Bab 16 - Penghormatan Kepada Krishna |
|
|
Di beberapa wilayah yang penting dalam kemaharajaannya, penduduk mempersembahkan pertunjukan lagu-lagu rakyat yang mengisahkan kemasyhuran dan keperkasaan nenek moyangnya; mereka menyanyikan keberanian dan keunggulan Pandawa bersaudara. Kidung ini menyanjung-nyanjung belas kasih dan rahmat yang dilimpahkan Sri Krishna kepada Pandawa bersaudara dan hormat bakti serta kepercayaan Pandawa kepada Sri Krishna sepanjang waktu. Mereka juga memainkan drama rakyat, memerankan Pandawa serta Kaurawa dengan Krishna di antaranya, mengungkapkan kisah yang telah Beliau rencanakan dengan mereka sebagai alatnya.
Ketika Parikshit mendengar nyanyian ini dan menyaksikan pementasan tersebut, air mata mengalir di pipinya, walau ia berusaha keras mengendalikan emosinya. Para penyanyi, penutur cerita, aktor dan penyelenggara pertunjukan semuanya mendapati bahwa maharaja mereka hanya terpikat pada drama dan nyanyian yang memiliki tema-tema ini, maka mereka tidak lagi mencari bahan-bahan pertunjukan yang lain dan hanya memusatkan perhatian pada sejarah Dinasti Parikshit serta rahmat luar biasa Sri Krishna yang menyelamatkannya pada setiap langkah. Maharaja mendengarkannya dengan penuh hormat dan duduk dengan penuh minat hingga pertunjukan selesai. Rasa terimakasihnya juga diperlihatkannya dengan berbagai cara lain. Parikshit amat senang; para menteri dan sesepuh menegaskan bahwa cerita pertunjukan itu benar. Mendengar pernyataan itu, kepercayaan serta baktinya meningkat; ia lebih sering lagi mencari kesempatan ini dan lebih menikmatinya. Ia memperlakukan para penyelenggara pertunjukan dan pemain musik dengan penuh kasih sayang dan menghormati mereka dengan hadiah yang melimpah.
Ketika tersebar kabar bahwa Parikshit berkenan mendengar kidung tentang leluhurnya dan tentang Sri Krishna, orang-orang yang memiliki pengalaman pribadi tentang hal ini mengerumuninya kemanapun ia pergi. Mereka ingin melihat seorang maharaja yang demikian penuh bakti.
Pada suatu hari, ketika Parikshit kembali dari Mathura, ada seorang brahmin tua berdiri di tepi jalan diantara orang-orang lain untuk menarik perhatian sang penguasa. Maharaja tidak mengabaikannya. Beliau mendekati lelaki lanjut usia itu dan menanyakan kesejahteraannya dengan penuh kasih. Brahmin itu berkata, “Maharaja! Bertahun-tahun yang lalu ketika kakek Paduka, Dharmaraja menyelenggarakan pengurbanan kuda dalam kehadiran suci Sri Krishna, saya memimpin sebagai pendeta kepala (ritwik) yang melangsungkan upacara. Pada kesempatan itu Sri Krishna mendekati saya dan menanyakan kesejahteraan saya dengan kasih sayang seperti yang kini Paduka perlihatkan kepada saya. Kata-kata Maharaja membuat saya terkenang pada ucapan Sri Krishna. Selanjutnya perkataan brahmin tersebut dikaburkan oleh isak tangisnya. Mendengar ini Parikshit berseru, Oh, langkah beruntungnya anda! Diajak bicara oleh Bhagawan di Yajnasala!” Ditanggalkannya kain yang tersampir di bahunya kemudian diletakkannya terlipat di tanah, dimintanya brahmin tua itu agar duduk santai beralaskan kain itu dan menceritakan lebih banyak lagi pengalamannya dengan Sri Krishna di Yajnasala serta tempat-tempat lain.
Pria uzur itu berkata lemah, “Hati saya hancur tidak mampu menanggung kesedihan karena kesalahan yang saya lakukan hari itu,” lalu ia menangis. Maharaja bertanya, “Bapak Pendeta, kesalahan apakah itu? Bila Bapak tidak keberatan, saya ingin mengetahuinya.” Sambil memegang kedua tangan brahmin tua itu dalam tangannya, Parikshit mohon agar ia menceritakan pengalamannya.
Brahmin itu menjawab, “Pada hari itu, kami semua yang sudah ditahbiskan menjadi pendeta untuk melangsungkan yajna, mengenakan pakaian suci yang dianugerahkan kepada kami, lalu masuk ke wilayah yang telah disucikan. Kemudian Sri Krishna duduk pada papan emas di depan piring emas dan menuangkan air dari bejana emas pada… tidak, saya tidak dapat melanjutkan cerita ini… saya tidak menemukan perkataan yang tepat.” Pria uzur itu menangis terisak-isak tidak mampu melanjutkan kisahnya.
Berhentinya penuturan kisah ini justru ketika mencapai bagian yang penting hanya menambah rasa ingin tahu Maharaja. Ia memohon, “Apa yang terjadi, Bapak Pendeta? Beritahukanlah kepada saya.” Brahmin itu memberanikan diri mematuhinya, “Oh, Maharaja, apa yang akan saya katakan? Kami para ritwik diminta agar meletakkan kaki kami pada piring emas itu kemudian Bhagawan membasuh kaki kami masing-masing. Setelah itu Beliau mengeringkan kaki kami dengan kain yang tersampir di bahu Beliau. Beliau memercikan air dari kaki kami pada kepala Beliau. Karena saya adalah pendeta kepala, Beliau berkonsultasi dengan saya mengenai segala rincian upacara. Akhirnya pada hari terakhir ketika persembahan penutup dimasukkan kedalam api pengurbanan, Beliau menganugerahkan penampakan diri Beliau kepada kami, dengan sangkha, cakra, dan gada dalam tangan Beliau. Penampakan itu membebaskan kami semua dari belenggu keduniawian untuk selama-lamanya. Kini karena Bhagawan yang penuh belas kasih sudah jauh dari kita, saya merasa bahwa dengan melihat Paduka sekarang ini keadaan saya ibarat orang malang yang sekarat kehausan di padang pasir, kemudian mengecap beberapa tetes air yang menyegarkan.”
Brahmin itu menyudahi ceritanya kemudian sambil memegang tangan Parikshit, ia menaburkan sejumlah beras yang sudah disucikan pada kepala sang Maharaja. Beras itu diambilnya dari bundelan kecil yang disimpulkan pada ujung sarungnya. Parikshit menerima berkat itu dan berkata, “Bapak Pendeta! Saya sungguh beruntung. Walau saya tidak dapat melihat Bhagawan Sri Krishna secara pribadi, hari ini saya memperoleh kemujuran karena dapat melihat kaki yang telah Beliau hormati,” sambil berkata begitu ia bersujud pada kaki brahmin lanjut usia tersebut. Dipanggilnya para menteri ke dekatnya dan diperintahkannya mereka agar brahmin itu ditempatkan pada pelangkin kemudian diantarkan pulang. Ia juga menganugerahkan banyak hadiah serta harta yang berharga.
sumber :: http://www.parisada.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar