Minggu, 17 Juni 2012

BHAGAVATA PURANA


Prakata
Sukhmani Sahib terdiri dari 24 Astapadi dan setiap Astapadi memuat 24 sloka, dan jumlah keseluruhan aksara yang terdapat di seluruhnya karya suci ini adalah 24.000 ribu aksara. Manusia Hindu percaya bahwa manusia setiap harinya bernafas 24.000 ribu kali, ini sudah termasuk kita tidur di malam hari. Oleh karena itu barang siapa dengan tulus mempelajari dan membaca keseluruhan Sukhmani satu kali saja sehari, maka jiwa-raga insan tersebut akan diberkahi di dunia ini. Dan barang siapa mempelajari dan membaca kitab suci ini 2 kali sehari, maka selain keselamatan di dunia ini, maka keselamatan di dunia lainpun akan terjamin.
Sebenarnya karya ini diajarkan oleh Guru Arjan Dev, yaitu guru ke lima dalam hierarki agama Sikh, tetapi seperti juga tradisi Sanatana Dharma, maka beliau mengatas-namakan karya ini atas nama Guru Nanik, guru pertama dan penemu ajaran Sikh. Ajaran ini dimaksud menyelamatkan manusia di era Kaliyuga yang ganas dan penuh dengan kegelapan yang mengerikan.
Mudah-mudahan selain pahala di atas para pembaca karya suci ini bisa mendapatkan misteri lain yang tersembunyi di ajaran ini, yang isinya penuh dengan bimbingan rohani yang menggetarkan kalbu.


BAB  I
 “Kehidupan Grhasta yang ideal”
Resi Sukadewa Goswami mengisahkan dialog antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada Prabu Parikesit. Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal dengan nama Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut terselengara dengan baik sang raja yang teramat bijaksana ini selalu saja resah dengan kehidupannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Pada saat seperti itu turunlah Resi Narada dari Kahyangan berkunjung kepada sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini langsung saja memohon diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk zaman Kali-Yuga ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu Dharma selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, maka akan diperlukan pola pemujaan yang sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai dengan ajaran Veda-Veda walaupun tidak harus seratus persen seperti ajaran Veda, karena dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan rangkuman dan intisari dari berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka sempurnalah Hindu Dharma dari segi ritual dan filosofi. Semenjak saat itu sebenarnya Hindu Dharma sudah dipersiapkan untuk menjadi agama modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan dibebani dengan ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan segelintir kaum Brahmana yang salah jalan.
 
1.      ”Maharaja Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai Prabhu, sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan rumah tangga ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini, dapat mencapai kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.”
Keterangan : Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada telah menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban seorang Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon di zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan kehidupan Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas bab tentang grhasta saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal sehari-harinya. Di dunia Barat kehidupan grhasata sudah mulai rapuh, nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan kita di Timur sedang mengikuti irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan mass-media dan teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan budaya dan dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang lebih utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara langsung maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini dari masa ke masa. Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima kasih kepada semua resi dan manusia-manusia agung di atas ini yang berkenan untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita semua dengan penuh kesadaran akan hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya terhadap umat manusia ini.
 
2.      Resi Narada bersabda  :
“Wahai raja yang kukasihi, mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan mereka, dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka, seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada Kresna Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”
Keterangan : Ribuan tahun berlalu setelah sabda di atas diturunkan dan semenjak maupun sebelum itu sudah menjadi keharusan bagi pencari kebenaran untuk mencari seorang guru penuntun atau berasosiasi dengan para orang-orang suci demi mempelajari hakikat akan kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang lahir sekitar 550 tahun yang lalu berulang-ulang menganjurkan hal ini kepada para pengikutnya agar mampu menghayati ilmu Vasudewapana yaitu ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan segala manifestasi maupun misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan bakta-bakta ini bisa lebih efektif mengajari kita semua dari pada upacara-upacara yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah intisari Sanatana Dharma yaitu belajar satu dari yang lain secara berkesinambungan. Seandainya seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi dan penggemar tajen, maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan yang satvik maka lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik. Ini sudah menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci, maka sia-sialah pengharapan anda itu.

 
3/4. Resi Narada melanjutkan  :
“Seorang grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci dan dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas. Selanjutnya secara bertahap ia melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya ibarat seseorang yang terbangun (sadar) dari mimpinya.”
Keterangan : Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk mendapatkan sesuap nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal (satvik) atau tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat Yang Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan setiap harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu apa bedanya kita dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita. Tubuh yang menyandang Sang Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan dengan alasan bahwa zaman telah berubah, tetapi mari kita coba menatap ke langit dan mempelajari apakah sang langit dan bintang-bintang di sana juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan Yang Maha Esa dari zaman ke zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat penting bagi kita semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah bentuk dharma yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta bersifat lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal di rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya. Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih terikat dengan anak istri, mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak masa muda.
Sang Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu siap menyesatkan kita dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu tugasnya, tetapi seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun persiapan kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus, jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap Sang Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan spritual dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang mengaku sudah menjadi Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih sibuk main sabung ayam.
 
5. Resi Narada bersabda  :
“Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar (pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan berbagai masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia terkesan terikat kepada keluarganya.”
Keterangan  : Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai seorang pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia bisa saja berasal dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah bahwa kehidupan sebagai manusia adalah medium ke strata spritual yang lebih tinggi. Keluarga adalah salah satu dari medium tersebut yang setelah sampai waktunya harus ditinggalkan juga dengan penuh kesadaran, dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi spritual yang kita selalu dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan menuju ke sorga tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian yang wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita akan moksha ?
 
6. Resi Narada melanjutkan sabdanya :
“Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana. Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat, putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena kehidupan semacam itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.”
Keterangan : Begitu seseorang merubah kehidupannya sehari-hari ke arah spritual, maka setiap anggota keluarga, sahabat dan handai tolan akan terkejut melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi tiba-tiba berubah menjadi sangat sederhana, vegetarian dan lebih menyukai keheningan, dan sebagainya. Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini terlalu bersandar ke kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal dengan berbagai nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan meteri demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta yang bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan nasehat ini dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di dalam hatinya ia harus selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual agar tidak terpengaruh jalan keTuhanan yang sedang dijalaninya itu. Ciri-ciri seseorang yang bijaksana ini adalah ia selalu pasrah, penuh percaya diri, sederhana dalam setiap tindak-tanduknya dan satvik dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun memiliki kharisma dan ilmu pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang tinggi.
 
 
7.       ”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup. Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh : hujan, udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi, hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di atmosfir (yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh : keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”
Keterangan : Menurut ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan di bumi ini, dan untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah menyediakan kebutuhan dan sarana kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang Yang Maha kuasa ini sehingga seekor semutpun telah dijamin makan minumnya beserta tempat tinggalnya, tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan hanya bersembahyang dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan diberikan kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang bersifat gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini kompleks sekali dan mahal bayarannya.
Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama jutaan tahun memproses bumi ini dari zaman es ke seperti yang kita tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan dikeluarkan dari perut bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan seluruh sistem tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam evolusi maha karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses pemutaran Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia seperti fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat asura dan dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi Tuhan dalam bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen kejeniusan, kebodohan, kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk menjalankan maha karya kehidupan ini sendiri, sebaiknya kita menghayati misteri yang agung dan sulit dimengerti ini, dan jangan hanya terpaut kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual saja. Hidup lebih berharga dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip neraka dari pada swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan, menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup bangsa-bangsa lain, bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan dimana-mana tanpa henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana lingkungan kita mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi, mengkomsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah mau berpikir bahwa diperlukan jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan lingkungan hidup ini, dan kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama agama, dan sebagian itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa keparat.
 
8.       ”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan jiwa dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.”
Keterangan : Di masa lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu berlimpah dengan hasil bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang penuh dengan sifat gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk desa selalu saling menunjang satu dengan yang lainnya.
Saat ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit, sistem ekonomi barat yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan kehidupan manusia yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress, kebutuhan pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja.
Sloka di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi hasil pendapatan kita bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita kepada orang / mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda tidak serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat timbal balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup matanya untuk orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah kekurangan karena merekalah sebenarnya orang-orang yang kaya dengan berbagai hal, bukan orang kaya yang hanya bisa menyelewengkan kredit bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara, padahal sewaktu mati nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta.
 
9.       ”Seseorang wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta, keledai, kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat mereka ini adalah putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil.”
Keterangan : Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan itu tidak suci dan tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi ibarat anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami dan di alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia cukup menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi manusia dan anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan akumulasi dari semua itu bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan mecaru, karena kata mecaru berasal dari kata Sansekerta caruya yang berarti sesajen yang terdiri dari hasil panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi Sri, tidak lebih dan tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering hewan-hewan yang tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan dengan iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman Purana, yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban manusia masih primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi kelanjutan agama Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun kehidupan kita. Purana telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai Purana dan berbagai Upanishad kemudian disarikan oleh ratusan resi yang mengatas namakan Resi Vyasa kemudian menghasilkan maha karya Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang lebih beradab kini. Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang berarti kuno, bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik sifatnya, ingat di Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak menyukai orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan atau manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa. Misalnya Kresna menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya dharma, tentunya di dalam perang tersebut banyak manusia, hewan dan mahluk-mahluk halus yang musnah tetapi pahala mereka adalah swarga, karena mereka mati demi bangsa dan negara.
Tentanglah dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat ahimsa para pelaku caru ini, sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan naik statusnya di masa mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan turun statusnya akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang merubah suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa itu sendiri.  
Di Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah tikus-tikus dimusnahkan oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu masyarakat itu sendiri yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben tikus. Dari suatu pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus diaben seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti akan menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu ini, lalu salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi karena ular sawah sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian pestisida dan pupuk urea, hukum alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri dan akibatnya ditanggung oleh dirinya juga.
 
10.    ”Walaupun seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang Brahmachari atau sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya tidak berusaha sekuat tenaga demi agama, demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin) ataupun demi pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah tangga, ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara bersama-sama, sesuai dengan tempat dan zaman ia berada, dengan karunia Yang Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma. 
Keterangan : Di dalam kepercayaan masyarakat Hindu dikenal 4 jenis dasar dari tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing adalah dharma, artha, kama dan moksha ditambah beragama, pencapaian status ekonomi tertentu, pemuasan berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya. Dari segi agama saja banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara besar-besaran dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka, demi agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya harus mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya belum pernah ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas jelas menegaskan bahkan moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya tidak perlu dipaksakan secara mati-matian atau secara fanatik.
 
11.    ”Anjing, orang yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing), semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang, harus dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada umumnya.”
Keterangan : Sloka sabda resi Narada di atas sekali lagi menjelaskan hak dari kaum miskin, binatang-binatang kelaparan disekitar kita bahkan mereka-mereka yang dianggap hina karena sesuatu dan lain hal, apalagi orang-orang gila dan sebagainya.
Mempersembahkan istri berarti sang istri ikut berpartisipasi dengan sang suami yang merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan istri sebagai wujud Dewi Laksmi shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan masyarakat beserta seluruh kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan harmonis oleh setiap suami (purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan efek yang sangat satvik sifatnya.
 
12.    ”Ada orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan dengan istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak Terkuasakan oleh siapapun juga.”
Keterangan : Ada jenis pria tertentu yang terlalu dikuasai oleh para istri mereka, dan ada yang terlalu terobsesi oleh daya pikat kecantikan atau seksual mereka, ada juga istri yang status sosialnya lebih tinggi dan ada yang mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu membuat para suami  bertekuk-lutut di depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah ini mampu berbuat apa saja demi istri-istri mereka ini, para pria ini bahkan mampu membunuh atau menyakiti orang lain demi membela istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang pria itu sangat beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya, ibaratnya ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa Yang Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini begitu disayangi olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari Yang Maha Esa.
 
13.    ”Melalui budi dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit yang luas dan tanpa tepi ini ?
Keterangan : Ada tipe-tipe pria yang hidupnya melulu demi pemuasan seks istrinya saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak ada habis-habisnya tanpa mau sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan mati dan disantap cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak bernyawa, karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan rumah tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari dan dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak dilepas adalah Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri.
 
14.    ”Seseorang yang cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna). Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status sebagai seorang mahatma.”
Keterangan : Di masa yang silam manusia tidak pernah khawatir akan kekurangan makanan atau perhatian atau sandang pangan karena semangat kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga.
Dewasa ini sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki kehidupan setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan spritual semakin lama semakin pudar, dan yang timbul adalah masalah-masalah sosial dan agama yang makin semu dan bernuansa rawan. Seyogyanyalah seseorang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni budaya dan spritual secara sadar bahwa yang memerlukan suplemen bukan saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga memerlukan santapan spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia sadar semacam ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi kalau ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini.
 
15.    ”Setiap hari, ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi, para orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.”
Keterangan : Ternyata kita semua memerlukan medium dan tahap-tahap dalam penitian kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa. Banyak pemuja merasa dengan berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan mereka-mereka ini menganggap persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa dan leluhur, persetan dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan sebagainya. Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan disiplin dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk secara bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada orang tua, guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi dulu bumi Pertiwi tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi semua produk dari bumi ini yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua itu mungkin hidup kita tidak lama. Kalau semua bakti secara sadar telah terlaksana dengan baik barulah kita meniti ke bakti kita kepada Yang Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat egois dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi sesama mahluk tidak memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang hari mereka berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci Om shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan seluruh isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi dan alam semesta, jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti dan otomatis kita dan semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi ucapan ini harus tulus dan dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja ucapan ini.
 
16.    ”Sewaktu seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.”
Keterangan : Di dalam shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual yang di sebutkan di atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan untuk membagi harta dan ilmu pengetahuan demi langgengnya ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar kita.
Pada zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu tahun dapat beryadnya dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga dengan berbagai bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman Dvapara-Yuga, yajna dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di zaman Kali ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana yajna yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan, atau harta benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah sudah lewat, malahan upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban hutang dan stress yang teramat berat dan kalau hal ini kita biarkan maka diperkirakan dalam kurun waktu seratus tahun lagi umur manusia akan berkisar 30 tahun saja karena dilanda berbagai depresi dan lingkungan hidup yang bermutu rendah.
 
17.    ”Tuhan Yang Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana yang memenuhi syarat.”
Keterangan : Di sini jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha Kuasa kurang berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal biayanya yang hanya menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan mantega untuk dilalap api dan jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau semua itu diberikan kepada para Brahmana yang suci dan miskin yang tidak mengharapkan pamrih sewaktu melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita semua. Para Brahmana ini bisa saja terdiri dari para pemangku, sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang sehari-harinya hidup sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi masyarakat sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana berhak menerima sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati telah terpilih jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia. Mereka-mereka yang sudah menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih menyantap telur, dan mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana. Sesajen yang diberikan kepada mereka tidak perlu dalam bentuk masakan tetapi bisa berbentuk sesari atau yang belum dimasak. Biasanya kita menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak tangan kita sambil mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan pitra-yajna, maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas tetapi nama Sri Kresna diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi dua kali berdoa, pertama atas nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama leluhur.
 
18.    ”Selanjutnya, wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan ini.”
Keterangan : Di dalam Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya disinggung bahwa seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri maka yang dimakannya adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin ke sorga sendiri maka ia tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari sesajen tidak perlu yang mahal atau berbentuk pameran kekayaan tetapi untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali buah-buahan ditusuk dengan lidi lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam ini tidak layak dihaturkan kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut sudah tidak satvik lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan tercemar oleh bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi oleh manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang menikmati, lalu apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa saudara-saudara Hindu sedharma lebih satvik caranya, sesajen yang bisa berupa apa saja dihaturkan secara sederhana bahkan ditutup dengan kain bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan bersama sama dengan keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja beryajna dengan menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan sekali secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih berkenan bagi Yang Maha Esa.
 
19.    ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang diselenggarakan pada bulan Asvina.”
Keterangan : Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan pada tanggal 15 sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh pada bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik.
 
20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin, pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh; hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas (rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas (rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau dengan Sravana-naksatra.”
Keterangan : Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25 tertulis jelas tentang enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang disebut sebagai Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan berikutnya matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau jalan selatan.
Pada hari pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki wilayah Capricorn, dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan selanjutnya sewaktu Sang Surya memulai gerakan ke arah selatan, dan memasuki wilayah Cancer disebut sebagai Karkata-Sankranti. Pada kedua hari yang khusus ini seseorang seharusnya melakukan upacara shradha. Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama Mewsa-Sankranti, di kala Sang Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari Tula-Sankranti, Sang Surya memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta hanya sekali dalam setahun.
Vyatipata-yoga adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang Surya dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan ketujuh-belas disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga sangat baik untuk melaksanakan upacara shradha.   
Tithi adalah sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun rembulan). Kadang-kadang sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam. Seandainya tithi dimulai setelah matahari terbit pada suatu hari tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari terbit keesokan harinya, maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya akan bersentuhan dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa yang sering disebut juga persentuhan antara tiga tithis.
Banyak resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya tidak dilaksanakan pada hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para leluhur yang menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang pandita yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik mengapa hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah hal-hal yang berlaku di india sampai saat ini.
 
24.    ”Semua waktu (saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.”
 
25.    ”Pada saat-saat pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja, agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa, para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat bermanfaat.’
 
26.    ”Wahai Raja Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar dalam bentuk pahala.”
Keterangan : Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus dikerjakan seseorang pada hari-hari baik seseorang atau secara garis besar keluarga dan leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima. Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah memberikan wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa terpuaskan hanya dengan sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang sama beliau juga mengatakan sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke shastra-widhi dan para orang-orang suci. Intinya shrada diharuskan, tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir dan tidak buang-buang uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk shradha yang berbentuk    buku-buku suci yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya, berdonor darah untuk sesamanya dan lain sebagainya yang sesuai dengan hati nurani dan kemampuan masing-masing individu. Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini mempunyai pengalaman yang unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke India pada tahun enam puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan saja untuk para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih hidup hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin. Yang kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya beliau memanggil kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia ini dengan segera dan satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan upacara shradha adalah kami, karena selama hidup beliau, kami sebagai putranya selalu memijit ibu kami ini setiap malam karena beliau menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini menimbulkan problem di kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena keluarga besar kami tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan keluarganya maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara tersebut tetapi kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara selesai kami pasti akan memakan sesajen yang tersisa.
 
27/28.Resi Narada melanjutkan sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang, adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.”
Keterangan : Di zaman yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di tengah-tengah keramaian kota New York, dan di salah satu sudut apartemennya ia meletakkan sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab suci tersebut sambil memuja Yang Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas dianggap sesuai dengan penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena para pemuja Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi Maha-Vishnu Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang Vaisnawa, bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama.
Konon di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat besar alam semesta ini sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di zaman-zaman yang lampau konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang kemudian dialihkan ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat pengelola alam semesta beserta seluruh isinya  dipegang oleh Maha-Vishnu dengan berbagai manifestasi dan reikarnasinya dan buku suci hindu yang terutama adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu adalah masyarakat yang bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran spritual, ada kesan yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme menghormati dan ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain, Buddhisme juga dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama adalah reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari Sanatana Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan tradisi Sanatana Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang sama yaitu AUM (OM) yang ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk aliran Sikhisme yang Nabi sucinya disebut Guru Nanak.
 
29.    ” Lokasi-lokasi di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut pastilah akan sangat bermanfaat.”
Keterangan : India dan Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai tempat-tempat suci dan keramat (sakral) baik yang terletak di tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan. Semua tempat sakral atau yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai untuk memuja baik secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara spritual, jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi yang sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini.
 
30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama, Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi, Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang terkenal seperti Mahendra dan Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).”
Keterangan : Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai Kresna Vasudewa diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud dan attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja dengan berbagai cara di berbagai belahan bumi ini.
Karena hanya ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut Sanatana Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau diperkenankan boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun pasir bahkan di taman bunga atau di tepi jalan raya, asalkan diperhatikan bahwa lokasinya bersih. Lalu bolehkah penganut aliran kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri di kuil atau di Pura Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan itu Esa dan Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di mata hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka secara pribadi akan disambut olehNya.
 
34.    ”Wahai Raja bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.”
 
35.    ”Wahai Raja Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.
Keterangan : Ada protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan Sang Krishna dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel yang teramat singkat binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna.
 
36.    ”Seisi alam semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi agung sudah dipuja.”
 
37.    ”Yang Maha Esa (Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai Purusavatara.
 
38.    ”Wahai raja Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.”
 
39.    ”Wahai Raja yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala tata-caranya (ritual-ritualnya) .”
Keterangan : Konon pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan kepada Sang Hyang Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga terjadi kontaminasi dan distorsi di kalangan para Brahmana yang korup, khususnya para Vaisnawa (pemuja Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa dihina dan dicampakkan oleh para pengikut Sanatana Dharma lainnya. Pada permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil inisiatif dengan memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di berbagai kuil yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan didentikkan dengan kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman Dvapara-Yuga sampai saat ini (Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan simbol-simbol makin meningkat intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah pemujaan terhadap yang tidak berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi yang kuat, Dewasa ini pemujaan sedang bergeser ke bentuk japa-mantra-dhyana (meditasi).
Dunia Barat dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di Asia ini kedua cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama atau tersendiri. Lahirnya Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta Buddha Gautama sekitar 4000 tahun yang lalu merupakan reformasi terhadap kine-kerja para Brahmana yang buruk tersebut. Pada saat itu Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan kepada kaum awam dengan berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana keparat ini khawatir terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang korup, sama seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan pengikut Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana Bali yang serba mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya. Baik di India maupun di Bali sampai kini masih terdapat golongan Brahmana yang melakukan pemiskinan moral dan harta benda para pemuja dengan cara-cara yang licik dan business-like dari pada mengajar secara benar. Sesajen-sesajen yang berlebih-lebihan, biaya penyelengaraan yang aduhai dan upacara-upacara yang ngawur diselenggarakan demi lestarinya dapur Sang Brahmana tersebut dan demi bertahannya kaum Brahmana ini secara dominan.
Di masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan masuknya pengaruh Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan karena arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa ini sudah menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang Buddha sampai akhir hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara beserta Swastika oleh Beliau tetap dijadikan pedoman dan simbol ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak ada dirjen agama Hindu maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp tidak memuat identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan Hinduisme mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti aslinya dan tidak merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya lagi pribumi, ditambah aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang Hindu, maka akan terdapat sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut dharma dan faktor ini bisa menjadi kekuatan yang besar baik secara spritual maupun di arena politik.
 
40.    ”Kadang-kadang seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.”
Keterangan : Banyak pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk memuja simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang lainnya. Hal ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang utama adalah penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri, tanpa itu sang pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain sementara arca memang bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai dengan misi Yang Maha Kuasa di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk meniti jalan dharma yang benar diperlukan seorang guru atau / lebih untuk menuntun kita ke jalan dan pengertian yang benar bisa-bisa malahan menyesatkan pikiran kita yang gelap. Jadi banyak berdiskusi, berguru dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci pasti akan berdampak sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua. Menurut sabda Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang benar tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya.
 
41.    ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan, seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”
Keterangan : Seseorang Brahmana yang telah mencapai status Dwijati ini adalah hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa yang tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah diri ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang utusan atau wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri.
 
42.    ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki (debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).”
Keterangan : Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka ini adalah bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi penghayatan akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh Yang Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus menjaga para baktanya dengan caranya sendiri  (baca kisah mengenai Sudharsana cakra di akhir buku ini).
Hubungan intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan yang misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap bhaktanya ibarat sang bhakta selalu  terintosikasi oleh nektar spritual ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan, menyayangi dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami oleh para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Para bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang lain karena mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang harmonis dan selaras walaupun para bakta ini masih menyandang raga. Fenomena ini disebut Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan merupakan dambaan setiap pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa terwujud tanpa disadari oleh sang pemuja ini.
Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal”
 OM....TAT....SAT 
BAB  I
 “Kehidupan Grhasta yang ideal”
Resi Sukadewa Goswami mengisahkan dialog antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada Prabu Parikesit. Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal dengan nama Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut terselengara dengan baik sang raja yang teramat bijaksana ini selalu saja resah dengan kehidupannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Pada saat seperti itu turunlah Resi Narada dari Kahyangan berkunjung kepada sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini langsung saja memohon diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk zaman Kali-Yuga ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu Dharma selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, maka akan diperlukan pola pemujaan yang sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai dengan ajaran Veda-Veda walaupun tidak harus seratus persen seperti ajaran Veda, karena dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan rangkuman dan intisari dari berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka sempurnalah Hindu Dharma dari segi ritual dan filosofi. Semenjak saat itu sebenarnya Hindu Dharma sudah dipersiapkan untuk menjadi agama modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan dibebani dengan ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan segelintir kaum Brahmana yang salah jalan.
 
1.      ”Maharaja Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai Prabhu, sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan kehidupan rumah tangga ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan kehidupan ini, dapat mencapai kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang ada di berbagai Veda-Veda.”
Keterangan : Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada telah menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban seorang Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon di zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan kehidupan Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas bab tentang grhasta saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal sehari-harinya. Di dunia Barat kehidupan grhasata sudah mulai rapuh, nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan kita di Timur sedang mengikuti irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan mass-media dan teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan budaya dan dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang lebih utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara langsung maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini dari masa ke masa. Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima kasih kepada semua resi dan manusia-manusia agung di atas ini yang berkenan untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita semua dengan penuh kesadaran akan hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya terhadap umat manusia ini.
 
2.      Resi Narada bersabda  :
“Wahai raja yang kukasihi, mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan mereka, dan sebaiknya dari pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka, seharusnya mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada Kresna Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”
Keterangan : Ribuan tahun berlalu setelah sabda di atas diturunkan dan semenjak maupun sebelum itu sudah menjadi keharusan bagi pencari kebenaran untuk mencari seorang guru penuntun atau berasosiasi dengan para orang-orang suci demi mempelajari hakikat akan kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang lahir sekitar 550 tahun yang lalu berulang-ulang menganjurkan hal ini kepada para pengikutnya agar mampu menghayati ilmu Vasudewapana yaitu ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan segala manifestasi maupun misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan bakta-bakta ini bisa lebih efektif mengajari kita semua dari pada upacara-upacara yang tidak ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah intisari Sanatana Dharma yaitu belajar satu dari yang lain secara berkesinambungan. Seandainya seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi dan penggemar tajen, maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan yang satvik maka lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik. Ini sudah menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci, maka sia-sialah pengharapan anda itu.
 
3/4. Resi Narada melanjutkan  :
“Seorang grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang suci dan dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala aktifitas Yang Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan yang telah dijabarkan di Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas. Selanjutnya secara bertahap ia melepaskan keterikatannya dengan istri dan putra-putrinya ibarat seseorang yang terbangun (sadar) dari mimpinya.”
Keterangan : Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk mendapatkan sesuap nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal (satvik) atau tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat Yang Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan setiap harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu apa bedanya kita dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita. Tubuh yang menyandang Sang Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan dengan alasan bahwa zaman telah berubah, tetapi mari kita coba menatap ke langit dan mempelajari apakah sang langit dan bintang-bintang di sana juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan Yang Maha Esa dari zaman ke zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat penting bagi kita semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah bentuk dharma yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta bersifat lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal di rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan ajaran-ajaranNya. Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih terikat dengan anak istri, mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak masa muda.
Sang Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu siap menyesatkan kita dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu tugasnya, tetapi seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun persiapan kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus, jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap Sang Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan spritual dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang mengaku sudah menjadi Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih sibuk main sabung ayam.
 
5. Resi Narada bersabda  :
“Pada saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang kehidupannya dan demi perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar (pandita) wajib tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan berbagai masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia terkesan terikat kepada keluarganya.”
Keterangan  : Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai seorang pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia bisa saja berasal dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah bahwa kehidupan sebagai manusia adalah medium ke strata spritual yang lebih tinggi. Keluarga adalah salah satu dari medium tersebut yang setelah sampai waktunya harus ditinggalkan juga dengan penuh kesadaran, dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi spritual yang kita selalu dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan menuju ke sorga tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian yang wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita akan moksha ?
 
6. Resi Narada melanjutkan sabdanya :
“Seorang yang cerdas yang hidup di tengah-tengah masyarakat seyogyanya merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana. Seandainya ia mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat, putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus berketetapan untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena kehidupan semacam itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan ini.”
Keterangan : Begitu seseorang merubah kehidupannya sehari-hari ke arah spritual, maka setiap anggota keluarga, sahabat dan handai tolan akan terkejut melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi tiba-tiba berubah menjadi sangat sederhana, vegetarian dan lebih menyukai keheningan, dan sebagainya. Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini terlalu bersandar ke kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal dengan berbagai nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan meteri demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta yang bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan nasehat ini dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di dalam hatinya ia harus selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual agar tidak terpengaruh jalan keTuhanan yang sedang dijalaninya itu. Ciri-ciri seseorang yang bijaksana ini adalah ia selalu pasrah, penuh percaya diri, sederhana dalam setiap tindak-tanduknya dan satvik dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun memiliki kharisma dan ilmu pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang tinggi.
 
 
7.       ”Kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang Maha Agung untuk seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup. Terdapat tiga bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh : hujan, udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi, hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di atmosfir (yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya (contoh : keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”
Keterangan : Menurut ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan di bumi ini, dan untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah menyediakan kebutuhan dan sarana kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang Yang Maha kuasa ini sehingga seekor semutpun telah dijamin makan minumnya beserta tempat tinggalnya, tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan hanya bersembahyang dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan diberikan kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang bersifat gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini kompleks sekali dan mahal bayarannya.
Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama jutaan tahun memproses bumi ini dari zaman es ke seperti yang kita tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan dikeluarkan dari perut bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan seluruh sistem tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam evolusi maha karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses pemutaran Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia seperti fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat asura dan dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi Tuhan dalam bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen kejeniusan, kebodohan, kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk menjalankan maha karya kehidupan ini sendiri, sebaiknya kita menghayati misteri yang agung dan sulit dimengerti ini, dan jangan hanya terpaut kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual saja. Hidup lebih berharga dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip neraka dari pada swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan, menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup bangsa-bangsa lain, bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan dimana-mana tanpa henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana lingkungan kita mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi, mengkomsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah mau berpikir bahwa diperlukan jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan lingkungan hidup ini, dan kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama agama, dan sebagian itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa keparat.
 
8.       ”Seseorang diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan jiwa dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.”
Keterangan : Di masa lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu berlimpah dengan hasil bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang penuh dengan sifat gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk desa selalu saling menunjang satu dengan yang lainnya.
Saat ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit, sistem ekonomi barat yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan kehidupan manusia yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress, kebutuhan pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja.
Sloka di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi hasil pendapatan kita bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita kepada orang / mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda tidak serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat timbal balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup matanya untuk orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah kekurangan karena merekalah sebenarnya orang-orang yang kaya dengan berbagai hal, bukan orang kaya yang hanya bisa menyelewengkan kredit bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara, padahal sewaktu mati nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta.
 
9.       ”Seseorang wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta, keledai, kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat mereka ini adalah putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil.”
Keterangan : Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan itu tidak suci dan tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi ibarat anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami dan di alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia cukup menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi manusia dan anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan akumulasi dari semua itu bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan mecaru, karena kata mecaru berasal dari kata Sansekerta caruya yang berarti sesajen yang terdiri dari hasil panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi Sri, tidak lebih dan tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering hewan-hewan yang tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan dengan iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman Purana, yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban manusia masih primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi kelanjutan agama Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun kehidupan kita. Purana telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai Purana dan berbagai Upanishad kemudian disarikan oleh ratusan resi yang mengatas namakan Resi Vyasa kemudian menghasilkan maha karya Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang lebih beradab kini. Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang berarti kuno, bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik sifatnya, ingat di Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak menyukai orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan atau manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa. Misalnya Kresna menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya dharma, tentunya di dalam perang tersebut banyak manusia, hewan dan mahluk-mahluk halus yang musnah tetapi pahala mereka adalah swarga, karena mereka mati demi bangsa dan negara.
Tentanglah dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat ahimsa para pelaku caru ini, sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan naik statusnya di masa mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan turun statusnya akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang merubah suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa itu sendiri.  
Di Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah tikus-tikus dimusnahkan oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu masyarakat itu sendiri yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben tikus. Dari suatu pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus diaben seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti akan menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu ini, lalu salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi karena ular sawah sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian pestisida dan pupuk urea, hukum alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri dan akibatnya ditanggung oleh dirinya juga.
 
10.    ”Walaupun seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang Brahmachari atau sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya tidak berusaha sekuat tenaga demi agama, demi pencarian harta benda (sebanyak mungkin) ataupun demi pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun seseorang itu adalah kepala rumah tangga, ia seharusnya puas dengan apa yang didapatkannya tanpa usaha yang menggebu-gebu demi pelestarian dan pemeliharaan jiwa raganya secara bersama-sama, sesuai dengan tempat dan zaman ia berada, dengan karunia Yang Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak mengikat dirinya dengan ugra karma. 
Keterangan : Di dalam kepercayaan masyarakat Hindu dikenal 4 jenis dasar dari tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing adalah dharma, artha, kama dan moksha ditambah beragama, pencapaian status ekonomi tertentu, pemuasan berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya. Dari segi agama saja banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara besar-besaran dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka, demi agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya harus mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya belum pernah ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas jelas menegaskan bahkan moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya tidak perlu dipaksakan secara mati-matian atau secara fanatik.
 
11.    ”Anjing, orang yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas (pemakan anjing), semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, semua kebutuhan ini seharusnya didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan istri seseorang yang adalah ikatan yang terintim seseorang, harus dipersembahkan demi pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada umumnya.”
Keterangan : Sloka sabda resi Narada di atas sekali lagi menjelaskan hak dari kaum miskin, binatang-binatang kelaparan disekitar kita bahkan mereka-mereka yang dianggap hina karena sesuatu dan lain hal, apalagi orang-orang gila dan sebagainya.
Mempersembahkan istri berarti sang istri ikut berpartisipasi dengan sang suami yang merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan istri sebagai wujud Dewi Laksmi shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan masyarakat beserta seluruh kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan harmonis oleh setiap suami (purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan efek yang sangat satvik sifatnya.
 
12.    ”Ada orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya pribadi yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia membunuh dirinya atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu membunuh orang tua dan gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang mampu melepaskan keterikatan dengan istri semacam ini, maka ia akan dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak Terkuasakan oleh siapapun juga.”
Keterangan : Ada jenis pria tertentu yang terlalu dikuasai oleh para istri mereka, dan ada yang terlalu terobsesi oleh daya pikat kecantikan atau seksual mereka, ada juga istri yang status sosialnya lebih tinggi dan ada yang mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu membuat para suami  bertekuk-lutut di depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah ini mampu berbuat apa saja demi istri-istri mereka ini, para pria ini bahkan mampu membunuh atau menyakiti orang lain demi membela istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang pria itu sangat beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya, ibaratnya ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa Yang Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini begitu disayangi olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari Yang Maha Esa.
 
13.    ”Melalui budi dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun menanggalkan keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut secara pasti pada suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi, kotoran dan abu. Berapakah harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa lebih besar nilai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam semesta ini, ibarat bentangan langit yang luas dan tanpa tepi ini ?
Keterangan : Ada tipe-tipe pria yang hidupnya melulu demi pemuasan seks istrinya saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak ada habis-habisnya tanpa mau sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan mati dan disantap cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak bernyawa, karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan rumah tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari dan dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak dilepas adalah Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri.
 
14.    ”Seseorang yang cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk yajna (Pancana-Suna). Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan melepaskan keterikatan dari raganya dan dari hal-hal yang berhubungan dengan raga ini. Sewaktu seseorang ini mampu melaksanakan hal ini, maka secara tegar ia akan memasuki status sebagai seorang mahatma.”
Keterangan : Di masa yang silam manusia tidak pernah khawatir akan kekurangan makanan atau perhatian atau sandang pangan karena semangat kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga.
Dewasa ini sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki kehidupan setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan spritual semakin lama semakin pudar, dan yang timbul adalah masalah-masalah sosial dan agama yang makin semu dan bernuansa rawan. Seyogyanyalah seseorang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni budaya dan spritual secara sadar bahwa yang memerlukan suplemen bukan saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga memerlukan santapan spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia sadar semacam ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi kalau ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini.
 
15.    ”Setiap hari, ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam kalbunya, dan berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib memuja para dewa-dewi, para orang-orang suci, sesama manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, memuja leluhur dan Sang Jati Dirinya. Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha Agung yang bersemayam di dalam lubuk kalbunya.”
Keterangan : Ternyata kita semua memerlukan medium dan tahap-tahap dalam penitian kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa. Banyak pemuja merasa dengan berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan mereka-mereka ini menganggap persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa dan leluhur, persetan dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan sebagainya. Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan disiplin dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk secara bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada orang tua, guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi dulu bumi Pertiwi tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi semua produk dari bumi ini yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua itu mungkin hidup kita tidak lama. Kalau semua bakti secara sadar telah terlaksana dengan baik barulah kita meniti ke bakti kita kepada Yang Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat egois dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi sesama mahluk tidak memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang hari mereka berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci Om shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan seluruh isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi dan alam semesta, jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti dan otomatis kita dan semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi ucapan ini harus tulus dan dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja ucapan ini.
 
16.    ”Sewaktu seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan penuh kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan yajna atau memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia melaksanakan berbagai upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.”
Keterangan : Di dalam shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual yang di sebutkan di atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan untuk membagi harta dan ilmu pengetahuan demi langgengnya ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar kita.
Pada zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu tahun dapat beryadnya dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga dengan berbagai bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman Dvapara-Yuga, yajna dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di zaman Kali ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana yajna yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan, atau harta benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah sudah lewat, malahan upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban hutang dan stress yang teramat berat dan kalau hal ini kita biarkan maka diperkirakan dalam kurun waktu seratus tahun lagi umur manusia akan berkisar 30 tahun saja karena dilanda berbagai depresi dan lingkungan hidup yang bermutu rendah.
 
17.    ”Tuhan Yang Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang dipersembahkan. Namun walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni (api), wahai Raja yang kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen terbuat dari gandum-ganduman dan ghee (mentega murni) yang dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana yang memenuhi syarat.”
Keterangan : Di sini jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha Kuasa kurang berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal biayanya yang hanya menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan mantega untuk dilalap api dan jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau semua itu diberikan kepada para Brahmana yang suci dan miskin yang tidak mengharapkan pamrih sewaktu melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita semua. Para Brahmana ini bisa saja terdiri dari para pemangku, sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang sehari-harinya hidup sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi masyarakat sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana berhak menerima sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati telah terpilih jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia. Mereka-mereka yang sudah menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih menyantap telur, dan mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana. Sesajen yang diberikan kepada mereka tidak perlu dalam bentuk masakan tetapi bisa berbentuk sesari atau yang belum dimasak. Biasanya kita menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak tangan kita sambil mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan pitra-yajna, maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas tetapi nama Sri Kresna diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi dua kali berdoa, pertama atas nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama leluhur.
 
18.    ”Selanjutnya, wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini kepada kaum Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan sesajen yang berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan prashada ini ke mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu. Dengan cara ini dikau akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau dengan kata lain, dikau akan mampu memuja intisari agung yang bersemayam di dalam semua bentuk kehidupan ini.”
Keterangan : Di dalam Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya disinggung bahwa seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri maka yang dimakannya adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin ke sorga sendiri maka ia tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari sesajen tidak perlu yang mahal atau berbentuk pameran kekayaan tetapi untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali buah-buahan ditusuk dengan lidi lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam ini tidak layak dihaturkan kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut sudah tidak satvik lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan tercemar oleh bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi oleh manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang menikmati, lalu apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa saudara-saudara Hindu sedharma lebih satvik caranya, sesajen yang bisa berupa apa saja dihaturkan secara sederhana bahkan ditutup dengan kain bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan bersama sama dengan keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja beryajna dengan menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan sekali secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih berkenan bagi Yang Maha Esa.
 
19.    ”Seorang Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan persembahan sewaktu rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada akhir bulan Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para sanak saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang diselenggarakan pada bulan Asvina.”
Keterangan : Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan pada tanggal 15 sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh pada bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik.
 
20/23.“Seseorang wajib melaksanakan upacara sradha pada saat Makarasankranti (suatu hari di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau pada hari Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke arah selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di saat gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun rembulan); dan juga pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib melaksanakan upacara ini pada hari Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan (tahun rembulan) di saat malam hari terasa terang pada bulan Kartika, pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin, pada hari ketujuh (tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang pada bulan Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh; hari-hari dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini berasal. Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas (rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu naksastras yang disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara ini pada saat hari kesebelas (rembulan) sedang bergabung dengan salah satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Terakhir, seseorang harus melaksanakan upacara ini pada hari-hari yang berhubungan dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau dengan Sravana-naksatra.”
Keterangan : Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25 tertulis jelas tentang enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang disebut sebagai Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan berikutnya matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau jalan selatan.
Pada hari pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki wilayah Capricorn, dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan selanjutnya sewaktu Sang Surya memulai gerakan ke arah selatan, dan memasuki wilayah Cancer disebut sebagai Karkata-Sankranti. Pada kedua hari yang khusus ini seseorang seharusnya melakukan upacara shradha. Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama Mewsa-Sankranti, di kala Sang Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari Tula-Sankranti, Sang Surya memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta hanya sekali dalam setahun.
Vyatipata-yoga adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang Surya dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan ketujuh-belas disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga sangat baik untuk melaksanakan upacara shradha.   
Tithi adalah sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun rembulan). Kadang-kadang sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam. Seandainya tithi dimulai setelah matahari terbit pada suatu hari tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari terbit keesokan harinya, maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya akan bersentuhan dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa yang sering disebut juga persentuhan antara tiga tithis.
Banyak resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya tidak dilaksanakan pada hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para leluhur yang menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang pandita yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik mengapa hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah hal-hal yang berlaku di india sampai saat ini.
 
24.    ”Semua waktu (saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral dan bermanfaat untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang seharusnya melaksanakan semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat dan suci sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai aktifitas tersebut seseorang dapat mencapai kesuksesan dalam masa kehidupannya yang singkat ini.”
 
25.    ”Pada saat-saat pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai Gangga, di Yamuna atau di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya seseorang menghaturkan puja, agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau bila seseorang memuja Yang Maha Esa, para Brahmana, leluhur, para dewa dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun yang didana-puniakan (didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat bermanfaat.’
 
26.    ”Wahai Raja Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk menyelenggarakan upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi anak-istri, atau selama upacara-upacara kematian dan upacara pada hari kematian seseorang, maka diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut di atas yang bersifat sakral dan bermanfaat karena menghasilkan imbalan yang besar dalam bentuk pahala.”
Keterangan : Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus dikerjakan seseorang pada hari-hari baik seseorang atau secara garis besar keluarga dan leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima. Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah memberikan wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa terpuaskan hanya dengan sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang sama beliau juga mengatakan sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke shastra-widhi dan para orang-orang suci. Intinya shrada diharuskan, tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir dan tidak buang-buang uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk shradha yang berbentuk    buku-buku suci yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya, berdonor darah untuk sesamanya dan lain sebagainya yang sesuai dengan hati nurani dan kemampuan masing-masing individu. Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini mempunyai pengalaman yang unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke India pada tahun enam puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan saja untuk para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih hidup hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin. Yang kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya beliau memanggil kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia ini dengan segera dan satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan upacara shradha adalah kami, karena selama hidup beliau, kami sebagai putranya selalu memijit ibu kami ini setiap malam karena beliau menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini menimbulkan problem di kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena keluarga besar kami tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan keluarganya maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara tersebut tetapi kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara selesai kami pasti akan memakan sesajen yang tersisa.
 
27/28.Resi Narada melanjutkan sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai tempat-tempat dimana pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya dilakukan. Di setiap tempat di mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha Esa) adalah tempat yang terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang sakral dan bermanfaat. Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam semesta dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi di mana para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip ajaran Veda berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang, adalah tempat yang amat bermanfaat dan sakral.”
Keterangan : Di zaman yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di tengah-tengah keramaian kota New York, dan di salah satu sudut apartemennya ia meletakkan sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab suci tersebut sambil memuja Yang Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas dianggap sesuai dengan penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena para pemuja Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi Maha-Vishnu Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang Vaisnawa, bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama.
Konon di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat besar alam semesta ini sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di zaman-zaman yang lampau konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang kemudian dialihkan ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat pengelola alam semesta beserta seluruh isinya  dipegang oleh Maha-Vishnu dengan berbagai manifestasi dan reikarnasinya dan buku suci hindu yang terutama adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu adalah masyarakat yang bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran spritual, ada kesan yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme menghormati dan ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain, Buddhisme juga dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama adalah reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari Sanatana Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan tradisi Sanatana Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang sama yaitu AUM (OM) yang ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk aliran Sikhisme yang Nabi sucinya disebut Guru Nanak.
 
29.    ” Lokasi-lokasi di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Kresna (Hari) adalah dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana mengalir sungai-sungai suci yang disebut-sebut di berbagai pustaka Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu hal yang bersifat spritual seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut pastilah akan sangat bermanfaat.”
Keterangan : India dan Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai tempat-tempat suci dan keramat (sakral) baik yang terletak di tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan. Semua tempat sakral atau yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai untuk memuja baik secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara spritual, jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi yang sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini.
 
30/33.”Danau-danau sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para kaum suci pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama, Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka, Varanasi, Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama), Berbagai tempat di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana Prabu Ramachandra dan Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti Citrakuta, dan berbagai bukit yang terkenal seperti Mahendra dan Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini dianggap sangat sakral (keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol Hare (Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang meniti jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan pahala seribu kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan ritual yang sama yang dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang bernuansa biasa).”
Keterangan : Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai Kresna Vasudewa diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud dan attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja dengan berbagai cara di berbagai belahan bumi ini.
Karena hanya ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut Sanatana Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau diperkenankan boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun pasir bahkan di taman bunga atau di tepi jalan raya, asalkan diperhatikan bahwa lokasinya bersih. Lalu bolehkah penganut aliran kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri di kuil atau di Pura Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan itu Esa dan Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di mata hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka secara pribadi akan disambut olehNya.
 
34.    ”Wahai Raja bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang piawai bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang didalamNya semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir, Beliau adalah Yang terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua persembahan.”
 
35.    ”Wahai Raja Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung termasuk keempat putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada saat dikau menyelenggarakan upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian tersebut timbul pertanyaan (diantara yang hadir) siapakah yang pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir memutuskan pemujaan pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.
Keterangan : Ada protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan Sang Krishna dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel yang teramat singkat binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna.
 
36.    ”Seisi alam semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat sebuah pohon yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta. Jadi hanya dengan memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk para dewa dan resi-resi agung sudah dipuja.”
 
37.    ”Yang Maha Esa (Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat (purani) di mana Beliau dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna, burung, para kaum suci, para dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua raga yang tak terhitung jumlahnya ini, Beliau hadir sebagai Paramatma. Dengan demikian Beliau dikenal sebagai Purusavatara.
 
38.    ”Wahai raja Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam di setiap raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada setiap insan sesuai dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu tersebut. Oleh karena itu Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama di dalam raga (setiap insan) yang bermanifestasi dan bersemayam di jiwa manusia dengan perkembangan komparatif pengetahuan usaha-usaha spritual dan berbagai karunia individu tersebut.”
 
39.    ”Wahai Raja yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat cara-cara tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka ini lalu memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil dengan segala tata-caranya (ritual-ritualnya) .”
Keterangan : Konon pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan kepada Sang Hyang Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga terjadi kontaminasi dan distorsi di kalangan para Brahmana yang korup, khususnya para Vaisnawa (pemuja Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa dihina dan dicampakkan oleh para pengikut Sanatana Dharma lainnya. Pada permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil inisiatif dengan memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di berbagai kuil yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan didentikkan dengan kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman Dvapara-Yuga sampai saat ini (Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan simbol-simbol makin meningkat intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah pemujaan terhadap yang tidak berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi yang kuat, Dewasa ini pemujaan sedang bergeser ke bentuk japa-mantra-dhyana (meditasi).
Dunia Barat dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di Asia ini kedua cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama atau tersendiri. Lahirnya Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta Buddha Gautama sekitar 4000 tahun yang lalu merupakan reformasi terhadap kine-kerja para Brahmana yang buruk tersebut. Pada saat itu Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan kepada kaum awam dengan berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana keparat ini khawatir terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang korup, sama seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan pengikut Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana Bali yang serba mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya. Baik di India maupun di Bali sampai kini masih terdapat golongan Brahmana yang melakukan pemiskinan moral dan harta benda para pemuja dengan cara-cara yang licik dan business-like dari pada mengajar secara benar. Sesajen-sesajen yang berlebih-lebihan, biaya penyelengaraan yang aduhai dan upacara-upacara yang ngawur diselenggarakan demi lestarinya dapur Sang Brahmana tersebut dan demi bertahannya kaum Brahmana ini secara dominan.
Di masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan masuknya pengaruh Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan karena arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa ini sudah menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang Buddha sampai akhir hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara beserta Swastika oleh Beliau tetap dijadikan pedoman dan simbol ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak ada dirjen agama Hindu maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp tidak memuat identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan Hinduisme mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti aslinya dan tidak merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya lagi pribumi, ditambah aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang Hindu, maka akan terdapat sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut dharma dan faktor ini bisa menjadi kekuatan yang besar baik secara spritual maupun di arena politik.
 
40.    ”Kadang-kadang seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai ritual-ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca dewa-dewa tertentu, tetapi pemuja ini sering iri hati (memandang rendah) kepada para pemuja Vishnu, maka Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas dengan pemujaannya.”
Keterangan : Banyak pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk memuja simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang lainnya. Hal ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang utama adalah penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri, tanpa itu sang pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain sementara arca memang bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai dengan misi Yang Maha Kuasa di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk meniti jalan dharma yang benar diperlukan seorang guru atau / lebih untuk menuntun kita ke jalan dan pengertian yang benar bisa-bisa malahan menyesatkan pikiran kita yang gelap. Jadi banyak berdiskusi, berguru dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci pasti akan berdampak sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua. Menurut sabda Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang benar tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya.
 
41.    ”Wahai Raja yang kuhormati, di antara semua insan, seorang Brahmana seharusnya diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah dunia yang serba bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan oleh berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya telah menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”
Keterangan : Seseorang Brahmana yang telah mencapai status Dwijati ini adalah hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa yang tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah diri ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang utusan atau wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri.
 
42.    ”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang selalu mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia diakui dan dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari semua ciptaan. Para Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka, mensucikan ketiga loka dengan daki (debu) yang melekat di kaki padma mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak untuk dipuja oleh Sang Kresna (Yang Maha Penyayang).”
Keterangan : Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka ini adalah bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi penghayatan akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh Yang Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus menjaga para baktanya dengan caranya sendiri  (baca kisah mengenai Sudharsana cakra di akhir buku ini).
Hubungan intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan yang misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap bhaktanya ibarat sang bhakta selalu  terintosikasi oleh nektar spritual ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan, menyayangi dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami oleh para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Para bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang lain karena mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang harmonis dan selaras walaupun para bakta ini masih menyandang raga. Fenomena ini disebut Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan merupakan dambaan setiap pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa terwujud tanpa disadari oleh sang pemuja ini.
 
Dengan ini berakhirlah salah satu bab dari Bhagavata-Purana ini yang dikenal dengan judul : “Kehidupan Grhasta yang ideal”
 OM....TAT....SAT 










BAB   III 
KISAH MAHARAJA AMBARISA
DAN DURVASA MUNI
   (Bagian ke I) 
Tulisan yang satu ini merupakan salah satu rangkaian kisah-kisah yang diambil dari Srimad Bhagavatham. Konon di kisah ini diceritakan secara singkat mengenai sejarah Maharaja Nabhaga dan putranya yang bernama mirip dengan ayahnya yaitu Naabhaaga. Nabhaga adalah putra Sang Manu, manusia pertama. Naabhaaga, cucu Sang Manu ini bertahun-tahun hidup di gurukula yaitu perguruan di zaman lampau yang mendidik para putra raja dengan ilmu kebatinan dan lain sebagainya, sebelum para pangeran ini diangkat jadi raja. Karena terlalu lama belajar di gurukula maka saudara-saudaranya beranggapan bahwa Naabhaaga tidak berhasrat kembali ke kerajaannya, dan tanpa berunding dengan ayah maupun dirinya, mereka membagi-bagi kerajaan di antara mereka sendiri. Suatu saat pangeran Naabhaaga kembali ke kerajaannya dan oleh para saudaranya ia diberitahu akan pembagian warisan ini dan sudah tidak ada apapun lagi di kerajaan yang dapat diwariskan selain ayah mereka yang sudah lanjut usia, jadi sang ayah inilah yang diwariskan kepadanya.
Sang ayah merasa telah terjadi kecurangan diantara putra-putranya dan beliau menitahkan Naabhaaga untuk bertapa di sebuah tempat pemujaan pengorbanan. Naabhaaga dibekali dengan dua buah mantra yang harus dipanjatkan di tempat ini sewaktu diperlukan. Lokasi pengorbanan dan pemujaan yang suci ini dihuni oleh para resi yang dipimpin oleh Resi Angira yang banyak sekali mendapatkan harta dalam bentuk dana-punia yang disumbangkan oleh masyarakat kepadanya. Seluruh harta ini kemudian diwariskan kepada Naabhaaga, tetapi Dewa Shiwa sebagai penunggu di tempat suci tersebut ingin menguji iman sang pangeran ini, ternyata Naabhaaga malahan menyerahkan seluruh harta ini kepada Dewa Shiwa, yang tentu saja sangat memuaskan hati sang dewa yang kemudian mengembalikan seluruh harta ini kepadanya.
Konon Naabhaaga suatu waktu berputrakan Ambarisa, seorang raja yang sangat dashyat kesaktiannya dan juga merupakan pemuja ideal Yang Maha Kuasa, dan sangat terkenal di negaranya. Begitu dashyat kekuasaannya sehingga pada zamannya beliau dianggap raja dunia karena menguasai sebagian besar bumi ini, tetapi sang raja sendiri konon sangatlah sederhana dan rendah hati dan sebagai pemuja Maha-Vishnu beliau selalu beranggapan bahwa semua harta benda dan kekuasaan beliau adalah milik Yang Maha Kuasa, ia secara pribadi tidak ingin terikat dengan segala kebesaran ini. Beliau mengarahkan seluruh aktifitas kehidupan spritualnya ke Yang Maha Esa semata-mata (Yuktah-Vairagya). Beliau bahkan tidak menghasratkan moksha, karena kehidupan bagi beliau adalah kewajiban tanpa pamrih.
Pada suatu hari di keheningan Vrandawana (tempat kelahiran Sang Krishna), sang raja memuja sesuai dengan tradisi upacara Dvadasi, yaitu hari yang jatuh sesudah hari Ekadasi. Pada saat beliau akan berbuka puasa hadirlah seorang resi yang teramat sakti tanpa diundang yang bernama Durvasa Muni. Dengan segala kebesaran dan rasa hormat yang dalam sang resi diterima olehnya dan diajak untuk bersantap bersama, sang resi menerima undangan berbuka puasa ini tetapi memunta waktu sejenak untuk mandi dan membersihkan dirinya di sungai Yamuna di siang hari itu. Konon begitu lamanya sang resi ini berada di sungai tersebut sehingga waktu berbuka puasa hampir lewat dan kalau sang raja tidak berbuka puasa pada saat itu, ia harus berpuasa setahun lagi lamanya. Tentu saja hal ini menimbulkan dilema bagi sang raja dan para resi yang hadir, dan akhirnya diputuskan bersama untuk meneguk sedikit air sebagai simbol berbuka puasa tetapi tanpa menyentuh santapan karena menunggu datangnya kembali Durvasa Muni. Sang resi yang datang terlambat ternyata sangat murka sewaktu menyadari bahwa sang raja telah meneguk air tanpa menunggunya dan menyadari kesalahannya dengan sangat angkuh dan penuh angkara murka ia menciptakan seorang iblis yang menakutkan dari rambutnya.
Sang iblis langsung menyerang sang raja, tetapi Maharaja Ambarisa tidak dapat tersentuh oleh iblis ini karena tiba-tiba entah dari mana muncullah Sudharsana-cakra milik Sang Hyang Maha Vishnu dan menangkis serangan ini. Hancur dan musnahlah sang iblis dalam sekejab, kemudian sang cakra meleset ke arah Durvasa Muni, yang langsung kabur dan terbang ke angkasa karena tidak dapat menahan kedashyatan cakra ini. Dari satu loka ke loka lainnya ia terbang mencari perlindungan para dewa tetapi tidak ada seorang dewapun yang mau menolong resi yang takabur ini, akhirnya ia menyerahkn dirinya ke Sang Hyang Narayana, tetapi Beliaupun menolaknya dan memerintahkan sang resi yang angkuh ini agar meminta maaf langsung ke Maharaja Ambarisa yang masih menunggunya kembali; selama menunggu kembalinya sang resi, sang raja melanjutkan puasanya dan tanpa disadari kurun waktu setahun telah terlampaui. Puasa sang raja yang agung ini dianggap sebagai sebuah yoga tersendiri bagi pemuja Yang Maha Esa khususnya pemuja Vishnu dan Kreshna Vasudewa yang sebenarnya adalah satu. Sloka-sloka di akhir kisah ini akan menyadarkan kita akan keserahkahan dan kesaktian sementara Brahmana yang selalu sema-mena kepada kaum yang berasal dari varna lainnya. Disisi lain Yang Maha Esa itu sendiri sangat berendah hati dalam melindungi umatnya dengan proteksi total. Semoga kisah suci ini bisa menambah wawasan kita dalam mendekatkan diri kita kepadda Tuhan Yang Maha Esa.  
OM.....TAT.....SAT 
 
1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Raja Parikesit  :
“Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya, sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa grhastanya. Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya. Sewaktu Naabhaaga kembali dari perguruannya, mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.”
2.       Naabhaga memohon, “Wahai para saudara-saudaraku, di manakah hak-hakku akan kekayaan ayahku ?” Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami sebagai bagianmu.” Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal tersebut, sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang penuh dengan berbagai tipu-daya, aku bukan milikmu.”
3.       Ayah Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah upacara pengorbanan, dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik dan mereka akan melakukan berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.”
4/5.Ayah Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini dan jabarkan dua mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan upacara pengorbanan mereka (dan tidak kacau lagi pada hari ke enam upacara), maka mereka semua akan pergi ke swargaloka, mereka akan memberikan sisa harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu. Jadi cepatlah pergi.” Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya dan berhasil mendapatkan kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil moksha ke loka-loka lainnya.”
6.       ”Tak lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini, dari utara datang seseorang yang berkulit hitam-legam dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.”
7.       Naabhaaga kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku, para resi yang agung telah menganugrahkannya kepadaku. Setelah ia selesai dengan ucapannya, pria hitam ini kemudian berkata,”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan memintanya untuk menuntaskan masalah ini,” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul ini.”
8.       Sabda ayah Naabhaga : “Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena pengorbanan Daksa-Yajna itu, sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa, jadi semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.”
9.       ”Selanjutnya, dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa, Naabhaaga berkata : “Wahai Tuhan yang kupuja (Isa), semua di arena itu adalah milikMu. Aku tunduk pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat, aku bersujud kepadaMu, sudilah mengampuniku.”
10.    Dewa Shiwa bersabda : “Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar, dan yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama. Oleh karena itu, Aku yang memahami mantra-mantra Veda-Veda, akan menjabarkan ilmu pengetahuan transendental (mistik/spritual) kepadamu.”
11.    ”Dewa Shiwa bersabda : “Sekarang dikau boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena kuanugrahkan kepadamu.” Setelah berkata demikian, Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.”
12.    ”Seandainya seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap pagi dan petang penuh dengan perhatian, maka orang tersebut pasti akan berubah menjadi terpelajar, penuh dengan pengertian akan ajaran Veda, dan tangkas dalam mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.”
13.    ”Dari Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa. Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya, beliau dipuja-puji karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti, ternyata kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.”
14.    ”Raja Parikesit bertanya : “Wahai resi yang mulai, Maharaja Ambarisa adalah seorang yang terhormat dan penuh dengan kebajikan. Kami ingin tahu lebih banyak tentang beliau. Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.”
Keterangan : Seluruh kisah-kisah di Srimad Bhagavatam ini, sebenarnya adalah dialog antara Resi Goswami dan Parikesit. Dan di dalam dialog ini termuat anak kisah dari berbagai dialog yang saling berkesinambungan. Harap para pembaca tidak bingung karenanya.
15/16.Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa adalah seorang yang amat beruntung, beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri dari 7 benua (sapta-dvipa-vatim) dan sang maharaja ini telah mencapai status yang tak terkalahkan dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan kemakmuran yang amat sangat di atas muka bumi ini. Walaupun status semacam ini sulit dicapai oleh seorang manusia, Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah mengacuhkan semua itu, karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi duniawi dan serba materi, dan suatu saat pasti akan hancur. Sang maharaja sadar sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi (dunia kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).”
17.    ”Maharaja Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Vasudewa, dan berada dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa. Karena baktinya yang sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya sebuah batu biasa.”  
18/19/20.”Maharaja Ambarisa dalam semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna, beliau selalu memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa, tangan beliau secara pribadi selalu membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa. Telinganya selalu mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna atau hal-hal mengenai Sang Krishna. Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura dan Vrandavana. Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua bakta Sang Krishna, dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati berbagai prashadam bagi Yang Maha esa. Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa, dan selama 24 jam sehari-harinya beliau bersujud dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa. Sebenar-benarnya beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara pribadi. Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan secara total menjauhi berbagai hasrat duniawi.”
21.    ”Dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja, Maharaja Ambarisa selalu mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya dan begitu juga Yang Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi duniawi ini. Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia, dengan demikian beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.”
22.    ”Di negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa, Penguasa Utama seluruh yagna (Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi para brahmana yang hadir dan berpartisipasi, yang dipimpin oleh Resi Vasistha, Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci ini.”
Keterangan : Negara-negara yang bergurun pasir bisa diartikan berbagai negara bagian di India kini, tetapi juga bisa berarti jazirah Timur-Tengah di mana pada zaman tersebut sungai Sarasvati pernah mengalir dan berujung di teluk Arabia. Konon orang-orang di Timur-Tengah baik yang keturunan Yahudi dan Arab atau Palestina dipercayai oleh masyarakat India sebagai keturunan mereka (keturunan wangsa Bharata pada zaman dahulu kala). Yesus Kristus sangat dihormati di India karena dianggap sepertiga turunan Arya-India, dan tiga orang Majus yang menghadapnya dengan ratna mutu manikam sewaktu Beliau lahir adalah sebagian dari utusan para resi dari India; dari sekitar puluhan utusan hanya tiga orang saja yang mampu menghadiri kelahiran sang Kristus.
Menurut versi India, Kristus pada usia 12 tahun diajak ke India dan kembali sebagai seorang resi-yogi yang brahmacari pada usia sekitar 32 tahun, Beliau juga bersifat vegetarian, ahimsa dan memuja Yang Maha Esa (Isa), dan mengajarkan kembali inti Hindhu-Dharma kepada kaum Yahudi yang tidak mau menerima ajaran ini. Akhirnya beliau disalib, dan diselamatkan oleh ketiga resi tersebut dan dibawa kembali ke India dan meninggal dunia pada usia yang sangat tua di suatu tempat di Kashmir, konon kuburan Beliau dan turunan Beliau masih eksis sampai saat ini di lokasi tersebut. Demikian versi India ini. Konon itulah sebabnya Beliau bernama Isa, karena Beliau adalah pemuja Isa.
23.    ”Pengorbanan (Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian penyelenggaraan yajna ini.”
24.    ”Penduduk di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para penduduk ini ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka, walaupun mereka juga sadar bahwa loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.”
25.    ”Mereka-mereka yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian dan berbagai kedashyatan para kaum mistik, karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.”
26.    ”Maharaja Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini, khusus demi upacara ini melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya, beliau mengesampingkan seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.”
27.    ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri, teman-teman dan handai-taulan, bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda, kereta-kereta perang dan emas permata, berbagai perhiasan, jubah-jubah yang mewah dan harta benda yang serba gemerlapan ditinggalkan semua, karena beliau beranggapan semua ini sebagai tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.”
28.    ”Tuhan Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat tekun dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja, agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para musuhnya.”
Keterangan : Umumnya para pemuja atau bakta Yang Maha Esa terkesan selalu lemah-lembut, penakut, mengalah dan sebagainya, karena mereka-mereka ini selain bersikap sangat pasrah juga bersifat ahimsa, apalagi yang sadar bahwa Sang Atman hadir di dalam segala mahluk hidup, tidak akan menyakiti seseorang walaupun disakiti olehnya.
Para mahluk jahat, asura dan manusia-manusia yang penuh dengan kebatilan selalu ingin mempersulit para pemuja yang lemah-lembut ini dengan berbagai cara dan alasan. Tetapi tanpa disadari para pemujaNya, Yang Maha Kuasa (Hari) selalu menjaga para bakta-baktaNya dengan cara-cara yang penuh dengan keajaiban, sering sekali di luar nalar manusiawi kita. Sang Maharaja yang mendapatkan anugrah Cakram ini sebenarnya sama sekali tidak menyadari akan fungsi dan keampuhan cakra ini karena beliau ini sudah jauh dari sidhi dan pamrih.
29.    ”Maharaja Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa, beserta istri (permasuri)nya yang tidak kalah imannya dari sang suami, beritikad untuk melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.”
Keterangan : Hanya pria yang beruntung saja yang bisa mendapatkan istri yang sama imannya, begitupun hanya seorang istri yang beruntung mendapatkan pasangan suami yang beriman sama karena hal ini amatlah langkah di dunia yang serba materi ini. Masyarakat Hindhu India percaya bahwa dengan berpuasa setahun penuh, khusus untuk hari-hari yang disebut di atas dapat membahagiakan dan memuaskan Sang Kresna Vasudewa. Biasanya setelah selesai dengan upacara ini seseorang akan memasuki kehidupan Vanaprastanya.
30.    ”Pada bulan Kartika, setelah menjalankan tapa-bratanya selama setahun, dan berpuasa selama tiga hari selanjutnya, dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna, Maharaja Ambarisa memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang, di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.”
31/32.”Maharaja Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa (Maha-bisheka) sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam tata upacara yang seharusnya, kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut berbagai pakaian kebesaran, perhiasan, kalungan-kalungan bunga yang serba bermutu prima. Dengan seksama dan penuh bakti, beliau memuja Sri Krishna dan juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari berbagai nafsu duniawi.”
33/34/35.”Selanjutnya Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian dan lain sebagainya, khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian yang penuh dan teramat khusus. Beliau menyumbangkan 60 kror (600 juta) ekor sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas dan bagian lehernya berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak. Semua sapi-sapi ini berhiaskan kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh. Semua sapi-sapi ini nampak sangat jinak, berusia muda dan sangat menawan dan disertai oleh anak-anak sapi mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir, dan setelah mereka semua telah terpuaskan, maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk mengakhiri puasa Ekadasinya. Dan tepat pada saat itu, hadir seorang resi agung dan teramat sakti mandraguna, tanpa diundang.”
Keterangan : Di dalam Hindhu-dharma sebenarnya ada peraturan yang tidak memperbolehkan seseorang untuk menghadiri upacara orang lain termasuk sanak-saudara tanpa diundang, hanya upacara kematian saja yang merupakan kekecualian, karena pada upacara kematian umat Hindhu Dharma di India tidak mengundang siapapun; adalah kewajiban para handai-taulan untuk datang sendiri dan bergotong-royong membantu keluarga yang meninggal dunia. Di Bali saat ini sering terlihat dan dibagi-bagikan kartu undangan yang mewah untuk upacara ngaben padahal undangan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Veda-Veda, juga tidak tertera di lontar, ataupun Shastra Vidhi lainnya yang bernuansakan Hindhu Dharma.
36.    ”Setelah berdiri dari tempat duduknya dan menerima Durvasa Muni, Raja Ambarisa mempersilakan sang resi untuk duduk bersama, kemudian sang resi dihormati seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung. Setelah menyentuh kedua telapak kaki sang resi, Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka puasa secara bersama-sama.”
37.    ”Dengan senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu. Di sungai Yamuna yang airnya dianggap sangat suci dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman (brhad-dhyana).”
Keterangan : Sang resi bermeditasi untuk waktu yang agak lama dan mungkin lupa bahwa sang raja sedang menunggunya dengan penuh kerisauan karena waktu berbuka sudah hampir berlalu, dan kalau batal berbuka pada saat tersebut sang raja harus berpuasa satu tahun lagi.
38.  ”Sementara itu hanya sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa. Sehingga mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa. Dalam situasi yang teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.”
39/40.Sang raja berkata : “Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak menghormati para brahmana. Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan terlanggar. Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama, perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air. Dengan cara ini, setelah mendapatkan masukan dari para brahmana, sang raja meneguk sedikit air, yang menurut para brahmana ini, tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap sesuatu.”
41.    ”Wahai yang terbaik, di antara jajaran dinasti Kuru, setelah meneguk sedikit air, Raja Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam relung hatinya, sambil menunggu kembalinya resi Durvasa Muni.”
42.    ”Setelah menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari, Resi Durvasa meninggalkan tepian sungai Yamuna. Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala kehormatan, namun Durvasa Muni, melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.”
43.    ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan lapar, dan bergetar tubuhnya, dengan kedua alisnya yang terangkat akibat geramnya, murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terkatub.”
44.    ”Aduh, coba lihat kelakuan orang jahat ini ! Ia bukan pemuja dewa Vishnu. Karena merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya, ia merasa dirinya seakan-akan telah menjadi Tuhan itu sendiri. Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar peraturan-peraturan agama.”
45.    ”Maharaja Ambarisa, dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap, tetapi dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini, akan kuperlihatkan sesuatu untuk menghukummu.”
46.    ”Pada saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka. Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya, dan menciptakan seorang iblis yang mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.”
47.    ”Bersenjatakan sejenis trisula dan menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya, mahluk api ini mendekati Maharaja Ambarisa. Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh kehadiran mahluk ini dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.”
48.   ”Ibarat api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah Yang Maha Kuasa, maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba muncul dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab. Demikian ini cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.”
49.    ”Menyaksikan kegagalannya, dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya, Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi menyelamatkan hidupnya.”
50.    ”Ibarat api di hutan yang mengejar seekor ular, cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari. Durvasa Muni melihat bahwa cakra ini hampir-hampir saja membelah punggungnya, ia langsung saja lari dan masuk ke sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.”
51.    ”Namun Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di darat, baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera, bahkan resi ini dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di alam semesta ini. Kemanapun ia pergi (terbang) ia akan selalu tersusul oleh api Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.”
52.    ”Dengan penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan, tetapi sia-sia saja, dan akhirnya ia terbang  ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma. “Wahai Dewataku, wahai dewa Brahma, mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan oleh Yang Maha Esa ini.”
53/54.”Dewa Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha, sewaktu seluruh ciptaan masa lalu selesai siklusnya, maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya akan melenyapkan seisi alam semesta ini (kiamat,pralaya) termasuk di dalamnya itu brahma-loka tempat kediaman kami ini. Dewa-dewa jajaran kami ini, seperti Dewa Shiwa, juga para Daksa, Berghu dan berbagai orang-orang suci dan penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan, manusia-manusia, dan para dewa-dewi......kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa Vishnu yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri. Sambil menundukkan kepala kami, kami bersujud demi melaksanakan segala perintah-perintahNya demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta ini.”
55.    ”Sewaktu Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma, ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa  memohon bantuan.”
56.    Namun Dewa Shiwa, “bersabda,” “Wahai anakku, kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi lainnya, bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah, karena kami semua sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.”
Keterangan : Banyak pemuja beranggapan bahwa Tuhan itu adalah para dewa-dewi seperti Brahma, Vishnu, Shiwa, Laxmi, Durga, Saraswati, Ganeshya dan lain sebagainya tanpa mau menyadari bahwa jajaran para dewa-dewi ini adalah simbol dan medium dari Yang Maha Kuasa. Di Bhagavat-Gita, Sri Krishna dengan jelas dan tegas menjabarkan fenomena-fenomena ini. Sebenarnya hakikat dari Hindhu (Sanatana-dharma) adalah pemujaan kepada Yang Maha Kuasa, pada saat yang sama bagi para pemuja yang masih duniawi sifatnya tersedia medium-medium lain. Manusia cenderung melupakan hakikat akan keberadaannya di bumi ini, dan lupa akan Sang Atman yang hadir di dalam tubuh kita ini. Seharusnya kita sadar bahwa raga adalah sebuah kuil yang suci dan harus selalu kita sucikan agar Sang Atman betah diam di astana ini, bukannya dikotori dengan berbagai kekotoran duniawi termasuk makan-minum yang tidak satvik dan sebagainya.
57/58.”Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa Shiwa), dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja, Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya, juga oleh mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian. Namun begitu, karena kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa, maka kami semua tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini. Anda sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan, karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami. Pergilah langsung ke Dewa Vishnu, Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.”
Keterangan : Sudharsana Cakra jangan diartikan secara harafiah sebagai suatu senjata yang dashyat, tetapi kata cakra itu sendiri bisa berarti secara simbolis, yaitu hukum karma, dan dalam skala besar bisa berarti juga hukum reinkarnasi. Kata Sudharsana berasal dari kata akar Sudhar (sadar, kesadaran).
Hanya dengan menghayati kata-kata ini saja mungkin kita bisa lebih sadar lagi akan hakikat Yang Maha Esa, demikian yang tersirat dari wejangan Dewa Shiwa bagi Durwasa Muni dan bagi kita semua. Kalau saja para dewa-dewi yang teramat agung ini saja masih diliputi oleh materi duniawi apalagi kita manusia yang bodoh ini ? Dewa Vishnu yang dimaksudkan di atas adalah Maha Vishnu (Narayana) yang bersemayam di Vaikuntha-loka.  
60.    ”Selanjutnya kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa, terbanglah Durwasa Muni ke Vaikuntha-loka (Vaikuntha-dharma) dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud Maha Vishnu yaitu Narayana, didampingi oleh Laksmi (Laxmi), saktinya yang berwujud Dewi Kemakmuran.”
61.    ”Durwasa Muni, resi yang sakti mandraguna ini, lemas karena terbakar oleh bara api Sudharsana Cakra, jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana. Seluruh tubuhnya gemetar, ia mengatakan : “Wahai Dikau Yang Maha Kuasa, Yang Tak terbatas, Pengayom seisi alam semesta ini, hanya Dikau semata yang menjadi tujuan semua pemuja. Daku adalah penyandang dosa yang terbesar, Tuhanku, mohon kami dilindungi olehMu.”
Keterangan : Hyang Narayana adalah wujud Yang Maha Kuasa dalam bentuk Maha Vishnu Yang Maha Pengayom dan Pengasih. Sarguna Brahman adalah wujud Tuhan yang nampak dan bermanifestasi, sedangkan Nirguna Brahman adalah Tuhan yang tidak terterangkan dan tidak berwujud. Hyang Narayana adalah bentuk Sarguna Brahman.
62.    ”Wahai Tuhanku, Yang Maha Pengendali, tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak terbatas, daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi. Dikau adalah Maha Pelaksana, walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.”
Keterangan : Suatu waktu dikisahkan di Srimad Bhagavatham, hidup seorang turunan brahmana yang bergelimangan dosa. Orang tersebut mempunyai seorang putra yang diberi nama Narayana. Tepat pada saat sang brahmana ini meninggal dunia ia memanggil sang putra, tetapi yang datang malahan para utusan Hyang Narayana dan mereka lalu menyelamatkan sang brahmana ini dari tangan para malaikat maut utusan Dewa Yamaraja. Episode yang memikat ini mengingatkan kepada kita semua bahwasanya begitu agung dan sucinya Nama Yang Maha Esa sehingga hanya dengan menyebutNya saja kita bisa diselamatkan dari mara-bahaya, apalagi kalau diresapi hakikatNya yang agung.
63.    Hyang Narayana, Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni : “Daku ini secara keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak bisa bebas dari pemuja-pemujaKu. Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka, Daku bersemayam di setiap hati para pemuja-pemujaKu. Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu adalah kesayanganKu juga.”
Keterangan : Betapa tersentuhnya hati ini membaca sabda-sabda yang begitu rendah diri yang keluar langsung dari bibir Hyang Narayana itu sendiri. Begitu besar dan agung KasihNya kepada para pemuja-pemujaNya sehingga Beliau mengibaratkan para pemuja sebagai tuan dan Beliau sendiri sebagai hamba dari para pemuja ini.
Dengan kata lain, tanpa para pemuja Tuhan itu tidak “eksis” di dunia ini dan tidak dipuja maupun diajarkan KeberadaanNya kepada umat manusia, seakan-akan Hyang Narayana ingin mengatakan betapa berutang budiNya Beliau kepada para resi, nabi, utusan Tuhan dan para pemuja yang senantiasa memujaNya dan menyebarkan dharma kepada sesama umat manusia. Kalau Hyang Narayana sebagai manifestasi tertinggi saja sudah merendah sedemikian rupa maka seharusnya mereka-mereka yang mengaku brahmana atau utusan Tuhan harus lebih rendah diri lagi dan tidak mempergunakan pengaruh dan status mereka untuk membohongi para pemuja dharma.     
64.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, tanpa mereka-mereka yang suci yang telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya. Daku tidak berminat untuk menyandang dan menikmati KeEsaanKu dan KeagunganKu Yang Transendental ini.”
65.    ”Karena para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga, kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu, dengan tanpa pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang, maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan (mengabaikan) para pemuja-pemujaKu. (Setiap saat Daku menjaga dan memperhatikan para pemuja-pemujaKu).”
66.    ”Ibarat para istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini, demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni, yang berderajat sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu yang terdalam, dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.”
67.    ”Para pemuja-pemujaKu, yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh rasa kasih-sayang, tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu : salokya, sarupya, samipya dan sarsti), walaupun (sebenarnya) mereka secara langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka. Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi dan kebahagiaan semu yang terdapat di berbagai loka-loka (sorga-sorga) tersebut.”
Keterangan : Banyak sekali manusia yang memuja Yang Maha Esa dengan mengharapkan mukti atau moksha atau penyatuan denganNya. Faktor ini menunjukkan masih tersirat rasa pamrih di dalam pemujaan tersebut. Tetapi mereka-mereka yang tulus dan murni memuja Yang Maha esa karena kewajiban yang dilandasi oleh kesadaran semata, padahal mereka juga sadar bahwa sorga-sorga tersebut bisa mereka dapatkan melalui pemujaan mereka itu, tetapi mereka tidak acuh sama sekali karena semua loka atau sorga ini tidak abadi sifatnya, penjelmaan sebagai manusia adalah suatu anugrah yang luar biasa yang seharusnya jangan disia-siakan, sorga-sorga dan moksha sebenarnya tidak menjanjikan apapun juga; kecuali keterikatan baru.
68.    ”Para pemujaKu yang sejati selalu berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam, dan Daku selalu berada di dalam hati mereka. Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya kecuali Aku, dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.”
Keterangan : Alangkah berbahagianya secara spritual para pemuja yang sejati yang selalu terhubungkan secara mistis dan gaib kepadaNya. Apalagi beliau ini hadir dan menuntun secara langsung para pemuja-pemujaNya ini dari kedalaman hati mereka. Itulah sebabnya para manusia awam tidak bisa memahami peri-laku para nabi, utusan Tuhan, dan para pemuja-pemuja sejati dari berbagai agama dan penghayatan, karena pola pemikiran mereka di atas normal dan rasio/logika duniawi yang serba materialistis ini. Mereka sering dianggap kurang waras, kurang ajar ataupun gila dan ibarat fakir-miskin dan sebagainya. Padahal seluruh sastra Smritis dan Srutis turun dari orang-orang atau insan-insan agung semacam ini. Mereka baru diakui setelah mereka sudah tidak eksis di dunia ini, mereka baru disanjung-sanjung dan disucikan setelah tiada.
69.    ”Wahai brahmana, Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri. Dengarkan kata-kataku ini. Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois. Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu sedetikpun. Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan (menghujat) seorang pemuja (Ku). Demikianlah, subjek itu lalu terimbas oleh bencana bukan yang dituju (objek).
70.    ”Bagi seorang brahmana, kesucian berbakti dan memuja dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah tindakan-tindakan yang menyucikan, tetapi seandainya semua ini didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian dan ilmu pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.”
Keterangan : Ingat dan perhatikan selalu, bahwa semua ilmu pengetahuan dan yoga, berbagai pelaksanaan spritual dan tapa-brata bisa berubah menjadi kesaktian yang menyesatkan (sidhi) kalau sipemuja tercemar oleh ego, ahankara (angkara), iri hati dan sebagainya. Semua mantra di Veda-Veda dapat berubah menjadi jalan kegelapan (black-magic) kalau disalah-gunakan. Satu contoh : lambang Swastika oleh Nazi dan Hitler dibalik, diwarnai hitam dan dipuja, hasilnya Ganeshya dalam bentuk kebatilan yang muncul (yaitu salah satu istrinya yang berupa wujud iblis, satu lagi istrinya adalah lambang dharma, Swastikanya adalah merah dan mengarah ke arah kanan, Ganeshya sendiri berlambang Swastika merah atau emas dengan dua garis tambahan di sisi kiri dan dua garis tambahan di sisi kanan yang melambangkan bahwa ilmu-pengetahuan itu ada dua jenis yang bersifat dharma dan adharma, Ganeshya memiliki kedua-duanya, anda mau memilih dan memuja yang mana?)
71.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, dikau harus segera pergi ke Raja Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia. Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa, maka pasti kedamaian akan datang beserta kepadamu.” 
Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut : “Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.”
Bagian ke II
Kisah Maharaja Ambarisa dan Durwasa Muni
Di dalam bagian ini diterangkan bahwasanya Maharaja Ambarisa melakukan puja kepada Sudharsana Cakra dan Sang Hyang Cakra ini selanjutnya memaafkan Durvasa Muni (yang langsung saja terbang kembali ke istana Maharaja Ambarisa setelah diperitahkan oleh Sang Hyang Narayana.)
Begitu sampai kehadapan sang raja, langsung saja Durvasa Muni menyembah kedua kaki sang maharaja. Sang raja yang memiliki rasa rendah hati yang murni ini langsung menjadi risih dan teramat malu karenanya. Segera dan seketika itu juga beliau langsung menghaturkan puja kepada Sudharsana Cakra dan doanya dikabulkan, Durvasa Muni diampuni dan selamat dari bencana.
Banyak ahli di India yang selalu memperdebatkan akan status hakiki cakra ini. Ada yang berdalih bahwa Sudharsana Cakra adalah simbol dari hukum karma, hukum sebab-akibat dan reinkarnasi beserta seluruh akibat-akibatnya yang berputar terus dari masa ke masa. Ada juga yang menyatakan bahwa cakra ini adalah zat atau energi murni Yang Maha Esa guna mencipta dan mengayomi seluruh ciptaan-ciptaanNya (Sa aiksata,Sa asrjata); demikian, konon versi dari berbagai pengamat Veda kata ahli yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa inti kekuatan cakra ini hadir ditengah-tengah kita dan memenuhi seluruh jajaran alam-semesta dan melawan unsur-unsur hitam (asurik) yang meraja-lela dimana-mana. Unsur cakra ini selalu hadir melindungi para pemuja Yang Maha Esa dari segala mara-bahaya, sehingga selalu sejarah para resi dan pemuja yang agung penuh dengan berbagai mukzizat yang melindungi pemuja dharma.
Kembali ke Durvasa Muni, beliau langsung saja sadar bahwa kasta brahmana tidak berarti lebih hebat dan harus diistimewakan dari golongan yang lain. Pada saat yang sama Maharaja Ambarisa yang sudah berpuasa setahun lagi karena menunggu kembalinya resi Durvasa langsung menghaturkan santapan bagi sang resi dan mengambil sisa santapannya sebagai prashadam bagi sang raja. Kemudian sang raja membagi-bagi kerajaannya diantara para putra-putrinya dan berangkat ke ketepian Manasa-Sarovara untuk melakukan tapa semedi kepada Yang Maha Esa. Inti pesan yang tersembunyi di dalam kisah ini adalah bahwasanya tidak mudah bagi seseorang untuk meniti jalan spritual ke arah Yang Maha Kuasa, karena banyak iblis siap menghadang di jalan. Inti pesan yang kedua : Walau sudah merasa menjadi orang yang suci dan sakti sekali terjegal oleh ego, iri-hati dan angkara-murka, maka seseorang segera saja jatuh ke lembah kehinaan, contoh resi Durvasa Muni.
Inti pesanan ketiga : Yang Maha Esa menjamin dan menjaga secara pribadi para pemuja-pemujaNya dengan suatu mekanisme gaib yang baik dan sistimatis sekali. Semua halangan dan rintangan sudah dipersiapkan jalan keluarnya sesuai dengan iman sang pemuja tersebut. Yang penting sekuat apakah iman dan bakti kita kepadaNya. Seperti juga Maharaja Janaka, Arjuna dan Darmawangsa (Yudhistira) dan Parikesit, maka Maharaja Ambarisa sebagai seorang raja-resi telah menunjukkan pedoman dan ajaran yang maha adi-luhung bagi kita semua. Selamat berjuang di jalan Yang Maha Esa, Om santih-santih-santih, OM TAT SAT.
Bagian  II
“Penyelamatan Nyawa Durvasa Muni”
1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit  : “Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa. Dengan penuh rasa duka-cita dan penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja dan menyentuh kedua telapak kakinya penuh rasa hormat.”
2.       “Sewaktu sang resi menyentuh kakinya, sang raja merasa teramat malu, dan sewaktu menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya, sang raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa kepada Sang Sudharsana Cakra.”
3.       “Berkatalah sang raja : “Wahai Sudharsana, Dikau adalah sang Agni, Dikau juga adalah sang Surya dan Somah (rembulan), terutama, diantara semua yang terang benderang di langit. Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual (suara, rasa, bentuk, dan sebagainya), dan Dikau adalah indra-indra itu sendiri.”
4.       “Wahai Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa), Dikau memiliki beribu-ribu gerigi. Wahai pemimpin dunia materi, penghancur semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa, daku menghaturkan puja hormatku kepadaMu. Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni brahmana ini.”
Keterangan : Secara tersirat kami berpikir bahwa kemungkinan kata Sudharsana Cakra berasal dari kata Sudhar (sadar, kesadaran murni = eling) dan dharsana = penampakan murni dari Yang Maha Esa, jadi kemungkinan besar Sudharsana bisa juga berarti Yang Maha Esa itu sendiri dalam bentuk atau Manifestasi murni yang bercahaya dan bertenaga dashyat (Aura Ilahi) yang mengayomi secara khusus seluruh jagat-raya dan isinya dan hanya dapat disaksikan dan dirasakan Kehadirannya oleh mereka-mereka yang telah murni kesadarannya seperti Raja Ambarisa, Arjuna dan resi Vyasa, dan selalu disebut-sebut di berbagai shastra-vidhi secara tersirat.
5.       “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau adalah agama, Dikau adalah kebenaran, Dikau adalah pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan, Dikau adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan, Dikau adalah pengayom seisi alam-semesta ini, dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari pancaran Yang Maha Esa. Dikau adalah dharsana murni, oleh karena itu Dikau dikenal sebagai Sudharsana. Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).”
Keterangan : Diatas terdapat tersirat “sikap” yang jelas sekali yang menyatakan  bahwa Sudharsana Cakra adalah Teja Yang Maha Dashyat yang terpancar dari Yang Maha Esa itu sendiri.
6.       “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya, oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama (akhila dharma setawe). Dikau ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur adharma (adharma sila). Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka (tri-loka), Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran), Dikau penuh dengan berbagai ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil menghaturkan hormat bagiMu.”
Keterangan : Kata Namah atau Namoh, Namo adalah kata-kata yang bersifat sangat halus dan diucapkan terhadap Yang Maha Tinggi, contoh untuk menggambarkan atau menghormati Tuhan Yang Maha Esa atau para istha-dewata, dan biasanya hanya dijumpai dalam mantram-mantram yang sakral sifatnya saja seperti misalnya, “Om Namah Sri Krishna Vasudeva Namaha”, “Om Nama Shivaya”, “Om Namo Sri Ganeshya Ganapati Namaha”, dan sebagainya.
7.       “Wahai pemimpin dari berbagai pembicaraan (diskusi, girampate), dengan cahayaMu, yang penuh dengan prinsip-prinsip dharma, kegelapan dunia ini dapat diterangi, dan ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci. Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu, karena setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bersifat agung dan kecil, adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’
8.       “Wahai Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke antara (ke tengah-tengah kawanan) daityas dan Danawas (para setan, dedemit, raksasa, asuras, dan sebagainya). Dikau menghancurkan dan memotong tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.”
9.       “Wahai pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini. Pengampunan ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.”
10.  “Seandainya keluarga kami telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima, seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama, seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik, seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar, (maka), kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.”
11.  “Seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Tak Terukur oleh sang waktu, yang adalah sumber dari segala sifat gaib, yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup, memberkahi kami, (maka) kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni, dibebaskan dari rasa sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.”
12.  Sri Sukadwa Goswami melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah menjadi tenang dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa Muni ini.”
13.  Durvasa Muni yang teramat sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api Sudharsana cakra ini. Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja Ambarisa dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara utama).
14.  Durvasa Muni berkata : “Wahai raja yang kuhormati, hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang Maha Esa, walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi kesejahteraanku.”
15.  “Bagi mereka-mereka yang telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja sejati, apakah yang mustahil dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?”
16.  “Apa yang tidak mungkin bagi hamba-hamba Tuhan ? Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu bisa disucikan (ibarat nirmala).”
17.  “Wahai raja, daku sangat menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.”
18.  (Pada saat itu) Sang Raja memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni dan selama masa menanti ini beliau mempertahankan puasanya. Selanjutnya dengan kembalinya sang resi, Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran.
19.  Demikianlah dengan penuh rasa hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni, yang setelah selesai bersantap berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa, “silahkan bersantap wahai Raja !”
20.  Berkatalah Durvasa muni : “Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini wahai raja yang kuhormati. Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu, tetapi kemudian melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa yang sangat terhormat dan agung (di mata Tuhan Yang Maha Esa). Hanya dengan memandangmu, dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan berkata-kata denganmu, daku merasa teramat berbahagia dan (bahkan) telah berhutang budi dan nyawa kepadamu.”
21.  “Selanjutnya setiap wanita yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini, dan masyarakat dunia akan selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.”
22.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini; setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon teramat sakti dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa henti-hentinya memuja sang raja. Melalui berbagai titian jalan di langit, beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang bersifat mubazir tidak hadir, dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah sadar (eling).
Keterangan : Kemungkinan kunjungan sang resi yang telah sadar ini ke Brahma-loka adalah untuk menyampaikan berita mengenai keagungan para pemuja Yang Maha Esa yang lebih dijaga dan dihormati oleh Yang Maha Esa itu sendiri dibandingkan dengan para resi atau brahmana yang sok pamer kekuasaan dan kesaktian, demikian kesimpulan sementara peneliti kisah ini.
23.  Sementara pelarian Durvasa muni ke berbagai loka-loka, maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya.
24.  Setahun berlalu sewaktu Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja, dan Maharaja Ambarisa langsung saja menghaturkan penghormatan dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik (ati-pavitram), kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi memohonnya. Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara apinya Sudharsana-Cakra, beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang Maha Esa, beliau sendiri (sang raja) ternyata juga sakti mandraguna, beliau juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya, karena pada hakikatnya yang melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.
Keterangan : Sang raja tidak terkecoh oleh sidhi (kesaktian yang bisa menyesatkan para orang suci yang berada di persimpangan jalan spritual mereka) Sidhi dalam bentuk ketenaran, kesaktian, keajaiban, kedudukan dan berbagai popularitas lainnya selalu menghadang kaum suci yang masih memiliki sedikit banyak ego, angkara (ahankara), iri-hati dan sebagainya. Dan banyak kaum suci ini yang jatuh dan gagal ditengah-tengah perjalanan sadhana dan bhakti mereka, di antara mereka yang terbaik adalah seperti yang disebutkan Bhagavat-Gita di bawah ini :
Sri Krishna bersabda : “Diantara semua yogis, ia yang selalu bersemayam secara harmonis  di dalamKu, penuh dengan iman, memujaKu dengan puja bhakti secara mistis, terjalin denganKu secara intim di dalam yoga, adalah pemujaKu yang tertinggi.”
Sloka di atas sulit untuk dijabarkan kepada manusia awam, karena pada hakikatnya hubungan antara Sang Pencipta dan sang pemuja bisa terjalin secara sangat intim. Sehari saja sang pemuja tidak bertegur-sapa denganNya, ia merasa resah, gelisah dan “sakit” karena rasa rindunya kepada Beliau yang senantiasa mengayomi sang pemuja ini. Para pemuja ini sering dianggap gila dan tidak bertanggung jawab kepada sekitarnya karena selalu terserap kedalamNya, padahal ia sebenarnya diliputi oleh kesaktian yang luar biasa dan selalu tercukupi kebutuhannya.
25.  Berdasarkan iman yang tanpa pamrih ini, juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan, Maharaja Ambarisa yang sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan Vasudewa (Yang Maha Esa), dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya. Begitu dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa, sehingga selalu beranggapan bahwa swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang paling rendah statusnya.
Keterangan : Sekali seseorang manunggal dengan Jati Dirinya, maka ia akan mengenali berbagai wujud dan manifestasi Yang Maha Esa baik yang secara duniawi berwujud (Sakara Brahman) maupun yang tidak terwujud (Nirguna Brahman) seperti Brahman, Para Brahman, Paramatman, Atman, Krishna, Rama dan sebagainya dalam suatu pemahaman yang Esa dan Eka.
26.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini. Selanjutnya dikarenakan tahap bakti dan kesadarannya yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan duniawinya, dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Beliau kemudian membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya, dan memasuki tahap vanaprasta. Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa).
27.  Barangsiapa mengulang (berjapa dan mengisahkan) kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa (Bhagavatah).
28.  “Dengan karunia Yang Maha Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini dipastikan mendapatkan kebebasan spritual dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam sekejab.” 
Dengan ini berakhirlah kisah 
Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni.
 OM.....SHANTI.....SHANTI.....SHANTI
 OM.....TAT.....SAT




Tidak ada komentar:

Posting Komentar