Kunti Dewi mengikuti jalan yang ditempuh
Shyamasundara (Sri Krishna). Yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa nyawa.
Arjuna menangis keras-keras, “Kakanda! Apa yang akan saya katakan? Kita
telah kehilangan ibu kita.” Dharmaraja yang berdiri di sebelahnya
terguncang hebat oleh kejutan itu; ia melangkah mendekati tubuh ibunya
dan berdiri terpaku ketika melihat wajahnya yang memucat.
Para
dayang di luar pintu mendengar perkataan Arjuna, mereka lalu mengintip
ke dalam kamar. Tubuh Kunti Dewi terbaring di lantai. Arjuna meletakan
kepala jenasah pada pangkuannya dan menatap wajah ibunya lekat-lekat
dengan mata berkaca-kaca. Para dayang keraton saling menyampaikan berita
ini; mereka masuk dan menyadari sang Ibu Suri telah meninggalkan
mereka, tidak mungkin kembali lagi. Mereka menangis keras-keras ketika
mengetahui malapetaka yang meremukan hati ini.
Sementara itu
berita tersebut terdengar oleh para ratu di ruang dalam. Dalam beberapa
detik berita duka itu tersebar ke seluruh Hastinapura. Para ratu
diliputi kesedihan. Mereka masuk tertatih-tatih sambil memukuli dada
mereka dalam duka yang mendalam. Para penghuni istana datang melawat ke
tempat tinggal Ibu Suri bagaikan aliran kesedihan yang tiada akhirnya.
Bhima, Nakula, Sahadewa dan para menteri diliputi duka cita.
Suasana
diliputi kepedihan yang tidak terhingga. Tidak seorangpun dapat percaya
bahwa Kunti Dewi yang beberapa menit sebelumnya menunggu-nunggu Arjuna,
puteranya, dengan penuh kerinduan, ingin mendengar kabar yang dibawanya
dari Dwaraka, tiba-tiba meninggal demikian mendadak. Mereka yang datang
dan melihat, berdiri diam terpaku. Tangisan para dayang, ratapan para
ratu, dan duka cita putra-putranya meluluhkan hati yang paling tegar
sekalipun.
Dharmaraja menghibur setiap orang dan menanamkan
keberanian. Ia memberitahu mereka agar tidak terbawa kesedihan. Ia tidak
menitikan air mata; ia sibuk berjalan kian kemari dengan tabah, memberi
petunjuk-petunjuk kepada setiap orang dan membangkitkan kekuatan batin.
Hal ini membuat setiap orang mengagumi pengendalian dirinya. Para
menteri menemuinya dan berkata, “Maharaja, ketenangan Paduka membuat
kami kagum. Baginda amat menghormati ibu Paduka dan memperlakukan Beliau
bagaikan napas hidup Paduka sendiri. Bagaimana Paduka dapat menerima
kepergian Beliau tanpa merasa sedih?” Dharmaraja tersenyum melihat
kecemasan mereka. “Menteri, saya sangat iri bila memikirkan Ibunda
yang telah wafat. Bunda benar-benar amat beruntung. Begitu mendengar
bahwa Sri Krishna pergi ke Surga, segera Bunda meninggalkan dunia ini.
Ibunda langsung menyusul Krishna ke surga karena tidak dapat menanggung
pedihnya perpisahan dengan Beliau,” kata Dharmaraja.
“Kita ini
amat tidak beruntung. Kita begitu dekat dengan Beliau; kita mendapat
demikian banyak kegembiraan dari Beliau, tetapi kita tetap hidup! Jika
kita benar-benar memiliki bakti seperti yang kita nyatakan, seharusnya
kita sudah meninggalkan raga seperti Ibunda pada waktu mendengar
kehilangan ini. Cih, malulah kita. Kita ini hanya beban bagi bumi.
Seluruh tahun-tahun kehidupan kita ini percuma belaka.”
Ketika
warga kerajaan dan orang-orang lain mengetahui bahwa Kunti Dewi
menghembuskan napas terakhir bengitu mendengar bahwa Krishna telah
meninggalkan dunia, mereka menangis makin keras, karena kesedihan
lantaran kehilangan Krishna jauh lebih besar daripada kesedihan karena
lantaran kehilangan Ibu Suri. Banyak yang bertingkah laku seakan-akan
mendadak gila; tidak sedikit yang membentur-benturkan kepala pada
dinding rumah mereka, mereka merasa amat menderita dan sedih.
Kejadian
ini seperti bensin yang dituangkan ke dalam api. Dalam aliran kesedihan
tak terhingga yang disebabkan oleh dua kehilangan ini, hanya
Dharmarajalah yang tetap tenang. Ia menghibur para ratu, ia berbincang
dengan lemah lembut dan meyakinkan kepada mereka masing-masing.
Diberitahunya mereka bahwa tidak ada artinya meratapi kehilangan Ibu
Suri atau kepergian Sri Krishna. Mereka masing-masing mempunyai jalan
sendiri-sendiri sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. “Tinggal
kitalah sekarang yang harus memenuhi takdir kita melalui langkah-langkah
yang sesuai,” demikian katanya.
Dharmaraja memanggil Arjuna ke
dekatnya dan berkata, “Arjuna! Dinda terkasih, marilah kita tidak
menundanya lebih lama, upacara perabuan Ibu harus segera dimulai; kita
harus menobatkan Parikshit sebagai maharaja; kita harus meninggalkan
Hastinapura malam ini juga; setiap detik terasa bagaikan seabad bagi
saya.” Dharmaraja penuh dengan ketidakterikatan yang ekstrem, tetapi
Arjuna dijiwai dengan semangat pengunduran diri yang lebih besar lagi.
Diangkatnya kepala jenasah ibunya dari pangkuannya dan diletakkannya di
lantai. Diperintahkannya Nakula dan Sahadewa agar menyiapkan penobatan
Parikshit. Ia memberi berbagai petunjuk kepada lain-lainnya, para
menteri, pajabat, dan sebagainya, mengenai persiapan-persiapan yang
harus dilakukan sehubungan dengan keputusan raja dan para pangeran. Ia
benar-benar amat sibuk. Bhima sibuk menyelenggarakan perabuan jenasah
ibunya.
Para menteri, warga masyarakat, pendeta dan para guru
diliputi rasa heran, kagum, dan sedih oleh perkembangan yang aneh dan
aneka peristiwa yang terjadi di istana. Mereka tenggelam dalam duka dan
putus asa, tetapi harus menyimpan semuanya dalam hati. Mereka juga
terpengaruh oleh gelombang ketidakterikatan yang kuat. Mereka berseru
dengan penuh rasa heran, “Ah, paman dan bibi dari pihak ayahnya
tiba-tiba meninggalkan istana; berita mangkatnya Krishna datang bagaikan
halilintar menerpa kepala yang sudah runyam memikirkan bencana ini,
kemudian mendadak sang ibu meninggal; belum lagi jenasahnya diangkat
dari tempat ia terjatuh, Dharmaraja menyiapkan acara penobatan! Dan sang
maharaja merencanakan akan meninggalkan segala-galanya – kekuasaan,
kekayaan, kedudukan dan wewenang – kemudian pergi ke hutan bersama
adik-adik beliau. Hanya Pandawalah yang dapat memiliki keberanian dan
ketidakterikatan semantap itu. Orang lain tidak akan mampu melakukan hal
seberani itu.”
Dalam beberapa menit upacara perabuan telah
dilaksanakan. Para Brahmin dipanggil masuk; Dharmaraja memutuskan akan
melangsungkan upacara penobatan secara sangat sederhana. Para penguasa
dan raja bawahan tidak diundang, demikian pula undangan tidak diberikan
kepada sanak keluarga dan waga masyarakat di Indraprastha.
Tentu
saja upacara penobatan dalam dinasti Bharata, pengangkatan penguasa
pada takhta singa keramat pemilik garis keturunan tersebut biasanya
merupakan peristiwa besar. Harinya akan ditetapkan beberapa bulan
sebelumnya, saat yang bertuah dipilih dengan dengan amat hati-hati; dan
persiapan rinci secara besar-besaran kemudian dilakukan. Tetapi kini
dalam beberapa menit segela sesuatu disiapkan dengan sarana apa pun yang
tersedia dan siapa pun yang kebetulan dekat. Parikshit dimandikan
dengan upacara, perhiasan dipasang pada kepalanya, kemudian para Brahmin
dan para menteri membimbingnya menuju singgasana. Ia diminta duduk di
takhta. Ketika Dharmaraja memasang sendiri diadem penuh berlian pada
kepala Parikshit, setiap orang yang hadir di balairung menangis sedih.
Wewenang kekaisaran yang seharusnya diturunkan kepada pewaris takhta
diiringi sorak sorai kegembiraan rakyat, kini diberikan kepada anak
laki-laki itu diiringi isak tangis.
Parikshit, maharaja yang
baru dinobatkan, menangis ; yah, bahkan Dharmaraja tokoh yang
menobatkannya, tidak dapat menghentikan aliran air matanya walaupun
sudah berusaha sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikannya tercabik
hatinya oleh kesedihan yang menyiksa. Siapa yang dapat melawan kekuatan
takdir? Nasib melangsungkan setiap perbuatan, pada waktu, tempat, dan
dengan cara yang sudah ditetapkan. Di hadapan takdir manusia tidak ada
artinya; ia tidak berdaya.
Parikshit adalah anak laki-laki yang
sopan dan berbudi luhur. Ia memperhatikan kesedihan yang meliputi wajah
setiap orang; ia melihat berbagai peristiwa dan kejadian yang
berlangsung dalam istana; ia duduk di singgasana karena merasa bahwa ia
tidak boleh melanggar perintah para sesepuh; tetapi tiba-tiba ia
bersujud di kaki Dharmaraja dan memohon dengan amat mengibakan,
“Baginda, kehendak Tuanku akan saya hormati dan saya taati, tetapi mohon
janganlah saya ditinggalkan sendirian.” Parikshit tidak melepaskan
pegangannya pada kaki Dharmaraja; ia terus menangis dan memohon. Semua
yang melihat pemandangan tragis ini ikut menangis; bahkan yang paling
tegar hatipun tidak dapat tidak menangis. Peristiwa itu dahsyat, penuh
dengan kesedihan yang mendalam.
Parikshit bersujud di kaki
kakeknya, Arjuna, dan berseru mengibakan, “Kakek! Bagaimana Kakek dapat
pergi dari sini dengan hati yang damai setelah meletakkan beban kerajaan
yang berat ini pada kepala saya? Saya adalah anak yang tidak tahu
apa-apa. Saya amat tolol; saya tidak memenuhi syarat; saya tidak
memiliki kemampuan. Tidak adil dan tidak pantaslah jika Kakek membebani
kepala saya dengan kemaharajaan yang selama ini dipimpin oleh para
pahlawan, negarawan, para pejuang perkasa, dan kaum bijak, kemudian
Kakek mengundurkan diri ke hutan. Biar orang lain saja yang mengemban
tanggung jawab ini; bawalah saya pergi ke hutan juga bersama Kakek,” ia
memohon.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar