
PENGENALAN DAN ETIKA JAPA MALA
JAPA
 = mengulang-ulang kata suci atau bertuah atau mantra. Mengulang 
tersebut dilakukan hanya dalam ingatan (mental) yang disebut manasika 
japa, dengan berbisik disebut upamsu japa, dengan bersuara yang 
terdengar maupun keras disebut wacika japa, dan ada juga dilakukan 
dengan gerakan atau tulisan/gambar.
MALA
 = rangkaian biji-bijian, batu, permata, mutiara, mute, merjan, spatika,
 atau butiran yang terbuat dari keramik, gelas, akar lalang, kayu, 
seperti kayu tulasi tulsi) dan cendana. Kata mala juga padanan kata 
tasbih dan rosary. Tasbih yang utama adalah tasbih yang terbuat dari 
rangkaian biji buah rudraksa.
RUDRAKSA=
 rudra berarti Siwa dan aksa berarti mata, sehingga arti keseluruhannya 
berarti mata Siwa, yang sejalan dengan mitologinya bahwa di suatu saat 
air mata Siwa menitik, kemudian tumbuh menjadi pohon rudraksa menyebar 
di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, Malaysia bahkan sampai ke Bumi 
Nusantara, yang popular dengan nama GANITRI atau GENITRI. Dalam bahasa 
latinnya disebut ELAEOCARPUS GANITRUS. Ada tiga macam jenis ganitri dan 4 jenis agak berlainan yang dinamai KATULAMPA.
RUDRAKSA
 = adalah buah kesayangan Siwa dan dianggap tinggi kesuciannya. Oleh 
karena itu rudraksa dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya,
 bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa (Siva 
Purana). Sebagai
 sarana japa atau dapat dipakai oleh seluruh lapisan umat atau oleh 
ke-empat warna umat, maupun oleh pria atau wanita tua ataupun muda.
Selain
 pengaruh spiritual/religius tersebut, kepada pemakai rudraksa juga 
dapat memberikan efek biomedis dan bio-elektomagnetis (energi), secara 
umum dapat dikatakan dapat memberi efek kesehatan, kesegaran maupun 
kebugaran. Hal ini terungkap dari buku tentang penyhelidikan secara 
mendalam terhadap keistimewaan rudraksa tersebut di India.
Untuk
 mendapat daya-guna sampai maksimal, tentu harus memenuhi etika dan 
syarat, apalagi untuk memperoleh manfaat-manfaat khusus, berkenaan 
dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki rudraksa sesuai dengan bentuk,
 rupa serta jumlah mukhi (juringan)-nya. Secara umum dapat disebutkan 
bahwa rudraksa harus tidak dipakai/dibawa ke WC, melayat, turut 
kepemakaman/crematorium, dan tidak dalam keadaan cuntaka (sebel), maupun
 sebel pada diri wanita. Sebelum dimanfaatkan sebaiknya tasbih genitri 
itu dipersembahkan di pura, kemudian dimohonkan keampuhannya denagan 
diperciki tirtha, yang berarti pemakaiannya melalui prosedur ritual. Hal
 itu ditempuh karena ber-japa dengan tasbih genitri bukan sekedar untuk 
menghitung-hitung, memakai rangkaian japa-mala rudraksa juga bukan 
sekedar asesori atau sebagai atribut status quo. Dengan ritual itu ingin
 dicapai kemantapan bathin yang berdimensi magis, dan memperlakukan 
japa-mala-rudraksa itu sebagai sarana sakral, di samping untuk 
kesehatan.
Yang
 dimaksud dengan etika berjapa, adalah termasuk hal-hal yang akan 
disebutkan berikut ini. Selama berjapa jagalah jangan sampai bagian 
bawah tangkainya terkulai begitu saja, apalagi sampai menyentuh tanah. 
Untuk itu perlu tangan kanan yang meniti butir genitri terangkat 
setinggi ulu hati dan bagian yang terjuntai ditadah dengan telapak 
tangan kiri. Ada juga dianjurkan, agar selama berjapa rangkaian rudraksa
 itu diperlakukan tertutup, bahkan diperlakukan dalam kantung khusus.
Melakukan
 japa dengan tasbih genitri sebaiknya dengan sikap bathin yang tenang, 
serta terpusatkan pada tujuan mantra, selagi ibu jari tangan kanan 
menggerakkan mala dibantu jari tengah dan satu persatu biji rudraksa itu
 akan melangkahi bagian ujung jari manis.
Jari telunjung maupun jari kelingking tidak diberikan tugas dan tidak menyentuh biji rudraksa.
Mala
 yang terdiri dari 108 biji rudraksa diuntai dengan benang katun/kapas, 
memiliki puncak yang diberi nama MERU . Rangkaian Japamala rudraksa ada 
juga diuntai dengan kawat, bahkan deberi berbagai variasi seperti emas, 
perak, tembaga, manik-manik yang berwarna-warni sesuai dengan “warna” 
pemakainya.
Melakukan
 japa mulai dari mala pertama di bawah Meru............. dan terus 
berakhir pada mala yang ke 108(terakhir). Kalau hendak melanjutkan lagi,
 maka mala yang terakhir tadi dianggap yang pertama digerakkan kembali 
(balik) arah, pantang melewati/menyebrangi Meru. Demikianlah 
berulang-ulang bolak-balik sampai mencapai jumlah yang dikehendaki.
MANTRA UNTUK BERJAPA
Kebiasaan
 berjapa dengan mala atau tasbih bagi umat Hindu di Indonesia nyaris tak
 dikenal, kecuali dikenal hanya dikalangan sulinggih yang memakainya 
sebagai pelengkap atribut dalam berpuja. Bahkan dikalangan beberapa 
generasi Hindu. Jika melihat umat agama lain sedang berjapa dengan 
mala/tasbih, tidak merasakan bahwa berjapa itu merupakan tradisi 
miliknya juga. Barulah pada penghujung abad XX ini, umat Hindu Indonesia
 melebarkan cakrawalanya terutama ke pusat kelahiran agama Hindu, dapat 
memungut kembali butir-butir Japa-mala yang sudah lama tercecer untuk 
dimanfaatkan kembali. Tidaklah berlebihan disebutkan di sini, bahwa kini
 sudah saatnya umat Hindu mengambil manfaat ber-japa dengan mala terutama yang terbuat dari rudraksa atau genitri.
MANTRA
 adalah kata suci atau bertuah yang dapat memberi pengaruh atau getaran 
yang bersifat magis, apabila disebutkan maupun dijapakan, baik secara 
ingatan (mansika), berbisik (upamsu), maupun dengan ucapan (wacika). 
Kata ataupun kata-kata bertuah itu antara lain:
BIJA
 AKSARA = Yang disebut juga BIJA MANTRA, adalah huruf,atau suku kata, 
ataupun unsur suku kata itu sendiri yang tak terpisahkan dari tuahnya 
yang bergetar abadi
NAMA-NAMA
 TUHAN= Bukan Tuhannya yang banyak. Tuhan hanya satu, tiada duan-Nya, 
Melainkan Brahman para cendekia yang bijaksana menyebut dengan berbagai 
nama.
PUJA TAWA = yang juga memiliki “nilai” mantra.
MANTRA-MANTRA:
Dengan
 memperbandingkan Bija aksara yang kita sudah dikenal dari dulu di 
Indoenesia dengan Bija mantra yang tersebut dalam buku-buku terbitan 
India boleh jadi Bija aksara itu juga bisa dipakai untuk mantra-mantra 
dalam ber-japa- mala.Yang jelas adalah Pranawa OM, Ongkara itu sendiri 
sebagai Udgita, disamping yang lain-lain seperti: dwi aksara/rwa 
bhineda, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, dasa aksara-bayu dan 
bija aksara lain yang menjadi pegangan para Husadawan. Ketidak tegasan 
ini tentu akibat dari pada “tidak” atau “belum” terbiasanya umat Hindu 
di Indonesia ber-japa-mala.
Tanpa bermaksud meremehkan diri, baiklah kita kutipkan beberapa mantra dari buku-buku terbitan India.
1.
 OM : Tuhan itu sendiri, merupakan sumber serta asal muasal yang ada, 
sehingga wajib kita mendekatkan diri kepadaNya, sembah sujud kepadaNYa 
dengan berserah diri sepenuhnya ....... dstnya.
2. KSHRAUM : bija mantra Narasimha (Narasinga) untuk mengusir, rasa takut dan cemas.
3.
 AIM (ENG) : bija mantra Saraswati, sebagai perkenan/restu bagi remaja 
putra-putri agar pandai dalam berbagai cabang pelajaran.
4.
 SHRI(SRI):bija mantra Dewi Laksmi (Laksmi), yang di Indonesia dikenal 
dengan nama Dewi Sri Mantra ini di-japa-kan seseorang untuk menuju 
kemakmuran dan kesenangan.
5.
 HRIM : bija mantra Bhuwana-ishwari, atau disebut juga mantra 
Maya.Kegunaannya diterangkan dalam Dewi Bhagwatma, bahwasanya seseorang 
bisa menjadi pemimpin dan mendapatkan seluruh yang diinginkan.
6. KLIM : bija mantra Raja Kama atau Dewa Kama untuk pemenuhan kemauan seseorang.
7. KRIM :Bija mantra Dewi Kali atau Durga untuk menghancurkan musuh dan memberikan kebahagiaan.
8.
 DUM : Bija mantra Durga, marupakan ibunya cosmos untuk mendapatkan 
perlindungan dari padaNya, serta memberikan apa saja yang diinginkan 
manusia.
9.
 GAM, GLAUM/GAM GLAUM : Bija mantra Ganesha untuk menyingkirkan 
rintangan serta mengembangkan sukses. Ga berarti Ganesha, La berarti 
sesuatu yang dapat meresap dan Au berarti cerdas atau daya pikir yang 
cemerlang.
10.LAM : Bija mantra Pertiwi (Pritvi), sebagai pertolongan yang menjamin hasil panen baik.
11.YAM : Bija mantra Bayu (Vayu), untuk mejamin hujan.
Masih
 banyak lagi bija mantra yang lain, terutama yang bersifat khusus, namun
 yang disajikan di atas sudah memadai, apalagi ditambah nama-nama Tuhan 
beserta ista dewata, awatara, maupun puja stawa, antara lain:
OM
 SRI MAHA GANAPATAYE NAMAH; OM NAMAH SIWAYA; OM NAMO NARAYANAYA; HARI 
OM; HARI OM TAT SAT; OM SRI HANUMAN NAMAH; OM SRI SARASWATYE NAMAH (OM 
SRI SARASWATYAI NAMAH) ; OM SRI DURGAYAI NAMAH; OM SRI LAKSHMYAI NAMAH; 
OM SO HAM; OM AHAM BRAHMANASMI; OM TAT TWAM ASI; OM HARE RAMA HARE RAMA 
RAMA RAMA HARE HARE; HARE KRISHNA HARE KRISHNA KRISHNA KRISHNA HARE 
HARE; OM SRI RAMA; JAYA RAMA; JAYA JAYA RAMA.
Puja Gayatri atau Sawitri juga dapat di-japa-kan dengan sangat populer dan mahautama. Demikian juga Mahamertyunjaya.
MANTRA MAHA-MRITYUNJAYA
OM TRYAMBAKAM YAJAMAHE SUGANDHIM PUSHTIVARDHANAM;URVAARUKAMIVA BANDHANAAN MRITYORMUKSHEEYA MAAMRITAAT.
Penjelasan:
Mantra
 Maha-Mertyunjaya (Mrityunjaya) adalah mantra untuk pang-hurip-an 
(anuggrah jiwa-kehidupan). Pada saat-saat kehidupan sangat komplek 
dewasa ini, kecelakaan karena gigitan ular, sambar petir, kecelakaan 
kendaraan ber-motor/sepeda, kebakaran, kecelakaan di air dan udara dan 
lain-lainnya.
Disamping
 itu, mantra tersebut mempunyai daya perlindungan yang besar, 
penyakit-penyakit yang dinyatakan tak tertangani secara medis (dokter), 
dapat diobati dengan mantra ini, apabila mantra di-uncar-kan (disebutkan
 secara manasika, upamsu maupun vacika) dengan sungguh-sungguh, jujur 
dan taat. Mantra tersebut merupakan senjata melawan penyakit-penyakit 
serta menaklukan kematian.
Mantra
 Mrityunjaya adalah juga mantra- moksha, mantra-Nya Siwa. Selain memberi
 berkah mohksha, mantra itu juga memberi berkah kesehatan (Arogya), 
panjang umur (Dirgha Yusa), kedamaian (shanty), kekayaan (Aiswarya), 
kemakmuran (Pushti), dan memuaskan (Tushti)
Pada
 saat ulang tahun mantra ini di-japa-kan sebanyak 100 ribu kali atau 
paling tidak 50.000 kali, haturkan makanan kepada orang-orang miskin dan
 orang sakit, akan mendapat berkah seperti tersebut di atas.
sumber: mailing list HDnet (IMW Yasa)
sumber :: http://www.puragunungsalak.com/2010/06/pengenalan-dan-etika-japamala.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar