Kata Pengiwa berasal dari bahasa
jawa kuno; yang asal katanya kiwa dalm bahasa Jawa Kuno yang artinya
kiri; kiwan; sebelah kiri, Ngiwa = Nyalanang aji wegig (menjalankan
aliran kiri), seperti ; pengeleakan penestian, Menggal Ngiwa = nyemak
(melaksanakan) gegaen dadua (pekerjaan kiri dan kanan).
Pengertian Kiwa dan Tengen
artinya ilmu hitam dan ilmu putih, Ilmu Hitam disebut juga ilmu
pengeleakan, tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, Wegig berarti begig
yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain. Karena sifatnya
negatif, maka ilmu itu sering disebut “ngiwa”. Ngiwa berarti melakukan
perbuatan kiwa alias kiri.
Aji Penengen (Ilmu putih) sangat
bertentangan dengan ilmu hitam. Ilmu putih sebagai lawannya, yang
disebut pula ilmu penangkal leak yang bisa dipakai untuk memyembuhkan
orang sakit karena diganggu leak, sebab aji usadha berhaluan kanan,
disebut haluan “tengen” berarti kanan. Ilmu putih ini mengandung ilmu
“kediatmika”.
Leak Desti yang merupakan bagian
dari Ilmu Pengiwa dari jaman dulu kala sudah menjadi fenomena yang tak
pernah sirna dimakan jaman, keberadaannya dari dulu menjadi momok yang
menakutkan masyarakat. Leak Desti adalah perwujudan ilmu leak tingkat
paling bawah yaitu perwujudannya bisa berbentuk binatang. adapun nama –
nama yang sangat popular adalah:
- Lelakut yaitu sejenis kadal yang besar berbadan hitam loreng-loreng, berkepala manusia berwajah seram dan hitam, rambutnya terurai, taringnya panjang, giginya runcing, matanya lebar dan menyala keluar api berwarna hijau, mempunyai ekor panjang warnannya loreng hitam putih.
- Bebae yaitu sejenis binatang kambing berbulu putih mulus, mempunyai telinga panjang menjulur kebawah sampai menyentuh tanah.
Leak Desti ini sasarannya adalah
orang-orang yang penakut sehingga kalau orang yang ketakutan ini melihat
leak Desti maka ia akan lari terbirit-birit dan bisa terjatuh dan pada
saat jatuh itulah maka Leak Desti ini akan menyerang dan akan mengisap
darah orang yang terjatuh tadi.
Disamping orang yang ketakutan
juga bisa disasar anak-anak kecil terutama bayi-bayi sehingga bayi-bayi
itu bisa menangis terus-menerus dan tidak mau menyusu pada ibunya dan
lama-lama sampai anak kecil tersebut jatuh sakit. Leak Desti ini di Bali
ada penangkalnya yaitu melalui orang-orang Wiku yaitu orang yang sudah
menguasai ilmu pengobatan yang disebut ilmu Usada Bali (pengobatan
tradisional Bali).
“Ngereh” artinya proses
perubahan wujud dari manusia menjadi Leak. Leak desti adalah wujud
siluman jahat (setan). Desti adalah perwujudan binatang siluman manusia
dalam bentuk binatang yang aneh dan seram.
Adapun Tehnik Ngereh Leak Desti tersebut adalah sebagai berikut : Dalam ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu:
- Tatwa berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan harus menyadari tentang ajarannya.
- Etika berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan pasti akan melaksanakan mengenai tehnik-tehnik tingkah lakunya.
- Upakara berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan sudah tentunya melaksanakan upakara-upakara seperti menghaturkan sesajen (banten dalam bahasa bali) sebagai sarana upakara.
Sebelum Ngereh (proses perubahan
wujud) menjadi Leak Desti, orang yang menjalankan pengeleakan terlebih
dahulu melaksanakan beberapa tahapan kegiatan dengan melakukan berbagai
permohonan. Adapun tahapan-tahapan kegiatan ngereh tersebut adalah
sebagai berikut :
- Memasang pasirep yaitu mengeluarkan ilmu kesaktian agar semua mahluk hidup yang ada di sekitarnya semuannya tertidur lelap.
- Mencari tempat ngereh yaitu mencari tempat yang paling strategis dan aman seperti misalnya di Kuburan, pada perempatan jalan, atau bisa di sawah yang penting tempat tersebut sepi.
- Mempersiapkan upakara berupa sarana banten yang berkaitan dengan ilmu pengeleakan.
- Melakukan permohonan-permohonan agar proses ngereh dapat berlangsung sesuai dengan yang diinginkan kepada Tuhan dalam segala bentuk menifestasinya yaitu :
Pertama mohon kepada yang
bernama Butha Peteng (perwujudan unsur alam gelap) untuk memagari
tempatnya agar siapa yang lewat supaya tidak melihat, dilanjutkan
kemudian dengan memasang ilmu pengreres (ilmu penakut) agar yang lewat
menjadi ketakutan.
Kedua
mohon kepada yang bernama Butha Keridan (perwujudan unsur alam terbalik)
agar pengelihatan orang bisa terbalik yaitu yang di atas bisa terlihat
di bawah.
Ketiga secara
berturut-turut mohon kepada yang bernama Sang Kala Jingkrak, Butha
Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan terakhir mohon kepada yang
bernama sang Butha Kapiragan, agar segala permohonannya bisa terkabul.
Sang
Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan Butha
Kapiragan adalah nama-nama Butha Kala yang menguasai Ilmu Pengleakan.
Keempat setelah proses
permohonan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan muspa (sembahyang)
dengan posisi badan terbalik yang dilanjutkan dengan nengkleng (berdiri
dengan kaki satu) berjalan nengkleng mengitari "sanggah cucuk" (tempat
menaruh sesajen yang terbuat dari batang bambu), sesuai dengan tingkat
ilmunya dengan posisi putaran berjalan nengkleng kearah kiri.
Dengan melalui ngereh tersebut
diatas maka orang yang menguasai ilmu pengeleakan bisa berubah wujud
sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang dikuasainya yaitu kalau tingkat
Desti maka orang tersebut bisa berubah wujud menjadi binatang yang
aneh-aneh dan seram
setelah menguasai Ilmu Pengiwa
Leak Desti, penekun akan dengan mudah membuat sarana pengleakan yang
biasa di gunakan oleh pengikut aliran kiri ini. Sarana tersebut seperti :
- “Pengasren” (semacam pelet), yakni sarana magis agar orang yang bersangkutan menjadi kelihatan selalu cantik dan tampan, awet muda dan mempunyai daya pikat yang tinggi. Dengan sarana tersebut orang akan mudah dapat memikat lawan jenis yang dikehendakinya.
- “Pengeger” (semacam penglaris) yang dapat menyebabkan si pemakai menjadi laris dalam berdagang atau berusaha, dengan harapan si pemakai menjadi semakin kaya.
- “Pengasih-asih”, yakni sarana yang dapat membuat orang menjadi jatuh cinta kepada orang yang menggunakan sarana tersebut. Atau dapat pula disebut dengan sarana guna-guna. Seperti misalnya : guna lilit, guna jaran guyang, guna tuntung tangis, dan lain-lain macamnya.
- “Penangkeb”, yakni sarana gaib atau mistis agar orang lain atau orang banyak menjadi tunduk. Dengan demikian orang tersebut dapat mengendalikan, mengarahkan, menguasai, atau menyetir orang lain atau orang banyak sesuai dengan keinginannya. Orang yang telah terkena ilmu penangkeb tak ubahnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, sehingga akan menjadi penurut sesuai perintah atau keinginan dari orang yang mengenakan ilmu penangkeb.
- “Pepasangan”, yakni sarana yang ditanam pada tempat tertentu oleh orang yang bisa melakukan pengiwa. Tujuannya adalah untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang diingini si pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia yang dibungkus, atau berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada pekarangan rumah orang yang akan dijadikan korban. Dengan adanya pepasangan itu menjadikan situasi rumah tersebut menjadi agak lain, agak seram, penghuninya sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.
- “Sesawangan”, yakni kemampuan seseorang yang mempraktekkan ilmu pengiwa hanya dengan membayangkan wajah atau hanya nama dari calon korban. Sesawangan juga disebut dengan umik-umikan atau acep-acepan atau doa-doa. Dengan kemampuan ini seseorang yang melaksanakannya dapat mencapai korbannya, walaupun dia bersembunyi di balik dinding beton yang tebal dan kuat. Adanya ilmu ini makanya sering kita mendengar kalimat seperti berikut : “walaupun engkau berlindung di dalam gedong batu yang terkunci rapat, aku akan dapat mencapaimu”. Mungkin ilmu sesawanganlah yang digunakan orang tersebut.
- “Ilmu Cetik” (racun) merupakan cara meracun orang atau korban. Ada cetik sekala dan ada cetik niskala. Cetik sekala diartikan bahwa meracun dengan menggunakan sarana tertentu yang tampak nyata, seperti cetik gringsing, cetik cadang galeng, cetik kerikan gangsa, dan lain-lain. Kemudian cetik niskala adalah meracun korban atau orang dengan sarana yang tidak kelihatan. Cetik ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu Leak yang sudah tinggi. Hanya dengan memandangi makanan atau minuman saja, maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dikehendaki. Jadi boleh dibilang cetik ini tanpa memerlukan sarana, karena tidak kelihatan.
Kewisesan yang diporolehnya
kemudian disebarluaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana seperti
mas, mirah, tembaga, kertas merajah, dan lain-lain. Ada pula dalam
bentuk bebuntilan (bungkusan kecil yang berisikan sarana tertentu). Si
pemakai pengiwa tersebut juga diberikan rerajahan ongkara sungsang
(ongkara terbalik) pada lidah, gigi, kuku, atau bagian tubuh tertentu
lainnya. Atau ada pula penggunaan pengiwa dengan jalan maled (menelan
sarana yang diberikan oleh gurunya). Sarana pengiwa tersebut dibakar
sebelumnya, kemudian abunya dibungkus dengan buah pisang mas, dan
kemudian ditelan. Setelah itu didorong masuk ke dalam tubuh dengan
menggunakan tirta atau air suci.
Dalam kemajuan teknologi yang
berkembang pesat saat ini ternyata di masyarakat masih mejadi trend
penggunaan alat-alat kekebalan dalam berbagai bentuk baik yang dipakai
maupun yang masuk dalam tubuhnya.
Adapun fungsi dari alat tersebut
untuk menambah kepercayaan diri agar merasa lebih mampu dibandingkan
dengan yang lainnya. Harus disadari fungsi dari alat ini bagaikan pisau
bermata dua. Kalau tujuanya untuk kepentingan umum dalam hal menolong
masyarakat tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika alat
itu digunakan untuk pamer dan menguji orang lain, ini yang sangat
riskan. Karena setiap alat yang kita pakai memiliki kadar tersendiri,
tergantung dari sang pembuatnya. Karena ini berhubungan dengan kekuatan
niskala yang berupa panengen dan pengiwa. Atau dalam istilah lainnya
mengandung kekuatan pancaksara maupun dasaksara. Tidak sembarang orang
bisa membuat alat seperti ini apalagi memasangnya karena berhubungan
dengan pengraksa jiwa. Kalau berupa sesabukan (tali pinggang)
menggunakan bahan-bahan tersendiri, berupa biji-bijian seperti kuningan,
timah, perak, bahan panca datu. Ditambah sarana yang lainnya sebagai
persyaratannya. Untuk menghidupkan ini perlu mantra pasupati biar benda
tersebut menjadi hidup. Disinilah kekuatan penengen dan pengiwa berjalan
sebagai satu kesatuan yang menjadi kekuatan panca dhurga.
Kalau sabuk pengeleakan lagi
berbeda, di sini kekuatan pengiwa murni dipakai, sehingga yang
memakainya akan memasuki dunia lain, tanpa disadari ia akan berubah
secara sikap. Dan kita diolah oleh alat itu tanpa disadari kita menjadi
kehilangan kontrol. Ini yang sangat berbahaya, jika tidak segera
ditolong ia akan terjerumus, disinilah kekuatan penengen akan berjalan
sebagai penetralisir. Di sinilah perlunya kita pemahaman apa itu
penengen dan pengiwa jangan sepengal-sepenggal.
Kalau yang memasukan dalam tubuh
juga hampir sama prosesnya dengan yang memakai alat, yang menjadi
perbedaan adalah kalau yang memakai alat berada di luar tubuh dan yang
memasukan berada di dalam tubuh, inipun prosesnya tidak gampang perlu
orang yang tahu untuk memasangnya, memang tubuh menjadi kebal tapi perlu
proses. Tidak langsung jadi. Disinilah kejelian seorang senior terhadap
yuniornya apakah sudah siap secara mental atau tidak. Kalau sudah siap
secara mental maka akan cepat benda itu bereaksi dan bisa dikontrol oleh
dirinya sendiri, jika tidak akan sebaliknya akan membahayakan dirinya
sendiri. Karena alat-alat yang dipasang akan menjadi energi. Di sinilah
muncul keegoissan kita jika sudah merasa hebat seolah-olah kita yang
paling unggul di antara orang lain, padahal kita tahu ilmu seperti ini
sangat banyak.
Pengendalian diri sangat penting
untuk membawa hal yang positif bagi kita sendiri, jangan terjebak oleh
keinginan sesaat. Tapi sebaiknya kita gunakan alat-alat itu untuk
kepentingan yang lebih baik seperti untuk jaga diri.
Untuk mendapatkan ilmu tersebut,
harus mengadakan upacara yang disebut madewasraya. Apabila ingin
menggunakan pangiwa, supaya dapat sakti dan manjur, mujarab dan digjaya,
terlebih dahulu harus menyucikan diri. Setelah itu tatkala malam
diadakannya madewasraya dahulu di kayangan pangulun setra (pura yang ada
di dekat kuburan), memohon anugrah kehadapan Hyang Nini Betari Bagawati
atau Ida Betari Durga Dewi. Adapun sarananya:
1. Daksina 1 buah
2. Uang kepeng sebanyak 17.000
3. Ketupat 2 kelan (1 kelan = 6 biji)
4. Arak & brem
5. Ketan hitam
6. Canang 11 biji
7.
Canang tubungan, burat wangi lenga wangi, nyanyah (goreng tanpa
minyak) gagringsingan, geti-getih (darah), dan biu mas (pisang kecil
yang biasanya dipakai untuk membuat canang)
kemudian dipersembahkan secara
niskala. Setelah itu bersila di depan paryangan, bersemadi dan tidak
lupa dengan dupa menyan astanggi, heningkan batin. Kemudian ucapkan
mantra:
“Om Ra Nini Batari
Bagawati, turun ka Bali; ana wang mangkana; aminta kasih ring Paduka
Batari, sira nunas turun ka mrecapada. Ana wang mangkana anunas
kasaktian, manusa kabeh ring Bagawati, Sang Hyang Guru turun ka
mrecapada. Ana wang manusa angawe Batara kabeh, turun ka Bali Sang Hyang
Bagawati. Ana buta wilis, buta abang, ana buta jenar, ana buta ireng,
ana buta amanca warna, mawak I Kalika, ya kautus antuk Batari Bagawati,
teka welas asih ring awak sarinankune, pakulun Paduka Bagawati. Om Mam
Am Om Mam, ana Paduka Batara Guru, teka welas asih, Bagawati manggih
ring gedong kunci manik, teka welas asih ring awak sarinanku”.
Apabila sudah berhasil
mendapatkan ilmu gaib tersebut, maka ada aturan yang harus dipatuhi.
Orang yang memiliki ilmu gaib tersebut akan digjaya tidak terkalahkan,
tidak bisa diungguli, dan semua akan tunduk kepadanya. Apabila mampu
merahasiakannya, maka dalam 100 kali kelahiran akan menemui kebahagiaan
dan kebebasan tertinggi. Dan bila meninggal dapat kembali ke sorga
Brahmaloka, Wisnuloka, dan Iswaraloka. Tetapi bila ketahuan, apalagi
sampai suka membicarakan, menyebarluaskan, dan tidak mampu
merahasiakannya, maka dalam 1000 kali kelahiran akan menemui hina,
neraka, disoroti oleh masyarakat, dan sudah pasti terbenam dalam kawah
neraka Si Tambra Goh Muka.
sumber :: http://cakepane.blogspot.com/2010/07/ilmu-kewisesan-pengiwa-leak-desti-kata.html
sumber :: http://cakepane.blogspot.com/2010/07/ilmu-kewisesan-pengiwa-leak-desti-kata.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar