Calonarang merupakan kisah yang sangat terkenal di Bali
yang berlatar belakan kerajaan Kediri di Jawa pada saat diperintah oleh
Prabu Erlangga. Prabu Erlangga merupakan Raja Kediri keturunan dari
Raja Bali saat itu yaitu Prabu Udayana dan Ratu Warmadewa.
Dimulai dari kisah lima orang Maharesi yaitu yang sering dibebut Sang Panca Tirta yang terdiri dari:
- Mpu Gnijaya
- Mpu Semeru
- Mpu Ghana
- Mpu Kuturan
- Mpu Bharadah
Mpu Gnijaya, Mpu Semeru dan Mpu Ghana
melakukan Dharma Yatra ke Bali dan berstana di Pura Lempuyang (Mpu
Gnijaya), Pura Besakih (Mpu Semeru) dan Pura Dasar Buana Gelgel (Mpu Ghana).
Diceritakan
pada kisah kehidupan Mpu Kuturan terjadi kesalahpahaman dengan Istri
Beliau yang memperdalam aliran Bairawa Kala Cakra. Mpu Kuturan ,atas
undangan Raja Bali saat itu, akhirnya pergi ke Bali
melakukan Dharma Yatra sekaligus dan berstana di Pura Silayukti. Di
Bali Beliau melakukan pekerjaan yang sangat besar yaitu menyatukan
aliran-aliran keagamaan di Bali menjadi paham Tri Murti. Pesamuhan itu
sendiri dilaksanakan di Pura Samuan Tiga - Gianyar. Di Jawa Beliau
meninggalkan seorang Istri dan seorang anak gadis yang bernama Diah
Ratna Menggali.
Sepeninggal Mpu Kuturan ke Bali,
maka perhatian Prabu Erlangga kepada keluarga Beliau menjadi agak
berkurang. Diah Ratna Menggali sudah besar sehingga sudah cocok untuk
mendapatkan jodoh, tapi belum ada yang cocok untuk Beliau jadikan suami.
Dari kondisi tersebut maka Istri Mpu semakin mendalami aliran Bairawa
Kala Cakra yang menyebabkan wilayah Kediri menjadi sangat panas dan mengakibatkan kekeringan.
Akibat
dari ilmu Bairawa Kala Cakra memang sangat menggiriskan hati, kerajaan
Kediri yang tadinya adem ayem tentram raharja menjadi terkena wabah
kekeringan dan penyakit. Menyadari kondisi ini, Prabu Erlangga segera
mengutus seorang Mahapatih Beliau yang bernama Patih Madrim untuk
melakukan penyelidikan.
Patih
Madrim mendapatkan kesimpulan bahwa wabah ini adalah akibat dari
kesempurnaan ajian Bairawa Kala Cakra yang digelar oleh Mpu Istri (Dayu
Datu) di desa Dirah. Mendapati hal itu Patih Madrim melakukan
penyerangan ke Desa Dirah, dalam pertarungan tersebut Patih Madrim dapat
dikalahkan oleh Mpu Istri.
Mengetahui
kekalahan dari Patih Madrim, maka Prabu Erlangga meminta bantuan dari
Ida Mpu Bharadah, yang merupakan adik dari Mpu Kuturan, agar menangani
masalah tersebut.
Mpu
Bharadah kemudian mengustus Putra Beliau yang bernama Mpu Bahula untuk
pergi ke desa Dirah untuk menjenguk Saudara Sepupu Beliau (Diah Ratna
Manggali) dan sekaligus mencari menjajagi apakah cocok dijadikan
pendamping hidup.
Kedatangan
Mpu Bahula di desa Dirah sangat menyenangkan Mpu Istri dan Diah Ratna
Manggali, karena kecocokan antara mereka berdua maka Mpu Bahula kemudian
menikahi Diah Ratna Manggali (Keturunan dari Mpu Bahula & Diah
Ratna Manggali menjadi cikal bakal keluarga Brahmana di Bali).
Setelah
pernikahan itu, maka kondisi kerajaan Kediri menjadi tenang kembali,
Raja Erlangga menjadi senang karenanya. Sebagai seorang menantu maka Mpu
Bahula diperkenankan untuk ikut mempelajari Bairawa Kala Cakra,
disinilah terjadi kesalahpahaman antara Mpu Baradah dan Mpu Istri (Dayu
Datu, yang merupakan ipar Mpu Baradah)
Beliau
Berdua sepakat untuk mengadu ilmu, dalam pertarungan batin tersebut,
Mpu Istri (Dayu Datu) bisa dikalahkan oleh Mpu Baradah. Karena kekalahan
tersebut maka Mpu Istri menyingkir ke daerah Wetan (Barat). Inilah
sebabnya di daerah Wetan banyak berkembang berbagai macam ilmu.
Kitab
dari Bairawa Kala Cakra terbang dan jatuh di daerah Selat Duda
(Karangasem bali), menyebabkan berbagai macam penugrahan bisa dimohonkan
di tempat ini. Kain rurub dari Mpu Istri terbang dan jatuh di daerah
Sanur, menyebabkan di Sanur sangat mudah untuk belajar Ilmu tersebut,
cukup di kepalanya ditutup dengan rurub, maka seseorang yang berniat
belajar ilmu sudah bisa. Salah seorang murid dari Mpu Istri pergi ke
daerah Kalimantan, yang menyebabkan tumbuh berkembangnya ilmu di
pedalaman Kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar