BAB - I
BAGIAN - I
(Kisah mengenai
Nachiketas dirumah kematian)
1.
Pada suatu saat diswargaloka, Usan, putra dari Vajasrava (Gautama),
melaksanakan suatu upacara pengorbanan, dengan mengorbankan semua yang
dimilikinya. Beliau berputrakan seorang anak laki-laki yang bernama Nachiketas.
2. Sewaktu berbagai hadiah pengorbanan dipersembahkan, kegalauan (akan masa
depan ayahnya) mengusik hati sanubari Nachiketas, yang pada saat itu masih
seorang bocah kecil, dan iapun berpikir.
Keterangan :
Usan putra dari Vajasrava melangsungkan upacara pengorbanan yang disebut
Viswajit dimana ia harus menyerahkan semua harta benda yang dimilikinya kepada
para resi dan fakir miskin. Upacara ini biasanya dilakukan oleh para raja yang
berhasil mengalahkan kerajaan lainnya. Upacara ini juga biasanya dilakukan oleh
sang kepala rumah tangga, dalam hal ini sang orang tua yang bersiap-siap ke
hutan dan berburu, sambil memasuki kehidupannya sebagai Sang Sanyasi.
Pembicaraan dengan
sang cucu, Nachiketas, ini malahan penuh dengan shradha (iman), ia memahami arti
upacara yang dilaksanakan oleh ayahnya, Usan.
3.
Sapi-sapi ini telah meneguk air untuk yang terakhir kalinya, menyantap
rerumputan untuk yang terakhir kalinya, telah kering seluruh susunya dan telah
tua, kurus kering dan lemah. Sia-sia saja (tanpa kebahagiaan) loka-loka yang
akan dicapai oleh seseorang yang menghaturkan daksina dengan cara ini demi
sebuah yagna (upacara pengorbanan yang bersifat suci).
4. Ia berkata kepada ayahnya, “Ayahanda, kepada siapa dikau akan
mempersembahkan diriku ini?”, ia mengulangi pertanyaannya ini sampai tiga kali,
sampai-sampai ayahnya teramat murka dan berkata, “Pada Kematian akan
kupersembahkan dirimu”.
Keterangan :
Nachiketas yang berkesadaran tinggi paham betul bahwa ayahnya telah melakukan
yagna ini secara tidak murni, padahal upacara Viswajit ini bersifat teramat
sakral dan merupakan penyerahan total terhadap yang Maha Kuasa akan kehidupan
duniawi ini demi mempersiapkan jalan menuju ke Pencapaian Kebenaran. Anak kecil
ini sadar bahwa karena ia milik ayahnya, maka seharusnya iapun dikorbankan. Maka
ia bertanya dengan lugu sampai tiga kali, tetapi sang ayah yang merasa tersindir
oleh anak ini malahan murka dan menyatakan bahwa putranya ini akan
dipersembahkan kepada dewa kematian.
5.
Nachiketas berpikir, “Dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan
pergi paling awal, dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan pergi
ditengah-tengah semuanya ini ; pekerjaan apakah yang akan dilaksanakan oleh Yama,
Dewa Kematian, melalui diriku ini, yang telah dipersembahkan oleh ayahku ini?”
Keterangan :
Sebenarnya Nachiketas sadar bahwa ucapan ayahnya bernada kesal dan tidak
sungguh-sungguh berarti, tetapi anak yang saleh dan penuh dengan Kesadaran akan
prinsip-prinsip Sanathana Dharma tahu dan paham bahwasanya apapun yang sudah
dikatakan tidak dapat dijilat kembali, sehingga ia yang memang merupakan jenius
spiritual langsung saja mempersiapkan jiwa raganya demi yagna ayahnya ini.
Disini sidang
pembaca dapat menyimpulkan sendiri tentang hakikat dari Dharma dan adharma,
tentang seorang yang tulus dan yang tidak tulus.
Bagi Nachiketas
selama ini ia mempelajari bahwa ayahnya adalah sekaligus gurunya, dan seorang
guru itu dipercaya tidak akan melakukan hal yang salah.
6.
“Ingat bagaimana leluhur kami bertindak, pertimbangkan juga bagaimana
yang lain-lainnya bertindak pada saatnya, ibarat tanaman jagung, matilah
manusia-manusia ini, dan ibarat tanaman jagung terlahir (hidup) kembali. “
Keterangan :
Sloka
ini langsung dialamatkan oleh sang anak kepada ayahnya dan sloka ini penuh
dengan intisari kebijaksanaan yang dikandung semua Sruthis dan merupakan
pengejawantahan dari Sanathana Dharma itu sendiri. Didalam sloka ini juga
tersirat secara nyata sekali akan filosofi kelahiran kembali (reinkarnasi) yang
merupakan salah satu sendi iman kita yang paling utama.
Nachiketas yang
sadar akan karma, pralabdha dan jalan kehidupannya, pada saat ini sedang
memberikan “teguran” kepada ayahnya bahwa kehidupan itu harus terhenti suatu
saat, lalu mengapa ayahnya melaksanakan suatu bentuk adharma yang berdasarkan
ilusi duniawi, yaitu keserakahan yang sifatnya palsu.
7.
Seorang Brahmin (Brahmana) memasuki sebuah rumah ibarat api.
Manusia-manusia mempersembahkan ini agar (sang tamu) ini tenang. Vaisvata! Pergi
dan ambillah air.
Keterangan :
Diantara sloka 6 dan 7 tercipta keheningan yang dramatis dan terdengar sebuah
suara yang tak “berbentuk” membimbing Nachiketas untuk memasuki Istana Kematian.
Nachiketas memaksa ayahnya agar ia dipersembahkan kepada Dewa Kematian sesuai
dengan ucapan sang ayah, dan sang putra ini meninggalkan rumahnya dan memasuki
alam kematian.
Ada banyak teori
tentang bagaimana ia sampai kegerbangnya Yama Dewa, singkatnya ia sampai pintu
gerbang Istana Kematian tetapi harus menanti tiga hari dan tiga malam karena
Dewa Yama sedang tidak berada ditempat. Nachiketas menunggu kedatangan Dewa Yama
sambil berpuasa (suatu puasa atau upawasa adalah salah satu bentuk tapa-brata
diantara upaya-upaya disiplin yang biasanya diajarkan oleh sang guru kepada
muridnya agar jalan spiritual sang murid terbuka lebar).
Tiga hari berlalu
dan Dewa Yama pun kembali ke Istananya serta mendapatkan ada seorang Brahmin
sejati yang sedang berpuasa dirumahnya. Kata api di sloka mantra diatas berarti
seorang Brahmana yang bukan berdasarkan garis keturunannya, tetapi berdasarkan
tingkat budhi dan kesadarannya yang tinggi serta suci. Api bersifat sangat murni
dan suci. Disini Nachiketas diibaratkan sebagai seorang Brahmin sejati dan suci,
dan bagi Dewa Yama kehadiran Nachiketas adalah suatu kehormatan sekaligus beban
spiritual yang amat berat. Ia sadar bahwa
tamu yang
satu ini bukan manusia sembarangan.
8.
“Harapan, hasrat, bersama-sama dengan orang-orang yang berbudi luhur,
diskusi-diskusi penuh rasa persahabatan, pengorbanan dan pahala dari
pemberian-pemberian yang bersifat suci, putra-putra dan ternak . . . . semua
ini hancur berantakan sekiranya dirumah seorang yang kurang pengetahuan (bodoh)
tinggal seorang Brahmin tanpa memakan sesuatu (tanpa disuguhi atau diberi
santapan oleh yang empunya rumah tersebut).
Keterangan :
Didalam
ajaran Sanathana Dharma, seorang tamu yang bersifat Brahmin sejati sangatlah
dihormati oleh tuan rumah yang mendapatkan kunjungan seorang guru. Bagi sang
empunya rumah dan keluarganya, kunjungan seorang suci dianggap berkah yang amat
besar karena kaki sang orang suci ini dianggap menyucikan lantai rumah mereka.
Jadi adalah suatu perbuatan yang nista kalau sampai terjadi tamu semacam ini
tidak dihormati secara layaknya. Tiba-tiba saja Yama Raja mendapatkan seorang
tamu suci dengan sifat-sifat seorang Brahmin sejati dirumahnya dan betapa
terkejutnya beliau mengetahui bahwa sang tamu belum mendapatkan suguhan apapun
juga selama tiga hari, bahkan sambil menunggu sang tamu malahan berpuasa selama
tiga hari. Sruthi menyatakan bahwa seorang yang mengabaikan Brahmin yang sejati
disebut apamedhasah (seorang yang alpa, idiot, bodoh sekali). Sanathana Dharma
tidak berlaku untuk manusia saja, tetapi aturan-aturan dharma ini juga harus
ditaati oleh para dewa dewi, bodhisatwa dan yang lainnya karena mereka adalah
panutan dan penuntun manusia.
Didalam konsep
Sanathana Dharma seorang tamu disebut sebagai Athihi-Narayana (atau manifestasi
dari Tuhan itu sendiri). Memberikan santapan kepada seorang suci yang
berkarakter Narayana Bhav dianggap sebagai salah satu dari Pancha Maha Yagna
(Lima Pengorbanan Utama). Bagi sidang pembaca harus hati-hati membedakan
bahwasanya tidak semua yang berkasta Brahmana harus dihormati, tetapi hanya
orang-orang budiman yang menyandang sifat-sifat mulia sajalah yang harusnya
dihormati dan dijadikan panutan serta diibaratkan sebagai seorang guru sejati
dan insan mulia ini dapat saja berasal dari varna apa saja. Ciri-ciri insan yang
agung ini selalu sederhana pembawaannya walaupun ia berasal dari golongan apapun
juga, ia selalu penuh wibawa, pesona dan cahaya spiritual.
9.
Yama berucap : “Wahai Brahmana, dikau adalah tamu kami yang terhormat,
dan telah tinggal selama tiga malam dirumah kami tanpa menyantap sesuatu apapun
juga. Oleh karena itu untuk penggantinya, kami mohon dikau untuk meminta tiga
hal yang berkenan dihati kepada kami, wahai Brahmana, kami bersujud dihadapanmu.
Semoga Kebajikan beserta denganku senantiasa.”
Keterangan :
Suatu
hal yang mengejutkan tentunya bagi sidang pembaca untuk mengetahui bahwa Yama
Raja yang ditakuti oleh semua mahluk dan bahkan oleh para dewa dan manusia
ternyata bersujud dan memohon maaf kepada seorang anak yang baru berusia
sembilan tahun. Ada suatu nilai luhur yang telah hilang dibumi kita ini, yaitu
menghormati orang lain yang lebih mulia. Umumnya kita yang merasa diri berkasta
tinggi harus dihormati dengan bahasa yang khusus, dengan segala tata cara yang
feodalistis. Seharusnya kita lebih banyak berintrospeksi dari cara Yama Dewa
menghadapi Nachiketas ini. Dewa Kematian yang memegang otoritas tertinggi
dijajaran dewa dewi ternyata juga adalah seorang Brahmin sejati.
10. Nachiketas berucap : “Wahai Kematian! Permintaanku yang pertama agar
ayahku (Gautama) bersikap welas asih, bajik dan jauh dari rasa amarah terhadap
diriku, dan agar ia mengenalku dan menyambutku, sewaktu aku pulang dari
kediamanku ini.”
Keterangan :
Sekali
lagi Nachiketas memperlihatkan sifat-sifat Brahminnya yang sejati. Tanpa
memikirkan dirinya pribadi, yang diminta adalah kebajikan semata-mata bagi
ayahnya, suatu contoh kesaputraan yang teramat mulia, walaupun ia telah
dikorbankan oleh ayahnya kepada Dewa Kematian.
11. “Melalui kehendakku, Anddalaki, putra Aruna, akan mengenalmu kembali
seperti sebelum ini. Ia akan tidur secara damai dimalam hari, sewaktu ia
menyaksikan dikau terlepas dari mulut kematian, ia akan kehilangan amarahnya.”
Keterangan :
Di
sloka ini Yama Raja langsung saja memenuhi permintaan Nachiketas yang pertama.
Ayahanda Nachiketas mempunyai empat nama, yang di Upanishad disebut-sebut
sebagai Gautama, Anddalaki, Aruni dan Vajasravasah. Kata Gautama mungkin adalah
kata penghormatan baginya.
12.
Di swargaloka tidak terdapat rasa khawatir. Dikau tidak berada disana ;
juga disana tidak terdapat kekhawatiran akan hari tua. Setelah menyeberangi rasa
lapar dan rasa haus, seseorang di swargaloka berbahagia karena telah berada
diatas (melampaui) rasa kesedihan.
Keterangan :
Sambil
mempersiapkan permintaannya yang kedua, Nachiketas mengagungkan kehidupan di
swargaloka yang jauh dari berbagai penderitaan dan kekhawatiran akan hari tua.
Manusia mempunyai lima tahap kehidupan yaitu kelahiran, masa kanak-kanak, masa
muda, usia tua dan kematian. Sedangkan para dewa di swargaloka hanya memiliki
tiga tahap pertama. Pada masa yang silam, yaitu pada jamannya Veda-Veda, Dewa
Kematian dianggap sebagai dewa pembimbing seseorang kepintu sorga, pada masa
kini Beliau dianggap sebagai dewa yang menakutkan, karena persepsi manusia telah
berubah dari petunjuk-petunjuk Veda yang sarat dengan nilai-nilai spiritual yang
mulia ke nilai-nilai duniawi yang sarat dengan materi pada saat ini.
13.
“Wahai Kematian, Dikau faham akan api yang menuju kearah swargaloka ;
terangkan kepadaku yang penuh dengan rasa keingintahuan yang amat mendalam ini,
akan unsur api ini, yang digunakan oleh mereka-mereka yang menginginkan
kehidupan yang di sorga, inilah permintaanku yang kedua.”
Keterangan :
Banyak
manusia didunia ini yang menghabiskan waktu mereka dengan melakukan berbagai
upacara, upaya spiritual, dana-punia, dan berbagai bentuk kebajikan agar
mendapatkan pahala yang berupa kehidupan yang abadi di swargaloka. Bagi seorang
Yogi atau Brahmin seperti Nachiketas, orang-orang ini adalah insan-insan yang
bodoh, karena sebenarnya kehidupan disorgapun tidak abadi dan ada masa habisnya
; demi mereka-mereka ini ia memohon suatu petunjuk rahasia yang bersifat teramat
mendalam yaitu sesuatu yang berhubungan dengan karma umat manusia. Kita lihat
disini bahwa Nachiketas sebenarnya ingin menuntun umat manusia agar keluar dari
unsur-unsur untuk mendapatkan pahala secara spiritual ; dan untuk itu ia memohon
petunjuk kepada Yama Raja agar diberi ajaran pembebasan secara spiritual dari
ilusi duniawi ini (termasuk didalamnya adalah swargaloka itu sendiri) yang
sebenarnya bukanlah tujuan sejati kehidupan kita sebagai manusia dibumi ini.
Seorang Hindu sejati seharusnya tidak mendambakan swargaloka, tetapi ia
seharusnya menyadari akan hakikat dirinya sendiri dahulu sebagai Sang Atman yang
berasal dari Yang Maha Atman (Paramatman). Secara tersirat dan hanya dimengerti
oleh Yama Raja, sebenarnya Nachiketas melalui permintaannya yang kedua memohon
agar diberi pengajaran suatu bentuk ajaran spiritual yang teramat rahasia demi
kebebasan umat manusia dari ilusi duniawi dan spiritual ini yang merupakan
hambatan kita kepenyatuan dengan Sang Atman dahulu lalu ke Sang Paramatman, yang
adalah sebenarnya misi kita yang sejati, yang dilahirkan sebagai manusia yang
berbudi (intelek).
14. “Akan kami terangkan kepada dikau secara baik ; wahai Nachiketas,
perhatikanlah ucapan-ucapan kami ini, kami tahu akan api yang menuju ke
swargaloka ; pahamilah bahwa api (agni) yang menuju ke swarga ini adalah juga
api yang menunjang alam semesta dan yang bersemayam didalam relung hati sanubari.”
Keterangan :
Mulailah Yama Raja mengungkapkan rahasia alam yang disebut Agni-Vidya (ilmu
pengetahuan atau pemujaan kepada Dewa Agni). Bagi manusia-manusia yang kurang
paham akan nilai sesungguhnya, ia akan memuja Dewa Agni dengan berbagai ritual
dan mengharapkan berbagai pahala. Bagi yang paham akan rahasia Agni ini secara
sesungguhnya akan terbebaskan dari dunia ini. Agni atau api adalah unsur
penunjang secara makro-kosmik dialam semesta ini dan dikenal sebagai Virat. Ia
juga terletak direlung sanubari manusia yang berarti bahwa api ini adalah budhi
(intelek spiritual) kita yang hanya terdapat didalam nurani kita yang paling
dalam ibarat sebuah gua yang gelap dan teramat dalam (nihitam guhayam).
Sloka diatas
menyadarkan kita bahwa bukan ritual yang penting tetapi penghayatan akan arti
dan makna dari sesuatu pengorbanan, itulah yang harus dipahami secara sadar dan
benar sebagai jembatan kearah pembebasan yang hakiki sifatnya.
Yama kemudian
menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini, sumber dari
berbagai loka-loka, batu-batu bata jenis apa yang harus dipergunakan sebagai
altar, berapa jumlah dan bagaimana menata batu-batu bata ini dan Nachiketas
mengulang kembali semua itu kepada gurunya sama seperti yang dijelaskan oleh
sang guru. Kemudian Dewa Yama yang sangat terkesan dan bahagia dengan muridnya
berkata lagi.
15. Yama kemudian menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini,
sumber dari berbagai dunia (loka-loka); batubara jenis apa saja yang harus
dipergunakan sebagai altar, kemudian berapa jumlah dan cara menata susunan
batu-batu bata ini, dan Nachiketas mengulang kembali semua itu kepada gurunya
tepat seperti yang dijelaskan oleh Sang Guru. Dewa Yama yang sangat terkesan dan
berbahagia dengan sang murid ini, kemudian berkata lagi.
Keterangan :
Tidak
diterangkan dikarya ini apa saja sebenarnya yang diajarkan oleh Yama Raja kepada
Nachiketas, tetapi tentunya sesuatu yang teramat rumit dan memakan waktu agar
sang murid gagal mencernakannya, ternyata Nachiketas adalah seorang murid yang
jenius dan berbakti secara tulus dan ia mampu menjelaskan kembali semua ajaran
Dewa Yama secara tepat dan terperinci. Tentu saja sang guru merasa bangga dan
teramat puas serta berbahagia mendapatkan murid berbakat semacam ini, dan
langsung saja Yama Raja memberikan sebuah anugerah kepadanya.
16.
Merasa sangat puas, Kematian yang bersifat mahatma (Maha Atma) ini
berucap kepadanya : “Kuberikan kepadamu sebuah anugerah yang lain ; upacara
pengorbanan api ini akan menggunakan namamu; dan ambillah olehmu untaian kalung
yang beraneka rupa ini.”
Keterangan :
Yama
Raja menganugerahkan seuntai kalung yang beraneka rupa wujudnya kepada
Nachiketas. Dalam bahasa Sansekerta dikarya Upanishad ini, kalung tersebut
disebut sebagai sringam yang dapat berarti :
1.
kalungan – contoh kalungan bunga.
2.
dapat juga berarti tindakan-tindakan yang dapat menghasilkan berbagai
pahala yang bersifat mulia dan agung.
Menurut ajaran
Shri Sankara Acharya, seorang maha filsuf dimasa yang lalu, kemungkinan Yama
Raja telah menganugerahkan sebuah ajaran mistik teramat rahasia kepada
Nachiketas, juga beliau memperkirakan mungkin saja kalungan ini dapat juga
berarti “jalan”, yaitu sebuah ajaran.
17. Barangsiapa melaksanakan upacara pengorbanan Api Nachiketas ini selama
tiga kali dan telah bersatu dengan “tiga” serta telah melaksanakan tiga
kewajiban, maka ia akan melampaui kelahiran dan kematian. Sewaktu seseorang
memahami akan Api yang abadi dan bercahaya ini, yang lahir dari Sang Brahman dan
menyadari akan hakikat keberadaan Yang Maha Esa, ia akan mendapatkan kedamaian
yang abadi.
Keterangan :
Kata
“tiga” diatas berarti tiga kali atau rangkap tiga. Pengorbanan api gaya
Nachiketas rangkap tiga dapat diartikan seseorang yang mempelajari, memahami dan
melaksanakan Agni-Hotra. Juga dapat diartikan seseorang yang sudah tiga kali
melaksanakan upacara ini dapat juga ditafsirkan sebagai tiga jenis Agni-Hotra
yaitu Garhapatya-Agni, Ahavantya-Agni dan Daksina-Agni.
Tetapi pendapat
ahli Upanishad yang lain mengatakan rangkap tiga disini dapat berarti :
a.
seseorang yang telah mendapatkan berkah dari orang tua atau guru ;
b.
seseorang yang telah mendapatkan saripati dari tiga bentuk ilmu
pengetahuan, contohnya pathyaksha pramana (persepsi langsung), anumana pramana (sabda
para kaum bijak, atau agama) ;
c.
menurut Shankara dapat juga berarti Veda, Smritis dan Shastras.
Tiga bentuk
kewajiban yang disebutkan dalam sloka diatas adalah kewajiban seorang Brahmana
sehari-hari yaitu pengorbanan, membaca (japa) mantra-mantra Veda tertentu dan
berdana-punia. Mereka-mereka yang memenuhi ketiga kriteria tersebut diatas akan
terlepas dari siklus (kematian dan kelahiran) yang berulang-ulang dikerajaannya
Dewa Indra, sewaktu mereka ini menyadari akan hakikat Sang Jati Diri (Api) ini.
18.
Barangsiapa yang memahami tiga Api Nachiketas berdasarkan ilmu
pengetahuan ini, membebaskan dirinya dari belenggu kematian dan pergi jauh
melampaui berbagai penderitaan, ia berbahagia disorga.
Keterangan :
Upanishad ini menerangkan, bahwa barangsiapa melaksanakan bentuk Agni-Hotra
Nachiketas ini dengan mengagungkan jalan karma dengan disertai meditasi (upasana)
akan menyadari Sang Jati Dirinya sebagai Virat (Makrokosmik, buana agung). Yama
Raja di sloka mantra ini menyimpulkan nasehat-nasehatnya mengenai upacara api
Nachiketas ini dengan mengagungkan Karma (pekerjaan sehari-hari sebagai
pahalanya). Beliau menyatakan barangsiapa paham akan tiga bentuk api Nachiketas
ini akan terbebaskan dari belenggu kematian. Dan ketiga bentuk Agni-Vidya ini
adalah :
a.
batu bata ;
b.
jumlah batu-batu
c.
tatacara pelaksanaan upacara.
Ketiga faktor ini
sebenarnya adalah symbol-simbol dari berbagai upaya pelaksanaan demi mencapai
kesadaran Sang Atman didalam diri kita; seseorang yang telah menyadari akan
hakikat Sang Atman didalam dirinya akan mencapai tahap Hiranyagarbha (Brahmaloka)
setelah kematiannya.
19. Ini
adalah tri-agni wahai Nachiketas, yang menuju ke swargaloka yang dikau dambakan,
melalui permintaanmu yang kedua, insan-insan (didunia) akan menyebut Api ini
sebagai milikmu semata-mata. Wahai Nachiketas, mintalah permintaan yang ketiga.
Keterangan :
Dewa
kematian sangat berbahagia dan puas akan daya intelegensia sang murid dan juga
akan keluhuran budinya dan sang dewa ini segera menganugerahkan berkahnya
berkali-kali bahkan Yama menyatakan semenjak saat itu ritual pengorbanan
tersebut akan dikenal sebagai Agni-Hotra Nachiketas.
Lebih dari itu,
sebelum sang murid lupa, Dewa Kematian mengingatkannya bahwa permintaan ketiga
belum juga diajukan walaupun Yama telah memberikan anugerah yang lainnya, Dewa
Yama tetap bersikap sportif dan ingin menganugerahkan berkah yang ketiga.
20. Ada
semacam keragu-raguan bahwasanya sewaktu seseorang meninggal dunia . . . . . .
ada yang mengatakan ia sudah tidak eksis dan ada yang mengatakan ia masih eksis
. . . . daku ingin mengetahui tentang hal ini sebagaimana yang diajarkan olehmu.
Ini permintaanku yang ketiga.
Keterangan :
Menurut berbagai
kalangan peneliti spiritual di India, dari berbagai kurun waktu yang berlainan,
Nachiketas adalah seorang jenius spiritual.
Pertama ia memohon
kebajikan untuk orang tuanya, kemudian ia memohon ilmu pengetahuan mengenai
kebebasan spiritual bagi umat manusia, ketiga pada saat kesempatan ini ia
memohon penerangan yang terperinci mengenai keberadaan seseorang setelah orang
tersebut meninggalkan raga yang fana ini dan bertransmigrasi ke loka-loka yang
lainnya. Apakah manusia yang telah tiada lagi didunia ini, masih dapat disebut
eksis (ada) atau sudah tidak eksis (tiada) lagi?
Dengan pertanyaan
ini sekali lagi umat manusia diuntungkan oleh Nachiketas khususnya pengikut
Sanathana Dharma. Manusia modern boleh bertanya kepada dirinya yang selama
hidupnya secara mati-matian menumpuk harta kekayaan bagi diri dan keluarganya,
apa saja yang telah mereka lakukan demi kemanusiaan. Seharusnya kita malu kepada
Nachiketas yang baru berusia sembilan tahun, tetapi telah memikirkan nasib umat
manusia ini. Yama Dewa sangat terkejut karena sekali ini mau tidak mau ia harus
mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh “diketahui” umat manusia. Ia
berusaha sedapat mungkin mengelak dari pertanyaan ini.
21. Dari
sudut titik ini bahkan para dewa yang diciptakan pada masa yang lalu masih
terselubung oleh keragu-raguan akan arti dan hakikat kematian. Amat sukar untuk
memahami kematian ini yang begitu lembut sifatnya. Wahai Nachiketas, pilihlah
sebuah pertanyaan yang lain saja; jangan menekanku dengan pertanyaan yang satu
ini, biarkan hal itu diserahkan kepadaku saja.
Keterangan :
Sebenarnya Yama Dewa bukan tidak mau membuka rahasia tentang kematian kepada
Nachiketas, tetapi sebagai lazimnya seorang guru yang baik dan bertanggung jawab,
beliau ingin memastikan diri dulu apakah betul-betul sang murid sudah siap jiwa
raganya dan juga bathinnya untuk menerima ajaran agung ini. Bukan seperti
dizaman edan dewasa ini, siap atau belum siapnya seseorang, ia dapat menyuap
sang guru dan segera lulus. Seorang guru adalah seorang Brahmin yang sejati,
yang bertanggung jawab bukan saja pada dirinya pribadi tetapi juga terhadap
masyarakat luas dan kepada Sang Pencipta itu sendiri. Tidak mudah mendapatkan
guru berkarakter sedemikian mulia dizaman yang serba cepat dan materialistis ini.
22. Dikau
mengatakan, wahai kematian, bahwa bahkan para dewa ragu-ragu akan hal ini dan
sukar sekali untuk memahami akan hakikat kematian ini. Tidak ada seorang yang
lain selain dikau, yang dapat aku temukan, yang mampu menjawab pertanyaanku ini.
Tidak ada permintaan yang dapat menyamai permintaan yang satu ini.
Keterangan :
Kalau para dewa
saja tidak paham akan hakikat kematian, apalagi kita manusia dan mahluk-mahluk
lainnya, demikian pikir Nachiketas. Tetapi Dewa Kematian adalah seorang dewa
yang lain daripada yang lain, beliau bahkan lebih berkuasa dan mengetahui segala
sesuatu tentang kematian karena itu adalah tugasnya sehari-hari.
Beliau pasti
memahami akan Sang Jati Diri, pikir Nachiketas, karena beliaulah otoritas
tertinggi dibidang ini, jadi tidak mungkin ada guru yang lebih piawai selain
Dewa Kematian.
23.
“Ambillah olehmu, putra-putra dan cucu-cucu laki-laki
yang dapat berusia ratusan tahun, dan atau ternak, gajah, emas, dan kuda-kuda
dalam jumlah yang tak terbatas. Ambillah harta benda seluas bumi ini, dan
hiduplah sepanjang masa yang dikau kehendaki.”
Keterangan :
Inilah jalan Sidhi
yang selalu diberikan oleh seorang guru, dewa atau oleh Yang Maha Kuasa kepada
seseorang yang sedang meniti jalan kebenaran. Begitu bhakta tergiur oleh harta
benda atau kekuatan-kekuatan (bhal) tertentu, maka melencenglah ia dari tujuan
meditasi atau jalan dharmanya. Sudah menjadi suatu bentuk pengujian sang guru
akan menyesatkan murid-muridnya, sang guru juga sebenarnya sudah tahu kekuatan
sang murid dan sudah yakin siapa yang lulus dan yang tidak lulus ujiannya.
24.
Adalagi yang dapat kau pilih yang tidak kalah dari anugerah yang diatas,
sekiranya pantas dan layak untukmu yaitu kekayaan dan usia yang panjang ;
sebagai raja diatas bumi yang luas ini, Nachiketas, aku akan membuatmu menikmati
seluruh hasrat-hasratmu.
Keterangan :
Tetapi Nachiketas
tetap tidak bergeming dari pendiriannya, walaupun ia ditawari dengan berbagai
kenikmatan dan harta benda duniawi ini. Dalam sejarah Sanathana Dharma sudah
beberapa resi dan raja yang jatuh dalam ujian-ujian semacam ini.
25.
Apapun yang sulit dicapai didunia yang serba fana ini, dapat kau minta
sesuai dengan kehendakmu. Bagaimana kalau kuberikan bidadari-bidadari nan cantik
jelita lengkap dengan perangkat musik sorgawi dan kereta-kereta kencana yang
tidak mungkin dapat dinikmati oleh manusia, ambillah mereka, wahai Nachiketas!
Tetapi jangan dikau bertanya akan keadaan Sang Jiwa seseorang yang telah
meninggal dunia.
Keterangan :
Sekali lagi Yama
Dewa menguji ketegaran sang murid yang masih berusia sangat muda ini, tetapi
tetap saja Nachiketas tak tergiur oleh semua tawaran duniawi dan sorgawi ini.
Sebenarnya para dewa dewi pantang untuk berhubungan dengan manusia secara
perkawinan, Yama Dewa melanggar ketentuan ini demi lestarinya ajaran rahasia ini,
tetapi tetap saja sang murid tidak mundur dari pendiriannya.
Banyak yang
berpendapat seorang anak kecil yang masih ingusan tentu saja tidak tahu akan
soal sex dan sebagainya. Tetapi rupanya Nachiketas adalah seorang yang berjiwa
mulia yang sudah sempurna, sehingga umur tidak menjadi penghalang lagi karena ia
adalah seorang Brahmin dalam arti yang hakiki.
26.
Semua ini tidak abadi sifatnya, wahai Kematian, semua ini akan layu,
begitupun apa yang memanasi indra manusia. Bahkan usia yang terpanjang adalah
pendek. Dan semua kereta kencana, musik dan tari-tarian sorgawi ini sebenarnya
adalah milikmu semata-mata.
Keterangan :
Nachiketas walau
masih sangat muda usianya sadar sekali bahwa semua pemberian ini hanya manis
pada mulanya, tetapi lama kelamaan setiap kenikmatan inipun menimbulkan
kejenuhan dan penderitaan pada setiap insan ; apa gunanya umur panjang, kalau
selalu sakit-sakitan dan anak cucu saling berkelahi memperebutkan warisan. Semua
ini malahan menjadi beban dimasa kemudian. Nachiketas malahan terkesan jijik
dengan semua tawaran ini.
27.
Seorang manusia tidak dapat terpuaskan dengan harta benda belaka.
Seandainya diperlukan harta benda dapat kami peroleh dari dharsanamu. Kamipun
dapat hidup sepanjang yang Dikau kehendaki. Jadi hanya permohonan yang kuajukan
saja yang sebenarnya pantas kudapat.
Keterangan :
Tidak lebih dan
tidak kurang secara tegas anak ini menuntut haknya semata dan semua itu ia
haturkan dengan penuh hormat kepada gurunya. Padahal setiap hari manusia ini
memuja ditempat-tempat suci dan meminta ini-itu kepada para dewa dan Yang Maha
Kuasa tanpa ada habis-habisnya, seakan-akan Yang Maha Esa itu adalah pegawai
kita yang harus melayani kita. Jarang kita sadar apa yang menjadi hak kita dan
apa yang bukan hak kita sesungguhnya, karena terliput oleh berbagai nafsu dan
hasrat duniawi yang tidak ada habis-habisnya.
Hanya dengan
menghaturkan sebatang dupa dan sedikit bunga kita sering sekali meminta hal-hal
yang bersifat fantastis kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nachiketas ternyata malahan
tidak tertarik akan semua pesona duniawi karena dibalik pesona ini hanya
terdapat penderitaan yang menyakitkan.
28.
Apakah yang dapat diperoleh oleh seseorang yang berusia lanjut dan telah
menikmati berbagai kenikmatan dunia ini (tetapi akhirnya harus mati juga),
setelah ia menghadap seseorang yang bersifat abadi.
Keterangan :
Nachiketas sangat
sadar bahwa dihadapannya hadir seorang yang bersifat abadi, dan pertemuan ini
mungkin tidak akan terulang lagi bagi manusia yang lain, jadi selain ilmu
pengetahuan tentang keabadian itu sendiri tidak ada lagi hal lain yang lebih
penting dan berguna baginya dan bagi umat manusia itu sendiri.
Kata orang-orang
Jawa yang bijak, dunia ini hanya tempat persinggahan yang bersifat sementara dan
hanya untuk menumpang minum saja. Kata minum walau terkesan kiasan yang
sederhana sebenarnya juga dapat berarti menimba ilmu pengetahuan. Sayang manusia
malahan menjadikan semua sarana duniawi ini untuk menyesatkan dirinya dari pada
memanjat lebih jauh dengan ilmu pengetahuan.
29.
“Wahai Kematian, beritahukanlah kepada Kami tentang kematian ini, karena
manusia penuh dengan keragu-raguan akan hal ini, yang merupakan jalan kedunia
yang lain. Aku tidak memilih yang lain, selain ilmu pengetahuan Sang Jiwa ini."
Dengan demikian
berakhirlah Vali pertama dari Bab Pertama
BAGIAN – 2
(Ajaran Dewa Kematian akan Keabadian …….
Pengertian dan Kekhawatiran akan Realitas Nan
Abadi)
1.
Yama berucap : “ Yang satu penuh dengan kebajikan, dan yang satunya lagi
penuh dengan kenikmatan. Kedua factor ini memiliki tujuan-tujuan yang berlainan
tetapi kedua-duanya membelenggu setiap manusia. Barangsiapa diberkati maka ia
akan memilih kebajikan semata-mata diantara kedua sifat tersebut, tetapi
barangsiapa memilih kenikmatan, maka ia akan kehilangan ujung (jalan) kebenaran.
Keterangan :
Sudah menjadi
sifat dasar setiap manusia untuk selalu mencapai kebahagiaan dan menikmatinya
dari segala sisi. Sifat kebahagiaan ini adalah salah satu kenikmatan duniawi dan
manusia cenderung sedih atau menderita kalau kekurangan atau kehilangan sedikit
saja. Sesuatu yang penuh dengan kebajikan belum tentu memberikan kenikmatan,
malahan mungkin penuh dengan penderitaan, walaupun kadang-kadang ada sifat-sifat
kebajikan yang menghasilkan kenikmatan. Seseorang yang meniti jalan kebajikan
dengan susah payah, pada suatu masa akan mencapai ujung jalan tersebut yang
disebut Ujung Kebenaran yang hakiki, tetapi karena manusia cenderung berbuat
kebajikan oleh motif-motif penuh pamrih, maka sering sekali ia tersesat diujung
jalan yang penuh dengan kebahagiaan yang bersifat duniawi. Dipihak lain dalam
kenikmatan adalah jalan yang penuh dengan dosa dan kebatilan. Kedua jalan
tersebut tanpa penalaran yang sejati dan tulus sebenarnya adalah belenggu bagi
setiap manusia.
2.
Kebajikan dan kenikmatan, kedua-duanya mendekati setiap manusia ;
seseorang yang cerdas meneliti dan memilih satu diantara kedua factor ini ; bagi
seorang yang cerdas, ia akan memilih kebajikan dan bagi yang kurang
pengetahuannya, ia akan memilih kenikmatan demi kepuasan raganya.
Keterangan :
Manusia secara
duniawi (karmanya) adalah perencana masa depannya sendiri. Yang Maha Kuasa telah
menyediakan kedua jalan tersebut bagi kita dan Beliaupun telah memberikan
kebebasan terbatas kepada manusia untuk memilih jalan mana saja yang kita
kehendaki.
3.
Wahai Nachiketas, dikau telah menanggalkan berbagai nafsu dan hasrat akan
objek-objek duniawi yang manis ini, dikau telah mempelajari hasil yang
sebenarnya dari setiap objek duniawi ini, dikau tidak menghendaki “jalan
kekayaan” ini, dijalan mana telah banyak manusia yang tenggelam.
4.
Kedua factor, kekurang-pengetahuan (kebodohan) dan ilmu pengetahuan
mempunyai jarak yang amat luas (diantara mereka) dan menuju ke tujuan-tujuan
yang berbeda. Aku yakin Nachiketas telah memilih jalan ilmu pengetahuan, karena
berbagai ragam nafsu dan hasrat tidak sanggup menggoncangmu.
5.
Orang-orang yang bodoh, yang hidup ditengah-tengah kegelapan tetapi
berkhayal seakan-akan bijaksana dan berilmu tinggi, jalan berkeliling melalui
berbagai jalan yang berkelok-kelok, ibarat seorang buta yang dituntun oleh orang
buta yang lainnya.
Keterangan :
Janganlah
mentang-mentang menyandang kasta Brahmana atau merasa sangat paham akan
Ved-Shastra dan lain sebagainya, lalu seseorang merasa dirinya atau golongannya
saja yang benar. Pandita atau Brahmana semacam ini diibaratkan dengan
orang-orang yang buta, bayangkan kalau mereka menuntun umat yang juga buta.
6.
Jalan ke Dunia setelah ini tidak terlihat oleh seseorang yang bodoh yang
bersifat kekanak-kanakn, karena terbius oleh harta bendanya. Ia berpikir, “Hanya
inilah dunia ini “, dan tidak ada dunia yang lain, dengan demikian ia tersandung
lagi dan lagi dibawah pengaruhku.
7.
Ia (Sang Jati Diri, Atman) tidak mampu didengarkan oleh banyak manusia di
dunia ini, dan kalau ada yang pernah mendengarkan tentang Dirinya, belum tentu
sadar dan menghayati akan keberadaanNya ; menakjubkan sekali (kalau demikian
halnya), sekiranya kita dapat menemukan seseorang yang mampu mengajari dirinya
akan Sang Atman ini; menakjubkan sekali sekiranya ada yang sadar dan paham akan
Sang Jati Diri ini, begitu ia diajarkan oleh gurunya.
Keterangan :
Ilmu pengetahuan
tentang Sang Jati Diri (Atman) disebut juga sebagai Brahman-Vidya (ilmu
pengetahuan tentang Sang Pencipta). Menurut beberapa orang ahli, Resi Vyasa
mungkin mendapatkan ilham dan inspirasi dari karya Kathopanishad ini sewaktu
beliau mengarang Shrimad Bhagavatham. Juga diduga Bhagavat Gita pun terpengaruh
oleh ajaran-ajaran yang ada dikarya agung dan suci ini. Secara teoritis kita
mungkin sudah banyak membaca dan mengetahui tentang Sang Atman, tetapi yang
sudah merealisasikannya ada berapa orang? Bagaimana merealisasikannya didalam
kehidupan duniawi dewasa ini, dimana manusia cenderung bersifat economic-animal
(binatang-ekonomi). Tujuan kehidupan dewasa ini sudah bergeser dari realisasi
akan nilai-nilai Ketuhanan kenilai-nilai ekonomi dimanapun juga ; dari negara
adidaya ke Indonesia ini, kesemuanya terkena imbas ekonomi ini. Setiap manusia
dari yang paling miskin sampai ke negarawan, telah terjerat dan terbius oleh
nilai-nilai ekonomi Barat yang ternyata sangat menyengsarakan manusia dan
menjauhkannya dari dunia spiritual dan penghayatan akan Tuhan Yang Maha Esa.
Akibatnya hakikat akan Sang Jati Diri telah kabur dari diri manusia modern
dewasa ini. Tuhan itu sebenarnya teramat dekat dengan kita semua, tetapi kita
malahan menjauhkanNya dari diri kita akibat kebodohan atau kekurang pengetahuan
spiritual kita. Dewasa ini jalan itu telah dipilih oleh sebagian besar umat
manusia.
Nachiketas dan
visinya memperingatkan kita bahwa Yang Maha Esa sebenarnya masih sayang kepada
kita, tetapi sayangkah kita sebenar-benarnya pada diri kita sendiri?
8.
“Sang Jati Diri itu, sewaktu diajarkan oleh seseorang yang rendah budinya,
akan sukar untuk dipahami karena cara mengajarnya berbelit-belit. Tetapi
seandainya diajarkan oleh seorang guru sejati yang telah manunggal (menyatu
dengan Sang Brahman), maka tiada keragu-raguan lagi bagi sang murid untuk
memahami Sang Jati Diri ini, yang bersifat lebih lembut dari yang terlembut dan
yang tak dapat dicapai melalui perdebatan”.
Keterangan :
Guru yang baik
memerlukan murid yang setara, demikian juga sebaliknya, baru Brahma-Vidya ini
akan dapat diterangkan secara sempurna tanpa keragu-raguan akan hakikat Sang
Jati Diri. Ilmu ini tidak dapat diperoleh melalui perdebatan yang kosong dan
berkepanjangan, tetapi melalui penalaran yang bersifat teramat lembut, karena
Sang Atman itu sendiri adalah unsur terlembut diantara semuanya yang lembut.
Hanya yang lembut yang sanggup mengenal sifat lembut lainnya dan kemudian lambat
laun menyatu denganNya.
9.
Ilmu pengetahuan ini tidak dapat diperoleh melalui pertentangan, tetapi
sebenarnya mudah dimengerti, wahai yang kusayangi, sewaktu diajarkan oleh
seseorang yang tidak memiliki rasa dualisme ; dikau telah mendapatkannya
sekarang ini; dikau telah bersatu dengan Kebenaran Hakiki. Semoga kita semua,
wahai Nachiketas, mendapatkan murid seperti dikau.
Keterangan :
Dapatkah mata kita
melihat mata kita sendiri, tidak mungkin, kecuali melalui pantulan dicermin,
itupun selalu merupakan pantulan yang terbalik. Demikian juga jiwa kita tidak
mungkin menyaksikan Sang Atman melalui diskusi, perdebatan ataupun pertentangan
kecuali melalui pantulan intuisi dan nurani kita yang sejati.
Seorang guru
setaraf Yama Raja memerlukan seorang murid setaraf Nachiketas, barulah Brahma-Vidya
ini layak untuk disebarluaskan dan untuk dipelajari. Dan hal ini tidak terjadi
setiap hari, oleh karena itu Yama Raja menguji sang murid dengan mengatakan
semoga para guru dapat memperoleh murid-murid setaraf Nachiketas, baru sang
murid dan sang guru tersebut beruntung.
10.
Ketahuilah bahwa harta ini bersifat tidak abadi (Karma dan pahalanya)
karena lazimnya sesuatu yang bersifat abadi tidak dapat dicapai oleh sesuatu
yang tidak abadi. Oleh karena itu pada masa lalu upacara Agni-Hotra Nachiketas
telah dilaksanakan olehKu melalui factor-faktor yang bersifat tidak abadi,
walaupun begitu aku telah mendapatkan yang Abadi.
Keterangan :
Yama Raja yang
teramat kagum akan kecerdasan dan sifat-sifat Nachiketas, menerangkan kepada
sang muridnya bahwa dimasa lalu iapun pernah melakukan pencaharian spiritual
seperti yang sedang dilakukan oleh Nachiketas, dan pada waktu itu Yama Raja
telah melaksanakan Agni-Hotra Nachiketas yang sebenarnya adalah suatu bentuk
ritual yang tidak bersifat abadi, tetapi walaupun begitu ternyata Yama Raja
akhirnya menemukan Keabadian yang Hakiki, bahkan dari Yang Maha Esa beliau
mendapatkan tugas sebagai Dewa Kematian.
11.
Akhir dari semua hasrat, basis dunia, pahala tanpa akhir hasil
pengorbanan, dunia lain dimana tidak terdapat kekhawatiran, hal-hal yang pantas
dibanggakan, Brahmaloka (semua aspek ini adalah ciri-ciri dari Brahmaloka yang
juga dikenal dengan nama Hiranyagarha di Rig Veda, yang juga disebut tujuan
moksha yang merupakan idaman semua pemeluk agama Hindu), semua aspek ini
didambakan oleh kaum yang bijak, wahai Nachiketas, tetapi secara tegar dan penuh
dengan budhi dikau menolak semuanya itu.
Keterangan :
Yama Raja sangat
tergetar dan kagum melihat Nachiketas secara tegar menolak bahkan Hiranyagarbha
yang selalu didamba-dambakan oleh umat Hindu sedunia, bukankah setiap manusia
mendambakan moksha dan ingin tinggal di Brahmaloka, sorga tertinggi. Tetapi
Nachiketas lebih mendambakan ilmu pengetahuan akan Realitas yang Maha Kuasa, dan
ia yakin bahwa dihadapannya hadir seorang guru agung (Yama Dewa) yang tanpa
tandingannya dijajaran para dewa dewi. Sang gurupun sebaliknya amat bangga
mendapatkan murid yang penuh dedikasi dan tingkat kesadaran spiritual (Vairagya)
yang teramat tinggi dan mulia ini, padahal baru berusia sembilan tahun.
Nachiketas yakin bahwa semua upacara ritual yang kosong dan untuk pertunjukan
belaka tidak akan mungkin menandingi ilmu tentang Sang Jati Diri bagi umat
manusia sepanjang masa.
12.
“Seorang Resi yang bijak, melalui jalan meditasi dan pengarahan semadinya
ke sang Jati Diri akan menemukan Yang Maha Kuna (Puranam), yang sulit untuk
disaksikan, yang tersembunyi didalam relung hati sanubari, yang bersemayam
dijurang yang paling dalam, yang berastana didalam budhi dan yang
sebenar-benarnya duduk ditengah-tengah berbagai kegalauan pikiran dan nafsu,
Resi ini jauh dari kebahagiaan dan penderitaan (karena telah melepaskan semua
itu).”
Keterangan :
Yama Raja secara
tersirat tetapi langsung menerangkan kepada Nachiketas bahwa ada Kebenaran Abadi
yang lebih lembut dari totalitas pikiran dan seorang pencari kebenaran mampu
mencapainya serta menyadari akan Hakikatnya yang disebut, “Inilah Aku” (Ayam
Aham Asmi) suatu bentuk kemanunggalan yang begitu intim dan penuh karunia dengan
Sang Jati Diri. Yang Maha Kuna (Puranam) adalah salah satu sebutan untuk Yang
Maha Kuasa, yang telah hadir dari masa-masa teramat silam (Kuna).
Sang Atman yang
merupakan manifestasi dari Yang Maha Kuasa (Paramatman) disebut juga sebagai
Yang Maha Kuna. Seseorang tidak begitu saja dapat menyaksikan Ishwara Dharsana (menyaksikan
Sang Jati Diri), ibarat kita pergi menonton film tetapi haruslah melalui upaya
samadi yang dilandasi faktor-faktor non-ego, non-nafsu dan lain sebagainya.
Nachiketas oleh
Yama Dewa dianggap sangat pantas untuk dibimbing dengan Brahma-Vidya ini ;
tetapi barangsiapa membaca, mempelajari, menghayati dan melaksanakan yang
tersirat di Upanishad ini seharusnyapun berkeuntungan sama dengan Nachiketas.
13.
Setelah mendengar dan menyadari Sang Jati Diri secara benar, seseorang
yang telah mencapai Hakikat Sang Atman yang lembut dan abstrak ini (karena tidak
dapat diraba) menjadi teramat bahagia, karena insan ini telah mendapatkan sumber
dari segala kebahagiaan. Kupikir tempat bersemayam Sang Brahman (Kebenaran)
telah terbuka luas untuk Nachiketas.
14.
Nachiketas berucap : “Sesuatu (Itu) yang dikau saksikan (berciri lain)
berbeda dengan Kebajikan dan sebaliknya, dengan Kebenaran dan sebaliknya, yang
berbeda dari hukum karma (sebab dan akibat) yang berbeda dari masa yang akan
datang, terangkanlah sesuatu tersebut kepadaku.
Keterangan :
Langsung saja,
tanpa basa basi Nachiketas bertanya akan Hakikat Yang Maha Esa yang
“seakan-akan” sudah disadari olehnya sendiri sebagai suatu unsur yang berbeda
dan berada diatas Kebajikan dan Kebathilan, diatas hukum karma, bahkan jauh dari
masa lampau, saat ini ataupun masa-masa yang akan datang. (Para ahli menerangkan
bahwa sloka mantra diatas sebagai suatu protes halus oleh Nachiketas kepada
gurunya. Ia minta langsung saja diajarkan penjabaran akan Hakikat Yang Maha Esa
tanpa embel-embel agama).
15.
Yama berucap : “Tujuan (Kata) yang disebut-sebut selalu oleh semua Veda
(yang dipuja puji), yang menjadi tujuan semua ritual dan tapa-brata, yang
didambakan oleh para Brahmacharin (mereka-mereka yang tidak melakukan hubungan
seksual), langsung saja kuberitahukan kepadamu. Ia adalah OM.”
Keterangan :
Langsung saja Yama
Dewa menyatakan dengan tegas dan jujur bahwa tujuan kebenaran tersebut yang
berada jauh diatas dharma dan adharma adalah OM. Semua Veda diatas berarti juga
seluruh Upanishad yang berjumlah 108 buah (tasbih Hindu berjumlah 108 butir yang
melambangkan 108 Upanishad), kekosongan yang hadir ditengah-tengah untaian
tasbih adalah OM yang selalu tersirat didalam setiap ajaran Veda, Upanishad atau
karya-karya sastra suci lainnya. Dimasa yang lalu para Resi telah mensimbolkan
Tuhan Yang Maha Esa dengan symbol Omkara agar Beliau dapat dipuja sebagai Saguna
Brahman (Tuhan yang berwujud). Tetapi kata OM tidak terdapat di Rig atau Atharva
Veda, melainkan didapatkan di Aittireya Samhita yang terdapat di Yajur Veda.
Pada saat ini symbol Omkara adalah symbol penyatu umat Hindu dimana saja, tidak
ada pemujaan atau mantra yang tidak dimulai dengan OM. Seharusnya faktor ini
menyadarkan kita agar tidak bersengketa satu dengan yang lainnya karena merasa
Tuhan, atau dewa atau Junjungan yang kita puja lebih suci atau superior dari
yang lainnya. OM sendiri sudah ditentukan sebagai symbol atau lambang tertinggi
dari Hindu Dharma darimana semua berasal dan akan kembali.
16.
Kata ini adalah Brahman itu sendiri, kata ini adalah hakikat tertinggi,
barangsiapa yang sadar akan arti kata ini, secara benar, akan mencapai apapun
yang dihasratkannya.
Keterangan :
Dimasa yang silam
di Veda, OM juga dipergunakan sebagai puja puji kepada Tuhan yang Maha esa dan
dapat juga berarti “Yah, terjadilah (KehendakMu)”.
Disloka mantra
diatas, kata OM berarti Realitas. Dewasa ini setelah melalui berbagai penalaran
spiritual dimasa-masa yang lalu, symbol OM tidak saja diartikan sebagai suatu
lambang tertinggi tetapi OM dihormati sebagai pengejawantahan dari Realitas yang
berciri Relatif. Seseorang dapat dan boleh bermeditasi ke symbol ini sebagai
tujuan semadinya. Dia pasti akan mecapai tahap, “ini adalah Aku” (Ayam Aham Asmi).
Sedangkan kata diatas, “mendapatkan apapun yang dihasratkannya”, tidak berarti
Nachiketas harus mengikuti semua hawa nafsunya, tetapi pada tahap ini ia menyatu
dengan Sang Jati Diri, apapun yang terpercik disanubarinya akan segera
terealisir, dan kalau yang dihasratkannya adalah penyatuan dengan sang Atman,
maka ia akan langsung terserap kedalamNya. Juga seandainya seseorang
menghasratkan Brahma-Loka, maka ia akan mencapainya, dan seandainya tanpa pamrih
ia bermeditasi dengan tujuan mencari dan menghayati yang Maha Esa, maka ia akan
berubah menjadi “Itu” (Yang Maha Esa itu sendiri dengan melebur kedalamNya).
17.
Sandaran ini teramat agung dan luhur. Sandaran ini adalah Yang Maha
Tinggi. Barangsiapa memahami sandaran ini akan bersuka ria di Brahma-Loka.
Keterangan :
Sloka diatas agak
membingungkan bagi kita semua, yang dimaksud sebenarnya adalah sebagai berikut.
Dalam bahasa Sansekerta, Brahma-Loka dapat berarti ganda, yang pertama adalah
Brahma-Rupi Loka (Lokanya Sang Atman, Jati Diri) dan yang kedua adalah Lokanya
Sang Brahma, Sang Pencipta. Seorang upasaka (pemuja) melalui jalan karmanya pada
akhirnya akan masuk ke Lokanya Sang Brahma. Sedangkan yang berkontemplasi ke OM
dan menyadari akan Kebenaran yang Hakiki akan terserap ke Beliau yang bersifat
Absolut. Dengan kata lain para ahli menyimpulkan bahwa Yama Raja secara tegas
menyatakan ada dua Brahma-Loka, yang pertama dapat dicapai melalui karma (pemujaan)
dan yang kedua melalui jalan Gyana (ilmu pengetahuan).
18.
Sang Atman yang penuh dengan kecerdasan tidak dilahirkan, tidak juga
Beliau meninggal dunia ; Beliau tidak timbul dari apapun juga dan tiada suatu
apapun juga yang timbul dariNya ; Tak terlahirkan, Abadi, hadir selamanya, Kuna
(sudah ada semenjak masa yang amat silam). Beliau ini tidak dapat dibantai
walaupun raga ini dapat dibinasakan.
Keterangan :
Resi Vyasa sebagai
pengarang karya suci Bhagavat Gita telah mengkristalkan arti Atman dalam
dialog-dialog suci antara Khrisna dan Arjuna. Berkali-kali, dari satu kurun
waktu ke kurun waktu yang lainnya ajaran mengenai Sang Atman selalu diturunkan
oleh Yang Maha Esa, tetapi manusia cenderung menyukai ritual dan upacara-upacara
daripada berkontemplasi ke Yang Maha Esa.
19.
Seandainya seorang pembantai berpikir, “aku telah membantai”, dan
seandainya yang telah dibantai berpikir, “aku telah dibantai”, maka kedua-duanya
tidak paham akan arti sesungguhnya. Sang Atman tidak membantai dan tidak juga
terbantai.
20.
Sang Atman yang lebih lembut dari yang terlembut, lebih agung daripada
yang teragung, bersemayam didalam hati sanubari setiap mahluk hidup. Barangsiapa
bebas dari berbagai hasrat dan keinginan dengan pikiran dan indera-inderanya
yang terkendali, akan mendapatkan (menyaksikan) Kebesaran Sang Jati Diri dan
terbebas dari penderitaan.
Keterangan :
Mungkin
membingungkan untuk membayangkan mengapa Sang Atman disebut lebih lembut dari
yang terlembut. Beliau disebut terlembut karena Beliau bersemayam didalam relung
hati sanubari kita yang paling dalam dan terselubung oleh sang jiwa. Beliau juga
disebut sebagai yang terbesar diantara yang paling besar karena tidak ada mahluk
hidup dan benda yang tidak berintikan Sang Atman ini, dan coba membayangkan
seluas apakah alam semesta ini, jadi seluas apakah Sang Jati Diri ini (Yang Maha
Esa ini).
Dengan kata lain
coba simak, Sang Atman = Paramatman = Alam Semesta = Tuhan Yang Maha Kuasa ;
lalu dibalik urutannya menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa = Alam Semesta (Bhur-Bwah-Swah)
= Paramatman = Sang Atman (yang hadir disetiap benda dan mahluk hidup). Faktor (pengetahuan
ini) disebut Atma-Tatva.
21.
Sewaktu ia duduk ia pergi jauh, sewaktu ia berbaring ia pergi kemana-mana.
Siapa lagi, oleh karena itu, selain aku yang dapat memahami keberadaan Tuhan
Yang Maha Esa yang berbahagia dan tidak berbahagia.
Keterangan :
Sang Atman hadir
seakan-akan satu disetiap raga, padahal Beliau pada saat yang bersamaan hadir
dimana-mana memenuhi seluruh rongga-rongga alam semesta melalui yoganya. Diatas
terkesan Yama Dewa bersifat arogan dengan mengatakan bahwa hanya ia sendiri yang
dapat memahami akan hakikatNya. Sebenarnya para ahli menyimpulkan bahwa
kata-kata tersebut tercetus begitu saja secara spontan dari seorang guru sejati
yang telah manunggal dengan Sang Atman.
22.
Seseorang yang bijak tidak akan bersedih hati seandainya ia paham akan
Sang Atman sebagai yang tak memiliki raga, yang bersemayam secara tegar
diraganya para mahluk yang luar biasa, Yang Maha Agung dan Yang Maha Hadir
dimanapun juga.
23.
Sang Atman ini tidak dapat dicapai dengan mempelajari berbagai Veda,
tidak juga dengan kecerdasan ataupun dengan banyak mendengarkan (ceramah-ceramah
spiritual misalnya). Sang Atman hanya dapat dicapai oleh seseorang yang telah
memilikinya semata-mata sebagai tujuan hidup dan tujuan dedikasinya. Kepada
seseorang pemuja ini Sang Atman mengungkapkan sifatNya Yang Sejati (Sang Jati
Dirinya).
Keterangan :
Banyak pemuja di
India yang memiliki kecerdasan spiritual yang amat mengagumkan seperti misalnya
ada yang mampu menghafal seluruh teks Bhagavatam dengan sempurna. Ada yang
mempunyai ingatan (memori) dan memampu menyanyikan seluruh mantra-mantra
diberbagai Upanishad. Bunda Sruthi mengajarkan kepada kita bahwa semua aktivitas
ini hanya membuang-buang waktu saja dan merupakan penghamburan energi secara
sia-sia dan tidak akan menghasilkan suatu Atman-Dharsana. Adalagi
manusia-manusia yang gemar bertirta-yatra, mandi ditempat-tempat suci, melakukan
berbagai upacara, Sat-Sangh dan sering sekali semua ini dilakukan secara megah
dan besar-besaran sekedar pertunjukan belaka. Menurut Sruthi inipun sia-sia saja,
lalu apa gunanya semua ritual dan upacara. Sruthi menjawab, jadikan para resi (dari
masa-masa yang telah lalu) sebagai pedoman, mereka ini selalu memfokuskan diri
mereka ke Yang Maha Esa dan upacara yang mereka lakukan selalu bersifat
sederhana dan penuh dengan itikad yang benar. Bagi yang tulus ini Sang Atman
akan menunjukkan Jati Dirinya. Guru Nanak mengatakan bahwa barangsiapa disayangi
olehNya, maka ia akan mendapatkan DharsanaNya. Lalu bagaimana caranya agar kita
dapat menjadi hamba kesayanganNya?
24.
Tetapi barangsiapa belum menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk, yang
indera-inderanya belum dikendalikan, yang jalan pikirannya belum terkonsentrasi,
yang pikirannya belum bersifat Ahimsa (non-kekerasan), tidak akan mencapai Sang
Atman ini melalui ilmu pengetahuan.
Keterangan :
Hampir seluruh
ajaran Sanathana-Dharma berpedoman pada tiga prinsip utama : Bramacharya, Satyam
dan Ahimsa. Tanpa ketiga factor ini sebuah upacara, ritual meditasi dan yagna
ataupun pelaksanaan spiritual lainnya akan sia-sia saja, karena akan terjerumus
kepelaksanaan yang bersifat adharma.
Ketiga faktor
tersebut tanpa ditunjang kendali diri dan kontemplasi samadi ke Yang Maha Kuasa
tidak akan menghasilkan Atma-Dharsana.
25.
Bahkan golongan Brahmana dan Keshatriya yang dianggap manusia-manusia
unggul diantara jajaran manusia, hanyalah ibarat sesuap nasi yang dengan mudah
dapat ditelan dan dicernakan oleh Yang Maha Kuasa!
Dengan ini
berakhirlah Vali kedua dari Bab – 1
Keterangan : Mantra sloka
diatas ingin menegaskan sekali lagi, bahwa manusia ini tidak perlu bersikap
sombong atau terlalu membanggakan diri seakan-akan hanya dia dan golongannya
saja yang mulia. Bahkan mereka yang menganggap dirinya golongan mulia seperti
kasta Brahmana atau Keshatriya tidak lain dan tidak bukan ibarat sesuap nasi
bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kematian mereka diibaratkan sambal (acar berupa
sambal).
Mereka- mereka
yang mengagungkan wangsanya adalah mereka yang tidak mungkin mampu menghayati
Sang Jati Diri. Dengan kata lain setiap insan tanpa memandang statusnya adalah
ibarat santapan bagi kematian itu sendiri. Jadi sia-sialah semua upaya ritual,
kecerdasan dan lain sebagainya kalau tidak disertai kemurnian pikiran,
ketenangan, kendali diri, dan unsur-unsur Dharma lainnya yang berpedoman kepada
kebenaran.
BAGIAN – 3
Sebuah perumpamaan (amsal)
dari sebuah kereta (gerobak) yang mengajarkan Adiatma-yoga (ilmu pengetahuan
tentang Sang Jati Diri), yang mengikat setiap jiwa (ibarat sapi yang terikat
pada sebuah gerobak) dengan Jiwa yang maha utama.
1.
Kedua-duanya yang menikmati pahala dari kebajikan-kebajikan mereka, yang
bersemayam direlung hati (seseorang) yang merupakan singgasanaNya Yang Maha
Kuasa, yang oleh yang mengetahui (memahami) akan sang Brahman disebutkan sebagai
sang bayangan dan sang cahaya ; begitu juga hal ini dipahami oleh mereka-mereka
yang melaksanakan agni-hotra yang berangkap lima dan juga yang dipahami oleh
mereka-mereka yang bersujud tiga kali ke agni-hotra Nachiketas.
Keterangan :
Sloka mantra
diatas pastilah membingungkan para pembaca pada umumnya. Dibawah ini kami coba
untuk menerangkannya secara sederhana.
Kata kereta atau
gerobak adalah sebuah metaphor/amsal atau sebuah perumpamaan yang sangat
terkenal dikalangan masyarakat India. Raga manusia diibaratkan dengan gerobak
penarik beban, disebuah gerobak biasanya duduk seorang kusir yang tentunya
adalah si pemilik gerobak. Yang dimaksudkan kusir disini adalah Paramatman, Sang
Jati Diri dan “si pemilik” adalah Sang Jiwa (Jiwatman),yang melingkupi ego, ilmu
pengetahuan dan semua aspek-aspek kehidupan duniawi.
Dengan ini
dimulailah ajaran Yama Dewa mengenai Adiatma-Yoga. Para ahli menyimpulkan kedua
faktor diatas, Atma (Jati Diri) dan Jiwa (ego) adalah faktor-faktor pengendali
dan pelaksana berbagai tindakan sang raga, walaupun begitu Sang Jiwa adalah
replika atau bayangan dari Sang Atman. Sang bayangan tidak akan eksis tanpa
subjek utamanya juga eksis. Sumber utama ini disebut sebagai Paramatman (Atman
Utama) dan sang replika/bayangan adalah Sang Jiwa (Jiwatman).
Berbagai pahala
sebagai akibat dari berbagai pelaksanaan dan karma manusia dirasakan dan
dinikmati oleh Sang Jiwa. Kata “kedua-duanya” disloka mantra diatas berarti Sang
Jiwa dan Sang Atman adalah dua faktor yang bekerja sama didalam kereta (raga).
Kedua faktor tersebut bekerja sama tetapi Sang Jati Diri hadir sebagai Saksi
Utama dari setiap pelaksanaan Sang Jiwa. Oleh karena itu tidak dapat dipahami
oleh kaum awam, maka sering dianggap kedua-duanya menikmati pahala perbuatan
mereka selama keduanya hadir didalam raga setiap insan. Padahal Sang Jiwa
disebut juga aku yang palsu (duniawi dan ilusif), dan Sang Atman adalah Aku yang
sejati. Aku yang sejati menuntun aku yang palsu. Kedua-duanya hadir didalam
relung hati manusia yang paling dalam. Sang Atman adalah Sang Cahaya, Sang Budhi
(intelegensia) utama, Ia dapat dicapai dengan jalan meditasi ; sedangkan Sang
Jiwa adalah pelaksana semua raga. Kathopanishad mengagungkan jalan meditasi dan
sekaligus juga tidak menentang kehidupan manusia sehari-hari. Melalui Sang Jiwa,
Sang Atman bekerja secara misterius meniti jalan penyatuannya dengan Sang
Paramatman.
2.
Pengorbanan (Nachiketas Agni-Hotra) adalah ibarat sebuah jembatan bagi
mereka yang melaksanakan pengorbanan ini, dan juga merupakan jembatan ke Brahman
Yang Abadi, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Pemberani, dan juga merupakan
jembatan keloka-loka lainnya bagi mereka-mereka yang ingin menyeberangi Samudra
Samsara ini . . . “Nachiketas ini seharusnya kita pahami (kuasai)”.
Keterangan : Pengorbanan dalam
bentuk Agni-Hotra Nachiketas adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan
berbagai loka-loka, juga kearah kesadaran spiritual dan ke keabadian. Nachiketas
harus dipahami, berarti fenomena Nachiketas, perjuangan dan baktinya yang
merupakan inti tujuan kehidupan inilah yang harus kita kuasai (dipahami dan
dilaksanakan dengan baik).
3.
Pahamilah bahwa Sang Atman sebagai Penguasa (pengendali kereta), dan raga
ini sebagai kereta; pahamilah bahwa budhi (intelek) sebagai kusir dan pikiran (manusia)
sebagai tali kekang (sang kuda).
Keterangan :
Sloka diatas
merupakan sebuah analogi terkenal didalam berbagai literatur Hindu Dharma
khususnya di Bhagavat Gita dan Swataswatara Upanishad.
4.
Berbagai indera (instink) disebutkan sebagai kuda-kuda (yang menarik
kereta), dan jalan-jalan yang dilalui kereta ini adalah tujuan-tujuan
indera-indera ini. Para kaum bijak menyebutNya sebagai Sang Penikmat (sewaktu
Beliau) bersatu dengan sang raga, berbagai indera dan sang pikiran.
Keterangan : Yang disebut
sebagai indera-indera atau indrias adalah mata, telinga, hidung, anus, kemaluan,
mulut dan sang pikiran. Secara kolektif indrias ini tidak saja berarti
organ-organ sensual tetapi juga organ-organ pelaksanaan pekerjaan kita
sehari-hari, oleh karena itu disebut juga organ sensual dan instink. Pemahaman
ini didasarkan pada ajaran-ajaran philosofi Sankhya dari Vedanta.
Ada suatu hal yang
menarik mengenai organ-organ sensual ini, misalnya mata tidak dapat mendengar,
dan telinga tidak dapat melihat. Secara keseluruhan ini berarti setiap indera
ini mempunyai area eksplorasi yang terbatas, tetapi kerja sama semua indrias ini
dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi manusia si penyandang semua
organ sensual ini. Para ahli menyatakan hasil kerja indera-indera sensual ini
dirasakan dan dinikmati oleh Sang Jiwa dan disaksikan serta dimonitor oleh Sang
Atman. Kedua-duanya bekerja sama demi tercapainya tujuan spiritual manusia itu
sendiri yaitu penyatuannya dengan Sang Pencipta.
5.
“Seseorang yang senantiasa tidak terkendalikan jalan pikirannya, yang
tidak memiliki pengetahuan yang benar, maka organ-organ sensualnya berubah
menjadi tak terkendalikan ibarat kuda-kuda liar yang terikat pada sebuah kereta.”
Keterangan : Bayangkan sebuah
kereta dengan begitu banyak kuda yang berlarian kian kemari tanpa koordinasi dan
liar, begitupun raga ini tanpa kendali. Andaikan seseorang menyadari bahwa
diatas kuda-kuda ini ada sang pengendali yaitu Sang Jati Diri, maka jalan meniti
Kebenaran akan lebih jelas.
6.
Tetapi barangsiapa yang mengetahui (sadar akan) Beliau (Sang Jati Diri)
dan yang jalan pikirannya terkendali, maka berbagai indera-inderanya terkendali
ibarat kuda-kuda yang jinak.
Keterangan : Oleh karena itu
setiap manusia sebaiknya menjadi seorang kusir yang bertanggung jawab, dan
dengan demikian raga ini akan dapat dikendalikan dengan baik. Orang semacam ini
disebut sebagai Sadhaka (pencari kebenaran), ia juga disebut sebagai Yukta,
karena ia mampu mengendalikan indera-indera sensualnya dengan baik. Orang-orang
bijak bahkan menyebutnya sebagai Vignawan (yang memiliki budi pekerti dan ilmu
yang tinggi).
7.
Dan barangsiapa jauh dari pengertian yang seharusnya (pantas), tiada
memiliki pikiran yang wajar dan selalu bersikap kotor, maka orang ini tidak akan
pernah mencapai tujuan tersebut (dan selalu) akan masuk kedalam putaran-putaran
kematian dan kehidupan yang berulang-ulang.
8.
Tetapi barangsiapa memiliki sifat yang cerdas dan selalu bersih
perilakunya, dengan pikirannya yang terkendali akan mencapai tujuan tersebut ,
dimana ia tidak akan terlahir kembali.
9.
Seseorang yang memiliki budhi (intelegensia spiritual) bagi kendali
dirinya dan yang jalan pikirannya terkendali dengan baik, orang ini akan
bertahan (dalam pencariannya), ia akan mencapai ujung perjalanannya yaitu
Atananya Sang Hyang Vishnu, Yang Maha Kuasa.
Keterangan :
Astana Sang Hyang
Vishnu disloka diatas bukan berarti Vaikunta-Loka, tempat bersemayamnya Dewa
Vishnu, tetapi lebih mengungkapkan Vasudeva (Krishna) Sang Paramatman.
Disloka-sloka diatas, perumpamaan raga manusia, jiwa dan Atman telah diibaratkan
sebagai kereta, kuda-kuda liar, pengendali (kusir) dan pengamat. Melalui
pengetahuan yang sebenarnya sangat sederhana ini saja, seseorang pada hakikatnya
sudah mendapatkan ajaran Brahma-Vidya (ilmu pengetahuan mengenai Brahman) secara
mudah dan sekaligus mendapatkan petunjuk kearah keselamatan dan pembebasan yang
sekaligus menyatukan Sang Jiwa, Sang Atman dengan asal usulnya yaitu Sang
Paramatman (Para Brahman atau Vasudewa).
10.
Diatas organ-organ indrias terdapat objek-objek (tujuan) indrias ; diatas
objek-objek indrias ini terdapat sang pikiran; dan diatas sang pikiran terdapat
intelek (budhi) dan diatas budhi terdapat (bersemayam) Sang Jati Diri yang maha
agung.
Keterangan :
Kata “diatas”
dalam sloka mantra ini sering juga diartikan sebagai “didalam” atau “lebih
lembut dari”.
Contoh : lebih
lembut dari berbagai indrias adalah dsb.
Diajaran Bhagavat
Gita terdapat sloka yang amat mirip dengan sloka diatas dan oleh Sang Krishna
diajarkan bahwa barangsiapa sadar akan Sang Jati Diri ini ia akan secara
otomatis mengendalikan unsur-unsur yang berada dibawahnya dan begitulah
seterusnya, sehingga pada suatu saat seluruh jiwa raganya terkendali dengan
sempurna.
11.
Diatas Yang Maha Agung (Mahat) terdapat Avyaktam (Yang Tak
Termanifestasikan). Diatas Avyaktam terdapat Purusha ; diatas Purusha terdapat
kekosongan; kekosongan ini adalah ujung jalan; ujung jalan ini adalah tujuan
terakhir.
Keterangan :
Menurut para
peneliti dan ahli Hindu-Dharma, Yang Maha Esa selalu bersemayam didalam Keadaan
Yang Sempurna. Tetapi sesuai dengan kehendak Beliau sebagai Sang Pencipta,
Beliau menciptakan Sang Maya (Ilusi duniawi, prakriti) dan dari Sang Maya ini
lahir jajaran jagat raya ini beserta seluruh fenomena dan manifestasinya yang
disebut sebagai Avyaktam yang tak dapat dijabarkan luas atau kebesarannya. Harap
diperhatikan berbagai istilah seperti Avyaktam, Pradhana, Mula-Prakriti,
Avyakrii dan Maya berarti sama. Dan diatas semua faktor ini hadir Sang Purusha
(Yang Maha Kuasa) yang merupakan tujuan akhir dari semua bentuk kehidupan
didunia ini (yang termanifestasi). Lalu apa yang eksis diatas Sang Purusha?
Sruthi mengatakan secara tegas yang eksis adalah kekosongan, dan kekosongan ini
adalah yang paling atas atau akhir (Sa Kasta).
12.
Atman (Sang Jati Diri) ini tersembunyi didalam setiap mahluk hidup dan
tidak bercahaya keluar tetapi Beliau dapat terlihat oleh mereka-mereka yang
memiliki penglihatan yang lembut melalui budhi (intelek), mereka yang tajam dan
halus.
Keterangan :
Menakjubkan sekali
Sang Atman ini, Beliau sebenarnya hadir didalam diri kita dari masa ke masa,
dari kita masih berbentuk sperma, kemudian menyatu dengan indung telur ibu kita
dan kemudian berubah diri menjadi janin dan seterusnya lahir sebagai jabang bayi
yang polos dan seterusnya tumbuh dewasa dan menjadi tua. Beliau selalu hadir dan
menuntun kita ke kematian kita dan terus mengikuti kita dalam kelahiran dan
kematian kita yang berulang-ulang. Karena “kebodohan” kita, maka Beliau (Sang
Atman) ini tidak terlihat wujud dan hakikatnya oleh kita yang sehari-hari
tenggelam dalam jalannya Sang Maya. Dunia materi dari semasa kanak-kanak telah
membenamkan kita kedalam lumpur kegelapan, tetapi mereka-mereka yang menjalani
kehidupan ini secara eling (sadar), yang hidupnya didedikasikan senantiasa
kepada Yang Maha Esa secara utuh, akan menyaksikan Sang Jati Diri didalam diri
mereka (Atma-Tattwa). Berdedikasi kepadaNya bukan berarti lalu kita harus
menjadi Pandita, Resi, Brahmana dan lain sebagainya. Seseorang dapat
mendedikasikan dirinya sesuai dengan hati nuraninya karena ia memiliki
sifat-sifat seperti yang diutarakan disloka mantra 8, 9 dan 12 diatas.
13.
Sebaiknya seorang yang bijak membenamkan (menyatukan) kata-katanya
kedalam jalan pikirannya, dan membenamkan pikirannya kedalam budhinya dan
membenamkan budhinya kedalam Sang Atman Yang Maha Agung, dan membenamkan Sang
Atman Yang Maha Agung kedalam Sang Atman Yang Maha Damai (tenang).
Keterangan :
Kata membenamkan
diatas berarti “menyatukan dengan kesadaran”. Jadi sehari-hari sebaiknya kita
membiasakan diri kita berkata-kata identik dengan jalan pikiran kita, dan sang
pikiran sebaiknya menjauhi hal-hal yang bersifat munafik, dan harus bersatu
dengan sang budhi. Dengan demikian setiap bentuk pikiran kita seperti
keragu-raguan, rasa terombang-ambing, berbagai nafsu yang menggoda, emosi dan
lain sebagainya sebaiknya dipasrahkan kepada sang budhi untuk dikendalikannya.
Lalu budhi yang sudah tegar ini menyatu dengan penuh kesadaran dan terserap
dalam meditasi yang berkesinambungan dan dalam yang disebut sebagai tahap
Thuriya Avastha. Ditahap ini sang pemuja dan yang dipuja menyatu (manunggal) dan
sadarlah seorang pemuja tersebut akan Sang Jati Diri yaitu Sang Purusha itu
sendiri. Tahap meditasi ini disebut juga sebagai tahap penyatuan, ditahap ini
semakin lama ego kita semakin sirna dan cahaya Sang Atman memasuki jiwa dan
budhi kita, dan selanjutnya dari budhi ke pikiran dan ke perilaku kita
sehari-hari yang tentu saja sudah tidak bermotifkan kepentingan pribadi lagi,
tetapi semata-mata adalah demi Yang Maha Esa semata.
14.
Bangkitlah, sadarlah; Para Resi-resi agung setelah mencapainya sadar
akan Sang Atman. Para kaum bijak mengatakan : jalan ini ibarat ujung pisau yang
teramat tajam, jalan ini sulit untuk diseberangi apa lagi untuk dilintasi.
Keterangan :
Sloka diatas
seakan-akan ingin menyatakan kepada kita semua, bahwa jalan menuju kearah
Kebenaran, kearah penyatuan dengan Sang Atman bukanlah jalan yang mudah, dan
para guru-guru agung dan suci dimasa-masa yang lampau, begitu mencapainya
bersukaria dalam karuniaNya, dan karena itikad mereka sangat bersih, maka ilmu
pengetahuan akan Sang Jati Diri ini dijabarkan oleh mereka melalui berbagai
ajaran yang pada saat ini dikenal dengan berbagai sebutan seperti Sruthis,
Shastras, Upanishads, Vedas, Bhagavat Gita dan lain sebagainya.
Tetapi walaupun
semua jalan ini sudah dibuka luas, tetap saja setiap jalan yang menuju ke Maha
Kuasa ini sulit dijalani oleh manusia, dan diibaratkan sebagai ujung pisau yang
amat tajam dan bahkan mampu melukai kita setiap saat.
Para guru (disloka
mantra diatas) berseru, bangkitlah dan sadarlah, tetapi aduh, manusia tidak
sadar juga akan ajakan yang tanpa pamrih ini. Untuk dapat sadar dan bangkit,
kita semuanya memerlukan guru penuntun yang tanpa pamrih. Di Indonesia jenis
guru atau resi semacam ini sudah langka sekali dan umat yang sehari –hari
berhubungan dengan para pendeta yang mungkin “korup” malahan bertambah galau
jalan pikirannya daripada mendapatkan tuntunan yang semestinya sesuai dengan
jalan dharma. Lalu untuk para pencari kebenaran dharma ini, kalau guru-guru yang
baik langka, apakah kita harus ke India mencarinya? Haruskan kita memaksakan
diri kita? Sebenarnya semua ini tidak perlu, dengan mempelajari karya-karya suci
dan selalu mohon tuntunan ke hadiratNya, dipastikan Yang Maha Esa akan
memberikan jalan keluar terbaik kepada setiap individu. Setiap hal akan terwujud
pada saat yang tepat, dikesempatan yang tepat, untuk seseorang yang tepat,
sesuai dengan kehendak dan karuniaNya. Yang maha penting adalah agar bangkit,
melangkah dan secara sadar menuju kearah kebenaran tanpa suatu target atau
pamrih. Yama Dewa adalah seorang guru sejati sifatnya, Beliau selalu mengutip
ajaran-ajaran para resi, walaupun Beliau sendiri sudah menyatu dengan Yang Maha
Esa.
15.
Barangsiapa yang telah mengenal itu yang tanpa suara, tanpa sentuhan,
tanpa bentuk, tanpa kematian, tanpa tersia-sia, abadi, tanpa penciuman, tanpa
permulaan, tanpa akhir, diatas (luar) Mahat (Yang Agung), yang tak berubah-ubah,
maka seseorang ini akan dibebaskan dari cengkeraman kematian.
Keterangan :
Tentu para pembaca
masih ingat akan pertanyaan Nachiketas kepada Yama Dewa, apakah ada kehidupan
setelah kematian, dan jawabannya ternyata kesana dan kemari, malahan bisa-bisa
membingungkan kaum awam. Sebenarnya sebagai seorang guru yang agung, Beliau
tidak mau berbohong sedikitpun. Seandainya Beliau berkata bahwa tidak ada
kehidupan, berarti Beliau membohong, karena eksistensi Yang Maha Kuasa selalu
hadir dimana-mana, dan sebaliknya kalau Beliau berkata bahwa ada kehidupan
setelah kematian, itupun tidak sesuai dengan kehidupan didunia ini. Walaupun
demikian, semua jawaban Yama Dewa ini secara langsung atau tidak langsung sedang
menggambarkan situasi yang sebenarnya setelah seseorang melewati kematiannya.
Dan bagi kaum yang bijak serta sadar, intuisi mereka langsung menangkap makna
yang tersembunyi didalam setiap kata-kata Yama Dewa.
Dunia materi dan
dunia spiritual (alam sana) berbeda jauh situasi dan kondisinya. Di dunia ini
manusia memakai berbagai bahasa untuk saling berkomunikasi, sedangkan menurut
Sruthis, di dunia sana tidak ada sabda, tidak ada rasa, tidak ada bentuk dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, dialam sana organ-organ indrias kita tidak
dapat berfungsi karena badan kasar sudah mati dan sudah ditinggalkan di bumi ini,
jadi yang eksis disana adalah kebenaran yang hakiki. Dan seandainya seseorang
sudah menyatu dengan Atman Yang Agung, maka penalaran spiritualnya tentu tidak
mengenal lagi akan kelahiran dan kematian, ia berubah menjadi abadi seperti Maha
Keabadian itu sendiri, karena telah menyatu kembali denganNya.
16.
Seseorang yang berbudhi (yang memiliki intelek spiritual) setelah
mendengarkan dan mengulang-ulang kisah yang berasal dari masa yang teramat silam
ini, yaitu kisah Nachiketas yang berguru ke Dewa Kematian, akan dimuliakan di
dunianya Sang Brahman.
17.
Barangsiapa penuh dengan bakti mengulang-ulang rahasia tertinggi (ajaran
ini) dihadapan para Brahmin, atau sewaktu seseorang menghaturkan sradha kepada
para leluhurnya, maka ia akan mencapai keabadian (tidak akan pernah mati).
Dengan ini
berakhirlah Vali ketiga dari Bab – 1 ini
Anantyaya Kalpathe
(mencapai keabadian) yang disebutkan diatas jangan langsung diartikan secara
harafiah. Keabadian tidak dapat dicapai hanya dengan mengulang-ulang isi buku
atau mantra atau sloka dibuku ini, tetapi seseorang harus mencari, berdedikasi
penuh bakti dan tanpa pamrih sehari-harinya penuh dengan usaha dhyana (semadi)
yang berkesinambungan, sampai ia mencapai dharsana akan Swarupa (Sang Atman) nya
yang sejati.
Dibagian satu
Upanishad ini kita melihat sifat-sifat agung sang guru dan sang murid serta
pernyataan akan fenomena-fenomena spiritual tentang masalah setelah kematian.
Dibagian kedua
akan diterangkan secara filosofis mengenai sifat-sifat dari Sang Jati Diri.
Bagian satu ini ditutup dengan mantra yang berikut :
“Semoga Beliau
melindungi kita berdua.
Semoga Beliau
memberkati kita berdua
dengan karunia
ilmu pengetahuan,
semoga kita
berhasil bersama-sama.
Semoga kita
tidak bersengketa
satu dengan
yang lainnya.”
OM Shanti Shanti Shanti
BAB – II
Bagian - 4
(Panggilan akan visi
didalam sanubari kita, yang menentukan arah
pemahaman dan pencapaian kesatuan
denganNya)
1. Sang
Jati Diri Yang Maha Hadir didalam dirinya sendiri (Brahma) menciptakan
indria-indria sensual dengan tendensi kearah luar; oleh karena hal tersebut
manusia hanya mampu melihat (menganalisa) hal-hal yang bersifat eksternal saja
dan bukan yang bersifat internal yaitu Sang Atman. Tetapi beberapa orang yang
bijak dengan matanya yang memandang kearah dalam (karena telah menolak
faktor-faktor yang eksternal), yang berhasrat untuk menyatu dengan Sang
Keabadian akan menyaksikan Sang Atman didalam sanubarinya.
Keterangan :
Yang
Maha Kuasa telah menentukan manusia berpersepsi naluri eksternal yang luar biasa.
Manusia dengan seluruh kemampuan pancaindra dan ditambah pikiran serta
imajinasinya mampu melaksanakan berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan dan
menghasilkan berbagai kemajuan-kemajuan teknologi yang menakjubkan saat ini,
tetapi belum ada satupun hasil teknologi yang mampu mencapai Yang Maha Kuasa
dalam bentuk Sang Jati Diri, apalagi dalam bentuk para Brahman.
Kemampuan yang
satu ini oleh Yang Maha Kuasa disimpan khusus bagi manusia-manusia tertentu yang
mata hatinya (mata ketiga = mata kebijaksanaan) telah terbuka lebar karena
manusia-manusia ini menutup penglihatan eksternalnya dan lebih memfokuskan diri
mereka ke Yang Maha Hadir didalam relung paling dalam dihati sanubari mereka.
2. Seseorang
yang kurang pengetahuannya (Avidya) ibarat seorang anak kecil yang mengejar
kenikmatan-kenikmatan eksternal dan dengan demikian jatuh kedalam perangkap
kematian. Tetapi orang-orang yang bijak tidak menghasratkan apapun juga didunia
ini, setelah paham apa yang bersifat abadi diantara yang tidak abadi.
Keterangan :
Dikedua
sloka permulaan diatas kita semua seyogyanya sudah memahami dua buah halangan
yang selalu akan menghadang perjalanan spiritual kita kearah Yang Maha Esa.
Yang pertama :
Kecenderungan alami milik organ-organ sensual (indrias) kita yang selalu lari
kesana kemari ibarat kuda-kuda liar yang sulit untuk dikendalikan.
Yang kedua :
Berbagai hasrat akan objek-objek tujuan kenikmatan duniawi dimasa ini dan
dimasa-masa atau diloka-loka yang akan datang.
Berdasarkan kedua
hal ini, para Resi mengibaratkan manusia yang kehilangan pedoman sejati ibarat
anak-anak kecil yang berlari kesana kemari tanpa pernah tumbuh dewasa secara
spiritual. Orang-orang semacam ini gagal untuk sadar, bahwa semua objek-objek
duniawi ini hanya alat semata demi tercapainya tujuan kebenaran yang hakiki.
Karena kekurang-pengetahuannya, orang-orang ini malah mengejar-ngejar alat-alat
tersebut sebagai tujuan kehidupan ini dan akhirnya terperangkap oleh karma
mereka sendiri.
3. Apalagi
yang perlu diketahui oleh Sang Atman di dunia ini, yaitu Sang Atman yang berada
didalam manusia yang dengannya mampu mengenali bentuk, mampu merasakan, mencium,
mendengar dan menikmati kenikmatan-kenikmatan seksual. Inilah Itu (Atman yang
selalu dikau dambakan).
Keterangan :
Di
Upanishad ini, disloka mantra diatas tersebut, Yama Dewa sekali lagi secara
tegas menyatakan bahwa Yang Maha Kuasa itu tidak lain dan tidak bukan juga
adalah Sang Atman (Jati Diri) yang hadir didalam diri kita sendiri (Ini adalah
Itu). Beliau itu sebenarnya dekat sekali kehadirannya dengan kita semua, tetapi
manusia yang ingin tahu siapa dan apa Beliau itu malahan cenderung mencarinya
kemana-mana, bahkan ketempat-tempat yang jauh dan menyembah yang bukan-bukan,
ada yang berganti-ganti agama dan melakukan hal-hal yang aneh dan sebagainya.
4. Seseorang
yang bijak, sewaktu ia paham dan sadar bahwa Itu yang hadir didalam dirinya yang
menyebabkan ia mampu menikmati semua objek, baik dikala ia sedang bermimpi (tertidur)
atau dikala ia sedang terjaga (sadar), adalah Yang Maha Hadir Atman, maka orang
bijaksana ini tidak akan bersedih hati lagi.
Keterangan :
Di era
teknologi dan ekonomi ini setiap insan didunia oleh keadaan lingkungan dan gaya
hidupnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan materi dan kemashyuran belaka, baik
itu di India maupun Eropa atau Afrika dan Indonesia. Hidup ala kebarat-baratan
adalah status symbol bagi semua orang, tujuan kehidupan bukan menuju kehakikat
Yang Maha Kuasa. Tragisnya di dunia Barat manusia modern cenderung kembali ke
Timur, karena semua kemajuan adalah semu dan serba imitasi, didunia Barat sudah
tidak berarti lagi bagi penduduknya yang sadar akan sesuatu yang hakiki dan
sejati yang hilang dari tengah-tengah masyarakat mereka.
Para Resi
dimasa-masa yang lampau dan para manusia eling dijaman modern ini, yang
jumlahnya tidak banyak sadar bahwa Sang Atman sebenarnya hadir didalam diri kita
sendiri. Beliau yang disebut Itu adalah penyebab dari kehidupan didalam raga
kita dan yang juga menyebabkan kita merasakan, menikmati, menderita, berintuisi
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mereka-mereka yang sudah sadar budi
pekertinya lalu berkata untuk apa bersedih atau bergembira kalau semua fenomena
kehidupan sehari-hari sebenarnya adalah interaksi pikiran kita dengan Sang Maya
dan manifestasinya. Tanpa Sang Atman kita semua tidak eksis, tanpa Brahman Sang
Maya tidak hadir, Sang Atman dan Sang Maya adalah bagian dari para Brahman itu
sendiri yang diciptakan untuk berinteraksi dalam berbagai manifestasi mereka.
Dari Dia untuk Dia oleh Dia juga. Mungkinkah seseorang mampu menjadi Mahatma
Gandhi atau Einstein. Menjadi Gautama Budha atau Bunda Theresa seandainya Sang
Atman tidak hadir dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sang Atman selalu
hadir dalam diri kita, baik kita dalam keadaan tertidur, terjaga dan bahkan
dalam keadaan bermimpi. Pekerjaan siapakah semua ini kalau bukan Sang Atman
yang bersifat cahaya Ketuhanan Yang Maha Esa yang hadir sebagai suatu bentuk
energi, zat dan intelegensia yang maha tinggi sifatnya.
5. Barangsiapa
yang paham akan Sang Atman ini, yang menikmati sari madu, pengayom kehidupan dan
penguasa yang hadir dimasa lalu, dan dimasa yang akan datang, bahwa Beliau itu
sebenarnya hadir dekat sekali (didalam diri kita sendiri) . . . orang semacam
ini tidak mengenal rasa takut lagi setelah pengetahuan ini datang kepadanya.
Inilah yang sebenar-benarnya yang disebut Itu.
Keterangan :
Kata
“sari madu” (madhwadam) diatas berarti karma (pahala), baik yang dilaksanakan,
juga yang dirasakan oleh Sang Jiwa. Diibaratkan diatas bahwa Sang Atman adalah
penikmat pahala-pahala baik tersebut (padahal diajaran Vedanta dan seluruh
ajaran di Sanathana Dharma, Beliau Sang Atman adalah kesadaran murni yang jauh
dari nuansa kenikmatan duniawi ini). Sang Jati Diri yang bersifat teramat murni
(Atma-Chaitanya) ini adalah sumber dari seluruh fenomena dan pelaksanaan ego
maupun non-ego dari sari Sang Jiwa. Dan kalau seseorang sudah sadar akan zat
tertinggi yang hadir didalam raganya dan yang juga adalah pelaksana dari semua
tindakan-tindakannya, maka insan ini akan segera kehilangan hasrat-hasrat
duniawinya, dan lenyaplah aspek-aspek kekhawatiran dan ketakutannya seketika itu
juga; ia bahkan merasa raga yang disandangnya bukan miliknya tetapi adalah milik
Sang Pencipta, dan Sang Pencipta ini dalam bentuk Sang Atman sedang bekerja dan
menikmati dirinya sendiri melalui berbagai ciptaan-ciptaannya.
Manusia jenis
langka ini akan terserap kembali dan menyatu kedalam kesadaran dan hakikat Yang
Maha Kuasa. Inilah Sang Brahman yang dikau cari dan dambakan selama ini, wahai
manusia pencari hakikat Yang Maha Esa.
6. Barangsiapa
menyaksikanNya bersemayam didalam Maha Panca Butha Beliau yang lahir akibat
tapanya (Brahmaji) yang diciptakan sebelum berbagai elemen air diciptakan, yang
memasuki relung sanubari dan bersemayam didalamnya (maka orang bijak ini secara
pasti telah menyaksikan Sang Brahman). Inilah Brahman yang hakiki yang dikau
cari dan dambakan.
Keterangan :
Sang
Brahman sebagai realitas Yang Maha Kuasa (Samashti) didalam aspek makrokosmisnya
(buana agung) disebut Hiranyagarbha dan didalam aspek mikrokosmisnya (Vyasthi)
disebut Sang Jiwa. Barangsiapa menyadari akan kedua aspek dari Sang Brahman ini,
maka orang ini adalah seorang yang disebut bijaksana yang sadar akan realitas.
Adhyapurwam (sebelum
berbagai elemen air) Hiranyagarbha atau pikiran absolut telah hadir sebelum Maha
Panca Butha. Disloka mantra diatas berbagai elemen air adalah sebutan bagi Maha
Panca Butha yang dipercayai berasal dari air. Akasha (ether, kekosongan, Sang
Jiwa) adalah manifestasi yang timbul dari pikiran absolut yang lahir dari tapa (Brahmaji).
Keterangan yang terdapat diberbagai Upanishad menyatakan bahwa Brahmaji, Yang
Maha Kuasa sewaktu Beliau pada suatu saat dimasa lampau berhasrat menciptakan
seluruh alam semesta dan isinya, maka dari dirinya sendiri Beliau menciptakan
dan menghadirkan seluruh alam raya ini melalui proses tapashyaNya. Secara
singkat sloka mantra diatas berusaha menerangkan bahwa sewaktu sang mikrokosmis
(buana alit) sadar akan sang makrokosmis (buana agung) maka terciptalah kesatuan.
Sewaktu Sang Jiwa menyadari akan hakikat Sang Brahman (Vyasthi bergabung dengan
Samasthi) maka sirnalah pengaruh dari ilusi Sang Maya, dan Hiranyagarbha dan
jiwapun menyatulah (manunggal).
Inilah yang
disebut sebagai Itu, yang selama ini dikau cari dan dambakan, wahai manusia!
7. Beliau
yang dilahirkan bersama-sama dengan Prana dalam bentuk semua Dewata, yang
sewaktu memasuki relung hati, bersemayam didalamnya, yang lahir bersama berbagai
elemen. (Barangsiapa mengenaliNya, sebenar-benarnya mengenali Sang Brahman). Ini
sebenar-benarnya adalah Itu.
Keterangan :
Kata
“Prana” diatas oleh para ahli disamakan dengan Hiranyagarbha (buana agung) dan
bukan Prana (tubuh halus) yang berada didalam diri kita (buana alit).
Semua Dewata
berarti elemen-elemen Cahaya dibuana agung, tetapi juga hadir didalam
organ-organ sensual kita diraga dan jiwa kita (buana alit). Hiranyagarbha juga
disebut Aditi (yang melahap, memakan) . . . karena Beliau itu juga menikmati
seluruh alam semesta, kehidupan makrokosmis dan sekaligus intelegensia kosmis.
Semua bentuk kenikmatan yang dirasakan oleh para mahluk hidup “dicatat”
dipikiran kosmis atau “didaftar” oleh pikiran total (absolut). Inilah Brahman
Itu yang senantiasa dikau dambakan dan cari-cari selama hidupmu!
8. Ibarat
janin didalam rahim yang terpelihara dengan baik oleh sang ibu yang
mengandungnya, ibarat api yang tersembunyi diantara gesekan dua batang kayu,
maka (Yang Maha Esa) pun dipuja setiap hari oleh mereka-mereka yang telah
“sadar” dan yang berkorban kepadaNya. Ini sebenar-benarnya adalah Itu.
Keterangan :
Di
India dari masa yang lalu sampai masa ini api pengorbanan dinyalakan dengan
menggesekkan dua batang kayu (ada juga alat khusus yang terbuat dari dua batang
kayu). Batang yang pertama dan berada diatas disebut Utararani dan yang kedua
dan berada dibagian bawah disebut Adharani. Didekat ujung Adharani diletakkan
sedikit kapas dan api yang keluar dari gesekan kedua batang kayu ini akan segara
menyambar kapas ini, yang selanjutnya api yang didapatkan secara murni ini
disimpan disebuah tempat yang disebut havan-kund (tempat api suci pengorbanan).
Api suci yang sudah diberikan mantra-mantra ini dijaga agar tidak sampai padam
sampai dengan akhir yagna (agni-hotra) dan ini disebut pengorbanan lengkap (Puranakuti).
Bentuk api kedua
yang selalu dijaga dengan baik disetiap rumah tangga adalah api pawon (api dapur),
dan pada malam hari sewaktu tidak terpakai lagi sisanya akan dijaga dengan baik
sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan lagi keesokan harinya dan begitu
seterusnya.
Semenjak masa
silam api juga disembah sebagai salah satu wujud Yang Maha Kuasa (Agni Dewa).
Mereka-mereka yang khusus bertugas menjaga agar api tidak padam disebut Ritvik.
Dengan sangat
manis dan penuh makna sloka diatas menggambarkan perumpamaan orang-orang yang
telah sadar yang memelihara api kehidupan (Sang Atman) didalam diri mereka dan
memeliharanya secara lestari dan hati-hati ibarat dua golongan manusia yaitu
para Brahmana dan para penjaga dapur, yang sama-sama menjaga agar api tidak
padam. Juga dengan sangat manis hal tersebut diibaratkan bagaimana penjagaan api
itu dilaksanakan, yaitu ibarat seorang ibu yang menjaga janinnya dengan penuh
kehati-hatian, tanggung jawab sesuai naluri keibuannya. Cukup satu sloka ini
saja bagi Nachiketas dan bagi kita semuanya untuk dijadikan pedoman, bagaimana
kita seharusnya memelihara, menjaga dan melestarikan, agar Beliau senantiasa
bersemayam secara damai dan penuh karunia didalam raga kita ini, yang
diibaratkan sebagai berbagai Upanishad, sebagai kuil atau pura dimana Yang Maha
Esa itu sendiri bersemayam didalam relung sanubari yang paling dalam.
Kalau kuil ini
kita rusak dengan merokok, minum alkohol dan obat-obat terlarang, dengan mentato
badan kita, dengan memakan hewan, darah dan sebagainya apalagi daging sapi yang
disucikan, dan berbagai hal-hal lainnya yang merusak raga ini, maka sesuai
dengan sabda di Bhagavat Gita, Sang Atman ini menjadi teman bagi yang
menghormatinya dan menjadi musuh bagi yang mengabaikan dan mengotori kuilnya ini.
Ingat, ibarat api sewaktu kecil dan terjaga dengan baik akan bermanfaat bagi
penerangan dan rumah tangga; dan kalau besar serta tidak terkendali lagi,
apalagi dekat dengan bahan bakar yang mudah menyala, maka api itu akan
memusnahkan semuanya. Semoga kita sebagai insan didunia ini khususnya yang
mengaku dirinya berdharma secara Hindu sebaiknya bersikap eling dan waspada
setiap detik, setiap menit, setiap menghembuskan nafas kita dan sepanjang hidup
kita sehari-hari.
Api ini sebenarnya
adalah symbol dari OM (Omkara) itu sendiri, sewaktu symbol ini kita hilangkan,
maka yang hadir adalah eksistensi Yang Maha Murni yaitu kebenaran Yang Maha Esa
yang bersifat total atau absolut. Kebenaran hakiki inilah yang harus
dilestarikan oleh kita semua ibarat para Brahmana dan para penjaga dapur yang
sehari-harinya menjaga api miliknya. Dan hal ini sebenar-benarnya adalah Itu,
yang selalu dikau cari dan dambakan sepanjang hidupmu, wahai manusia.
9. Dan
Itu yang daripadaNya sang mentari timbul, dan didalamNya sang mentari tenggelam,
disana semua para Dewata bersandar dan tak seorangpun pergi lebih jauh dari
tempat tersebut. Ini sebenar-benarnya adalah Itu.
Keterangan :
Para
ahli spiritual di India sering berargumentasi satu dengan yang lain. Ada yang
menjabarkan bahwa para Dewata sebagai unsur-unsur cahaya yang menjaga dan
mempunyai fungsi-fungsi khusus diseluruh alam semesta beserta segala isinya,
seperti : Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa Vishnu sebagai Sang Pemelihara,
Dewa Shiva sebagai Sang Pendaur Ulang semua jiwa dan bentuk mahluk-mahluk hidup
dan lain sebagainya.
Tetapi ada juga
para ahli spiritual lainnya yang menyatakan bahwasanya para dewa adalah
manifestasi dari Yang Maha Esa dalam bentuk sakara (berwujud), oleh karena itu
kita sering menyaksikan berbagai lukisan dan figur dewa dewi yang unik dan
berwarna warni serta penuh dengan berbagai simbol yang menyandang arti.
Disamping dua
pendapat tersebut, ada pendapat lain yaitu para Dewata ini adalah manifestasi
dari Maha Panca Butha yang hadir dengan berbagai manifestasi penunjang lainnya
dan tersebar diseluruh alam semesta sesuai dengan tugas-tugasnya masing-masing,
mereka ini kabarnya berjumlah 4 milyar dewa dewi (buana agung), dan sekaligus
para dewa dewi ini hadir pula diraga manusia sebagai buana alit.
Dimasa lampau
sewaktu peradaban Eropah masih bersifat barbarik, para Aryan di India telah
mampu menjabarkan fenomena-fenomena astronomi dengan sangat baik, dan mereka ini
telah sadar akan rotasi bumi, bulan, matahari dan planet-planet lainnya
disekitar bumi, mereka bahkan sadar sekali akan Sang Pencipta dan berbagai
fenomena jagat raya yang dicatat dengan sangat baik.
Tidak mengherankan
kalau fenomena-fenomena ini disebut sebagai kebesaran Yang Maha Esa di sloka
diatas. Diatas disebutkan bahwa apa yang hadir dibuana agung hadir juga dibuana
alit yaitu raga kita yang merupakan duplikat dari semesta itu sendiri. Jadi
seharusnya kita eling bahwasanya kita adalah ciptaan yang mulia dan sederajat
dengan ciptaan-ciptaan lainnya dijajaran alam semesta dan Yang Maha Esa hadir
diraga kita sama seperti Beliau diraga-raga lainnya dialam semesta ini.
Sebenar-benarnya Ini adalah Itu yang kau dambakan dan cari-cari selama ini.
Bukankah adalah suatu karunia yang luar biasa dan kehormatan yang besar sekali
dilahirkan sebagai manusia ini?
10. Apa
yang kasat mata didunia ini, maka hal yang sama hadir tetapi tidak kasat sebagai
Sang Brahma dialam sana; apa pun yang terdapat dialam sana semuanya terdapat
dialam sini. Barangsiapa didunia ini mampu menyaksikan perbedaan antara Sang
Brahman dan dunia ini, maka ia akan melampaui kematian demi kematian.
Keterangan :
Mantra
atau sloka diatas ingin menjabarkan kepada setiap insan yang selalu berpikir
bahwa alam sana berbeda dengan alam sini, ibarat air yang ada di samudra luas
dan air yang ada di pantai Kuta adalah air yang sama, yang juga sama dengan air
laut yang ada di Hawaii; gelombang, buih, riak-riak berbeda nama dan bentuknya
tetapi tetap saja mereka ini semuanya adalah air.
Demikian juga
intisari Yang Maha Kuasa yang hadir didunia ini dan diberbagai manifestasiNya.
Jadi setiap perbedaan dialam semesta dan isinya adalah sebenarnya berasal dari
Yang Maha Tunggal maka ia telah menyatu denganNya secara seketika. Baginya
kematian dan kelahiran sudah tidak eksis lagi, ibarat air dilautan luas
adakalanya ia bernama gelombang, adakalanya ia disebut buih, adakalanya juga ia
dinamakan riak-riak, padahal sehari-harinya adalah air semata-mata dihamparan
yang disebut samudra atau lautan yang juga air adanya.
11. Melalui
pikiran semata-mata maka Sang Brahman ini dapat dicapai, dengan demikian tidak
ada perbedaan sama sekali di dunia ini. Barangsiapa mampu menyaksikan perbedaan
ini, maka ia akan berhasil melampaui kematian demi kematian.
Keterangan :
Didalam
berbagai karya-karya para Resi agung dimasa yang lalu banyak terdapat
kontradiksi antara satu pernyataan dengan yang lainnya. Ini sudah menjadi logika
spiritual karena secara duniawi logika tersebut sulit untuk dijabarkan apalagi
untuk kaum awam.
Saat ini para
ilmuwan Barat, bahkan telah menemukan fuzzy-logic, logika yang tidak beraturan
tetapi sebenarnya dalam pola yang teratur. Para Resi semenjak masa yang silam
menjabarkan Yang Maha Esa secara paradoks (berlawanan).
Sejauh ini para
pembaca yang budiman tentu sudah terbiasa membaca pernyataan-pernyataan bahwa
sang pikiran perlu dikendalikan, karena pikiran adalah sumber utama kegalauan
manusia dalam meniti jalan kearah kebenaran absolut. Tetapi disloka diatas,
sebaliknya disebut bahwa hanya melalui pikiran semata-mata Sang Brahman dapat
dicapai oleh seseorang manusia. Bagaimana logika ini dapat dijabarkan, karena
kita sudah terbiasa memahami bahwa pikiran adalah sumber dari kekacauan manusia
itu sendiri karena sifatnya yang teramat liar ibarat kuda-kuda yang sulit untuk
dikendalikan.
Sebenarnya tidak
ada kontradiksi sama sekali dengan pernyataan diatas. Yang dimaksud di Upanishad
ini adalah sewaktu sang pikiran sudah terkendali dengan baik, maka ia akan
mencapai hakikat kebenaran dan menyaksikan hadirnya Sang Jati Diri didalam
dirinya, seperti juga didalam diri dan manifestasi-manifestasi yang lainnya.
Semua upaya ini tentunya tidak mudah, diperlukan sedemikian banyak kelahiran dan
kematian, diperlukan juga sedemikan banyak bakti, pemujaan, meditasi dan samadi
sampai suatu saat Yang Maha Esa berkenan hadir didalam diri kita. Pada saat
itulah seseorang akan paham bahwa tidak ada perbedaan baik disini maupun disana.
Yang hadir hanya Ia semata-mata.
12. Sang
Purusha, yang berukuran ibu jari bersemayam ditengah-tengah raga kita, sebagai
Yang Maha Kuasa, baik dimasa-masa yang lampau maupun dimasa-masa yang akan
datang; bermula dari ini (selanjutnya) setelah paham akan Beliau ini janganlah
takut atau khawatir lagi. Ini sebenarnya adalah Itu.
Keterangan :
Sruthi
menyatakan bahwa kehidupan manusia ini dapat mekar adalah dengan memelihara
jalan pikiran milik sang pikiran itu sendiri dengan berbagai upaya kendali diri.
Manusia diciptakan dalam berbagai kategori guna dan bahwa setiap individu
telah menyandang sifat-sifat kodratinya sendiri yang alami sekali sesuai dengan
misi dan pembawaannya. Bagi seorang yogi sebenarnya ia sadar akan pengendalian
pikirannya sesuai dengan jalan yang diambilnya. Seandainya ia mengambil jalan
bakti, maka ia memerlukan nama dan bentuk Yang Maha Esa sebagai symbol utama
meditasi dan konsentrasinya.
Seandainya ia
adalah seorang hathayogin, maka ia memiliki Kundalini Shakti yang harus
dikendalikan dan diarahkan kepadaNya secara baik dan bertanggung jawab.
Seandainya ia
adalah seorang karma-yogin, maka ia diharuskan mengingat selalu melalui japa,
ritual dan dedikasinya kepada Yang Maha Kuasa; dalam banyak hal pemujaan insan
karma yogi ini, biasanya ke Yang Maha Esa dalam wujud Sri Narayana dan berbagai
manifestasi Beliau dari waktu ke waktu. Diluar semuanya itu ada beberapa insan
yang langka, yang memuja Sang Atman (Sang Jati Diri) didalam dirinya sendiri
yang sebenarnya teramat sukar untuk diterangkan.
Upanishad yang
satu ini sedang berusaha menjabarkan Yang Maha Esa melalui sloka-sloka dan
mantra-mantra yang sarat akan makna. Tiba-tiba disloka mantra diatas, sesuatu
yang sulit diterangkan ini (Sang Atman) digambarkan sebagai seorang Purusha yang
berukuran sebesar ibu jari kita dan bersemayam ditengah-tengah hati sanubari
kita. Bukankah hal ini sekali lagi berkontradiksi dengan ajaran spiritual
Upanishad ini sendiri? Bagaimana mungkin yang diterangkan dapat digambarkan
sebagai seorang Purusha sebesar ibu jari?
Tetapi menurut
para resi-resi yang agung, bunda Sruthi yang sayang pada putra-putranya, yaitu
kita semua insan dimayapada ini, selalu mencari jalan keluar bagi pemula yang
sedang meniti jalan ke Yang Maha Kuasa. Bagi seorang pemula sebaiknya ia
menvisualisasikan Sang Atman dalam bentuk dalam Sang Purusha ini dulu. Dari yang
berbentuk, baru secara perlahan dan pasti masuk ke yang tidak berbentuk, yang
tidak dapat dijabarkan bahkan oleh semua pancaindera kita yang utama.
13. Purusha
tersebut yang berukuran sebesar ibu jari dikatakan ibarat api yang tidak berasap,
Beliau adalah wujud Yang Maha Esa yang hadir dimasa-masa yang lampau dan akan
selalu hadir dari masa ke masa. Ini sebenarnya adalah Itu.
Keterangan :
Purusha
atau Sang Atman atau Sang Jati Diri yang hadir disetiap insan ini juga dikenal
sebagai Sang Cahaya atau Jyoti yang selalu hadir dari semenjak masa yang teramat
silam, pada saat ini dan masa-masa yang akan datang. Ia berada dalam setiap
mahluk dan setiap manifestasi, baik itu yang berasal dari masa lalu maupun
sekarang dan yang akan datang. Sambil berkonsentrasi kepada Yang Maha Esa
(Atman), janganlah seorang sadhaka (pencari kebenaran) tertipu oleh gambaran
sebesar ibu jari ini yang sebenarnya tidak ada dan hanya bersifat imajinasi
belaka. Patung Dewa Shiva bukanlah Shiva Sri Parameshvara itu sendiri, begitu
juga Sang Jyoti atau Cahaya Yang Maha Esa ini bukan Sang Atman itu sendiri, jadi
jangan mengeluh kalau sudah puluhan tahun bermeditasi dan berkonsentrasi,
mengapa Sang Atman Dharsana tidak menampakkan diri juga. Suatu upaya konsentrasi
kearah Yang Maha Esa tanpa pamrih, tanpa target, dan tanpa hasrat serta berbagai
nafsu dan keinginan, tanpa mengharapkan pahala akan mengantar kita keberbagai
fenomena dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan menuntun kita ke hakikat
Sang Atman, Yang Maha Kuasa yang hadir didalam relung sanubari kita yang teramat
dalam. Para pemuja yang masih dalam tahap pemula boleh saja menvisualisasikan
Atman dalam wujud ibu jari ini, ataupun gambaran (Istha) lainnya pada permulaan
meditasi mereka, tetapi secara perlahan dan pasti masukilah hakikatNya daripada
terpaku pada gambaran yang sebenarnya adalah imajinasi manusia itu sendiri.
14. Ibarat
air yang mengalir melalui lereng-lereng sebuah gunung terpencar menjatuhi
batu-batuan yang berserakan disana sini, demikian juga ia yang menyaksikan
berbagai tujuan kehidupan (objek-objek kehidupan), seakan-akan yang satu berbeda
dengan yang lainnya, berlari-lari mengalir kearah objek-objek ini dan kemudian
tercerai berai kesetiap arah setiap saat.
Keterangan :
Pikiran
manusia sebenarnya adalah suatu ciptaan Yang Maha Esa yang berdimensi kekuatan
itu sendiri. Tetapi sehari-hari karena kekurang pengetahuan kita, maka manusia
malahan menjadi budak dan hamba sahaya dari pemikirannya sendiri, daripada
mempergunakannya sebagai alat atau perangkat pemberianNya agar kita mampu
menggunakannya demi mencapai hakikatNya Yang Maha Esa dan abadi ini. Mantra atau
sloka diatas menggambarkan jalan pikiran manusia ibarat air hujan yang turun
disebuah puncak gunung, akhirnya ada yang tercerai berai menghantam bebatuan dan
muncrat kesana kemari dan malahan tidak mengalir secara berkesinambungan ibarat
aliran sebuah sungai. Lalu adakah jalan keluar bagi sang pikiran yang tercerai
berai ini? Para ahli menyatakan karena pikiran manusia terdiri dari dua bagian
yaitu yang positif dan negatif (Im dan Yang), maka sebaiknya yang positif ini
penuh dengan kesadaran berupaya untuk mengendalikan sisi yang negatif, agar
jalan pikiran menjadi berimbang. Ada ahli yang menyatakan bahwa sang pikiran itu
sendiri bertendensi menjadi hamba dari jalan pikirannya sendiri, dan ada yang
berasumsi bahwa setengah jalan pikiran selalu ke kanan dan setengah jalan lagi
ke kiri, yang setengah mau kesana (liar) dan setengahnya lagi kesini (intelegensi
/ budhi). Sebaiknya hal ini diselaraskan, dikendalikan. Sebenarnya inti dan
tujuan karya suci ini bukankah mengarah ke Itu juga?
15. Ibarat
air yang jernih mengalir masuk ke air yang jernih lainnya dan menjadi sama
jernihnya, demikian juga Sang Atman dari seorang pemikir akan menyadari akan
hakikat ini, wahai Gautama.
Dengan ini
berakhirlah Vali ke empat dari Bab kedua ini.
Keterangan :
Mantra
ini adalah kesimpulan dari Bagian ke empat diatas dari Bab – 2 ini yang sekali
lagi melihat aspek kesatuan dari kehadiran Yang Maha Esa didalam setiap manusia
dan totalitas dari Yang Maha Esa yang tersebar dimana-mana diseluruh jajaran
alam semesta ini.
Dikatakan oleh
seorang guru resi diabad ini yang tidak kami sebutkan namanya bahwa : manusia
minus (tanpa) ego adalah Tuhan, Tuhan ditambah (plus) ego adalah manusia. Dengan
menghapus ego didalam diri kita akan tercipta perwujudan dan hakikat Yang Maha
Esa disanubari kita. Sewaktu kita menanggalkan semua persepsi yang salah, dari
kekurang pengetahuan kita, juga dari khayalan-khayalan duniawi yang menyesatkan
dan menambatkan diri ke ilmu pengetahuan akan kebenaran dan akan Yang Maha Abadi,
maka sang ego pun lalu menguap ke permukaan yang selama ini diselimuti oleh ego
ini, yaitu Sang Jati Diri (Kebenaran Absolut), yang bercahaya penuh
kesejahteraan dan kemuliaan yang hakiki.
Pada saat itu
seseorang manusia lalu sadar akan sifat aslinya yaitu kesadaran hakiki, dan
dengan kesadaran ini ia menyatu dengan Yang Maha Hadir dan Yang Maha Benar.
Ibarat air jernih
kemudian sang manusia ini bersatu kembali dengan sumber air jernihnya sendiri,
setelah kotor sementara waktu yaitu sewaktu ia berubah fungsi. Tetapi setelah
melampaui proses penyulingan spiritual, ia menjadi jernih kembali dan kembali ke
sumbernya yang jernih dari mana ia berasal dahulunya, dan semua hal ini adalah
air jernih belaka, tidak ada hal yang lainnya. Dan kalau semua pengetahuan dalam
berbagai analog ini sudah disampaikan kepada kita, bukankah kita sebagai insan
sedharma seharusnya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa untuk semua pengetahuan
hakiki yang bersifat adiluhung dan suci ini. Dan kalau diantara kita masih ada
yang menyalahkan berbagai ajaran dan tuntunan dalam berbagai Veda-Veda,
Upanishad dan karya-karya suci lainnya, dan kalau ada yang masih berkasta tinggi
dan rendah, dan berdiskriminasi atas nama ras, warna kulit, bangsa, kedudukan,
keturunan ataupun kekayaan dan posisi kita, bukankah pada hakikatnya itu
sebenarnya merupakan pelecehan akan hakikat dan martabat kita sebagai buana alit
itu sendiri?
Dan sekaligus hal
tersebut juga merupakan pelecehan terhadap Sang Pencipta dan ini bertentangan
dengan prinsip-prinsip Sanathana Dharma itu sendiri.
Tidak mengherankan
kalau kehidupan keagamaan Hindu Dharma dinegara kita pada saat ini ditulis
berada dalam posisi yang teramat lemah, baik dalam penghayatan maupun
aplikasinya, karena kekurang pengetahuan akan hakikat sejati dari ajaran Dharma
yang serba kabur dan tidak jelas dari mereka-mereka yang selama ini merasakan
dirinya sebagai agen-agen Yang Maha Kuasa, mereka-mereka ini menyesatkan umat
dengan berbagai ritual yang aduhai dan bersifat tamasik, yang gemerlapan dan
lebih dicondongkan untuk konsumsi turis daripada untuk pengabdian yang
sebenarnya kepada Sang Pencipta.
Hal ini terjadi di
India dan juga di Indonesia, sehingga generasi penerus mulai bimbang dan
ragu-ragu akan Hindu Dharma dan terombang ambinglah mereka karenanya. Syukurlah
Sang Maha Dharma pada saat ini telah melahirkan generasi penerus yang sebagian
besar masih berusia muda belia, terdidik dan berwawasan luas, ditambah
batas-batas negara sudah tidak berarti lagi dikarenakan kemajuan teknologi yang
luar biasa, maka kita semua tahu sendiri akan perbedaan dan persamaan persepsi
agama Hindu yang berlaku dimanca negara dan di tanah air.
Para muda belia
ini berupaya dengan berbagai jalan mendalami hakikat Dharma yang sesungguhnya.
Untuk mereka inilah karya agung ini dipersembahkan dan bukan untuk mereka-mereka
yang selama ini menyesatkan umat atas nama Dharma. Tanpa berbagai Upanishad,
Hindu (Sanathana Dharma) tidak akan eksis dan tak dapat disebut sebagai
dharma!
Bagian - 5
(Sang jiwa didalam . . . . .
. yang bersifat imanen dan juga bersifat transcendental)
1. Kota
(pura) tempat bersemayam Sang Brahma Yang Tak Dilahirkan, yang ilmu
pengetahuannya bersifat permanen (tetap) berpintu gerbang sebanyak sebelas buah.
Barangsiapa memuja Beliau maka ia tidak akan bersedih hati dan akan terbebaskan
dari semua ikatan-ikatan kebodohan dan berubah menjadi bebas. Ini sebenarnya
adalah Itu.
Keterangan :
Kata
Pura atau Puram diatas dalam bahasa Sansekerta berarti sebuah kota dengan
sebelas pintu gerbang yang disebut Puramekadasadvaram, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah raga kita sendiri. Ada tujuh pintu dibagian kepala / wajah kita,
dan tiga buah pintu lagi dibagian tengah tubuh kita (wanita memiliki dua pintu
di kemaluannya dan satu di anus, pria satu di penis dan satu di anus) dan yang
ke sebelas adalah suatu celah yang teramat lembut dan sulit dideteksi yang
disebut sebagai Brahma-randhra di cakra mahkota kita yang selalu dibicarakan
diberbagai yoga-shahtra. Kalau raga ini diibaratkan sebagai kota yang berpintu
gerbang sebelas, maka seharusnya pintu-pintu gerbang ini dijaga oleh para
penjaga pintu gerbang, yang memeriksa setiap insan yang masuk dan keluar; secara
logika duniawi maka kota inipun memiliki istana dan raja sebagai penguasanya,
memiliki juga para pelayan dan abdi dalam yang melakukan kewajiban mereka
sehari-hari secara sistematik dan teratur dengan baik didalam maupun diluar kota
ini.
Berbagai lubang di
bagian atas dan tengah kita (dua dihidung, dua ditelinga, dua dimata, satu
dimulut, dua divagina, satu dianus) adalah pintu-pintu gerbang kita, dan para
dewa dewi yang bersemayam di setiap organ-organ indera ini, adalah para pengayom
dan penjaganya; sang pikiran adalah petugas pengendali dan tragisnya sering
kehilangan kendali diri dan Sang Purusha adalah Penguasa seluruh aparat-aparat.
Seseorang yang
memuja Purusha ini akan menyaksikan keagungan dan hakikat Sang Atman, penguasa
raga ini dan akan dibebaskan dari berbagai kehidupan dan kematiannya
berulang-ulang. Inilah yang disebut Itu dan yang dicari serta didambakan oleh
Nachiketas dan akhirnya diterangkan secara terperinci, baik secara duniawi
maupun secara hakiki oleh gurunya sang Dewa Kematian, sang Yama Raja.
Manfaatnya
diperoleh kita semua, semoga kita berterima kasih kepada kedua unsur sejati
yaitu guru dan murid diatas ini. Om Shanti Shanti Shanti.
2. Sebagai
Hamsa (sang surya) Beliau bersemayam diruang angkasa; sebagai Vayu (udara)
Beliau bersemayam dilangit; sebagai Agni (api) Beliau bersemayam dibumi; sebagai
seorang tamu Beliau hadir disebuah rumah; Beliau hadir dan bersemayam disetiap
insan, dewa dewi, didalam setiap pengorbanan (yang mengandung kebenaran),
dilangit. Beliau dilahirkan diberbagai wujud yagna (pengorbanan), Beliau
dilahirkan diberbagai pegunungan; Beliau benar dan teramat mulia serta agung
adanya.
Keterangan
:
Sebagai
yang hadir disetiap organisme dan bentuk diseluruh jagat raya ini, Beliau
dilahirkan sebagai Sang Atman didalam setiap mahluk yang berasal dari air (Abja)
sebagai Gojah yang dilahirkan dalam bentuk tumbuh-tumbuhan dan berbagai flora
serta tanaman dimuka bumi ini.
Sebagai Adrijah
yang dilahirkan oleh / diberbagai pegunungan seperti sungai, air terjun dan lain
sebagainya.
3. Beliau
(Sang Brahman) yang menaikkan Prana keatas dan menurunkan Apana kebawah. Yang
Maha Mulia ini, yang bersemayam ditengah-tengah, dipuja oleh para dewa semuanya.
Keterangan :
Seandainya Sang Atman tidak hadir didalam diri kita, maka sang raga tidak akan
mampu bernapas. Adalah Sang Atman yang menyebabkan udara vital (napas) kita
berfungsi dengan baik yaitu dengan menarik napas Prana dan menghembuskan kembali
Apana, tanpa itu raga langsung berhenti berfungsi. Ada lima bentuk energi utama
dan vital didalam tubuh kita yang berfungsi secara teratur dan sistematis;
walaupun mempunyai tugas yang berlainan, mereka semuanya ini adalah eksistensi
tunggal dan berprinsip sama.
Ke lima bentuk
Pranas ini diterdiri dari :
1.
Prana, kekuatan kosmis yang bermanifestasi didalam tugas-tugas organ
tubuh yang disebut paru-paru serta organ-organ lainnya yang berhubungan dengan
sistim pernapasan kita.
2.
Apana, yang berfungsi diusus dan saluran urine.
3.
Samana, yang berfungsi disistim pencernaan.
4.
Udana, yang berfungsi didalam pita suara dan sistim-sistim tubuh lainnya
yang memproduksi suara.
5.
Vyana, yang aktif bekerja dan berfungsi disirkulasi darah didalam tubuh.
Jadi harap
diperhatikan, yang disebut Prana bukan hanya napas. Prana adalah energi vital,
dan pernapasan adalah salah satu dari berbagai fungsi serta manifestasinya.
Para dewa yang
bersemayam diberbagai organ tubuh (buana alit) yang jumlahnya sama dengan yang
bersemayam disetiap penjuru jagat raya (buana agung), semuanya memuja kesatu
arah dipusat tubuh ini, yaitu Sang Jati Diri (Sang Atman).
4. Apakah
yang tersisa sewaktu Sang Atman ini yang bersemayam didalam raga, meninggalkan
raga tersebut? Ini sebenar-benarnya adalah Itu.
5. Tidak
dengan Prana, tidak juga dengan Apana, seseorang itu mampu hidup; tetapi ada
sesuatu yang lain, yang menunjang Prana dan Apana, yang memungkinkan manusia
mampu untuk bertahan hidup.
Keterangan :
Sesuatu
yang lain, yang menunjang Prana dan Apana adalah Sang Atman, Sang Jati Diri itu
sendiri. Tanpa Beliau seluruh fungsi Prana dan Apana terhenti, dan selanjutnya
seluruh indrias menjadi layu dan raga mulai membusuk secara total.
6. Oleh
karena itu, wahai Gautama, akan kuterangkan mengenai Sang Brahman yang misterius
dan berasal dari masa yang teramat silam, dan juga apa yang terjadi kepada Sang
Jiwa setelah kematian.
7. Ada
jiwa yang menitis ke raga manusia, dan ada yang lainnya ke pepohonan dan
bebatuan, sesuai dengan pekerjaan dan pengetahuannya dimasa-masa yang lalu.
8. Sang
Purusha yang selalu terjaga (tidak pernah tidur), membentuk semua objek-objek
keinginan; bahkan sewaktu kita berada dalam keadaan tertidur, objek-objek
keinginan ini divisualisasikan kedalam mimpi . . . sebenar-benarnya Beliau
itulah Sang Brahman yang disebut Yang Maha Abadi. Didalam Itu bersandarlah
seluruh dunia ini dan tak seorangpun yang mampu melampaui Itu. Ini sebenarnya
adalah Itu (yang dikau cari dan dambakan).
Keterangan :
Kehidupan manusia didasarkan (dibagi) dalam tiga kategori yang disebut terjaga (tidak
tidur), dalam keadaan mimpi dan dalam keadaan tertidur lelap.
Sebuah karya agung
Mandukya-Upanishad menerangkan secara terperinci dan fantastis mengenai ketiga
keadaan tersebut diatas.
9. Ibarat
seunggun api sesudah memasuki dunia, walaupun seunggun, berupa-rupa wujudnya
sesuai benda yang terbakar olehnya; demikian juga dengan Sang Atman, yang
mengambil wujud sesuai dengan berupa-rupa manifestasi yang dimasukinya, Beliau
juga hadir diluar bentuk dan berbagai manifestasi ini.
Keterangan :
Disalah
satu sloka Bhagavat Gita tertulis bahwa seluruh alam semesta ini hanya sepercik
dari Yang Maha Esa itu sendiri, dan bayangkan Sang Atman yang merupakan
pancaran-pancaran Beliau yang memenuhi seisi jagat raya ini.
10. Ibarat
udara (Bayu) yang berbentuk satu, setelah memasuki dunia ini, walaupun
sebenarnya masih beresensi satu, tetapi terbagi dalam berbagai jenis sesuai
dengan bentuk yang diambilnya; demikian juga dengan Sang Atman didalam setiap
mahluk hidup walaupun tunggal keberadaannya, tetapi mengambil berbagai bentuk
sesuai dengan yang dipilihnya dan Beliau juga hadir diluar semua ciptaan-ciptaan
ini.
Keterangan :
Udara
dapat juga disebut napas, oksigen, udara yang mengandung gas, angin, Bayu dan
lain sebagainya. Pada hakikatnya semua itu berasal dari satu unsur juga.
11.
Ibarat sang surya, yang merupakan mata dunia ini,
tidak terkontaminasi oleh berbagai cacat mata eksternal, demikian juga dengan
Intisari direlung yang paling dalam (Sang Atman) yang hadir disetiap mahluk,
tidak akan terkontaminasi oleh berbagai penderitaan eksternal di dunia ini.
Keterangan :
Sarva-lokasya chaksuh (mata seisi dunia), sang surya adalah sumber dari daya
penglihatan kita semua, demikian kesimpulan para resi Upanishad di jaman Vedik.
Tanpa penerangan dari sang surya, mata kita ibarat mata cacat yang buta dan
tidak dapat melihat (merefleksi kembali) sinar surya ini.
Sang surya
bersinar sama ke kotoran manusia ataupun ke arah seseorang yang merasa dirinya
suci, tanpa sedikitpun tercemar atau menjadi suci karenanya. Demikian juga Sang
Atman tidak akan terkontaminasi oleh berbagai bentuk karma dan karma manusia
berdasarkan sifat-sifat egosentris setiap individu yang berlainan perilaku dan
karakternya.
Ada dua pendapat
diantara para pemikir dan cendekiawan Hindu, yang mencoba menerangkan status
relatif dari Kebenaran itu sendiri.
Yang satu
berpendapat, Yang Maha Kuasa (Kebenaran) merubah diriNya sendiri, ibarat susu
yang menjadi mentega atau yoghurt.
Kaum Vedantin
tidak setuju dengan teori ini, karena dengan demikian Tuhan tidak eksis lagi,
yang ada hanya seluruh alam semesta ini sebagai perwujudannya, jadi tidak
bersifat abadi. Nonsens, kata mereka.
Para Vedantins
berpendapat bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan Sang Maya (ilusi duniawi), dari
Sang Maya inilah seluruh ciptaan yang berbentuk seisi alam semesta dengan segala
fenomena, bentuk dan kehidupan ini diproyeksikan. Teori ini disebut Vivartavada.
Dengan demikian walau mencipta, Yang Maha Kuasa tetap bersifat jauh dan abadi,
diluar seluruh ciptaan-ciptaan dan berbagai manifestasinya ini.
12. (Itu)
Penguasa Yang Maha Tunggal, yang merupakan jiwa didalam setiap mahluk, yang
memanifestasikan diriNya yang tunggal keberbagai bentuk . . . . . para kaum
bijak, yang menyadari akan hakikatNya sebagai Sang Jati Diri didalam diri mereka
sendiri (Ishwar-dharsana), kepada mereka datang kebahagiaan yang abadi dan tidak
kepada yang lain-lainnya.
13. Beliau,
Yang Maha Abadi diantara yang tidak abadi, yang maha intelligent (cetana-cetanam)
didalam berbagai intelegensia, yang walaupun tunggal, memenuhi berbagai hasrat
manusia . . . . mereka-mereka, kaum bijak yang telah mencapai hakikatnya, yang
menyadariNya sebagai Sang Jati Diri, yang bersemayam didalam diri mereka sendiri;
kepada orang-orang bijak inilah datang Shanti (kedamaian) yang abadi dan tidak
kepada yang lain-lainnya.
Keterangan :
Cetana-cetanam (Yang Maha Intelligent) didalam intelegensia. Di Barat para
ilmuwan dianggap sebagai manusia yang jenius, apalagi yang memenangkan hadiah
Nobel. Di India semua jenius ini tidak akan berarti kalau Sang Atman Yang Maha
Inteligent tidak berkenan membagi daya intelegensiaNya demi tujuan duniawi dan
manusia banyak. Einstein yang bijak pernah berkata : “Wahai Tuhan, aku ini
ibarat sebutir pasir dipantai yang maha luas ini.”
14. Para
resi mengamati (menyaksikan) bahwa karunia tertinggi (Ini) diibaratkan sebagai,
“Ini adalah Itu”, bagaimana mungkin aku mengenalNya (Itu)? Apakah Ia bercahaya
dari diriNya, ataukah Ia bercahaya dikarenakan cahaya yang lainnya?
Keterangan :
Tad
etad iti (Ini adalah Itu). Sewaktu seorang yang suci sanggup menarik unsur-unsur
persepsi, rasa dan tekad dari jalan pikirannya, sewaktu ia sudah tidak terikat
lagi akan perilakunya sehari-hari yang datang dan pergi sesuai dengan kodratnya,
ia akan “disentuh” oleh Sang Atman yang senantiasa hadir didalam dirinya.
Kehadiran Sang Atman yang gilang gemilang ini dipertanyakan oleh Yama Dewa itu
sendiri, yang kemudian disloka berikutnya akan dijawabnya secara cemerlang
olehnya sendiri juga.
15. Sang
surya tidak bersinar disana, tidak juga sang chandra, tidak juga bintang-bintang,
tidak juga halilintar apalagi agni. Sewaktu Beliau bersinar, semuanya bersinar
mengikutiNya; berkat cahayaNya, semua ini bercahaya.
Dengan ini
berakhirlah Bagian ke lima dari Bab – 2
Keterangan :
Di
India, sloka diatas ini dianggap sebagai mantra yang suci, yang selalu
dikumandangkan diberbagai Arathi (Puja dengan memakai pelita dan berbagai ragam
bunga diatas penampan yang diayunkan secara berputar dengan perlahan-lahan).
Karena begitu seringnya mantra ini dilagukan, hampir semua pemuja dan pendeta
menganggapnya sebagai suatu tradisi yang harus dilakukan, tanpa banyak yang
paham bahwasanya mantra ini adalah kesimpulan yang amat menakjubkan dari
Katopanishad, dan sebenarnya merupakan inspirasi dan tujuan bagi yang mengambil
jalan dhyana (semadi).
Kami tulis mantra
aslinya seperti berikut, agar dapat diucapkan oleh anda yang ingin bermeditasi
ke Sang Jati Diri dalam bentuk Sinar Yang Maha Esa (Jyoti) yang terletak
ditengah-tengah kedua alis mata.
Baca Bab – 6,
Bhagavat Gita, jalan meditasi, sebagai petunjuk melakukan dhyana ini. Dibawah
ini kami sertakan mantra diatas :
Na tatra suryo bhati, na chandra-tarakam,
nima vidyuto bhanti, kuto “yam agnih”
Tameva bhantamanubathi sarvam,
tasya bhasa, sarvamidam vibhati.
BAGIAN - 6
(Jalan Adhiatma-Yoga
diterangkan lebih lanjut secara terperinci)
1. Ini
adalah pohon Aswatha yang berasal dari masa yang silam, yang akar-akarnya tumbuh
keatas dan yang cabang-cabangnya tersebar kebawah. Itu sebenar-benarnya sejati,
Itu adalah Brahman, yang juga disebut Yang Maha Abadi. Didalam Itu terletak
dengan baik seluruh isi dunia ini, dan tak seorangpun yang melampauiNya. Secara
hakiki (sebenar-benarnya) Ini adalah Itu.
Keterangan :
Pohon
Aswatha (pohon kehidupan) adalah perumpamaan dari kehidupan ini (Samsara) yang
seperti di Bhagavat Gita, XV.3, dijabarkan sebagai bermula (berakar) diatas, di
Vishnu Paramam Padam (tempat bersemayam Sang Vishnu, Sang Atman Yang Maha Hadir).
Kata Aswatha sendiri dalam bahasa Sansekerta dapat berarti “sesuatu yang tidak
akan berubah menjadi esok hari”. Jadi kehidupan ini tidak bersifat abadi.
Walaupun demikian Upanishad ini berusaha memberitahukan kepada kita bahwa
kehidupan didunia ini sebagai Aswatha walaupun tidak abadi sifatnya, berakar
pada Kebenaran Absolut . Menurut Bhagavat Gita dengan berpedoman pada kesadaran
dan pengetahuan (viveka), pohon kehidupan ini dapat ditebas habis.
2. Seluruh
alam semesta ini secara lambat laun bermula dari Sang Brahman, bergerak (bergetar)
didalam Prana (dalam bentuk Brahman yang tinggi sifatNya). Sang Brahman ini
adalah sebuah teror yang dahsyat, ibarat halilintar yang terangkat. Barangsiapa
paham akan hal ini akan menjadi abadi.
Keterangan :
Kata
Prana diatas ditafsirkan sebagai Sang Brahman itu sendiri, darimana semua ini
berasal dan akan berakhir, dan seisi dunia ini bergerak didalam Prana itu
sendiri yang maha hadir setiap saat. Para ilmuwan Barat mengetahui bahwa
unit-unit energi dialam semesta bergerak dengan kecepatan yang amat dahsyat.
Sewaktu sebuah atom terbelah, maka didapatkan elektron dan proton yang bergerak
dengan velositas yang tinggi mengitari neutron yang tidak bergerak dan lain
sebagainya.
Dengan kata lain,
para ilmuwan Hindu dengan mudah menerima fakta bahwa penciptaan adalah gerakan,
vibrasi dari unsur-unsur energi, dan memungkinkan bagi vibrasi tadi untuk
berfungsi seandainya ada medium stabil yang tidak bergerak terikat dipusatnya,
dan para resi menyebut unsur ini sebagai Realitas Absolut.
Kata Mahadbhayam
(terror yang dahsyat) menggambarkan kedahsyatan Yang Maha Esa (Brahman) yang
tentunya bagi kaum awam sangatlah menakutkan ibarat terror menyaksikan gerak
kerja dari alam semesta, dari permulaannya sampai dewasa ini. Semua fenomena
alam semesta ini begitu dahsyat dan menakjubkan sehingga diibaratkan seakan-akan
sebuah terror yang maha menggentarkan. Didalam Bhagavat Gita digambarkan
bagaimana tergetarnya sang Arjuna sewaktu menyaksikan fenomena alam ini sehingga
ia mohon kepada Sang Krishna agar diperlihatkan wujudNya yang lembut yaitu
Vishnu, karena Arjuna sudah tidak sanggup menyaksikan kerja alam yang begitu
menakjubkan ini sehingga seluruh sendi-sendi tubuhnya serasa hancur. Dengan
demikian mantra sloka diatas berupaya untuk menerangkan bahwa Yang Maha Kuasa
itu sendiri sebagai sesuatu kekuatan yang aktif dan dinamik, dan pada saat yang
bersamaan merupakan Intelegensia Murni yang bersifat non-aksi. Barangsiapa paham
akan hakikat Sang Brahman Yang Maha Tinggi ini, sumber dari segala kehidupan
diseluruh jagat raya, sebagai elemen vital yang juga hadir didalam diri kita
masing-masing, maka insan yang paham akan hakikat ini segera akan dituntun
kearah Keabadian.
3. Karena
gentar akan Yang Maha Kuasa, Sang Agni pun menyalakan dirinya, karena gentar
akan Yang Maha Kuasa, sang surya pun bersinar, karena gentar akan Yang Maha
Kuasa, sang Dewa Indra, Bayu dan Dewa Kematian, berfungsi sesuai tugas mereka
masing-masing.
Keterangan :
Kata
gentar akan Yang Maha Kuasa juga didapatkan di Taittereya Upanishad. Dengan kata
lain gentar diibaratkan sebagai kepatuhan seluruh unsur alam semesta ini akan
keberadaan Yang Maha Kuasa dan semua unsur ini lalu berfungsi secara harmonis,
sempurna dan sistematis sehingga alam semesta lestari dan hadir bekerja sesuai
dengan hukum-hukum alam itu sendiri yang sulit untuk dijabarkan.
4. Seandainya
didalam kehidupan ini seseorang mampu menemukan hakikatNya (Brahman) sebelum ia
meninggalkan raganya, maka insan ini akan terbebaskan dari ikatan-ikatan duniawi
ini; seandainya seseorang tidak mampu mencapaiNya, maka ia harus lahir kembali
didunia ini.
5. Ibarat
sebuah cermin, demikian juga Sang Brahman dapat terlihat dengan jelas
dikehidupan ini oleh seseorang didalam Sang Jati Dirinya sendiri; seperti
didalam mimpi begitu juga di pitraloka; seperti di air begitupun di lokanya para
Ghandarvas; seperti ditempat yang terang dan ditempat yang teduh, begitu juga di
dunianya Sang Brahman.
Keterangan :
Dimana
mantra sloka diatas, Dewa Kematian sedang berusaha untuk menerangkan kepada
Nachiketas bahwa realisasi akan Sang Jati Diri didalam kehidupan sebagai manusia
ini lebih suci sifatnya dari pada realisasi akan hakikatNya distrata-strata
lainnya.
Itulah sebabnya,
sering disebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang mulia. Tragisnya, kita lebih
merendahkan diri kita sendiri dari pada sadar akan hakikat yang mulia ini.
Sebagai manusia
kita ini hidup didalam strata kesadaran, dan mengalami berbagai pengalaman
kehidupan melalui raga, indera-indera sensual kita, pikiran dan daya intelek
kita. Juga pengalaman kehidupan kita terbagi dalam keadaan terjaga, tidur, mimpi
dan sebagainya.
Selain strata
duniawi ini, terdapat strata (loka-loka) kehidupan lainnya seperti Pitraloka (lokanya
para leluhur yang telah meninggalkan dunia ini) dimana dikatakan tidak ada raga,
tetapi yang hadir hanyalah pikiran budhi saja. Jadi pengalaman hidup sehari-hari
di Pitraloka pasti berlainan coraknya dengan kehidupan manusia didunia ini.
Begitupun pengalaman kehidupan di Ghandarvaloka (lokanya para bidadari yang
sehari-harinya bermain musik, menari dan melaksanakan berbagai kegiatan seni
budaya sorgawi).
Sedangkan di
Hiranyagarbha (Brahmaloka), totalitas kehidupan masih merupakan teka teki dan
misteri. Apakah disana seseorang menjadi satu dengan Yang Maha Esa? Apakah dan
seperti apakah sebenarnya moksha itu, dan bagaimana kelanjutannya?
Ada teori yang
mengatakan bahwa mereka-mereka yang telah mencapai Brahmaloka akan menikmati
kehidupannya diloka tersebut sampai suatu saat Sang Pencipta menghendaki orang
suci tersebut menjadi abadi disaat pralaya (kiamat) tiba. Tahap ini disebut
Karma-Mukti didalam istilah Vedanta.
Kesimpulan mantra
sloka diatas :
Melalui ilmu
pengetahuan tentang Sang Jati Diri, seseorang akan diangkat ke strata yang
paling tinggi. Tahap ini dapat dicapai seseorang walaupun ia hadir diloka
manapun juga, tetapi tidak sesempurna seperti dibumi ini. Dalam wujud manusia
yang bahkan konon didambakan sekali oleh para dewa ini terdapat pelajaran akan
hakikat Yang Maha Kuasa dengan baik.
Bumi atau mayapada
ini adalah jalan yang diberikan kepada kita semua untuk merealisasikannya.
6. Seorang
yang bijak . . . . . . setelah memahami bahwa indera-indera sensual sebenarnya
diciptakan secara terpisah jauh dari Sang Atman, begitupun semua
pengalaman-pengalaman indera-indera sensual ini . . . . . orang yang bijaksana
ini tidak bersedih hati lagi.
Keterangan :
Mungkin
kita pada saat ini mulai bertanya-tanya lagi untuk apa kita harus sadar akan
Sang Jati Diri. Mungkin sloka diatas sedang berupaya untuk menjawabnya secara
Sruthi Bhagawathi (skripsi-skripsi kuno). Menurut para resi, organ (indera)
sensual diciptakan sesuai dengan hukum sebab dan akibat (karma) seseorang itu
sendiri, bahkan berbagai cara kerja, cacat ataupun kelebihan indera-indera
sensual ini berbeda satu dengan yang lainnya, karena telah diatur oleh kodratnya
masing-masing. Sedangkan Sang Atman yang hadir didalam raga kita, walaupun
adalah sumber atau motor dari berbagai aspek kegiatan indera-indera sensual ini,
tidak tercemar atau tersentuh oleh kegiatan ini. Barangsiapa mampu menyeberangi
ilusi duniawi ini (dalam bentuk indera-indera dan kegiatannya masing-masing)
akan menemui Sang Jati Diri yang bersemayam dekat sekali didalam relung sanubari
kita yang paling dalam tetapi sekaligus.
7. Diatas
indera-indera hadir sang pikiran, diatas sang pikiran hadir sang budhi, diatas
sang budhi hadir Sang Atman Yang Agung. Yang lebih Maha dibanding Sang Atman
adalah Yang Tak Terterangkan.
8. Dan
sebenar-benarnya diatas Yang Tak Termanifestasikan hadir Sang Purusha yang serba
hadir dimanapun juga, yang tak ada cela ataupun cacatnya, dimana setelah
memahamiNya, seseorang yang paham akan hal ini akan dibebaskan dari kehidupan
ini dan akan mencapai status keabadian.
Keterangan :
Sang
Purusha, unsur yang paling lembut didalam raga kita disebut sebagai Vyapaka
(yang serba hadir dimanapun juga), juga Beliau disebut sebagai Alinga (tanpa
karakter, pemikiran, cacat cela dan lain sebagainya). Dengan kata lain, seorang
pencari hakikat kebenaran didunia ini harus mengalahkan dulu berbagai hasrat,
instink , pikiran dan lain-lain faktor duniawi untuk mencapai Sang Purusha (Sang
Jati Diri). Dan jalan ini tidaklah mudah sama sekali.
Ujung jalan (tujuan)
ini disebut tahap tanpa kematian dari eksistensi nan abadi (Brahmavith Brahmaiva
Bhavathi).
9. BentukNya
tak boleh disaksikan. Tak seorangpun pernah menyaksikanNya dengan mata biasa.
Dengan mengendalikan sang pikiran, dengan budhi dan dengan meditasi yang
berkesinambungan, Ia akan memperlihatkan diriNya. Mereka-mereka yang mengenali
(Brahman) Ini, berubah menjadi seseorang yang abadi.
10. Sewaktu
kelima organ ilmu pengetahuan beristirahat secara bersama-sama dengan sang
pikiran, dan sewaktu sang budhi berhenti berfungsi (menjadi tenang), hal
tersebut oleh mereka disebut sebagai tahap yang tertinggi.
Keterangan :
Sewaktu
seseorang sehari-harinya berhasil mengendalikan kelima organ sensualnya dengan
baik, maka sang pikiran berubah tenang dan tidak penuh dengan riak-riak
kegalauan, dan dengan hadirnya ketenangan ini terjadi domino effek terhadap sang
budhi yang pada gilirannya sekarang tidak perlu banyak menetralisir unsur-unsur
sang pikiran dan indera-indera sensualnya; akibatnya sang jiwa jadi sangat
hening dan lepas dari unsur-unsur duniawi yang selalu menggodanya dengan
berbagai kegalauan, hasrat dan berbagai kontradiksi kehidupan dan lain
sebagainya.
Kekosongan atau
keheningan ini adalah jalan yang menyatukan sang jiwa dan Sang Jati Diri. Tahap
ini sulit dicapai, bahkan oleh para guru. Oleh para resi yang suci sebagaimana
diterangkan dalam berbagai Sruthi, maka tahap ini disebut sebagai Tahap
Keselamatan Abadi. Tahap tertinggi dalam samadi ini sulit untuk dijabarkan,
walaupun diterangkan secara terperinci tetap saja sulit dimengerti oleh yang
bukan merasakannya secara pribadi dan langsung.
11. Pengendalian
yang ketat atas organ-organ sensual disebut sebagai yoga. Sesudah itu seorang
Yogin bebas dari segala tingkah laku sang pikiran, karena yoganya telah tercapai
dan kemudian yoga ini menghilang.
Keterangan :
Seperti
juga di Bhagavat Gita, disloka mantra diatas disebutkan bahwa pengendalian yang
ketat (bukan penghentian fungsi-fungsi indrias, tetapi ingat pengendalian yang
ketat) akan menghasilkan suatu tahap yang disebut Yoga yang bersifat abadi. Yoga
ini menghantarkan kita ketahap Sang Jati Diri.
Pada masa kejayaan
spiritual Sanathana Dharma banyak manusia yang telah berhasil mencapai tahap ini.
Ada juga para ahli yang menyebutkan tahap ini sebagai “Param Dristhwa
Nivarthathoe”, ditahap ini berkat realisasi total akan Sang Jati Diri, seseorang
secara pasti dapat mengendalikan organ-organ sensualnya dengan penuh kendali.
Tapa sang yogi dalam bentuk pengendalian indrias ini dianggap yang tertinggi
sifatnya (Eikagryam Paramam Tapah). Dan pada tahap ini seluruh keberhasilan yoga
ini dapat hilang dalam sekejap kalau sang yogin yang berhasil mencapainya
tiba-tiba bersikap kurang hati-hati akan karunia Yang Maha Esa ini, dan sang
yogin dapat tersesat ke jalan Siddhi dan menyalah gunakan kekuatan-kekuatan
spiritual yang didapatnya. Ingat, semakin tinggi gunung yang didaki, semakin
dingin dan buruk cuacanya, apalagi angin topan siap menghantam kapan saja.
Jalan ilmu
pengetahuan (yoga) ini begitu terjal dan suramnya sehingga disebut tajam ibarat
pisau cukur, begitu tersandung, sang yogin akan langsung terjerumus kekehancuran
spiritualnya. Sebaiknya seseorang selalu berpasrah diri secara total kepada Sang
Pencipta dan mohon untuk selalu dituntun olehNya.
Dengan kehendakNya,
seseorang akan terjerumus atau terselamatkan; pujalah Ia siang dan malam dari
mana kita semua ini berasal dan sedang meniti misteriNya yang menakjubkan. OM
Tat Sat.
12. Sang
Jati Diri tidak dapat dicapai dengan kata-kata, dengan pikiran ataupun dengan
mata. Bagaimana mungkin Ia dapat dicapai dengan jalan lain, selain jalan yang
telah dinyatakan oleh para resi yang mensabdakan “keberadaan Tuhan Yang Maha Esa”.
Keterangan :
Sang
Atman adalah sebenar-benarnya pengendali, motor dan penguasa seluruh jiwa raga
manusia dan tidak ada unsur lainnya. Dan tidak ada jalan lainnya, selain jalan
spiritual yang ada di Vedanta (Kathopanishad ini termasuk didalam jajaran besar
Vedanta) yang mampu mengantarkan seseorang kepenemuannya dengan Sang Jati
Dirinya sendiri.
Sabda-sabda suci
yang sama ini juga dikumandangkan diberbagai Upanishad lainnya dan juga di
Veda-Veda, di Bhagavat Gita dan karya-karya sastra suci lainnya yang kita kenal
dengan sebutan Sabda Pramanam yang merupakan hasil berbagai ajaran para resi
dari masa ke masa yang berasaskan Sanathana Dharma. Sejauh ini belum ada ajaran
lain selain dari Sanathana Dharma.
Sang Budha, Guru
Nanak, bahkan Sai Baba dan berbagai guru resi dewasa ini masih berpedoman pada
sabda-sabda dan petunjuk-petunjuk yang ada dijajaran Vedanta, tidak seorangpun
mengingkari hakikat ini. Setiap pencari jalan ini akan menapak jalan ini sesuai
dengan karuniaNya dan menemukan Sang Tujuan sesuai dengan kehendakNya juga, para
guru suci yang sadar akan hakikat dan tujuan Yang Maha Esa, secara ihklas
membagi-bagikan pengetahuan ini kepada semua insan didunia agar terbuka jalan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai bentuk petunjuk seperti Veda,
Upanishad, Puranas dan lain sebagainya.
13. Beliau
seharusnya dikenal sebagai Yang Maha Hadir (Asti) dan juga sebagai Apa hakikat
Beliau itu sebenarnya. Diantara keduanya, bagi seseorang yang mengenalNya (memahamiNya)
sebagai Yang Maha Hadir, maka sifat Beliau yang sejati akan bermanifestasi
kepada orang tersebut.
Keterangan :
Sloka
mantra diatas hadir ibarat sebuah teka teki bagi kita semuanya. Ada ahli yang
berpendapat bahwa Atma-chaitanya (penyatuan dengan Sang Atman) dapat
direalisasikan dalam bentuk manifestasi seperti bentuk-bentuk Avatara, atau
tanpa bentuk dan atribut, sebagai Kesadaran Sejati, sebagai Kebenaran yang
Absolut dan lain sebagainya.
Didalam beberapa
sloka di Kathopanishad ini, Dewa Yama mengajarkan kepada Nachiketas bahwa
seseorang yang bermeditasi ke sumber OM dengan menyimbolkanNya sebagai Sang
Brahman, akan mencapai Hiranyagarbha; dan bagi yang ingin menyimbolkan OM
sebagai Kesadaran Sejati akan merealisasikannya dalam bentuk realitas yang maha
Hadir.
Sri Kreshna di
Bhagavat Gita bahkan sangat liberal dengan menyatakan bahwa barangsiapapun yang
datang kearahNya melalui jalan apapun juga akan Beliau sambut secara pribadi.
Barangsiapa melangkah kearahNya satu langkah saja, maka Beliau akan melangkah
kearah pemuja tersebut seribu langkah.
Oleh karena itu
sebaiknya seorang bhakta (pemuja yang baik) mengikuti bisikan nuraninya saja
yang tidak akan pernah kalah. Sruthi dijadikan petunjuk, tujuan diserahkan
kepada Sang Pencipta, karena Beliau ini yang punya gawe diseluruh alam semesta
ini.
Apakah dipuja
sebagai Yang Berbentuk (Sakara Brahman) atau Yang Tidak Berbentuk (Nirguna
Brahman) sebenarnya hanyalah merupakan kembang-kembang pemujaan itu sendiri.
Pada akhirnya bhakta yang penuh dengan ketulusan akan mencapaiNya karena Beliau
memiliki langkah yang lebih besar, lebih banyak dan lebih cepat dari manusia.
Penyatuan dengan Yang Maha Esa bukanlah laba dari suatu pemujaan tetapi lebih
merupakan sebuah Karunia yang tidak terhingga nilainya hasil dari keheningan
yang hadir di diri kita .
14. Sewaktu
semua hasrat yang ada didalam hati kita hancur berantakan, pada saat itu manusia
yang seharusnya dapat mati, malahan berubah menjadi abadi, dan iapun mencapai
Sang Brahman bahkan semasa ia disini (dibumi ini, bahkan semasa ia masih hidup).
Keterangan :
Banyak
orang percaya bahwa moksha atau mukti hanya dapat diperoleh setelah seseorang
suci meninggal dunia. Mukti type ini disebut Videha Mukti (kebebasan setelah
meninggalkan raga). Banyak juga yang beranggapan lain, misalnya seperti di
Bhagavat Gita, bahwa kebebasan dapat juga dicapai semasa seseorang masih hidup
didunia ini, dan type ini disebut Jivam (Jivan) Mukti.
15. Sewaktu
simpul-simpul dihati diluluhlantakkan semasa seseorang masih hidup dibumi ini,
maka seseorang manusia yang dapat mati ini akan berubah menjadi abadi,
demikianlah sabda-sabda yang ada didalam semua Vedanta.
Keterangan :
Simpul-simpul dihati (Hridayagrandhi) . . . . ini adalah filosofi Vedantin (penganut
Vedanta) yang menyatakan bahwa Avidya (kekurang pengetahuan) adalah sifat
manusia yang menjerumuskan manusia itu kealam kegelapan spiritualnya sendiri.
Didalam kegelapan (ilusi duniawi) ini manusia tersesat dan tertambat kepada yang
lebih kuat lagi, karena kebodohannya, dan akhirnya lupa akan eksistensi sejati
yang seharusnya menjadi tujuannya semula ia dilahirkan sebagai manusia.
Ikatan-ikatan atau berbagai simpul yang terdiri dari Avidya, Kama dan Karma
disebut sebagai Hridayagrandhi. Berpedangkan ilmu pengetahuan, pangkaslah
unsur-unsur kebodohan spiritual yang mengikat ini, demikian kira-kira sabda Sri
Kreshna di Bhagavat Gita.
Dengan demikian
sebenarnya seseorang dapat berubah menjadi “Tuhan kecil” itu sendiri semasa ia
masih hidup didunia ini dengan bekal ilmu pengetahuan yang sejati. Seseorang
kemudian akan sadar dan memahami bahwa Yang Maha Esa bukan saja hadir didalam
dirinya sendiri tetapi juga sebagai seisi jagad raya ini dan Itu adalah sifatNya
yang paling hakiki.
16. Terdapat
seratus dan satu urat-urat syaraf jantung; diantara semua itu salah satu urat
syaraf ini memasuki cakra mahkota di kepala. Menuju keatas melalui syaraf ini,
tetapi banyak yang meniti jalan ini secara berbeda.
Keterangan :
Dalam
tahap ini kita akan sampai ke suatu teka teki lainnya yang sulit untuk
diterangkan bagi mereka-mereka yang tidak paham akan jalan meditasi (dhyana)
secara filosofi yoga.
Ada sebuah
Upanishad khusus yang menjabarkan tentang cakra-cakra (pusat-pusat) energi
ditubuh kita ini. Yama Raja hanya mengisyaratkan cakra utama yang terbuka karena
upaya yoga seseorang. Terbukanya cakra mahkota ini merupakan suatu fenomena yang
teramat menakjubkan bagi seseorang yang menjalankan upaya meditasi (syaraf ini
disebut shushumna), yang terdapat disepanjang tulang punggung sampai bagian atas
yang disebut Apex dalam dunia medis, yang kemudian masuk ke bagian cakra mahkota
di kepala.
17. Sang
Purusha yang berukuran sebesar ibu jari, Sang Jati Diri, senantiasa bersemayam
didalam hati setiap mahluk, seseorang harus menariknya keluar dari raganya
dengan tegar, ibarat seseorang mencabut isi sumsum dari buluhnya, seseorang
seharusnya mengenaliNya sebagai Yang Maha Sejati dan Abadi.
Keterangan :
Sebuah
analogi yang penuh dengan misteri yang terkesan mudah tetapi sulit dilaksanakan.
Yama Dewa sudah akan mengakhiri wejangannya. Ia menyimpulkan kepada Nachiketas (dan
tentunya kepada kita semua juga) agar Sang Atman yang merupakan Hakikat Absolut
(bagi yang telah sadar akan Sang Atman) harus ditarik keluar secara begitu
hati-hati ibarat mengeluarkan cairan lembut yang ada di dalam suatu batang (buluh),
tanpa merusak batangnya.
Seyogyanya kita
juga mampu merealisasikan Sang Atman (Jati Diri) didalam diri kita dengan
mengesampingkan berbagai halangan duniawi seperti Kama (Nafsu), krodah (Kemarahan)
dan lobha (Keserakahan) dan lain sebagainya.
18. Nachiketas,
setelah mendengarkan semua ajaran dari Yama Raja dan setelah mengalami seluruh
proses Yoga ini, berubah menjadi bersih abadi dan bebas dari segala kekotoran (duniawi)
dan iapun mencapai Sang Brahman; demikian juga mereka-mereka yang menghayati dan
memahami akan Sang Jati Diri.
Dengan ini
berakhirlah Vali ke enam dari Bab – 2
Keterangan :
Setelah
mendengarkan dengan penuh perhatian semua wejangan dari Dewa Kematian,
Nachiketas mengundurkan dirinya dari dunia yang penuh dengan hiruk pikuk ini dan
mempelajari Brahma Vidya yang agung ini dan secara lambat laun iapun mencapai
Sang Atman yang bersemayam didalam dirinya sendiri. Menurut Sruthi, hal yang
sama dapat dicapai oleh setiap insan, bahkan di era Kaliyuga ini seandainya ia
telah bebas dari Virajah (dari dosa-dosa, kekotoran-kekotoran duniawi), dari
penalarannya akan baik dan buruk dan lain sebagainya yang menjadi penghalang
spiritualnya.
Semoga karya ini
bermanfaat bagi kita semua.
Om Saha Navavathu
Saha Nau Bhunakthu
Saha Viryam Karavavahai
Tejavi Nav Adhitam Astu
Ma Vidvisavahai
(Om Santihi - Santihi - Santihi)
Ithi Kathopanishad Samaptah
Semoga Ia melindungi
kita berdua
Semoga Ia memberkati
kita dengan berkat ilmu pengetahuan
Semoga kita
menggunakannya secara bersama-sama
Semoga apa yang telah
kita pelajari dipelajari oleh yang lainnya
Semoga kita tidak bertengkar satu dengan yang lainnya.
( Om Santihi - Santihi – Santihi )
Dimasa lalu
seorang guru amat menghormati murid-muridnya dan begitupun sebaliknya, rasa
hormat didasari oleh pengetahuan, bahwa guru yang baik sulit untuk didapatkan,
begitu juga murid yang baik.
Itulah sebabnya
mantra diatas diucapkan agar ilmu pengetahuan yang hakiki dapat bermanfaat bagi
yang mengajar dan yang mendapat pelajaran. Sia-sia saja pelajaran seorang guru
yang baik tanpa murid yang baik dan begitupun sebaliknya. Dalam Brahma Vidya
tidak akan ada kemajuan tanpa kerja sama yang baik antara sang murid dan sang
guru.
Setiap hari
seorang guru spiritual dan para sishynya, sebelum memulai pelajaran mengucapkan
mantra tersebut diatas. Semoga sidang pembacapun memanfaatkan karya ini sebagai
penuntun (guru) dan dengan merendahkan diri mencoba merenung dan mempelajari
secara hening.
Semoga karya para
resi yang agung dimasa yang silam ini berguna bagi kita semua. Rasa syukur dan
terima kasih bagi Nachiketas dan gurunya Yama Dewa, bagi semua dimasa yang lalu
dan masa kini sehingga memungkinkan karya ini ditulis lagi dan lagi disepanjang
zaman.
Dengan ini berakhirlah
Kathopanishad ini.
HARI OM TAT SAT
OM SHANTIHI – SHANTIHI – SHANTIHI
Disarikan
dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh
mohan m . s.
sumber ::http://shantigriya.tripod.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar