Kamis, 07 Juni 2012

Kunjungan Widura

                             Bab 06 - Kunjungan Widura



Di dalam istana Widura menanyakan kesejahteraan setiap sanak saudaranya. Kemudian Kunti Dewi, ibu suri, masuk dan memandangnya dengan rasa sayang sambil berkata, “Akhirnya kami dapat melihat anda, oh Widura!” Ia tidak dapat berbicara lagi.

Setalah beberapa waktu dilanjutkannya “Bagaimana anda dapat tinggal demikian lama di tempat yang jauh, mengabaikan anak-aak yang telah anda asuh dengan penuh kasih dan saya sendiri serta orang-orang lain yang demikian menghormati anda? Karena doa restu andalah, maka anak-anak saya sekarang menjadi penguasa negeri ini. Dimana mereka akan berada kini seandainya dahulu anda tidak menyelamatkan mereka dalam berbagai keadaaan genting? Kami telah menjadi sasaran berbagai malapetaka, tetapi bencana yang terbesar adalah kepergian anda jauh dari kami. Itulah yang paling mempengaruhi kami. Bahkan kami sudah tidak mempunyai harapan untk bisa melihat anda lagi. Kini hati kami bersemi kembali. Harapan dan hasrat yang dicerai berikan oleh keputusasaan telah terhimpun kembali. Hari ini sempurnalah kegembiraan kami. Oh, alangkah membahagiakanya hari ini!” Kunti duduk sebentar menyeka air matanya.

Widura memegang tangan Kunti, tetapi tidak dapat menahan air matanya sendiri. Ia mengenang kembali berbagai peristiwa masa lalu dalam kelompok Pandawa dan Kaurawa. Katanya, “Ibu Kunti Dewi, siapa yang dapat mengalahkan ketentuan nasib? Apa yang harus terjadi pasti terjadi. Perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia harus menghasilkan kebaikan dan keburukan. Bagaimana manusia dapat dikatakan bebas bila ia terikat oleh hukum sebab dan akibat ini? Ia merupakan boneka di tangan hukum ini, talinya ditarik, maka ia bergerak. Rasa suka tak suka kita tidak ada artinya. Segala sesuatu adalah kehendak Tuhan, rahmat-Nya.” Ketika Widura memaparkan kebenaran spiritual mendasar yang menguasai kehidupan manusia, Pandawa bersaudara : Dharmaraja, Bhima, Nakula, dan Sahadewa duduk di dekatnya, mendengarkan dengan penuh perhatian.



Akhirnya Kunti menegakkan kepalanya dan berkata, “Dengan restu Anda kami menang perang, tetapi kami tidak mampu menyelamatkan hidup para putra Draupadi dan putra Subhadra. Kemalangan benar-benar membayangi kami. Tentu saja seperti yang Anda katakan, tidak seorangpun dapat menghindari nasibnya. Yah, biarlah yang telah lalu kita lupakan. Tidak ada gunaya mencemaskan hal yang tidak dapat kita perbaiki lagi. Saya harus mengatakan bahwa kerinduan saya sudah sangat teringankan, pada akhirnya saya dapat menjumpai Anda. Dimanakah Anda selama ini? Ceritakanlah kepada kami.”

Widura menjawab bahwa selama ini ia berziarah ke berbagai tempat suci. Pandawa bersaudara mendengarkan kisahya dengan penuh perhatian, mendorongnya dengan aneka pertanyaan. Dharmaraja sering mengatakan bahwa ia menanti-nanti waktu ketika ia pun dapat memperoleh semua pengalaman suci tersebut. Dharmaraja menangkupkan kedua tangannya dengan penuh hormat bila Widura menyebutkan suatu tempat suci, dan mata terpejam ia membayangkan temapt keramat itu. Sementara itu Bhima menyela, “Apakah Paman sudah mengunjungi Dwaraka? Tolong ceritakan pengalaman Paman disana kepada kami.” Dharmaraja pun menambahkan, “Pasti Paman sudah menjumpai Bhagawan Sri Krishna disana bukan? Ceritakanlah kepada kami semua apa yang terjadi secara rinci.” Kunti Dewi pun ingin sekali mendengar cerita Widura, karena itu ia berkata, “Ceritakan kepada kami, ceritakan kepada kami.” Putera saya sekarang ada disana, pastilah Anda juga telah berumpa dengan dia. Bagaimana mereka semua? Saya harap Nanda dan Yasoda, orang tua asuh Sri Krishna, berada dalam keadaan baik. Bagaimana dengan Dewaki dan Wasudewa?” Hujan pertanyaan melimpahi Widura sebelum ia mulai berbicara.

Widura tidak terlalu berminat memberi jawaban. Ia berbicara seakan-akan ingin menghindari topik itu. Ketika dalam perjalanan menuju Dwaraka, ia sudah mendengar dari Uddhava bahwa suku bangsa Yadawa telah musnah. Dan Krishna telah mengakhiri karier Beliau sebagai manusia. Ia tidak ingin menjerumuskan Pandawa dalam kesedihan. Pada waktu mereka sedang amat bergembira karena bertemu lagi dengannya setelah lama tidak berjumpa. “Mengapa saya yang telah memberi mereka dengan demikian banyak suka cita menjadi penyebab lenyapnya kegembiraan itu?” Demikianlah ia berdebat dengan dirinya sendiri. “pastilah mereka akan mengetahui hal itu, jika Arjuna kembali dari Dwaraka membawa berita duka.” Maka ditelannya berita yang sudah hampir meluncur dari mulutnya, dipuaskannya dirinya sendiri serta mereka dengan melukiskan kemuliaan Sri Krishna. Katanya, saya tidak suka mengunjungi sanak keluarga dengan menggunakan jubah pertapa, maka saya tidak menemui satu pun tokoh Yadawa, atau Nanda, Yasoda, dan lain-lainnya,” ia lalu diam. Ia tidak berbicara lebih lanjut mengenai Dwaraka dan pesiarahannya.

“Saya datang untuk mengunjungi anada sekalian karena saya dengar ananda telah memenangkan perang dan akhirnya dengan damai memerintah kerajaan yang sebenarnya memang hak ananda. Saya merasa rindu kepada anak-anak ini yang telah saya asuh sejak saya masih kecil. Kasih sayang kepada merekalah yang telah menarik saya kesini. Diantara kaum kerabat saya, hanya Anandalah yang ingin saya kunjungi, saya tidak ingin berjumpa dengan yang lain,” katanya. Kemudian Widura mengalihkan pembicaraan pada ajaran Wedanta yang hendak disampaikannya. Ketika percakapan berakhir, Dharmaraja mohon agar Widura tinggal di tempat yang khusus disiapkan baginya dan ia sendiri menemani sang paman menuju ke gedung tersebut.

Disitu ia menugaskan beberapa orang untuk melayani pamannya dan mohon agar Widura beristirahat di tempat tersebut. Widura tidak senang melewatkan waktunya di tempat yang serba mewah itu, tetapi ia masuk juga ke gedung tersebut agar Dharmaraja tidak kecewa. Ia berbaring di tempat tidur sambil meninjau kembali masa lalu. Ia mengeluh, ketika menyadari bahwa tipu daya yang digunakan oleh Dhritarashtra yang buta – kakaknya sendiri – untuk memusnahkan Pandawa bersaudara, yaitu para putra Pandu – kakaknya yang satu lagi – ternyata berbalik kembali kepada Dhritarastra dan membawa kehancuran bagi keturunannya sendiri. Ia mengagumi Dharmaraja karena keluhuran budi dan kemurahan hatinya terhadap Dhritarashtra walau pada kenyataannya ia telah menyiksa pandawa dengan berbagai cara. Dharmaraja menghormati Dhritarashtra dengan penuh kepercayaan serta bakti dan melayani serta mengusahakan agar hidupnya senang. Ia merasa sangat muak bila mengingat lagi kebusukan hati Dhritarastra. Ia malu karena saudaranya yang sudah jompo itu asyik bergelimang dalam kemewahan istana, bukannya belajar melepaskan diri dari kesenangan indera yang bersifat sementara dan berusaha menyadari tujuan hidup manusia, yaitu kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Kepedihan hatinya tidak tertahankan karena saudaranya menyia-nyiakan sisa hidupnya di dunia yang hanya beberapa tahun lagi.

Dengan kewaskitaannya ia tahu bahwa Pandawa bersaudara pun akan segera meninggalkan raga, bahwa Krishna yang melindungi mereka di dunia juga akan memperhatikan kesejahteraan mereka di akhirat. Ia dapat menduga bahwa sepeninggal pandawa bersaudara, raja yang buta ini akan lebih menderita. Ia memutuskan akan mengirim saudaranya yang malang ini agar pergi berziarah dan akhirnya memenuhi takdirnya. Tanpa terlihat oleh orang lain, diam-diam ia keluar dalam kegelapan dan berjalan langsung menuju tempat tinggal Dhritarashtra.

Tentu saja raja dan permaisurinya, Gandhari menanti-nanti kunjungan Widura karena mereka mendengar bahwa ia sudah tiba di kota. Karena itu,ketika Widura datang Dhritarashtra memeluknya dan menitikkan air mata kegembiraan. Ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Diceritakannya satu demi satu segala bencana yang menimpa dirinya serta anak-anaknya dan diratapinya nasib mereka. Widura berusaha menghiburnya dengan ajaran-ajaran yang mendalam dari kitab suci. Tetapi segera didapatinya bahwa hati orang tua yang telah membatu ini tidak dapat diluluhkan dengan pemberian nasihat-nasihat yang menyejukkan; ia mengerti bahwa kebodohan Dhritarashtra hanya dapat diatasi dengan pukulan yang keras.

Maka Widura mengubah nada bicaranya dan mulai menyalahkan serta memaki. Mendengar ini Dhritarashtra terperanjat dan ketakutan. Ia memprotes, “Adinda, hati kami terbakar kesedihan karena kehilangan seratus putra kami, tetapi Adinda bahkan menusuk luka itu dengan jarum tajam caci maki Adinda yang penuh kemarahan. Mengapa Dinda sampai hati menjerumuskan kami dalam kesedihan yang lebih parah bahkan sebelum kami mengecap rasa gembira karena berjumpa lagi dengan Adinda setelah demikian lama? Mengapa saya harus mencela Dinda karena tega berbuat demikian? Saya ditertawakan semua orang, disalahkan oleh semuanya, saya tidak berhak mengecam Adinda.” Dhritarashtra duduk diam bertopang dagu dengan kepala tertunduk.

Widura sadar bahwa inilah saat yang tepat untuk menanamkan pelajaran dalam hal mati raga serta ketidakterikatan dan hanya itulah yang dapat menyelamatkan mereka dari kehancuran. Ia tahu bahwa maksud baiknya tidak dapat dicela karena ia ingin agar mereka berziarah ke tempat-tempat suci, memenuhi diri dengan kesucian, menemui orang-orang yang agung dan baik, menyadari Tuhan di dalam batin, dan dengan demikian menyelamatkan diri mereka. Maka ia memutuskan akan menggunakan kata-kata yang lebih keras lagi guna mengubah Dhritarashtra serta permaisurinya. Walau dalam kewaskitaannya melihat hari-hari mengerikan yang akan menimpa mereka dan untuk menghadapi hal itu mereka akan membutuhkan keberanian yang hanya dapat diperoleh dari jnana, maka ia bertekad akan menolong mereka agar bertindak. Widura berkata, “Oh Raja yang bebal! Tidakkah Kakanda merasa malu? Apakah Kakanda masih menemukan kegembiraan dalam kesenangan duniawi? Apakah manfaatnya, jika Kakanda berkubang dalam Lumpur hingga ajal tiba? Saya pikir Kakanda sudah cukup menikmatinya, bahkan lebih.”

“Waktu itu ibarat ular kobra yang mengintai untuk menggigit Kakanda hingga tewas. Kakanda berani berharap dapat menghindarinya dan hidup selama-lamanya. Tidak ada seorangpun, betapapun hebatnya, dapat menghindari gigitannya. Kakanda mengejar kesenangan di dunia yang fana ini dan berusaha memenuhi nafsu serta keinginan untuk memperoleh kepuasan yang remeh. Kakanda menyia-nyiakan tahun-tahun yang amat berharga. Buatlah hidup Kakanda berarti. Masih belum amat terlambat untuk mulai berusaha. Tinggalkan kandang yang disebut rumah ini. Buanglah segala kesenangan duniawi yang tidak berarti ini dari pikiran dan perasaan Kakanda. Ingatlah kebahagiaan yang menanti Kanda, alam akhirat yang akan menyambut Kanda, akhir perjalanan di dunia ini. Selamatkan diri Kakanda dari nasib bodoh, mati karena amat sedih terpisah dari sanak keluarga. Belajarlah agar dapat meninggal dengan memikirkan Tuhan pada saat yang terakhir. Jauh lebih baik meninggal dengan bahagia di kedalaman hutan belantara daripada meninggal dalam tekanan batin di istana ibu kota ini. Berangkatlah, pergilah, dan lakukan tapa. Tinggalkan tempat ini, penjara ini, yang Kanda sebut rumah.” 


sumber :: http://www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar