Durga juga bisa berarti “sulit untuk didekati”, karena beliau adalah personifikasi berbagai kesaktian dan gabungan kekuatan para dewa-dewi, namun sebagai bunda jagat-raya beliau adalah ibu yang penuh kasih sayang yang tidak terhingga. India dan Indoesia penuh dengan berbagai candi demi pemujaan yang pernah jaya-raya (di Indonesia), namun pada saat ini konsep yang terkembang di Indonesia adalah konsep salah-kaprah, Dewi Durga dianggap dewinya setan dedemit, semua ini adalah propaganda agama lain yang pernah mengalahkan kerajaan-kerajaan Hindu di masa oknum-oknum lalu, dengan menjelek-jelekkan peranan Dewi Durga yang sesungguhnya, padahal candi Prambanan dan Candi Sewu terang-terang didedikasikan kepada kebesaran Sang Pertiwi, Maheswari ini. Demikian juga konsep Ratu Kidul, laut selatan, adalah personifikasi Dewi Sri (berbaju hijau dan ungu, lambang Vishnu) yang sengaja diselewengkan oleh oknum-oknum agama lain dimasa lalu, ternyata kaum Hindu sendiri banyak terkecoh dan termakan oleh isu-isu itu.
Batari Durga adalah penakluk para asura dan sekaligus bunda utama jagat-raya ini, beliau adalah insti-sari Gayatri itu sendiri. Dengan hilangnya pemujaan kepada Durga di Indonesia, maka pemujaan kepada Ganeshya pun sirna, dan perihal ini merupakan kehilangan besar bagi Hindu Jawa yang pada saat artikel ini berada dalam posisi kebimbangan, mau memuja secara Hindu Bali atau Hindu Jawa, mau berorientasi ke India, rasanya peninggalan leluhur demikian agung tetapi tidak berjejak. Sebenarnya Hindu Jawa mungkin harus kembali ke filosofi agung Bhagavat-Gita, melalui pemujaan Vishnu, Shiwa, Durga dan Ganeshya, disertai Buddha, dengan demikian kembali ke ajaran leluhur yaitu gabungan Vaisnawa-Shiva-Buddha, ke Yang Maha Tunggal, Yang Maha Esa, yang sudah tersirat oleh Pancasila, yang dicetuskan oleh Bung Karno dianggap titisan Raja Brajawijaya oleh Hindu-Jawa, dianggap titisan Prabu Siliwangi oleh penganut beliau di Jawa Barat dan dianggap wali kesebelas untuk Hindu dan Islam oleh pengamat alairan kepercayaan.
Hindu Jawa seharusnya menuntut kembali hak-hak pemujaan dan pemeliharaan atas warisan candi-candi kita di Jawa, demikian juga dengan golongan Hindu lainnya yang terbesar di berbagai kepulauan di Indonesia, walaupun kita minoritas namun tanpa peninggalan agama, candi dan tata budaya nenek moyang kita, maka Indonesia bukan apa-apa, jadi hak pengelolaan candi-candi harus kita lestarikan, KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus bersifat universal seperti bangsa-bangsa lain yang beradab, yaitu tidak mencantumkan golongan-agama, dengan demikian sesuai dengan piagam hak-hak azasi manusia yang sudah diratifikasi oleh pemerintah kita.
Kembali ke Dewi Durga, ada konsep lain mengenai sang Dewi yang mulia ini, yaitau konsep Dewi Yoganindra (Meditasi-tidur) adalah yang terutama. Tidur diibaratkan dengan masa istirahatnya Sri Vishnu diantara dua mas apenciptaan, semacam revitalisasi (recharger) jiwa-raga kita sehari-hari setelah letih bekerja. Itulah sebabnya sehari-hari dewi ini mendapatkan tugas untuk melestarikan kehidupan kita secara sempurna dari masa tidur ke masa sadar. Kemudian mempersiapkan pralaya (kiamat) dan membangunnya kembali. Beliau diwujudkan dalam gambaran yang misterius namun memancarkan simbol-simbol kebijaksanaan, ilmu-pengetahuan dan memori (daya-ingat). Beliau berwajah cantik mempesona, pada saat yang sama terkesan “ganas”. Hanya beliau yang sanggup menguasai kedua sifat ini, beliau bersenjatakan busur, panah, pedang, cakra dan trisula.
Kemudian ada aspek Dewi Durga lainnya yang disebut Mahisasuramardini; konon suatu saat kekejaman asura yang bernama Mahisasura sampai ke puncaknya, maka Sang Trimurti (Brahma-Vishnu-Shiwa) pun bereaksi keras. Dari kemarahan mereka lahirlah sang dewi ini, disusul oleh kemarahan semua dewi-dewi lainnya. Berbagai kesaktian dari dewa-dewa utama membentuk organ-organ utama dewi ini, berbagai kesaktian dewa-dewi minor dan madya membentuk organ-organ tubuh lainnya, jadi seluruh buana agung bereaksi membentuk yang satu ini. Dilengkapi dengan berbagai senjata dan keskatian para dewa-dewi ini, maka sambil duduk di atas seekor singa yang galak, beliau sanggup mengalahkan Mahisasura. Biasanya kisah dewi ini dilanjuti dengan berbagai mantram-mantram suci yang indah dan puitis, (Seluruh upacara-upacara untuk dewi ini masih diselenggarakan diIndiasampai kini dan dapat diakses di web-site …..www.india.com….. atau melalui satelit digital (decorder dan parabola) yang diarahkan keIndia, khususnya kea rah chanel-chanel TV di India Selatan seperti Tamil-Nadu, Kerela dan sebagainya. Film-Film Hindhu dharma bahkan sudah ditayangkan secara regular di Bali TV, melalui digital decorder, yang bisa diterima lewat frekuensi; tranfordr: 6 H, center frekuensi RF:3926 MHz, L-Band: 1224 MHz, Symbol Rate: 4.208 MSPS, FEC =3/^/)
Pada suatu saat yang lainnya, para dewa dikuasasi oleh dua Asura yang bernama Sumbha dan Nisumbha. Para dewa yang kalah dan ketakutan berhamburan keHimalaya memohon bantuan sang dewi lagi, beliau dipuja dengan doa-doa yang disebut “Aparajitastotra”, puji-puji mulia bagi dewi yang agung ini, penakluk yang tak terkalahkan. Beliau, kemudian mengabulkan permohonan para dewa ini, dan muncul dari raga Sang Parwati dalam wujud Kausiki Durga, kemudian berubah menjadi Kali. Ternyata kecantikan sang dewi mempesona kedua asura tersebut dan mereka berdua meminangnya untuk dijadikan istri mereka masing-masing. Beliau setuju asal suaminya harus berupa asura yang paling sakti digjaya diantara para asura, akibatnya banyak kepala asura yang menggelinding karena saling bunuh untuk mendapatkan sang dewi. Sang Kali kemudian memenggal kepala asura yang bernama Canda dan Munda, beliau kemudian disebut juga sebagai Camunda. Kali kemudian menjilat darah asura Raktabija sehingga habis total, dengan lidahnya yang panjang dan akhirnya saru per satu asuras ini dapat ditumpas termasuk Nisumbha dan Sumbha.
Kemenangan ini dirayakan para dewa-dewi dengan puji-puji yang disebut Narayanistuti, puja khusus bagi bunda suci nan mulia ini. Beliaulah bentuk fisik alam-semesta ini, beliaulah kesaktian penuh misteri Sang Vishnu (Vaisnawi-Shakti), penghancur apa saja yang bersifat asurik. Dengan memuja Batarai Durga dalam wujud yang sebenarnya sebagaimanifestasi Tuhan Yang Maha Esa, maka pemuja tersebut akan mendapatkan emansipasi spiritual. Selain hal tersebut berbagai ilmu pengetahuan sains dan spiritual juga hadir dari sang dewi ini, beliau juga adalah daya intelek (budhi) dalam diri manusia beserta unsur-unsur kebajikan. Beliau senantiasa melindungi anak-anaknya secara sama rata tanpa henti-hentinya. Demikianlah berbagai aspek dan wujud Sang Dewi dalam bentuk, Kali Sapta-markas, kalau sedang berbahagia beliau memberi tak terhingga, kalau arah beliau menumpas sampai tuntas. Beliau dipercaya sebagai unsur kebenaran sejati yang hadir tersirat di dalam berbagai karya-karya shahstra suci.
Adajuga wujud-wujud lainnya dari Dewi Durga ini yang sesuai dengan daerah dan latar belakang pemujaannya seperti Vibdhawasini (asal daerah Vindhyas), kemudian Raktadanta (yang bergigi merah), Sataksi (yang bermata seratus), Sakambhari (pemeliharan tumbuh-tumbuhan dan sayur-mayur), Durgama (pembasmi asura Bhima, bukan Bimanya Pandawa), juga disebut Bhramari atau Bramaramba (berbentuk lebah).
Sang dewi memiliki tiga aspek utama, yaitu Mahakali, Mahalaksmi dan Mahasaraswati, namun jangan samakan berbagai aspek ini dengan yang ada di dalam Purana seperti Parwati, Laksmi dan Saraswati, karena sesungguhnya beliau adalah manifestasi dari Maheswari yang maha sakti, berdasarkan tiga bentuk gunas (tamas, rajas dan satvas). Aspek pertama adalah Mahakali, dengan sepuluh kepala dan sepuluh kaki, berkulit biru tua, ibarat mutiara Bilamani; beliau dihiasi dengan berbagai ornament dan bersenjatakan berbagai senjata seperti pedang, cakra, gada, anak panah, busur, pentungan, cambuk (cemeti), tempurung kepala manusia (asura dan kerang peniup. Dalam aspek Tamasiknya beliau adalah Yoganidra yang sanggup membuat Batara Vishnu tertidur, dan itu dapat berlaku juga di dalam diri kita. Kemudian datanglah Sang Brahma yang memohon agar Sang Vishnu dibangunakan dari tidurnya agar dapat mengalahkan asura-asura yang bernama Madhu dan Kaitabha.
Beliau juga adalah aspek Prakriti yang dikenal dengan nama Sang Maya, kesaktian dan kekuatan ilusif sang Vishnu. Tanpa kehendak beliau maka unsur-unsur Tamasik seseorang tidak akan hilang dan Sang Atman dalam diri kita akan terjaga dari ilusinya, inilah intisari pemujaan Sang Dewi Durga, berdasarkan legenda mengenai peperangan antara Dewa Brahma versus Madhu dan Kitabha. Pada hakikatnya tanpa kesadaran duniawi, tanpa dunia ini, tanpa Sang Maya atau Dewi Durga ini, kita tidak mungkin sampai ke Tujuan Agung, yaitu Tuhan Yang Maha Gaib yang tak mungkin mampu dijabarkan dan diwujudkan oleh siapapun juga termasuk para dewa ataupun malaikat. Dunia inilah jalan untuk mencapai tujuan ini, bukan sebaliknya!
Aspek kedua beliau adalah Mahalaksmi yang berunsur Rajasik dan sang dewi digambarkan berwarna merah seperti koral, bertangan delapan belas, masing-masing memegang tasbih, kampak perangm anak-panah, halilintar, bunga teratai, busur, pot (guci) air, cemeti, gada, pedang, tameng, kerang peniup, genta, cangkir arak, trisula, dan Sudarsana cakra, serta dua senjata lainnya. Lahir dari berbagai kekuatan para dewa maka ia berwarna merah (lambang kemarahan para dewa), warna darah, warna peperangan. beliau inilah yang menewaskan asura Mahisasura, asura yang berbentuk kerbau jantan. Berarti arca yang ada di Prambanan kemungkinan adalah wujud ini, karena digambarkan menginjak lembu jantan (sapi jantan) yang menyiratjan hukum rimba yang kadangkala memang bisa benar. Asura ini sedemikian saktinya sehingga bahkan para dewa tidak sanggup mengalahkannya, karena pada saat tersebut para dewa tidak menggalang persatuan, maka sewaktu mereka berhasil mempersatukan diri mereka maka lahirlah Sang Dewi ini yang juga disebut sebagai Mahisasumardini ini (penakluk Mahisa). Tersirat bahwasanya, untuk melawan berbagai rintangan dan unsur-unsur iblis di dalam diri kita, maka terlebih dulu seluruh indriyas kita harus disatukan dulu, baru melangkah maju. Ini juga berlaku untuk melawan unsur-unsur lainnya, yaitu periksa dulu, apakah seluruh persiapan dan sarana sudah tergalang penuh baru melawan adharma.
Aspek ketiga adalah Dewi Mahasaraswati, yang berunsur Satvik, beliau bersinar ibarat rembulan dimusim gugur, bertangan delapan, masing-masing memegang genta, trisula, bajak, lakon atau kerang tiup, cakra, anak panah dan busur, dan sebagainya. Karena tercipta dari raganya Sang Parwati beliau juga disebut dengan nama Kausiki Durga. Beliau menyiratkan raga yang sempurna, kecantikan tiadatara, kekuatan kerja, disiplin dan ketrampilan berorganisasi. Beliau adalah penghalau dan penumpas berbagaijenis asuras seperti yang disebut-sebut di atas yaitu, Dhumralocana, Canda, Mundu, Raktabija, Nisumbha dan Sumbha. Semua ini adalah bentuk-bentuk ego yang ada di dalam diri manusia.
Berbagai aspek Durga di Puranas dan Agamas adalah: Sailaputri, Kusmanda, Katyayani, Kesemankari, Harasidhih, Vanadurga, Vindhyvasini, Jayadurga, dan lain sebagainya.
Kata Kali berasal dari kata Kala, sang waktu. beliau adalah inti kekuatan yang terkandung di dalam sang waktu ini, yang dapat menghancurkan apa saja yang tidak abadi termasuk seluruh jajaran dewa-dewi di suatu saat yang tepat. Jadi dewa-dewi tidak bersifat abadi, beliau-beliau adalah petugas-petugas Yang Maha Esa senantiasa akan abadi.
Kali biasanya digambarkan dengan latar belakang perkuburan ataumedanperang penuh mayat dan darah, dengan dewa Shiwa, sang suami sendiri yang “mati” terinjak olehnya. Beliau dilukiskan tidak berbusana namun bagian pinggangnya dilingkari oleh jajaran tangan-tangan, sambil mengenakan kalungan tempurung tengkorak kepala yang berjumlah 50 buah, dengan rambut yang kocar-kacir, bermata tiga dan brtangan empat. Salah satu tangan memegang kepala seorang asura yang baru ditebasnya, dan tangan yang lainnya memegang pedang perangnya. Kedua tangannya bermudra dalam bentuk Abhaya dan Varada, wajahnya merah dan lidahnya menjulur keluar panjang sekali. Gambaran ini menyiratkan kehancuran unsur-unsur asura, baik secara universal (buana agung) maupun secara buana alit di dalam raga kita.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seluruh jagat-raya dan isinya, lalu beliau memasuki setiap ciptaan Beliau (baca Taittiriyopanishad dan Upanishad lainnya), jadi alam semesta dan isinya bersifat suci; sewaktu alam dan isinya di rusak atau dinodai, maka kesucian yang hadir itu akan “sirna”, itulah yang tersirat dala makna Sang Kali, yang telanjang bulat tanpa busana, nama lain beliau adalah Digambara (terbungkus oleh antariksa), yang tak terukur batas-batasnya. Beliau berwarna gelap dan pekat karena harus melahap kekotoran tanpa henti-hentinya, (tamas produk kita semua). Warna gelap juga bermakna waktu, ruang hampa (antarisa) dan hukum karma, itulah sebabnya beliau digambarkan berwarna biru pekat, Kalungan tangan-tangan yang melingkari pinggang beliau adalah berbagai bentuk bakti yang dipersembahkan kepada beliau dan berbagai pahala-pahalanya, yang akan diingat dan dibalas olehnya sesuai sang waktu yang tepat. Tangan-tangan ini juga bermakna energi kinetik yang sangat potensial, yang dapat bermanifestasi setiap saat. Rambut yang kocar-kacir menandakan kebebasan sang waktu yang terurai tanpa batas. Kemudian kelima puluh tengkorak yang menjadi kalungan leher beliau, melambangkan lima puluh alfabet Sansekerta, serta bentuk-bentuk swara (sabda), secara umumnya berlaku di masyarakat Hindhu Dharma dan hadir di alam semesta ini. Pada saat pralaya beliau akan menerima semua ini sebagai persembahan dalam bentuk kalungan bunga (suatu bentuk kehormatan yang besar sekali, atas jasa-jasa sang waktu ini). Walaupun sang “pelumat” ini berwujud sangat menyeramkan dan menakutkan, namun kalau diperhatikan maka mudra-mudranya adalah simbol kasih saying seorang ibu sejati yang seakan-akan bersabda “jangan takut dan jangan khawatir, aku adalah ibumu yang tersayang”. Melalui Varada Mudra, setiap bakta yang tulus memujanya dan akan diberkahi oleh beliau pada saat yang tepat. Kata bunda atau ibu dalam bahasa dIndiaselatan disebut “mariaman”. Beliau dipuja sebagai Mariaman yang suci dan mulai. Di Timur Tengah kata ini disingkat oleh orang-orangJudeadan Kristiani menjadi Miriam, dan oleh orang-orang Arab menjadi Mariam. Kata “ma” dalam Fatimah, jelas berasal dari pengaruh Mariaman yang sudah diadaptasi ke bahasa setempat dan juga berarti ibu atau bunda. Di India dan di dunia Barat kata atau nada mah, ma adalah panggilan untuk ibu, yang kemudian di dunia barat menjadi mother (baca mather), kemudian mama dan mami, dan lain sebagainya. Di Indonesia menjadi mak. Kata bapak berarti ayah yang mulia, ditujukan khusus untuk panggilan ke dewa-dewa utama seperti Ganeshya dan Trimurti, contoh: Bapa Ganapati dan Ganapati Bapa.
Konon setelah mengalahkan mengalahkan berbagai asuras, sang dewipun menari-nari secara menakutkan, karena kegirangan. Seisi jagat-raya ketakutan menyaksikan fenomena ini. Sang Shiwa kemudian secara pribadi memohonnya untuk berhenti menari karena dunia sudah tidak mampu lagi menyaksikannya, namun tidak diacuhkan oleh Kali, lalu Shiwa menyamar menjadi salah satu mayat yang terhampar dilokasi tari tersebut agar terinjak oleh Sang Kali (lambang toleransi seorang suami kepada istri yang lupa daratan). Pada saat terinjak itulah barulah sang dewi sadar akan kebablasannya (over-acting, mabuk kepayang), dan beliaupun menjulurkan lidahnya karena malu (adat atau reaksi wanita-wanita setempat, kalau malu, maka akan menjulurkan lidahnya).
Shiwa Mahadewa adalah wujud manifestasi dari Sang Brahman, Yang Maha Absolut yang jauh dari segala wujud, atribut dan bentuk aktifitas, ini disimbolkan sebagai sawa (mayat), Kali adalah energinya yang menari-nari, yang bekerja secara aktif. Inilah makna lukisan yang menyeramkan dari Sri Kali yang menginjak Dewa Shiwa, suaminya sendiri dari mana ia berasal. Seorang suami di dalam Hindhu Dharma sewaktu menikah akan diperingatkan oleh sang pendeta bahwa istrinya bisa bersikap sangat aneh dan destruktif pada saat-saat tertentu, demikian juga dengan sang suami, kalau kedua pasangan pengantin mau menerima fenomena ini, maka pernikahan (vivah) yang berarti kemenangan sanga dharma akan dilangsungkan dengan melingkari Sang Agni tiga kali, kalau tidak setuju maka vivah tersebut tidak akan dilanjutkan, saksinya semua tamu yang hadir. Dan semenjak itu tidak ada dan tidak dikenal perceraian karena apa yang sudah disatukan oleh Hyang Maha Esa (Swami dan Shaktinya) tidak boleh diceraikan atau dipisahkan baik oleh ego, ahankara dan gunas yang menyertai pernikahan tersebut. Upacara ini ternyata hadir secara mirip di kalangan saudara-saudara kita umat Katholik. Tidak mengherankan karena Yesus Kristus adalah figure yogi agung yang kita akui keberadaannya beserta seluruh aktifitas avatara dan yagnanya yang bermakna simbolis, yaitu salib (Swastika). Titik diantara dua palang kayu adalah titik mata ketiga, pusat meditasi kita yaitu di mana Shiwa akan hadir dalam bentuk taraf meditasi yang paling tinggi yang disebut tahap Thuriya (tahap sang Shiwa) yang tidak mudah dijabarkan, dan tahap itu baru mampu dicapai seseorang dengan pengorbanan diri seperti yang diperlihatkan oleh Kristus yang penuh dengan disiplin dan pengorbanan tanpa pamrih. Sayang saudara-saudara kita ini sebagian besar sudah lupa akan faham ini, walaupun mereka juga memiliki Mariam (Maria, sang ibu dan Roh Kudus (Atman) dan Kristus, Sang Pembimbing domba-domba bodoh yang tersesat.
Kembali ke visualisasi lukisan Kali dan Shiwa, maka kekuatan Kali pada akhirnya akan menciptakan penciptaan baru, itulah sebabnya beliau di puja dalam wujud Maharatri, yang senantiasa mendorong Shiwa untuk menciptakan jagat-raya yang agung ini setelah mengahncurkan yang lama. Shiwaratri adalah wujud pemujaannya yang sarat sekali secara simbolis, namun sayang sebagian besar umat Hindhu Dharma lebih senang tidak tidur semalaman dan bersuka-ria, tanpa mau mengintrospeksi dirinya dengan kisah hikayat suci sarat makna ini. Sang Kali adalah alat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang sulit dijabarkan secara terperinci, karena demikian gaibnya cara dan mekanisme Sang Maya (Kekuatan Ilahi) ini. Sri Krishna mengisyaratkan dalam bahasa misterius dalam Bhgavat-Gita, bahwasanya Beliaulah sesungguhnya Sang Kala yang melebur semua ciptaan ini.
Dari segi mitos kelahiran Durga sebagai tokoh penting, yaitu kristalisasi dari semua dewa, yang menempati posisi sentral yang dikelilingi empat bangunan yang ditujukan pada Sangkara, Brahma, Surya, Wisnu. Mitosnya di mana Brahma hadir di hadapan Siwa dan Wisnu yang menyampaikan para dewa diganggu oleh Mahesasura, mendengar laporan seperti itu, Siwa dan Wisnu marah, sehingga mengeluarkan cahaya panas dari mukanya, di samping itu pula dewa-dewa lainpun ikut marah dan memancarkan cahaya panas, dan akhirnya cahaya tersebut menjadi satu yang menyerupai gunung yang bergemerlapan dan akhirnya berubah menjadi dewi cantik dengan sebutan Dewi Durga. Dialah yang ditugaskan untuk menghancurkan Mahesasura, dan akhirnya berhasil sehingga Durga diberi sebutan Durga Mahesasura. Durga ini digambarkan dengan kepala tiga, mata membelalak, taring mencuat keluar hidung, dan badan berbulu serta kasap. Korawasrama menggambarkan Durga bertubuh besar, tampilan mengerikan, dengan nafas busuk, rambut lengket, bibir tebal, taring tajam dengan suara bergaung seperti harimau. Sedangkan Durga pada jamanHindu, digambarkan dewi yang cantik dan lemah lembut. Dimana Durga yang mengerikan sangat cocok dengan jaman pada Bali modern saat ini, dimana Durga muncul di Jawa Timur berupa raksasi, sehingga Durga yang ada pada saat sekarang ini bisa di jumpai pada Pura-pura Dalem yang ada di Bali.
sumber :: http://puramedangkamulan.wordpress.com
Om Suastiastu,
BalasHapusSuksma atas penjelasannya tentang Pemujaan Durga,
sdh sngt lama tiang cari tau, knp dewi durga menginjak dewa siwa, akhirnya ketemu jg jawabannya
BalasHapusom swastiastu..
BalasHapusbole tyang minta penjelasan ini melalui email ?
Mantap 🤔👍
BalasHapus