kartika, setelah
menjalankan tapa-bratanya selama setahun, dan berpuasa selama tiga hari
selanjutnya, dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna, Maharaja Ambarisa
memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang, di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.”
31/32.”Maharaja
Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa
(Maha-bisheka) sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam
tata upacara yang seharusnya, kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut
berbagai pakaian kebesaran, perhiasan, kalungan-kalungan bunga yang serba
bermutu prima. Dengan seksama dan penuh bakti, beliau memuja Sri Krishna dan
juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari
berbagai nafsu duniawi.”
33/34/35.”Selanjutnya
Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian
dan lain sebagainya, khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian
yang penuh dan teramat khusus. Beliau menyumbangkan 60 kror (600 juta) ekor
sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas dan bagian lehernya
berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak. Semua sapi-sapi ini berhiaskan
kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh. Semua sapi-sapi ini nampak
sangat jinak, berusia muda dan sangat menawan dan disertai oleh anak-anak sapi
mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian
mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir, dan setelah mereka
semua telah terpuaskan, maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk
mengakhiri puasa Ekadasinya. Dan tepat pada saat itu, hadir seorang resi agung
dan teramat sakti mandraguna, tanpa diundang.”
Keterangan : Di dalam
Hindhu-dharma sebenarnya ada peraturan yang tidak memperbolehkan seseorang
untuk menghadiri upacara orang lain termasuk sanak-saudara tanpa diundang,
hanya upacara kematian saja yang merupakan kekecualian, karena pada upacara
kematian umat Hindhu Dharma di India tidak mengundang siapapun; adalah
kewajiban para handai-taulan untuk datang sendiri dan bergotong-royong membantu
keluarga yang meninggal dunia. Di Bali saat ini sering terlihat dan
dibagi-bagikan kartu undangan yang mewah untuk upacara ngaben padahal undangan
tersebut sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Veda-Veda, juga tidak tertera
di lontar, ataupun Shastra Vidhi lainnya yang bernuansakan Hindhu Dharma.
36. ”Setelah
berdiri dari tempat duduknya dan menerima Durvasa Muni, Raja Ambarisa
mempersilakan sang resi untuk duduk bersama, kemudian sang resi dihormati
seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung. Setelah menyentuh kedua
telapak kaki sang resi, Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka
puasa secara bersama-sama.”
37. ”Dengan
senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau
meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu. Di sungai Yamuna
yang airnya dianggap sangat suci dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman
(brhad-dhyana).”
Keterangan : Sang resi
bermeditasi untuk waktu yang agak lama dan mungkin lupa bahwa sang raja sedang
menunggunya dengan penuh kerisauan karena waktu berbuka sudah hampir berlalu,
dan kalau batal berbuka pada saat tersebut sang raja harus berpuasa satu tahun
lagi.
38. ”Sementara itu hanya
sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa. Sehingga
mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa. Dalam situasi yang
teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.”
39/40.Sang
raja berkata : “Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak
menghormati para brahmana. Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera
berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan
terlanggar. Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan
bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama,
perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air. Dengan cara ini, setelah
mendapatkan masukan dari para brahmana, sang raja meneguk sedikit air, yang
menurut para brahmana ini, tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap
sesuatu.”
41. ”Wahai
yang terbaik, di antara jajaran dinasti Kuru, setelah meneguk sedikit air, Raja
Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa
yang bersemayam di dalam relung hatinya, sambil menunggu kembalinya resi
Durvasa Muni.”
42. ”Setelah
menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari, Resi Durvasa meninggalkan
tepian sungai Yamuna. Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala
kehormatan, namun Durvasa Muni, melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja
Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.”
43. ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan
lapar, dan bergetar tubuhnya, dengan kedua alisnya yang terangkat akibat
geramnya, murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua
tangan yang terkatub.”
44. ”Aduh,
coba lihat kelakuan orang jahat ini ! Ia bukan pemuja dewa Vishnu. Karena
merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya, ia merasa dirinya seakan-akan
telah menjadi Tuhan itu sendiri. Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar
peraturan-peraturan agama.”
45. ”Maharaja
Ambarisa, dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap, tetapi
dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini, akan kuperlihatkan sesuatu
untuk menghukummu.”
46. ”Pada
saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka.
Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya, dan menciptakan seorang iblis yang
mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.”
47. ”Bersenjatakan sejenis trisula dan
menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya, mahluk api ini
mendekati Maharaja Ambarisa. Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh
kehadiran mahluk ini dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.”
48. ”Ibarat
api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah
Yang Maha Kuasa, maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba
muncul dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab. Demikian ini
cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.”
49. ”Menyaksikan
kegagalannya, dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya,
Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi
menyelamatkan hidupnya.”
50. ”Ibarat
api di hutan yang mengejar seekor ular, cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar
terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari. Durvasa Muni melihat bahwa cakra
ini hampir-hampir saja membelah punggungnya, ia langsung saja lari dan masuk ke
sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.”
51. ”Namun
Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di
darat, baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera, bahkan resi ini
dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di
alam semesta ini. Kemanapun ia pergi (terbang) ia akan selalu tersusul oleh api
Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.”
52. ”Dengan
penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan,
tetapi sia-sia saja, dan akhirnya ia terbang
ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma. “Wahai Dewataku, wahai dewa
Brahma, mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan
oleh Yang Maha Esa ini.”
53/54.”Dewa
Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha, sewaktu seluruh ciptaan masa lalu
selesai siklusnya, maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya
akan melenyapkan seisi alam semesta ini (kiamat,pralaya) termasuk di dalamnya
itu brahma-loka tempat kediaman kami ini. Dewa-dewa jajaran kami ini, seperti
Dewa Shiwa, juga para Daksa, Berghu dan berbagai orang-orang suci dan
penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan, manusia-manusia, dan para
dewa-dewi......kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa
Vishnu yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri. Sambil
menundukkan kepala kami, kami bersujud demi melaksanakan segala
perintah-perintahNya demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta
ini.”
55. ”Sewaktu
Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma,
ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa memohon bantuan.”
56. Namun
Dewa Shiwa, “bersabda,” “Wahai anakku, kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi
lainnya, bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami
yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah, karena kami semua
sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang
Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah
diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.”
Keterangan : Banyak
pemuja beranggapan bahwa Tuhan itu adalah para dewa-dewi seperti Brahma,
Vishnu, Shiwa, Laxmi, Durga, Saraswati, Ganeshya dan lain sebagainya tanpa mau
menyadari bahwa jajaran para dewa-dewi ini adalah simbol dan medium dari Yang
Maha Kuasa. Di Bhagavat-Gita, Sri Krishna dengan jelas dan tegas menjabarkan
fenomena-fenomena ini. Sebenarnya hakikat dari Hindhu (Sanatana-dharma) adalah
pemujaan kepada Yang Maha Kuasa, pada saat yang sama bagi para pemuja yang
masih duniawi sifatnya tersedia medium-medium lain. Manusia cenderung melupakan
hakikat akan keberadaannya di bumi ini, dan lupa akan Sang Atman yang hadir di dalam
tubuh kita ini. Seharusnya kita sadar bahwa raga adalah sebuah kuil yang suci
dan harus selalu kita sucikan agar Sang Atman betah diam di astana ini,
bukannya dikotori dengan berbagai kekotoran duniawi termasuk makan-minum yang
tidak satvik dan sebagainya.
57/58.”Masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa
Shiwa), dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa
Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja,
Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya, juga oleh
mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian. Namun begitu, karena
kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa, maka kami semua
tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini. Anda
sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan,
karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami. Pergilah
langsung ke Dewa Vishnu, Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.”
Keterangan : Sudharsana
Cakra jangan diartikan secara harafiah sebagai suatu senjata yang dashyat,
tetapi kata cakra itu sendiri bisa berarti secara simbolis, yaitu hukum karma,
dan dalam skala besar bisa berarti juga hukum reinkarnasi. Kata Sudharsana
berasal dari kata akar Sudhar (sadar, kesadaran).
Hanya dengan menghayati
kata-kata ini saja mungkin kita bisa lebih sadar lagi akan hakikat Yang Maha
Esa, demikian yang tersirat dari wejangan Dewa Shiwa bagi Durwasa Muni dan bagi
kita semua. Kalau saja para dewa-dewi yang teramat agung ini saja masih
diliputi oleh materi duniawi apalagi kita manusia yang bodoh ini ? Dewa Vishnu
yang dimaksudkan di atas adalah Maha Vishnu (Narayana) yang bersemayam di
Vaikuntha-loka.
60. ”Selanjutnya
kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa, terbanglah Durwasa Muni ke
Vaikuntha-loka (Vaikuntha-dharma) dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud
Maha Vishnu yaitu Narayana, didampingi oleh Laksmi (Laxmi), saktinya yang
berwujud Dewi Kemakmuran.”
61. ”Durwasa
Muni, resi yang sakti mandraguna ini, lemas karena terbakar oleh bara api
Sudharsana Cakra, jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana. Seluruh
tubuhnya gemetar, ia mengatakan : “Wahai Dikau Yang Maha Kuasa, Yang Tak
terbatas, Pengayom seisi alam semesta ini, hanya Dikau semata yang menjadi
tujuan semua pemuja. Daku adalah penyandang dosa yang terbesar, Tuhanku, mohon
kami dilindungi olehMu.”
Keterangan : Hyang
Narayana adalah wujud Yang Maha Kuasa dalam bentuk Maha Vishnu Yang Maha
Pengayom dan Pengasih. Sarguna Brahman adalah wujud Tuhan yang nampak dan
bermanifestasi, sedangkan Nirguna Brahman adalah Tuhan yang tidak terterangkan
dan tidak berwujud. Hyang Narayana adalah bentuk Sarguna Brahman.
62. ”Wahai
Tuhanku, Yang Maha Pengendali, tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak
terbatas, daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi.
Dikau adalah Maha Pelaksana, walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau
selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.”
Keterangan : Suatu waktu dikisahkan di Srimad Bhagavatham, hidup
seorang turunan brahmana yang bergelimangan dosa. Orang tersebut mempunyai
seorang putra yang diberi nama Narayana. Tepat pada saat sang brahmana ini
meninggal dunia ia memanggil sang putra, tetapi yang datang malahan para utusan
Hyang Narayana dan mereka lalu menyelamatkan sang brahmana ini dari tangan para
malaikat maut utusan Dewa Yamaraja. Episode yang memikat ini mengingatkan
kepada kita semua bahwasanya begitu agung dan sucinya Nama Yang Maha Esa
sehingga hanya dengan menyebutNya saja kita bisa diselamatkan dari mara-bahaya,
apalagi kalau diresapi hakikatNya yang agung.
63. Hyang
Narayana, Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni : “Daku ini secara
keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak
bisa bebas dari pemuja-pemujaKu. Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas
dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka, Daku bersemayam di setiap hati para
pemuja-pemujaKu. Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para
pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu
adalah kesayanganKu juga.”
Keterangan : Betapa
tersentuhnya hati ini membaca sabda-sabda yang begitu rendah diri yang keluar
langsung dari bibir Hyang Narayana itu sendiri. Begitu besar dan agung KasihNya
kepada para pemuja-pemujaNya sehingga Beliau mengibaratkan para pemuja sebagai
tuan dan Beliau sendiri sebagai hamba dari para pemuja ini.
Dengan kata lain, tanpa para
pemuja Tuhan itu tidak “eksis” di dunia ini dan tidak dipuja maupun diajarkan
KeberadaanNya kepada umat manusia, seakan-akan Hyang Narayana ingin mengatakan
betapa berutang budiNya Beliau kepada para resi, nabi, utusan Tuhan dan para
pemuja yang senantiasa memujaNya dan menyebarkan dharma kepada sesama umat
manusia. Kalau Hyang Narayana sebagai manifestasi tertinggi saja sudah merendah
sedemikian rupa maka seharusnya mereka-mereka yang mengaku brahmana atau utusan
Tuhan harus lebih rendah diri lagi dan tidak mempergunakan pengaruh dan status
mereka untuk membohongi para pemuja dharma.
64. ”Wahai
dikau yang terbaik diantara para brahmana, tanpa mereka-mereka yang suci yang
telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya. Daku tidak berminat untuk
menyandang dan menikmati KeEsaanKu dan KeagunganKu Yang Transendental ini.”
65. ”Karena
para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga,
kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu, dengan tanpa
pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang,
maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan (mengabaikan) para
pemuja-pemujaKu. (Setiap saat Daku menjaga dan memperhatikan para
pemuja-pemujaKu).”
66. ”Ibarat para
istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini,
demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni, yang berderajat
sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu
yang terdalam, dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.”
67. ”Para
pemuja-pemujaKu, yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh
rasa kasih-sayang, tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu :
salokya, sarupya, samipya dan sarsti), walaupun (sebenarnya) mereka secara
langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka.
Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi dan kebahagiaan semu yang
terdapat di berbagai loka-loka (sorga-sorga) tersebut.”
Keterangan : Banyak
sekali manusia yang memuja Yang Maha Esa dengan mengharapkan mukti atau moksha
atau penyatuan denganNya. Faktor ini menunjukkan masih tersirat rasa pamrih di
dalam pemujaan tersebut. Tetapi mereka-mereka yang tulus dan murni memuja Yang
Maha esa karena kewajiban yang dilandasi oleh kesadaran semata, padahal mereka
juga sadar bahwa sorga-sorga tersebut bisa mereka dapatkan melalui pemujaan
mereka itu, tetapi mereka tidak acuh sama sekali karena semua loka atau sorga
ini tidak abadi sifatnya, penjelmaan sebagai manusia adalah suatu anugrah yang
luar biasa yang seharusnya jangan disia-siakan, sorga-sorga dan moksha
sebenarnya tidak menjanjikan apapun juga; kecuali keterikatan baru.
68.
”Para pemujaKu yang sejati selalu
berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam, dan Daku selalu berada di
dalam hati mereka. Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya
kecuali Aku, dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.”
Keterangan : Alangkah
berbahagianya secara spritual para pemuja yang sejati yang selalu terhubungkan
secara mistis dan gaib kepadaNya. Apalagi beliau ini hadir dan menuntun secara
langsung para pemuja-pemujaNya ini dari kedalaman hati mereka. Itulah sebabnya
para manusia awam tidak bisa memahami peri-laku para nabi, utusan Tuhan, dan
para pemuja-pemuja sejati dari berbagai agama dan penghayatan, karena pola
pemikiran mereka di atas normal dan rasio/logika duniawi yang serba
materialistis ini. Mereka sering dianggap kurang waras, kurang ajar ataupun gila
dan ibarat fakir-miskin dan sebagainya. Padahal seluruh sastra Smritis dan
Srutis turun dari orang-orang atau insan-insan agung semacam ini. Mereka baru
diakui setelah mereka sudah tidak eksis di dunia ini, mereka baru
disanjung-sanjung dan disucikan setelah tiada.
69. ”Wahai
brahmana, Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri. Dengarkan kata-kataku
ini. Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois.
Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu
sedetikpun. Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan
(menghujat) seorang pemuja (Ku). Demikianlah, subjek itu lalu terimbas oleh
bencana bukan yang dituju (objek).
70. ”Bagi
seorang brahmana, kesucian berbakti dan memuja dan mempelajari ilmu pengetahuan
adalah tindakan-tindakan yang menyucikan, tetapi seandainya semua ini
didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian dan ilmu
pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.”
Keterangan : Ingat dan
perhatikan selalu, bahwa semua ilmu pengetahuan dan yoga, berbagai pelaksanaan
spritual dan tapa-brata bisa berubah menjadi kesaktian yang menyesatkan (sidhi)
kalau sipemuja tercemar oleh ego, ahankara (angkara), iri hati dan sebagainya.
Semua mantra di Veda-Veda dapat berubah menjadi jalan kegelapan (black-magic)
kalau disalah-gunakan. Satu contoh : lambang Swastika oleh Nazi dan Hitler
dibalik, diwarnai hitam dan dipuja, hasilnya Ganeshya dalam bentuk kebatilan
yang muncul (yaitu salah satu istrinya yang berupa wujud iblis, satu lagi
istrinya adalah lambang dharma, Swastikanya adalah merah dan mengarah ke arah
kanan, Ganeshya sendiri berlambang Swastika merah atau emas dengan dua garis
tambahan di sisi kiri dan dua garis tambahan di sisi kanan yang melambangkan
bahwa ilmu-pengetahuan itu ada dua jenis yang bersifat dharma dan adharma,
Ganeshya memiliki kedua-duanya, anda mau memilih dan memuja yang mana?)
71. ”Wahai
dikau yang terbaik diantara para brahmana, dikau harus segera pergi ke Raja
Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia.
Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa, maka pasti kedamaian
akan datang beserta kepadamu.”
Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut :
“Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.”
Bagian ke II
Kisah Maharaja Ambarisa dan Durwasa Muni
Di dalam bagian ini diterangkan bahwasanya
Maharaja Ambarisa melakukan puja kepada Sudharsana Cakra dan Sang Hyang Cakra
ini selanjutnya memaafkan Durvasa Muni (yang langsung saja terbang kembali ke
istana Maharaja Ambarisa setelah diperitahkan oleh Sang Hyang Narayana.)
Begitu sampai kehadapan sang raja, langsung
saja Durvasa Muni menyembah kedua kaki sang maharaja. Sang raja yang memiliki
rasa rendah hati yang murni ini langsung menjadi risih dan teramat malu
karenanya. Segera dan seketika itu juga beliau langsung menghaturkan puja
kepada Sudharsana Cakra dan doanya dikabulkan, Durvasa Muni diampuni dan selamat
dari bencana.
Banyak ahli di India yang selalu memperdebatkan
akan status hakiki cakra ini. Ada yang berdalih bahwa Sudharsana Cakra adalah
simbol dari hukum karma, hukum sebab-akibat dan reinkarnasi beserta seluruh
akibat-akibatnya yang berputar terus dari masa ke masa. Ada juga yang
menyatakan bahwa cakra ini adalah zat atau energi murni Yang Maha Esa guna
mencipta dan mengayomi seluruh ciptaan-ciptaanNya (Sa aiksata,Sa asrjata);
demikian, konon versi dari berbagai pengamat Veda kata ahli yang lainnya. Ada
juga yang mengatakan bahwa inti kekuatan cakra ini hadir ditengah-tengah kita
dan memenuhi seluruh jajaran alam-semesta dan melawan unsur-unsur hitam
(asurik) yang meraja-lela dimana-mana. Unsur cakra ini selalu hadir melindungi
para pemuja Yang Maha Esa dari segala mara-bahaya, sehingga selalu sejarah para
resi dan pemuja yang agung penuh dengan berbagai mukzizat yang melindungi
pemuja dharma.
Kembali ke Durvasa Muni, beliau langsung saja
sadar bahwa kasta brahmana tidak berarti lebih hebat dan harus diistimewakan
dari golongan yang lain. Pada saat yang sama Maharaja Ambarisa yang sudah
berpuasa setahun lagi karena menunggu kembalinya resi Durvasa langsung
menghaturkan santapan bagi sang resi dan mengambil sisa santapannya sebagai
prashadam bagi sang raja. Kemudian sang raja membagi-bagi kerajaannya diantara
para putra-putrinya dan berangkat ke ketepian Manasa-Sarovara untuk melakukan
tapa semedi kepada Yang Maha Esa. Inti pesan yang tersembunyi di dalam kisah
ini adalah bahwasanya tidak mudah bagi seseorang untuk meniti jalan spritual ke
arah Yang Maha Kuasa, karena banyak iblis siap menghadang di jalan. Inti pesan
yang kedua : Walau sudah merasa menjadi orang yang suci dan sakti sekali
terjegal oleh ego, iri-hati dan angkara-murka, maka seseorang segera saja jatuh
ke lembah kehinaan, contoh resi Durvasa Muni.
Inti pesanan ketiga : Yang Maha Esa menjamin
dan menjaga secara pribadi para pemuja-pemujaNya dengan suatu mekanisme gaib
yang baik dan sistimatis sekali. Semua halangan dan rintangan sudah dipersiapkan
jalan keluarnya sesuai dengan iman sang pemuja tersebut. Yang penting sekuat
apakah iman dan bakti kita kepadaNya. Seperti juga Maharaja Janaka, Arjuna dan
Darmawangsa (Yudhistira) dan Parikesit, maka Maharaja Ambarisa sebagai seorang
raja-resi telah menunjukkan pedoman dan ajaran yang maha adi-luhung bagi kita
semua. Selamat berjuang di jalan Yang Maha Esa, Om santih-santih-santih, OM TAT
SAT.
Bagian II
“Penyelamatan Nyawa Durvasa
Muni”
1. Sukadewa
Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit : “Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan
menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang
resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa. Dengan penuh rasa duka-cita dan
penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja dan menyentuh kedua
telapak kakinya penuh rasa hormat.”
2. “Sewaktu
sang resi menyentuh kakinya, sang raja merasa teramat malu, dan sewaktu
menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya, sang
raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa
kepada Sang Sudharsana Cakra.”
3. “Berkatalah
sang raja : “Wahai Sudharsana, Dikau adalah sang Agni, Dikau juga adalah sang
Surya dan Somah (rembulan), terutama, diantara semua yang terang benderang di
langit. Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual
(suara, rasa, bentuk, dan sebagainya), dan Dikau adalah indra-indra itu
sendiri.”
4. “Wahai
Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa),
Dikau memiliki beribu-ribu gerigi. Wahai pemimpin dunia materi, penghancur
semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa, daku
menghaturkan puja hormatku kepadaMu. Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni
brahmana ini.”
Keterangan : Secara tersirat kami berpikir bahwa kemungkinan
kata Sudharsana Cakra berasal dari kata Sudhar (sadar, kesadaran murni = eling)
dan dharsana = penampakan murni dari Yang Maha Esa, jadi kemungkinan besar
Sudharsana bisa juga berarti Yang Maha Esa itu sendiri dalam bentuk atau
Manifestasi murni yang bercahaya dan bertenaga dashyat (Aura Ilahi) yang
mengayomi secara khusus seluruh jagat-raya dan isinya dan hanya dapat
disaksikan dan dirasakan Kehadirannya oleh mereka-mereka yang telah murni
kesadarannya seperti Raja Ambarisa, Arjuna dan resi Vyasa, dan selalu
disebut-sebut di berbagai shastra-vidhi secara tersirat.
5. “Wahai
Sudharsana Cakra, Dikau adalah agama, Dikau adalah kebenaran, Dikau adalah
pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan, Dikau
adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan, Dikau adalah pengayom seisi
alam-semesta ini, dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari
pancaran Yang Maha Esa. Dikau adalah dharsana murni, oleh karena itu Dikau dikenal
sebagai Sudharsana. Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau
adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).”
Keterangan : Diatas terdapat tersirat “sikap” yang jelas sekali
yang menyatakan bahwa Sudharsana Cakra
adalah Teja Yang Maha Dashyat yang terpancar dari Yang Maha Esa itu sendiri.
6. “Wahai
Sudharsana Cakra, Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya,
oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama (akhila dharma setawe). Dikau
ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur
adharma (adharma sila). Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka
(tri-loka), Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran), Dikau penuh dengan berbagai
ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil
menghaturkan hormat bagiMu.”
Keterangan : Kata Namah atau Namoh, Namo adalah kata-kata yang
bersifat sangat halus dan diucapkan terhadap Yang Maha Tinggi, contoh untuk
menggambarkan atau menghormati Tuhan Yang Maha Esa atau para istha-dewata, dan
biasanya hanya dijumpai dalam mantram-mantram yang sakral sifatnya saja seperti
misalnya, “Om Namah Sri Krishna Vasudeva Namaha”, “Om Nama Shivaya”, “Om Namo
Sri Ganeshya Ganapati Namaha”, dan sebagainya.
7. “Wahai
pemimpin dari berbagai pembicaraan (diskusi, girampate), dengan cahayaMu, yang
penuh dengan prinsip-prinsip dharma, kegelapan dunia ini dapat diterangi, dan
ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci.
Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu, karena setiap benda
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bersifat agung dan kecil,
adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’
8. “Wahai
Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke
antara (ke tengah-tengah kawanan) daityas dan Danawas (para setan, dedemit,
raksasa, asuras, dan sebagainya). Dikau menghancurkan dan memotong
tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.”
9. “Wahai
pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai
senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh
jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini. Pengampunan
ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.”
10. “Seandainya keluarga kami
telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima,
seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama,
seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik,
seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar,
(maka), kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang
membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.”
11. “Seandainya Tuhan Yang Maha
Kuasa, Yang Tak Terukur oleh sang waktu, yang adalah sumber dari segala sifat
gaib, yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup, memberkahi kami,
(maka) kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni, dibebaskan dari rasa
sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.”
12. Sri Sukadwa Goswami
melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang
Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah
menjadi tenang dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa
Muni ini.”
13. Durvasa Muni yang teramat
sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api
Sudharsana cakra ini. Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja
Ambarisa dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara
utama).
14. Durvasa Muni berkata : “Wahai
raja yang kuhormati, hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang
Maha Esa, walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi
kesejahteraanku.”
15. “Bagi mereka-mereka yang
telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja
sejati, apakah yang mustahil dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?”
16. “Apa yang tidak mungkin bagi
hamba-hamba Tuhan ? Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu
bisa disucikan (ibarat nirmala).”
17. “Wahai raja, daku sangat
menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu
daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.”
18. (Pada saat itu) Sang Raja
memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni dan selama masa menanti ini
beliau mempertahankan puasanya. Selanjutnya dengan kembalinya sang resi,
Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya
dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran.
19. Demikianlah dengan penuh rasa
hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni, yang setelah selesai bersantap
berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh
dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa,
“silahkan bersantap wahai Raja !”
20. Berkatalah Durvasa muni :
“Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini
wahai raja yang kuhormati. Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah
manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu, tetapi kemudian
melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang
Maha Esa yang sangat terhormat dan agung (di mata Tuhan Yang Maha Esa). Hanya
dengan memandangmu, dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan
berkata-kata denganmu, daku merasa teramat berbahagia dan (bahkan) telah
berhutang budi dan nyawa kepadamu.”
21. “Selanjutnya setiap wanita
yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu
menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini, dan masyarakat dunia akan
selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.”
22. Sri Sukadewa Goswami
melanjutkan kisah ini; setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon
teramat sakti dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa
henti-hentinya memuja sang raja. Melalui berbagai titian jalan di langit,
beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang
bersifat mubazir tidak hadir, dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah
sadar (eling).
Keterangan : Kemungkinan kunjungan sang resi yang telah sadar
ini ke Brahma-loka adalah untuk menyampaikan berita mengenai keagungan para
pemuja Yang Maha Esa yang lebih dijaga dan dihormati oleh Yang Maha Esa itu
sendiri dibandingkan dengan para resi atau brahmana yang sok pamer kekuasaan
dan kesaktian, demikian kesimpulan sementara peneliti kisah ini.
23. Sementara pelarian Durvasa
muni ke berbagai loka-loka, maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan
berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya.
24. Setahun berlalu sewaktu
Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja, dan Maharaja Ambarisa langsung saja
menghaturkan penghormatan dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik
(ati-pavitram), kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi
memohonnya. Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara
apinya Sudharsana-Cakra, beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang
Maha Esa, beliau sendiri (sang raja) ternyata juga sakti mandraguna, beliau
juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya, karena pada hakikatnya yang
melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.
Keterangan : Sang raja tidak terkecoh oleh sidhi (kesaktian yang
bisa menyesatkan para orang suci yang berada di persimpangan jalan spritual
mereka) Sidhi dalam bentuk ketenaran, kesaktian, keajaiban, kedudukan dan
berbagai popularitas lainnya selalu menghadang kaum suci yang masih memiliki
sedikit banyak ego, angkara (ahankara), iri-hati dan sebagainya. Dan banyak
kaum suci ini yang jatuh dan gagal ditengah-tengah perjalanan sadhana dan
bhakti mereka, di antara mereka yang terbaik adalah seperti yang disebutkan
Bhagavat-Gita di bawah ini :
Sri Krishna bersabda : “Diantara semua yogis, ia yang
selalu bersemayam secara harmonis di
dalamKu, penuh dengan iman, memujaKu dengan puja bhakti secara mistis, terjalin
denganKu secara intim di dalam yoga, adalah pemujaKu yang tertinggi.”
Sloka di atas sulit untuk dijabarkan
kepada manusia awam, karena pada hakikatnya hubungan antara Sang Pencipta dan
sang pemuja bisa terjalin secara sangat intim. Sehari saja sang pemuja tidak
bertegur-sapa denganNya, ia merasa resah, gelisah dan “sakit” karena rasa
rindunya kepada Beliau yang senantiasa mengayomi sang pemuja ini. Para pemuja
ini sering dianggap gila dan tidak bertanggung jawab kepada sekitarnya karena
selalu terserap kedalamNya, padahal ia sebenarnya diliputi oleh kesaktian yang
luar biasa dan selalu tercukupi kebutuhannya.
25. Berdasarkan iman yang tanpa
pamrih ini, juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan, Maharaja Ambarisa yang
sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan
Vasudewa (Yang Maha Esa), dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya. Begitu
dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa, sehingga selalu beranggapan bahwa
swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang
paling rendah statusnya.
Keterangan : Sekali seseorang manunggal dengan Jati Dirinya,
maka ia akan mengenali berbagai wujud dan manifestasi Yang Maha Esa baik yang
secara duniawi berwujud (Sakara Brahman) maupun yang tidak terwujud (Nirguna
Brahman) seperti Brahman, Para Brahman, Paramatman, Atman, Krishna, Rama dan
sebagainya dalam suatu pemahaman yang Esa dan Eka.
26. Sri Sukadewa Goswami
melanjutkan kisah ini. Selanjutnya dikarenakan tahap bakti dan kesadarannya
yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan
duniawinya, dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Beliau kemudian
membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya,
dan memasuki tahap vanaprasta. Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah
lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa).
27. Barangsiapa mengulang
(berjapa dan mengisahkan) kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka
dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa (Bhagavatah).
28. “Dengan karunia Yang Maha
Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini
dipastikan mendapatkan kebebasan spritual dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang
Maha Esa dalam sekejab.”
Dengan ini berakhirlah kisah
Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni.
OM.....SHANTI.....SHANTI.....SHANTI
OM.....TAT.....SAT
sumber :: http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar