Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, ada
seorang Abdi Kerajaan yang bernama I Gede Basur yang rumahnya ada di
salah satu Desa di Daerah Pengunungan, yaitu di Desa Karang Pengastian.
Pada waktu I Gede Basur masih hidup pernah menulis buku lontar
Pengeleakan dua buah yaitu Lontar Durga Bhairawi dan Lontar Ratuning
Kawisesan.
Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti. Ngereh
artinya proses perubahan wujud dari manusia menjadi Leak. Leak adalah
wujud siluman jahat (setan). Desti adalah perwujudan binatang siluman
manusia dalam bentuk binatang yang aneh dan seram.
Adapun Tehnik Ngereh Leak Desti tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu Tatwa,
Etika, Upakara. Jadi walaupun menjalankan ilmu pengeleakan mereka tetap
melaksanakan tiga hal yaitu :
a. Tatwa berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan harus menyadari tentang ajarannya.
b. Etika berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan pasti akan melaksanakan mengenai tehnik-tehnik tingkah lakunya.
c. Upakara berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan sudah
tentunya melaksanakan upakara-upakara seperti menghaturkan sesajen
(banten dalam bahasa bali) sebagai sarana upakara.
Sebelum Ngereh (proses perubahan wujud) menjadi Leak Desti, orang yang
menjalankan pengeleakan terlebih dahulu melaksanakan beberapa tahapan
kegiatan dengan melakukan berbagai permohonan. Adapun tahapan-tahapan
kegiatan ngereh tersebut adalah sebagai berikut :
a. Memasang pasirep yaitu mengeluarkan ilmu kesaktian agar semua mahluk hidup yang ada di sekitarnya semuannya tertidur lelap.
b. Mencari tempat ngereh yaitu mencari tempat yang paling strategis dan
aman seperti misalnya di Kuburan, pada perempatan jalan, atau bisa di
sawah yang penting tempat tersebut sepi.
c. Mempersiapkan upakara berupa sarana banten yang berkaitan dengan ilmu pengeleakan.
d. Melakukan permohonan-permohonan agar proses ngereh dapat berlangsung
sesuai dengan yang diinginkan kepada Tuhan dalam segala bentuk
menifestasinya yaitu :
Pertama mohon kepada yang bernama Butha Peteng (perwujudan unsur alam
gelap) untuk memagari tempatnya agar siapa yang lewat supaya tidak
melihat, dilanjutkan kemudian dengan memasang ilmu pengreres (ilmu
penakut) agar yang lewat menjadi ketakutan.
Kedua mohon kepada yang bernama Butha Keridan (perwujudan unsur alam
terbalik) agar pengelihatan orang bisa terbalik yaitu yang di atas bisa
terlihat di bawah.
Ketiga secara berturut-turut mohon kepada yang bernama Sang Kala
Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan terakhir mohon
kepada yang bernama sang Butha Kapiragan, agar segala permohonannya bisa
terkabul.
Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan Butha
Kapiragan adalah nama-nama Butha Kala yang menguasai Ilmu Pengleakan.
Keempat setelah proses permohonan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan
muspa (sembahyang) dengan posisi badan terbalik yang dilanjutkan dengan
nengkleng (berdiri dengan kaki satu) berjalan nengkleng mengitari
"sanggah cucuk" (tempat menaruh sesajen yang terbuat dari batang bambu),
sesuai dengan tingkat ilmunya dengan posisi putaran berjalan nengkleng
kearah kiri.
Dengan melalui ngereh tersebut diatas maka orang yang menguasai ilmu
pengeleakan bisa berubah wujud sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang
dikuasainya yaitu kalau tingkat Desti maka orang tersebut bisa berubah
wujud menjadi binatang yang aneh-aneh dan seram, begitulah ilmu
pengeleakan yang dikuasai oleh I Gede Basur sehingga dia diantara para
abdi kerajaan yang paling ditakuti dan paling diandalkan sebagai Tabeng
Dada.
Guru Ilmu Pengiwa leak Desti
Sebagai seorang Abdi Kerajaan I Gede Basur sangatlah menguasai ilmu
pengiwa leak desti. Ilmu pengiwa adalah ilmu kewisesan dari aliran kiri
atau aliran ilmu hitam.
Atas kedigjayaannya tersebut menyebabkan I Gede Basur menjadi sangat
terkenal sampai ke pelosok desa. Sehingga saat itu banyak sekali orang
yang datang ke rumahnya. Ada yang datang dengan tujuan untuk belajar
ilmu pengiwa, dan banyak pula yang datang hanya untuk mendapat pekakas
atau penganggo atau jimat-jimat sakti atau bertuah sesuai dengan
keinginan orang tersebut.
Banyak pula yang datang untuk mendapatkan sarana pengleakan di tempat
I Gede Basur yang sakti. Sarana tersebut seperti : pengasren
(semacam pelet), yakni sarana magis agar orang yang bersangkutan menjadi
kelihatan selalu cantik dan tampan, awet muda dan mempunyai daya pikat
yang tinggi. Dengan sarana tersebut orang akan mudah dapat memikat lawan
jenis yang dikehendakinya. Kemudian ada pula yang disebut dengan
pengeger (semacam penglaris) yang dapat menyebabkan si pemakai menjadi
laris dalam berdagang atau berusaha, dengan harapan si pemakai menjadi
semakin kaya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengasih-asih, yakni
sarana yang dapat membuat orang menjadi jatuh cinta kepada orang yang
menggunakan sarana tersebut. Atau dapat pula disebut dengan sarana
guna-guna. Seperti misalnya : guna lilit, guna jaran guyang, guna
tuntung tangis, dan lain-lain macamnya. Ada pula yang datang ke tempat I
Gede Basur hanya untuk mendapatkan penangkeb, yakni sarana gaib atau
mistis agar orang lain atau orang banyak menjadi tunduk. Dengan demikian
orang tersebut dapat mengendalikan, mengarahkan, menguasai, atau
menyetir orang lain atau orang banyak sesuai dengan keinginannya. Orang
yang telah terkena ilmu penangkeb tak ubahnya seperti kerbau yang
dicocok hidungnya, sehingga akan menjadi penurut sesuai perintah atau
keinginan dari orang yang mengenakan ilmu penangkeb.
Dengan tersohornya I Gede Basur tersebut menyebabkan orang-orang secara
silih berganti datang ke rumahnya di Desa Karang Pengastian.
Lebih-lebih pada dewasa bagus atau pada hari Kajeng Kliwon misalnya,
sangat banyak dan ramai orang datang ke rumahnya dengan berbagai macam
keperluan. Diceritakan kemudian I Gede Basur juga mempunyai banyak
sisya atau murid yang belajar ilmu pengiwa leak desti.
I Gede Basur disertai oleh seluruh murid-muridnya tekun melakukan
dewasraya, mohon kehadapan Hyang Betari Durga agar pengiwa yang mereka
pelajari menjadi sakti dan manjur. Didahului dengan melakukan penyucian
diri. Kemudian tatkala malam mereka menuju Kayangan Pengulun Setra,
memohon kehadapan Hyang Betari bersaranakan sesajen seperti : sebuah
daksina, uang kepeng, canang, ketipat kelanan, arak berem, injin, dupa,
menyan, canang lenge wangi burat wangi, nyahnyah, gegringsingan,
geti-geti, dan pisang mas. Kemudian duduk bersila di hadapan kayangan,
bersemedi memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, idep atau
pikiran, memohon anugrah kehadapan Hyang Nini Betari Bagawati atau Ida
Betari Durga Dewi.
Kewisesan yang diporolehnya kemudian disebarluaskan secara rahasia
dengan menggunakan sarana seperti mas, mirah, tembaga, kertas merajah,
dan lain-lain. Ada pula dalam bentuk bebuntilan (bungkusan kecil yang
berisikan sarana tertentu). Si pemakai pengiwa tersebut juga diberikan
rerajahan ongkara sungsang (ongkara terbalik) pada lidah, gigi, kuku,
atau bagian tubuh tertentu lainnya. Atau ada pula penggunaan pengiwa
dengan jalan maled (menelan sarana yang diberikan oleh gurunya). Sarana
pengiwa tersebut dibakar sebelumnya, kemudian abunya dibungkus dengan
buah pisang mas, dan kemudian ditelan. Setelah itu didorong masuk ke
dalam tubuh dengan menggunakan tirta atau air suci.
Selain dari itu, ada pula praktek pengiwa yang disebut pepasangan, yakni
sarana yang ditanam pada tempat tertentu oleh orang yang bisa melakukan
pengiwa. Tujuannya adalah untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang
diingini si pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia yang dibungkus,
atau berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada pekarangan rumah orang
yang akan dijadikan korban. Dengan adanya pepasangan itu menjadikan
situasi rumah tersebut menjadi agak lain, agak seram, penghuninya
sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.
Yang lebih hebat lagi ada yang disebut dengan sesawangan, yakni
kemampuan seseorang yang mempraktekkan ilmu pengiwa hanya dengan
membayangkan wajah atau hanya nama dari calon korban. Sesawangan juga
disebut dengan umik-umikan atau acep-acepan atau doa-doa. Dengan
kemampuan ini seseorang yang melaksanakannya dapat mencapai korbannya,
walaupun dia bersembunyi di balik dinding beton yang tebal dan kuat.
Adanya ilmu ini makanya sering kita mendengar kalimat seperti berikut :
“walaupun engkau berlindung di dalam gedong batu yang terkunci rapat,
aku akan dapat mencapaimu”. Mungkin ilmu sesawanganlah yang digunakan
orang tersebut.
Kemudian kalau berbicara mengenai ilmu kewisesan khususnya pengiwa, maka
tidak lengkap kalau tidak mengetahui ilmu cetik atau cara meracun orang
atau korban. Cetik tersebut identik dengan racun. Ada cetik sekala dan
ada cetik niskala. Cetik sekala diartikan bahwa meracun dengan
menggunakan sarana tertentu yang tampak nyata, seperti cetik gringsing,
cetik cadang galeng, cetik kerikan gangsa, dan lain-lain. Kemudian cetik
niskala adalah meracun korban atau orang dengan sarana yang tidak
kelihatan. Cetik ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu
pengiwa yang sudah tinggi. Hanya dengan memandangi makanan atau minuman
saja, maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dikehendaki. Jadi
boleh dibilang cetik ini tanpa memerlukan sarana, karena tidak
kelihatan.
Tingkatan pengiwa pun sebenarnya sangat banyak. Namun karena suatu
kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang yang mengetahui.
Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut
sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan
tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu
perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan
penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali
lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena
memang begitulah hukumnya.
Dari sekian macam ilmu pengiwa, ada beberapa yang sering disebut seperti
Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang, dan Aras
Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam
ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang
Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dewa, Jaka Tua, I
Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana,
Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag.
Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I
Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai
mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila
dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Di samping itu, ada tingkatan pengiwa yang mungkin digolongkan tingkat
tinggi seperti : Surya Gading, Brahma Kaya, I Wangkas Candi Api, I Ratna
Pajajaran, Garuda Emas, Siwer Emas, Baligodawa, Surya Emas, dan Sang
Hyang Aji Rimrim.
Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam ilmu pengiwa seperti :
Kereb Akasa, Pudak Setegal, Geni Sabuana, Siwa Wijaya, Cambra Berag,
Rambut Sepetik, Maduri Geges, Pengiwa Swanda, Brahma Maya Murti, Aji
Calon Arang, Ratna Geni Sudamala, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang,
Pangenduh, Desti Angker, Gringsing Wayang, Pasinglar, Pengembak Jalan,
Pemungkah Pertiwi, Sang Hyang Sumedang, I Tumpang Wredha, Penyusup Bayu,
Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Ratu Sumedang, Sang Hyang
Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya
yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah. Hanya mereka yang
mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Demikian I Gede Basur menerapkan dan menyebarkan ilmu pengiwa kepada
murid-muridnya yang semakin hari semakin bertambah banyak. Semua dari
mereka telah menjadi orang-orang yang tangguh dalam urusan pengiwa.
I Gede Basur ini orangnya sangat terkenal karena kesaktiannya dengan
ilmu pengeleakan desti, dan dia pernah membuat geger orang-orang desanya
karena serangan leak destinya, yang mengakibatkan warga desanya menjadi
sangat ketakutan tidak berani keluar malam hari karena siapa yang
keluar pada malam hari akan diserang oleh leak desti yang bisa mengisap
darah manusia.
Untuk lebih jelasnya tentang kisah Leak Desti I Gede Basur, ceritanya adalah sebagai berikut :
I Gede Basur dalam sehari-harinya hidup sebagai Abdi Kerajaan Udayana
yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, yaitu Tabeng artinya pelindung dan
dada artinya dada pada tubuh manusia.
Tabeng Dada ini adalah sejenis Pasukan Khusus Kerajaan yang tugasnya melindungi Raja apabila ada marabahaya.
I Gede Basur ini punya putra satu orang yang bernama I Wayan Tigaron yaitu merupakan putra kesayangan dan putra satu-satunya.
I Wayan Tigaron jatuh cinta pada Ni Wayan Sukasti yaitu putri dari I
Made Tanu, walaupun I Wayan Tigaron ini orangnya sangat kaya, anak
seorang abdi kerajaan, tetapi cintanya tetap di tolak oleh Ni Wayan
Sukasti karena alasannya ia sudah punya pacar yang barnama I Nyoman
Tirta yaitu seorang pemuda tampan dan bijaksana.
Karena cintanya ditolak oleh Ni Wayan Sukasti, maka I Wayan Tigaron sangat marah dan hal ini disampaikan kepada orang tuanya.
I Gede Basur selaku orang tuanya sangat sayang pada anaknya dan
menyarankan kepada I Wayan Tigaron agar mencari dan mencintai gadis lain
karena di desanya banyak juga gadis-gadis cantik yang tidak kalah
cantiknya dengan Ni Wayan Sukasti.
Dinasehati oleh orang tuanya, malah I Wayan Tigaron mengancam mau bunuh diri apabila tidak bisa kawin dengan Ni Wayan Sukasti.
Melihat anaknya nekad seperti itu, maka I Gede Basur terpaksa mengajak
anaknya I Wayan Tigaron untuk langsung melamar Ni Wayan Sukasti ke
rumahnya.
Setelah sampai di rumah Ni Wayan Sukasti, maka I Gede Basur langsung di
sapa oleh I Made Tanu yaitu orang tua Ni Wayan Sukasti dan menanyakan
tentang maksud kedatangannya.
I Gede Basur menjawab bahwa kedatangannya kesini adalah tidak ada lain
untuk melamar Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri I Wayan Tigaron.
I Made Tanu tidak berani membuat keputusan dan soal cinta tetap
menyerahkan penuh pada putrinya Ni Wayan Sukasti, sedangkan Ni Wayan
Sukasti sendiri tidak keluar-keluar dari kamarnya karena ia tidak
mencintai I Wayan Tigaron.
Belum selesai pembicaraan I Gede Basur dengan I Made Tanu, tiba-tiba
datang dua orang laki-laki yang ternyata I Nyoman Tirta bersama ayahnya.
Baru yang dilihat I Nyoman Tirta datang kemudian Ni Wayan Sukasti dengan
segera keluar dari kamarnya menumui I Nyoman Tirta dan menyapa dengan
ramah dengan berkata Kakak Nyoman baru datang dan langsung
mempersilahkan kepada I Nyoman Tirta dan Ayahnya duduk.
Melihat kelakuan Ni Wayan Sukasti demikian, maka I Gede Basur merasa
tersinggung dan sangat marah karena merasa dipermalukan di depan orang
yang bernama I Nyoman Tirta.
I Gede Basur karena merasa dirinya sebagai Abdi Kerajaan yaitu sebagai
Tabeng Dada Kerajaan, maka dia maunya memaksa I Made Tanu agar
menyerahkan putrinya Ni Wayan Sukasti supaya menikah dengan I Wayan
Tigaron.
I Made Tanu tidak bisa berbuat apa-apa karena soal cinta dia menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya.
Ni Wayan Sukasti menolak mentah-mentah lamaran paksa dari I Gede Basur,
sehingga hal inilah yang membuat I Gede Basur menjadi marah dan
penasaran.
I Gede Basur mengancam Ni Wayan Sukasti dengan serangan desti yang
membahayakan hidupnya dan I Gede Basur tanpa pamit kepada I Made Tanu
langsung mengajak putranya I Wayan Tigaron pulang ke rumahnya.
Leak Aneka Rupa
Diceritakan ketika tengah malam tiba I Gede Basur memanggil istri dan
putranya I Wayan Tigaron untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang
ada di sebelah utara). I Gede Basur kemudian memberikan wejangan kepada
semuanya “wahai istri dan anakku, karena Ni Wayan Sukasti tidak mau
kawin dengan I Wayan Tigaron, maka kita semua sepatutnya waspada dan
hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan
menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku I Gede Basur akan
menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang
dulu dianugrahkan oleh Ida Betari Durga Bhairawi, akan aku turunkan
kepadamu. Ilmu ini akan aku masukkan ke dalam jiwa ragamu sekalian. Ilmu
ini sangatlah rahasia, dan tidak boleh dibicarakan atau digunakan
sembarangan”. Demikian I Gede Basur memulai acara tersebut.
Untuk persiapan tersebut, I Gede Basur menyuruh istri dan anaknya untuk
membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan
ngulengin kayun (berkonsentrasi), pada saat itu I Gede Basur memulai
prosesnya. Istri dan anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis atau
magis) yang berisikan aksara atau tulisan sakti, sambil berkomat-kamit
mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian
buku-buku (persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (kening), dan
paban (ubun-ubun). Dilengkapi pula dengan sesaji yang diperlukan.
Setelah semua dirajah, maka I Gede Basur kemudian kembali berkata
“sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang aku katakan mengenai ilmu yang
aku turunkan kepadamu sekalian. Agar tidak salah dalam menggunakannya
dikemudian hari. Kamu istriku, aku berikan ilmu yang bernama Aji
Ratuning Kawisesan. Sangat sakti ilmu tersebut. I Wayan Tigaron aku
turunkan ilmu yang bernama Aji Siwer Emas. Demikian adalah ilmu
kewisesan pengiwa yang aku turunkan kepadamu. Ilmu ini adalah ilmu atau
ajian yang sangat rahasia. Hanya kita saja yang tahu semua ini, dan aku
harap tidak ada yang bercerita sembarangan mengenai ilmu yang kita
miliki”. Demikian I Gede Basur memberikan wejangan setelah menurunkan
ilmu tersebut dan mulai saat itu istri dan anaknya menjadi sisya atau
murid-muridnya.
Selain istri dan anaknya, I Gede Basur juga diceritakan mempunyai sisya
atau murid-murid sebanyak tiga puluh tujuh orang. Semuanya berasal dari
desa lain jauh dari Desa Karang Pengastian. Mereka diusir dari
desanya masing-masing karena kentara mempraktekkan ilmu pengeleakan di
desanya terdahulu. Setelah mereka diusir, kemudian mereka berkumpul dan
menjadi muridnya I Gede Basur. Mereka tersebut semuanya telah
menguasai ilmu kewisesan pengiwa dalam berbagai tingkatan. Mereka telah
melakukan ilmu desti, teluh, dan terangjana. Mereka telah lihai dalam
membuat cetik, menebar pepasangan, bebai, dan lain-lain. Murid-murid ini
sangatlah beraneka ragam kewisesannya.
Semenjak menginjakkan kakinya di Desa Karang Pengastian I Gede Basur
telah membentengi dirinya dengan berbagai gegemet (jimat) pelindung.
Demikian pula dengan pekarangan rumahnya yang penuh dengan berbagai
macam pelindung yang kekuatannya sangat tinggi. Berbagai jenis tumbal
rerajahan (pelindung) dipasang di tengah pekarangan rumah, di
angkul-angkul, dan lain-lain.
Dengan demikian orang yang ingin berbuat tidak baik akan melihat rumah
I Gede Basur dilindungi kerangkeng besi yang kokoh dan tidak bisa
ditembus. Sehingga orang tersebut akan mengurungkan niatnya untuk
mencelakai si pemilik rumah. Atau dengan tumbal rerajahan yang digelar
tersebut mengakibatkan rumah tersebut kelihatan kosong atau tak
berpenghuni, atau rumah I Gede Basur tampak seperti lapangan luas yang
kosong. Ada pula tumbal rerajahan yang memungkinkan orang masuk ke dalam
pekarangan rumah, namun setelah sampai di dalam pekarangan mereka
menjadi bingung mencari jalan keluar. Sehingga orang yang berbuat jahat
tersebut menjadi ketahuan atau kentara, dan tampak kebingungan. Ada pula
pengaruh tumbal rerajahan yang menyebabkan orang telah masuk ke
pekarangan rumah, kemudian mengalami tipuan pandangan, seolah-olah ia
berada dalam air yang dalam. Sehingga orang tersebut bergelagat seperti
berenang di laut. Padahal itu, hanyalah sebuah tipuan maya, akibat dari
tumbal rerajahan yang digelar.
Setelah beberapa lama semenjak I Gede Basur menurunkan ilmunya kepada
anggota keluarganya, kini ia akan merencanakan untuk mengadakan
pembalasan sesuai dengan apa yang ia katakan di hadapan Ni Wayan Sukasti
beberapa hari sebelumnya. I Gede Basur mulai menyiapkan segala sesuatu
sesuai yang diperlukan untuk tujuan tersebut. termasuk pula persiapan
mental mereka yang akan diterjunkan dalam aksi balas dendam terhadap
orang-orang yang ada di rumah Ni Wayan Sukasti. I Gede Basur berencana
mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya dengan melibatkan seluruh
sisyanya. Setelah semuanya merasa siap kini I Gede Basur hanya tinggal
menunggu hari yang baik untuk hal tersebut.
Setelah beberapa lama menunggu, maka hari baik yang ditunggu-tunggu
telah datang. Hari tersebut adalah hari Weraspati Kajeng Kliwon nemoning
tilem (hari kemis kliwon bertepatan dengan bulan mati). Pada mala hari I
Gede Basur yang diiringi oleh istri, anak, dan seluruh sisyanya
berangkat menuju ke setra atau kuburan yang letaknya jauh di pinggir
Desa Karang Pengastian.
Suasananya sangat gelap, karena bertepatan dengan tilem, suasana sunyi
senyap karena mereka berjalan di tengah malam. Sangat terasa keangkeran
malam itu. Ditambah pula dengan kuburan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon
besar seperti pohon beringin, kepuh, kepah, pule, dan tanaman jaka
tunggul. Suasana menjadi mencekam yang terasa membuat bulu kuduk seluruh
badan menjadi berdiri.
Sesampainya di setra, rombongan I Gede Basur mengambil tempat di tengah
tunon atau pemuwunan (areal pembakaran mayat). Di kegelapan malam mereka
mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan ilmu pengeleakan
tingkat tinggi dan memuja Ida Betari. I Gede Basur duduk bersila di
tengah-tengah memusatkan pikiran, menyatukan bayu, sabda, idep, mohon
restu dan anugrah kehadapan Ida Betari agar pengiwa yang digelar menjadi
sempurna dan sakti mandraguna.
Sambil mata terpejam, I Gede Basur berkomat-kamit mengucapkan
mantra-mantra sakti dan rahasia. Demikian pula I Gede Basur didampingi
oleh para sisyanya yang semua telah mengenakan kamben duur entud (kain
setinggi lutut) dengan rurub putih merajah (kain putih bergambar
mistis). Para sisya semuanya mengelilingi I Gede Basur sambil
menari-nari, dangkrak-dingkrik, dangklang-dengkleng, dengan rambut
megambahan (terurai). Semuanya larut dalam konsentrasi dan juga tarian
mereka masing-masing, sampai akhirnya penestian mereka semuanya tasak
(mencapai puncak). Ketika semuanya telah mencapai puncaknya, maka
semuanya telah nyuti rupa (berubah wujud) menjadi berbagai macam rupa
leak sesuai dengan tingkat ilmu yang dikuasai oleh murid-murid I Gede
Basur. Ada yang berwujud bojok (kera), bangkal mecaling renggah (babi
bertaring panjang), kambing, gegendu kebo mebatis telu (kerbau berkaki
tiga), gegendu jaran mebatis tetelu (kuda berkaki tiga), cicing bengil
(anjing kurus dan kotor), kreb kasa (untaian kain panjang putih), bade
(usungan jenasah bertingkat), dan berbagai macam rupa yang menyeramkan.
Para leak semuanya menjadi semakin riang gembira menari-nari ketika
hujan gerimis turun dan membasahi tanah yang kering. Bau angid (gurih)
yang muncul dari tanah kering tersiram air tersebut menambah gembiranya
para leak.
Pada puncaknya, I Gede Basur kemudian terbangun dari duduknya dan
menuding kepada semua leak muridnya dan berkata “wahai engkau muridku
semuanya yang telah berubah wujud, laksanakanlah tugasmu sekarang sesuai
dengan rencana kita. Pergilah ke rumah Ni Wayan Sukasti sekarang juga.
Hancurkan Sukasti dan keluarganya itu, sakiti semua yang hidup disana
agar mereka semua mampus. Berbuatlah sesuka hatimu disana. Tebarkan
cetik, bebai, upas, wisya dan lain-lain yang kau miliki, sehingga mereka
semuanya menjadi menderita. Keluarkan segala ilmu leak yang telah aku
ajarkan kepadamu. Aku akan mengawasi engkau semua dari sini”. Demikian
perintah I Gede Basur kepada seluruh sisyanya. Segera semuanya
berubah menjadi endih (bola api) beraneka warna dan beterbangan ke
angkasa pergi menuju Desa tempat tinggal Ni Wayan Sukasti dan
keluarganya.
Apa yang menjadi ancaman I Gede Basur menjadi kenyataan yaitu pada hari
ketiganya Ni Wayan Sukasti diserang desti sehingga ia jatuh sakit yaitu
perutnya dirasakan sangat sakit kemudian muntah darah dan akhirnya lemas
tak sadarkan diri.
I Made Tanu orang tua Ni Wayan Sukasti sangat panik dan kemudian dia
minta tolong kepada seorang Balian (dukun) untuk mengobati penyakit
Ni Wayan Sukasti.
Balian ini memang kebetulan datang ke rumah Ni Wayan Sukasti dan
berlagak sombong bahwa dia adalah seorang Balian Sakti yang bisa
menyembuhkan segala penyakit termasuk penyakit kena leak Desti.
Karena penyakit Ni Wayan Sukasti sangat parah, maka Balian tersebut
tidak bisa menyembuhkan Ni Wayan Sukasti dan malah Balian itu sendiri
diserang oleh Leak Desti, sehingga Balian tersebut sakit perut dan
muntah darah tak sadarkan diri.
Ni Wayan Sukasti punya Kakek yang sering dijuluki dengan nama Kakek Wiku
yaitu seorang Kakek yang menguasai ilmu pengobatan Usada Bali (Obat
Tradisional Bali) dan sangat sakti.
“Siat Peteng” Mengadu Kewisesan
Diceritakan I Made Tanu minta bantuan kepada ayahnya yaitu Kakek Wiku
dan telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu
kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di rumah Kakek
Wiku dan diberikan pengarahan mengenai rencana ada pertempuran dengan I
Gede Basur dan sisyanya di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk pertempuran telah tiba. Menjelang tengah
malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam,
sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan yaitu berupa jimat-jimat
magis yang diyakini bisa melindungi dirinya. Bagi mereka yang menguasai
ilmu kanuragan tinggi, langsung berangkat melalui udara, terbang menuju
Desa Karang Pengastian. Sedangkan yang lainnya melakukan perjalanan
darat secara beramai-ramai berjalan di tengah kegelapan malam. Kakek
Wiku sendiri tidak ikut pada saat itu, karena masih melakukan tapa
samadi dalam rangka ngeregepan kesaktian yaitu menunggalkan bayu
(tenaga), sabda (suara), idep (pikiran) untuk membangkitkan ilmu
kesaktian dalam dirinya.
Karena kesaktian I Gede Basur, maka kedatangan I Made Tanu dan
teman-temannya telah diketahui sebelumnya. Sehingga I Gede Basur
memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya untuk bersiaga di perbatasan
Desa Karang Pengastian. I Gede Basur beserta sisyanya telah bersiaga
menyambut kedatangan para rombongan I Made Tanu yang akan menggempur I
Gede Basur dan sisyanya. I Gede Basur telah menggelar semua ilmu yang
dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Karang Pengastian
dengan penyengker atau pagar gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat
menembus pertahanan tersebut.
Pada tengah malam, sampailah para rombongan I Made Tanu di perbatasan
Desa Karang Pengastian. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka
miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut
kemudian dihadang oleh para murid I Gede Basur, sehingga terjadilah siat
peteng (pertempuran ilmu kanuragan di malam hari) yang sangat dasyat.
Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya
gemerlap aneka warna di angkasa yang saling berkelebat,
berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit Karang Pengastian pada
mala itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan.
Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama siat
peteng berlangsung, serangan dari para rombongan I Made Tanu dapat
dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid I
Gede Basur. Para rombongan I Made Tanu berhamburan berlari meninggalkan
arena pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelematkan
diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak Desti I Gede Basur di
Karang Pengastian, maka para rombongan I Made Tanu memutuskan untuk
berbalik dan kembali ke rumahnya, serta melaporkan semuanya kehadapan
kakek Wiku yaitu Kakek Ni Wayan Sukasti.
Kekalahan I Made Tanu menyebabkan pasukan leak Desti bergembira. Mereka
semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa.
Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara
bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam
hari tersebut, mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola
api saling berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Kembali secara sekilas diceritakan keadaan di rumah Ni Wayan Sukasti.
Para lelaki desa yang dewasa setiap hari berjaga-jaga pada malam hari.
Sedangkan yang perempuan tinggal di rumah dan berkumpul dalam jumlah
banyak. Karena tidak ada yang berani tidur atau tingal di rumah
sendirian. Sebab suasana di rumah Ni Wayan Sukasti pada saat itu masih
sangat mencekam. Lolongan anjing masih terus terdengar di malam hari.
Mereka terus berjaga-jaga dan selalu memuja kebesaran Ida Sang Hyang
Widhi Wasa agar segera dibebaskan dari masalah penyakit desti tersebut.
Demikian situasi di rumah Ni Wayan Sukasti setiap hari.
Kembali sekarang diceritakan mengenai perjalanan I Made Tanu beserta
dengan rombongan yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah sampai
di rumah Kakek Wiku. Segera mereka menghadap Kakek Wiku dan melaporkan
segala sesuatunya.
Melihat rombongan I Made Tanu yang datang tampak utuh semuanya, Kakek
Wiku tampak merasa gembira. Namun ketika mendengar semua laporan dari
I Made Tanu, Kakek Wiku menjadi kaget dan semakin susah hati
beliau.
I Made Tanu berkata kepada ayahnya (Kakek Wiku) : “Mohon ampun ayah,
saya permaklumkan bahwa murid-murid I Gede Basur benar-benar teguh
(kuat). Rombongan kami tidak mampu mengalahkannya.” Demikian permakluman
I Made Tanu kehadapan ayahnya Si Kakek Wiku.
Kakek Wiku yang bijaksana kemudian bersabda “wahai Made Tanu beserta
semua para kanti, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya.
Janganlah berputus asa. Karena masih ada waktu dan masih ada cara lain
utnuk menumpas I Gede Basur beserta dengan antek-anteknya. Gempur
kembali I Gede Basur. Kalau tidak mampu di malam hari, gempurlah
ia di siang hari. Kalau tidak bisa dengan seratus orang, maka gempurlah
ia dengan seribu orang”. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning
ring payudhan (kewajiban dalam pertempuran). Dalam Shanti Parwa
disebutkan bhawa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir
muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan
menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman.
Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya
yang digolongkan yadnya utama”. Demikian kakek Wiku memberikan wejangan
kepada I Made Tanu dan para kantinya (teman- temannya) yang hampir putus
asa karena kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, I Made Tanu beserta dengan para kantinya
merasakan hidup kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan
bebayon (tenaga dalam), sehingga semangatnya tumbuh kembali. I Made Tanu
kemudian berkata : “Baiklah ayahnda, sangat senang saya mendengar
wejangan tersebut. Sekarang saya sadar dan yakin akan diri. Saya akan
mebela pati dan metoh urip (membela mati-matian dan menyabung nyawa)
menghadapi I Gede Basur beserta dengan murid-muridnya”. Pernyataan
I MadeTanu tersebut dibarengi oleh seluruh para kantinya.
“Baiklah kalau begitu, Aku sebagai kakek Ni Wayan Sukasti sangat
menghargainya. Untuk penyerangan kali ini aku akan membantunya dengan
beberapa sissya kakek yang terpilih sebanyak dua ratus orang, sedangkan
aku sendiri yang akan menghadapi langsung I Gede Basur.” Semua sisya
ilmu putih akan mengawal dan membantu I Made Tanu dalam menumpas
kejahatan yang dilakukan oleh I Gede Basur.
Setelah semua keputusan Kakek wiku disampaikan, para sisya ilmu putih
kemudian membubarkan diri untuk persiapan penyerbuan kembali pada
keesokan harinya. Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan
seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain.
Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang gaib sebagai
sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan
dari tempatnya yang pingit (tempat rahasia). Yang tidak kalah
pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan minuman yang
diperlukan selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung,
maka mereka pun istirahat agar tenaganya cukup kuat untuk penyerangan
besok.
Hari yang ditentukan untuk penyerangan telah tiba, maka pada tengah
malam penyerangan segera dilakukan dan pertarunganpun terjadi pada malam
hari dengan ilmu kesaktiannya masing-masing, yang mana Ilmu Kesaktian I
Gede Basur lebih rendah daripada Ilmu Kesaktian Kakek Wiku sehingga I
Gede Basur pada pertarungan tersebut kalah.
I Gede Basur Haturkan Sembah
Dalam keadaan yang tidak berdaya kemudian I Gede Basur mengucapkan
kata-katanya terakhir : “Wahai Kakek Wiku dan Made Tanu, sudahi
peperangan ini sampai disini, sekarang mari kita bersatu kembali
semuanya karena kita adalah satu dan tunggal kawitan. Setelah sekian
lama kita bersengketa dan bermusuhan kini mari kita bersatu kembali.
Wahai Made Tanu, semua yang saya lakukan ini adalah karena saya ingin
agar anak saya I Wayan Tigaron bisa mendapatkan gadis idamannya Ni Wayan
Sukasti untuk dijadikan istri.
Demikian juga untuk mengingatkan kepada seluruh manusia agar selalu
ingat dalam persaudaraan dan tidak melupakan kawitannya”. “Pada akhir
dari hidup saya di dunia ini, saya mohon ampun kehadapan Made Tanu.
Karena saya telah berbuat yang menyebabkan Ni Wayan Sukasti sakit. Saya
harus menebus semua dosa-dosa yang telah saya perbuat, dan menanggung
semua karmapala atas semua yang telah saya perbuat. Itulah yang dapat
saya katakan, dan sekarang saya mohon pamit”. Demikian I Gede Basur
menyampaikan kata-kata terakhirnya kehadapan semua yang ada di sana,
sambil menyakupkan kedua belah tangannya. Ketika itu pula I Gede Basur
dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hujan gerimis
mengiringi kepergian I Gede Basur ke Sunialoka. Suasana yang tadinya
penuh dengan kebencian dan kemarahan, kini berubah menjadi suasana haru.
Kematian I Gede Basur kemudian membuat geger Desa Karang Pengastian.
I Gede Basur dinyatakan bersalah atas semua tingkah lakunya
tersebut.
Berdasarkan atas hal tersebut, maka Kakek Wiku memerintahkan agar
memperlakukan jasad I Gede Basur untuk dibuatkan upacara sebagaimana
mestinya. Demikian pula seluruh murid-murid I Gede Basur yang semuanya
adalah rakyat Desa Karang Pengastian yang gugur semuanya segera
dibuatkan upacara. Kakek Wiku menitahkan untuk melaksanakan upacara
Pitra Yadnya atau pengabenan secara bersama-sama atau ngerit.
Mengingat tugas yang dititahkan oleh Kakek Wiku telah selesai, para
sisya Kakek Wiku berniat kembali pulang ke rumah masing-masing, Kakek
Wikupun tidak berkeberatan. Namun sebelum bertolak, Kakek Wiku berkata
kepada para sisya : “Wahai seluruh sisya, sekarang musuh telah dapat
ditumpas. Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada para
sisya. Sekarang saya akan menyelesaikan urusan upacara ini semuanya
terdahulu.
Sekarang diceritakan mengenai kesibukan dari seluruh masyarakat yang
akan menyelenggarakan upacara pembersihan terhadap jasad para korban
yang meninggal dalam suatu ngaben massal atau ngerit. Para sisya Kakek
Wiku dan para murid I Gede Basur yang meninggal dalam pertempuran
mendapat perlakuan upacara yang sama. Semua jasadnya akan dibakar di
setra agung untuk mempercepat pengembalian jasadnya ke alam menjadi
unsur-unsur alam yang disebut dengan Panca Maha Buta yang terdiri dari
bayu (angin), apah (air), teja (panas atau sinar), pertiwi (tanah), dan
akasa (ruang kosong). Demikian agar jiwa mereka mendapatkan kesucian dan
ketenangan, untuk menuju ke alam sunya (akhirat) sesuai dengan karmanya
masing-masing selama hidup di mercapada (dunia ini).
Sebab para krabat dan handai taulan akan mengantar si meninggal hanya
sampai di tempat pembakaran mayat atau kuburan. Setelah itu akan
membalikkan badan dan meninggalkan si meninggal. Hanya subhakarma dan
asubhakarma (perbuatan baik dan perbuatan buruk) yang pernah dilakukan
yang akan menemani si meninggal menuju alam berikutnya. Sedangkan badan
atau paras muka yang cantik atau tampan akan menjadi hancur, harta
benda, dan lain-lain semuanya tidak bisa dibawa serta. Hanya karmalah
yang akan menjadi pengikut setia. Demikian diungkapkan dalam pustaka
suci Sarasamuscaya.
Diceritakan sangat ramai sekali yadnya yang dibangun masyarakat Desa
Karang Pengastian secara bersama-sama dan bergotong royong. Berbagai
macam petulangan (wadah tulang) dibuat, demikian pula dengan bade
(usungan jenasah) dibuat dengan seindah mungkin. Ada bade bertumpang
pitu (tingkat tujuh), tumpang sanga (tingkat sembilan), ada lembu hitam,
lembu putih, ada pula berbentuk singa. Semuanya dibuat seindah mungkin
yang dibuat oleh para undagi (tukang wadah atau tukang bade). Dengan
beraneka warna kapas yang ditempatkan pada sarana bade tersebut.
Para wanita sibuk mempersiapkan tetandingan-tetandingan yang diperlukan
untuk upacara ngaben tersebut. Setelah semuanya selesai dipersiapkan
maka upacara pengabenan tersebut pun diselenggarakan dengan mengambil
tempat di pemuwunan setra agung. Gambelan angklung, gong saron, dan
beleganjur sudah saling bersahutan dari sejak pagi. Semua wadah, lembu,
di berangkatkan menuju ke tempat upacara. Sangat ramai kalau
diceritakan. Ketika itu dipentaskan tari ketekok jago, sebagai tari
pengantar sang jiwa menuju ke suniakola. Ida Sang Sulinggih memuja
kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan memberikan penyucian kepada
semua arwah yang diaben. Dan pada akhir upacara tersebut, semua
tulang-tulang dihanyutkan ke segara (laut).
Berselang satu bulan tujuh hari semenjak upacara pengabenan tersebut,
kemudian dilakukan upacara memukur atau atma wedana atau meligia, sampai
akhirnya para pitra (atma) yang disucikan tersebut dilinggihkan
(distanakan) di merajan rong tiga atau tempat suci keluarga
masing-masing. Dengan demikian, rentetan upacara Pitra Yadnya tersebut
telah rampung. Dengan harapan semua yang telah meninggal mendapatkan
kesucian dan ketenangan, dan tidak ada lagi atma kesasar (roh
gentayangan). Di samping itu pula, bagi mereka yang masih hidup agar
diberkahi kesejahteraan.
Terhadap sisya yang masih hidup, namun mengalami luka-luka juga
mendapatkan perawatan. Mereka semua diberikan obat, termasuk pula mereka
yang terkena imbas ilmu hitam ketika siat peteng terdahulu. Semuanya
mendapatkan perhatian sungguh-sungguh, atas kebijaksanaan dari Kakek
Wiku. Diceritakan setelah beberapa lama kemudian, semua prajurit yang
terluka dan kena imbas ilmu hitam mengalami kesembuhan seperti sedia
kala atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa (atas kebesaran
dan kemahakuasaan Tuhan).
Diceritakan Ni Wayan Sukasti bahwa, dengan meninggalnya I Gede Basur,
maka Ni Wayan Sukasti akhirnya sembuh seperti sedia kala tanpa diobati
dan kemudian dilangsungkan dengan acara pernikahan antara Ni Wayan
Sukasti dengan I Nyoman Tirta.
Leak Desti yang merupakan warisan dari I Gede Basur, sampai saat
sekarang ilmu tersebut masih berkembang di Bali, karena ada generasi
penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar