Dalam buku-buku vedanta, Raja Yoga berarti jalan-jalan meditatif.
Dalam bahasa simbolik, disebutkan pohon adalah roh seorang yogi
[pertapa]. Sebagai mana yang kita tahu, umumnya pohon selalu tumbuh
bergerak mencari cahaya matahari. Begitu pula dengan penekun Raja Yoga,
suatu hari seorang penekun Raja Yoga akan menemukan cahaya-Nya. Pohon
sebenarnya maupun pohon Raja Yoga, tumbuh dengan indah mulai dari lahan
sampai kemudian puncaknya menghasilkan buah. Dan itulah yang akan kita
bahas, yaitu : pohon sebagai simbolik perjalanan meditatif.
1. LAHAN POHON Raja Yoga [bagaimana kita mengisi keseharian kita sendiri sehari-hari].
Raja
Yoga yang manapun, tidak akan pernah terealisasi sempurna tanpa
mempraktekkan Tri Kaya Parisudha [pikiran bersih, perkataan bersih dan
perbuatan bersih], Dayadhvam [welas asih] dan Datta [kebaikan] dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Menjadi baik jauh lebih
penting daripada menjadi benar, karena begitu kita serius melakukan
kebaikan, kebaikan inilah yang akan membimbing kita menuju kebenaran.
Teroris berani membunuh banyak orang karena merasa dirinya benar.
Amerika berani menyerang Afganistan dan Irak karena merasa dirinya
benar. Hal itu menunjukkan kebenaran sangat sangat berbahaya kalau tidak
dibimbing oleh kebaikan. Sebaliknya kebenaran menjadi indah dan
bercahaya kalau dia dibimbing oleh kebaikan.
Isilah
keseharian kita dengan kebaikan dan welas asih, disertai dengan pikiran
bersih, perkataan bersih dan perbuatan bersih. Sebab inilah salah satu
rahasia jalan spiritual. Perbaiki diri kita di sektor ini dan kemanapun
kita melangkah akan mudah bergetar secara spiritual dan mudah terhubung
dengan wilayah-wilayah kemahasucian.
2. AKAR POHON Raja Yoga [pikiran yang terbebas dari dualitas].
Sebab
utama kenapa banyak orang yang tidak bisa bertumbuh secara spiritual di
jalan-jalan meditatif, karena akarnya tidak kuat. Akar dari jalan-jalan
meditatif dalam bahasa Jawa Kuno disebut rwa bhinneda, pikiran yang
berhenti melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan
berbahaya. Ciri orang yang masih dalam dualitas [yang akar meditasinya
kurang bagus], misalnya :
- Istri cantik kita puji-puji dan cintai setinggi langit, begitu cerewet dan ngomel ingin kita ceraikan.
- Ketika suami membuka dompet memberi uang, kita tersenyum, tatkala uang di dompet suami habis, kita marah-marah.
- Ketika naik pangkat, atasan kita puji-puji. Ketika tidak naik pangkat, kita mulai mencari-cari kekurangan atasan kita.
-
Wanita kalau kita sebut dandannya cantik, dalam sehari bisa ngaca 77
kali. Kalau kita sebut dandannya hancur, dia tidak bisa tidur semalaman.
-
Saat bisnis lancar, kita rajin sembahyang berterimakasih pada Tuhan.
Tapi saat bisnis kacau balau, kita mulai mempertanyakan Tuhan.
- Orang yang baik kepada kita, kita sebut suci. Orang jahat kepada kita, kita sebut setan.
Sumber
dualitas dalam bathin kita ini adalah serakah [lobha]. Hanya mau yang
baik dan tidak mau yang buruk. Persepsi dualitas ini kita musti latih
menjadi persepsi non-dualitas. Dalam yang baik dan buruk, ada Hyang
Widhi didalamnya. Dalam yang benar dan salah, ada Hyang Widhi
didalamnya. Dalam yang suci maupun yang gelap, ada Hyang Widhi di
dalamnya. Dalam yang terhormat maupun yang hina, ada Hyang Widhi
didalamnya.
Begitu pula dengan meditasi. Apapun yang
muncul di dalam meditasi, semuanya ada Hyang Widhi di dalamnya. Tatkala
kita bisa memahami dalam semua hal ada Hyang Widhi, kita mulai memiliki
akar-akar Raja Yoga yang bagus dan kuat. Yaitu ketika bathin kita bisa
memasuki wilayah-wilayah Rwa Bhinneda [dalam vedanta / bahasa sansekerta
: dvandas atau advaita -non dualitas-]. Pikiran yang tenang-seimbang
[upeksha]. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita sama tatkala menghadapi
segala macam dualitas keadaan.
3. BATANG POHON Raja Yoga [tehnik meditatif yang paling tepat bagi diri kita sendiri].
Agak
berbeda dengan sebagian guru meditasi yang punya kecenderungan
mengatakan tehnik meditasinya yang paling bagus atau paling benar, pohon
Raja Yoga mengajarkan hal yang berbeda : cobalah sebanyak mungkin
tehnik-tehnik meditatif. Rasakan di dalam bathin kita sendiri, tehnik
yang mana yang paling membimbing kita menjadi sejuk dan damai. Kalau
sudah ketemu, gunakan tehnik itu.
Mengapa begitu ? Karena
dalam perputaran samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang], setiap
orang tingkat evolusi pertumbuhan spiritualnya berbeda. Ibarat sekolah :
ada yang terakhir meninggal masih di tahap SD, sehingga reinkarnasi
kembali dia musti melanjutkan SMP. Ada yang terakhir meninggal masih di
tahap SMP, sehingga reinkarnasi kembali dia musti melanjutkan SMA.
Menggunakan tehnik meditasi yang terlalu di belakang, hambar, tidak
terasa. Sebaliknya, menggunakan tehnik meditasi yang terlalu maju, juga
hambar, tidak terasa. Kalau meditasi kita hambar, tidak terasa, ada dua
kemungkinan : mungkin tehnik itu terlalu maju atau tehnik itu terlalu di
belakang dibandingkan dengan tingkat evolusi pertumbuhan jiwa kita.
Untuk
itu minta maaf kepada banyak guru meditasi yang menyimpulkan bahwa
tehnik dia pasti paling baik dan pasti berlaku untuk semua orang.
[Catatan : tanpa mengatakan berbeda pendapat itu salah maupun benar].
Selain
itu, ketika kita belajar banyak tehnik, kita akan mendapatkan gambaran
secara lebih luas tentang ranah hutan rimba meditasi. Sehingga ketika
kita melangkah maju, kita bisa menghormati orang lain secara baik. Kita
bisa cukup dewasa untuk bertumbuh di tempat kita masing-masing.
4. DAUN POHON Raja Yoga [ketika meditasi sudah menyatu dengan keseharian kita].
Daun
pohon Raja Yoga kita temukan, ketika kita merasakan meditasi sudah
menjadi satu dengan keseharian kita. Terasa ada yang kurang kalau kita
tidak meditasi. Mungkin bisa disamakan dengan aktifitas mandi
sehari-hari. Kalau dalam sehari kita tidak mandi, rasanya kok ada yang
kurang. Kalau kita sudah merasakan seperti ini, artinya batang pohon itu
sudah menghasilkan daun. Kita sudah sampai pada daun pohon Raja Yoga.
Yang
lebih maju lagi di tahap ini adalah seperti yang ditulis di beberapa
buku Upanishad, yaitu ketika seluruh hidup kita adalah meditasi. Dari
bangun s/d tidur. Dari bekerja s/d istirahat. Semuanya jadi meditasi.
Dalam Upanishad, ini disebut "damyata", yaitu : menjaga jarak dengan
seluruh kecenderungan yang muncul dari badan dan pikiran.
Kemarahan
kita, adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu
dia datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini. Kesedihan kita,
adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu dia
datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini. Kebahagian kita,
adalah sebentuk vasana [kecenderungan pikiran], sehingga begitu dia
datang kita sadari dan amati bentuk pemikiran ini.
5. BUNGA POHON Raja Yoga [Ketika kehidupan kita diliputi shanti -sejuk dan damai-].
Kesejukan
dan kedamaian bathin itu indah dan merupakan pertanda kita sudah maju
dalam Raja Yoga. Yang pertama kali merasakan kesejukan ini adalah diri
kita sendiri. Kemudian dirasakan oleh orang-orang terdekat kita [istri,
suami, anak]. Kemudian dirasakan semua orang disekitar kita.
Tapi
musti dicatat bahwa ini bukanlah akhir perjalanan. Bahayanya kalau kita
bertemu dengan kedamaian, kita akan terikat. Orang yang terikat dengan
bunga meditasi, dia berharap di semua meditasi dia merealisasi damai.
Tatkala tidak damai, kemudian kecewa. Karena itu, ini bukanlah akhir
perjalanan. Bunga pohon Raja Yoga bukan akhir perjalanan. Kesejukan dan
kedamaian bathin bukanlah akhir perjalanan meditatif.
6.
BUAH POHON Raja Yoga [Ketika kita sudah berhenti mencari. Termasuk
mencari kedamaian. Ketika kita menyatu dengan hidup itu sendiri].
Maharsi
Patanjali dalam Yoga Sutra menulis : "Yoga citta vritti nirodhah" [yoga
adalah proses untuk meniadakan riak-riak pikiran]. Dan itulah buah
pohon Raja Yoga, pikiran yang sepenuhnya hening. Ini yang dalam vedanta
disebut sebagai jivan-mukti.
Orang-orang yang memahami
jalan-jalan meditatif, apalagi seorang satguru, kalau ditanya : "dapat
apa dalam perjalanan meditatif ?", jawabnya : "tidak dapat apa-apa".
Jawaban yang pasti membingungkan buat yang tidak paham. Jalan-jalan
meditatif adalah perjalanan tanpa tujuan. Persis seperti air di sungai,
dia mengalir sempurna. Mau lama, mau cepat, mau jauh, mau dekat, dia
pasti sampai di samudera. Dalam jalan meditatif itulah buah pohon Raja
Yoga : ketika kita sudah berhenti mencari, termasuk tidak mencari
kedamaian. Mengalir sempurna di sungai kehidupan.
Pendapat,
emosi, keinginan dan cara kita memandang kehidupan biasanya
dilatarbelakangi [dipengaruhi] oleh memory pikiran kita masing-masing.
Sehingga kebanyakan orang memperebutkan kebahagiaan dan melemparkan
derita kepada orang lain. Sehingga kebanyakan orang mempertentangkan
salah dan benar. Perang, perkelahian, konflik, perdebatan, semuanya
berebut menyebut diri ”benar” serta melemparkan ”salah” kepada pihak
lain.
Bagi jiwa yang biasa menyatu dengan kealamian alam
semesta, akan mengerti kalau ada kesempurnaan dalam kealamian. Cemara
tumbuh di gunung yang dingin, kelapa tumbuh di pantai yang panas. Sapi
memakan rumput, ular memakan katak. Ayam berlari-lari diatas tanah,
bebek berenang di kolam. Semuanya berada di tempat alaminya. Tanpa
kata-kata, tanpa analisa, tanpa penghakiman, tanpa pembandingan. Hanya
melihat semuanya apa adanya. Siapa saya yang bisa mengalir sempurna
dengan kealamian ini, ia sudah menjadi satu dengan kesempurnaan.
Hidup
ini laksana taman yang indah. Ada orang baik, ada orang jahat. Ada
orang disiplin, ada orang tidak disiplin. Ada orang menyenangkan, ada
orang tidak menyenangkan. Ada wanita yang setia sama suaminya, ada
wanita yang tidak setia. Taman-pun seperti itu : ada pohon jepun, ada
pohon anggrek, ada pohon kelapa, ada rerumputan, dll.
Orang-orang
jahat dan orang-orang tidak baik, itu cara dia bertumbuh. Belum tentu
dia tidak akan bertumbuh. Kegelapan dan kekotoran bathin, dia juga bisa
menjadi jalan pembuka menuju gerbang pembebasan bagi seseorang, bila
karena kegelapan dan kekotoran bathin itu kemudian membuat dia menjadi
sangat menyesal. lalu kekurangan-kekurangannya itu dia gunakan sebagai
janji untuk melaksanakan dharma dengan upaya lebih keras.
Jatuh
sakit, kena musibah dan disakiti orang lain [penderitaan] adalah
kesempatan kita untuk membayar hutang karma. Hutang karma kita kepada
orang lain,mahluk lain,alam semesta dan kesalahan2 masa lalu. Sehat
bugar, banyak rejeki dan dipercaya orang adalah kesempatan kita untuk
berbagi welas asih dan kebaikan dengan mahluk lain.
Dualitas
dalam kehidupan ada bukan sebagai lawan-lawan yang berperang, tapi
sebagai satu kesatuan yang saling menghidupkan. Ia yang membadankan ini
dalam kehidupan keseharian tidak menyisakan satupun kegelapan,
kemarahan, kesedihan dan kebencian dalam hidupnya. Bahagia dilawan
menderita, benar dilawan salah, suci dilawan gelap, sehingga riuhlah
kehidupan. Dalam keheningan yang sempurna terlihat jelas, semua hal :
baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, lenyap dalam RWA BHINNEDA.
Ketika
kita bisa melihat semuanya ada di tempatnya masing-masing, ketika kita
bisa menyadari semuanya indah dan sempurna sebagai mana adanya : PIKIRAN
HENING. Tanpa kata-kata, tanpa hiruk-pikuk keriuhan. Hanya paramashanti
yang berkelimpahan di dalam diri.
Siapa saja yang bisa
mengembalikan pikiran ke tempat semula sebagai pembantu [bukan sebagai
majikan] ia sampai pada buah pohon Raja Yoga. Dan buah pohon Raja Yoga
adalah sebuah kehidupan yang paramashanti [damai sempurna]. Hening,
sunyi dan sepi sempurna. Kedamaian tidak saja datang dalam hidup, tapi
hidup itu sendiri adalah kedamaian. Bukan damai yang berlawankan
kekacauan. Bukan damai yang diikuti rasa suka kemudian kecewa ketika ia
lenyap. Namun shanti [damai] karena semuanya sempurna dalam
kealamiannya. Ketika kita bisa menyadari semuanya indah apa adanya,
sebagai mana adanya. Alami tanpa penghakiman dan tanpa penilaian, tanpa
dualitas hitam-putih, salah-benar, baik-buruk, melihat semuanya apa
adanya. Semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna.
Itu
sebabnya di Bali, puncak-puncak spiritualitas selalu diidentikkan
dengan keheningan. Tahun baru saka dirayakan dengan hari raya NYEPI
[practice of complete silence]. Pada tingkat tertinggi dari Penataran
Agung Pura Besakih, Tuhan disebut dengan Sang Hyang Embang [yang maha
suci yang hening / sunyi]. Puncak dari ajaran Shiva disebut : "Dakshina
Murti" [ajaran Shiva yang hanya bisa ditemukan di dalam diam sempurna].
Dan praktek paripurna dari dharma disebut ”agama tanpa sastra”. Tanpa
tulisan, tanpa kata-kata, tanpa hiruk-pikuk keriuhan. Hanya diam dan
senyum-senyum saja dalam shanti [damai] yang sempurna.
Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Kajeng Kliwon, 7 April 2010
sumber :: http://www.facebook.com/rumahdharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar