DHARMA GANDUL
Kisah Berdirinya Negara Islam di Demak dan Mundurnya/Surutnya Negara Majapahit, serta Duduk Perkaranya Orang Jawa Meninggalkan Agama Ciwa-Budha lalu Memeluk Agama IslamDisalin ulang oleh Preti-Bunga tahun 2003, teks asli berbahasa Jawa Tengahan. Babon/induk asli peninggalan “K.R.T.Tandanagara” Surakarta cetakan yang ke-3 tahun 1957 toko buku “Sadu Budi” Solo (dengan bahasa Jawa Tengahan).
Pada suatu hari Dharmagandul bertanya kepada Klamwadi: demikian: “Asal mulanya itu bagaimana sih, orang Jawa meninggalkan Agama Budha dan masuk Agama Islam? Maka jawab Ki Klamwadi: “saya sendiri juga tidak begitu mengerti, akan tetapi saya sudah pernah diwejang/diberitahu oleh guruku; yang jelas dapat dipercaya tentang ceriteranya, orang Jawa meninggalkan Agama Budha berganti Agama Rasul”. Dharmagandul menyela: lalu bagaimana ceriteranya? Ki Klamwadi menyambung: “masalah itu memang perlu untuk diutarakan agar semua orang mengetahuinya serta memahami, begini kisahnya.
Pada jaman dahulu kala, negara Majapahit itu nama aslinya adalah Majalengka, maka sebutan Majapahit itu adalah nama sindiran/peribahasa, bagi yang belum mengetahui duduk perkaranya dan kisah didalamnya dianggap nama Majapahit itu nama yang sebenarnya padahal bukan di Negara Majalengka yang bertahta sebagai raja terakhir bergelar Prabu Brawijaya yang ke-5. Pada waktu itu Sang Prabu sedang gundah gulana/bimbang karena Sang Prabu beristrikan putri dari Cempa/Indo Cina/Vietnam yang mana putri Cempa tersebut beragama Islam; disaat memadu kasih dengan sang prabu, wanita tersebut selalu membujuk kepada beliau tentang keluhuran Agama Islam dan menguraikannya secara luwes dilakukan terus menerus yang akhirnya sang prabu bersimpati kepada ajaran Agama Islam tersebut.
Pada suatu saat keponakan dari pada Putri Cempa yang bernama Raden Rakhmat datang berkunjung ke Majalengka serta mohon ijin kepada raja, agar diperbolehkan menggelar agama Rasul/Islam; tanpa pikir panjang beliau meluluskan permintaan Sayid Rakhmat, yang walhasil-Sayid Rahmat berdukuh di desa Ngampeldenta wilayah Surabaya. Tak terkisahkan lagi maka banyak orang Jawa yang masuk Islam, terutama para pendatang dari luar sebagian besar para ulama Islam menghadap sang prabu agar dapat bertempat tinggal di bagian pesisir/pantai bagian utara pulau Jawa. Kesemuanya itu diluluskan permintaannya tanpa memperhitungkan apa akibatnya dikemudian kelak. Mereka berkembang secara sporadis makin lama menguasai daerah pantai utara Pulau Jawa.
Konon tersebut nama Sayid Kramat yang menurut pengakuannya adalah masih keturunannya Nabi Mohammad dari Arab yang bercokol di daerah ini pula yang bernama desa Benang daerah Tuban, spontanitas mengangkat dirinya sebagai guru dari orang Islam yang ada di Jawa, wilayah mereka dari Blambangan sampai ke barat di daerah Banten. Agama Budha di Jawa sebenarnya sudah berakar, akan tetapi karena pengaruh mereka dari segi provokasi sangat mendasar, maka dapat mekikas serta mempengaruhinya sehingga misi mereka sangat berhasil.
Kendati agama Budha telah berkembang di Pulau Jawa ± 1000 tahun, dengan pedoman atau hakekat menyembah Budi-Hawa, yang artinya adalah Budi itu zat Hyang Widhi. Hawa itu kehendak, manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya bersifat melaksanakan kodratnya dan budi yang menggerakkan begitulah pedoman bagi orang Jawa yang beragama Budha.
Sang Prabu Brawijaya mempunyai putra satu orang pria yang dilahirkan dari putri Cina/Cempa. Bahkan lahirnya ada di kota Palembang, diberi nama Raden Patah. Setelah menginjak dewasa Raden Patah bersama saudaranya yang lain ayah akan tetapi satu ibu bernama Raden Kusen datang menghadap ke Majalengka. Setibanya dihadapan raja, maka sang prabu sangat sulit untuk menyebut panggilan bagi putranya sendiri, segala pertimbangan telah dipecahkan dengan para mentri Hulubalang beserta seluruh kerabat kerajaan. Andaikata beragama Budha sebutanya memakai Bambang, bila Arab dengan sebutan Sayid/Sarif, andaikata menurut ibunya maka dinamakan/sebutan Kaotiang karena darah Cina. Kesimpulan secara bulat diberi nama Babah-Patah. Dengan keadaan terpaksa Raden Patah menerima sebutan itu yang sebenarnya sangat tidak disetujuinya, karena merasa takut tidak enak menolak kehendak kesatu raja dan kedua orang tua, maka dengan kemunafikannya terpaksa diterimanya disaksikan para nayaka.
Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di kota Demak, bahkan dikawinkan dengan cucu dari pada Kyai Ageng Ngampel dan bertempat tinggal di desa Bintoro kotanya Demak. Tidak ketinggalan pula saudaranya Raden Kusen diangkat menjadi adipati di daerah Terung dan diberikan nama gelar Raden Aryo Pacattanda, kesemuanya ini tidak berobah agama (Islam), bahkan sang prabu penuh dengan ketulusan hati menganjurkan kepada putranya Raden Patah serta Raden Kusen, bahwa ini tidak mempengaruhi kepada agama yang dianutnya bahkan raja menganjurkan untuk mengembangkan dan membinaya. Maka tak ayal lagi kesempatan ini dimanfaatkan oleh para ulama Islam di pantai Utara sampai ke Jawa Barat/Banten, seumpama cendawan tumbuh di musim hujan berkembang dan berpacu dengan waktu. Menurut pengamatan yang diketahui oleh Sang Prabu para Ulama dan Santri Islam pada waktu itu masih berprilaku baik dan wajar, bahkan beradaptasi dengan umat Budha serta meniru-niru agar dianggap agama tersebut dianggap serupa/sama hanya lain tuntunan saja. Disinilah kelihaian dari Agama Islam untuk mengelabuhi agar umat Budha tidak merasa curiga dan menaruh syah wasangka terhadap perkembangan Agama Islam tersebut di atas.
Alkisah pada waktu itu Sunan Benang pergi ke Kediri diiringi dua orang abdinya, setelah sampai di sebelah utara Kediri ternyata terhalang sungai Berantas dan kebetulan banjir, maka menyeberanglah ketiganya sampai ke sisi timur sungai. Perjalanan ini memang ada tujuan untuk meneliti sampai dimana masyarakat sungai Berantas menganut Agama Islam atau belum, ternyata menurut penelitian masih sangat sedikit inilah yang mengebabkan S.Benang kecewa dan kepada Ki Bandar, bahkan Ki Bandar mengatakan bahwa agama masyarakat ditempat tersebut beragama Kalang yang berorientasi kepada Ki Bandung Bendowoso sekaligus dianggap sebagai nabinya; setiap hari Jumat Wage Uku Wuye dianggap hari rayanya. Maka Sunan Benang menganalisa secara apa adanya sesuai dengan pola pikir yang dia miliki, bahwa masyarakat tersebut sulit untuk dikaji tentang sebenarnya yang mereka anut ibarat gedah yang artinya putih tidak hitampun tidak pula, maka tanah di sebelah utara kota Kediri dinamakan kota Gedah.
Sunan Benang berbicara kepada pembantunya agar mencarikan air imbon (artinya air ditampungan untuk mandi dan minum maupun keperluan spiritual), sebab di sungai berantas masih banjir airnya, masih keruh apalagi untuk diminum sudah barang tentu tidak mempunyai syarat, maka disuruhlah ke desa-desa sekitarnya untuk keperluan minum atau Wudhu (akan sembahyang menurut ajaran Islam diharuskan berwudhu dengan air bersih terlebih dahulu). Maka bergegas menuju ke salah satu desa dan ada sebuah rumah yang rasanya sepi hanya dihuni oleh seorang anak perawan kebetulan sedang menenun, ia mengatakan minta air imbon yang bening dan bersih. Karena anak perawan tersebut terkejut mendengar permintaan maupun postur tubuh laki-laki tersebut, lalu mempunyai anggapan akan menggoda bahkan mungkin akan memperkosanya. Maka secara tegas dan berani menjawabnya bukankah anda tadi telah melewati sungai? Apalagi di sini tidak pernah menampung air, memang ada air yang tersimpan disini akan tetapi kencing saya itu bilamana anda kepingin minum?.
Selain santri tersebut (sebutan bagi ulama Islam) mendapat jawaban yang sangat menjengkelkan, dengan penuh penyesalan serta mengomel sambil berjalan dan berakhir segala kejadian diadukan kepada majikannya ialah Sunan Benang. Tidak ayal lagi maka Sunan Benang sangat marah dan langsung mengeluarkan kutukannya sebagai berikut “semoga ditempat tersebut mahal air dan perawan/jejaka tidak laku kawin kecuali sudah menjadi perawan/jejaka tua”. Kata sahibul hikayat islam maka mendadak sungai yang mengalir ke daerah Gedah menjadi mengecil dan sungai Berantas mengalir ke desa lain di sekitarnya sehingga banyak menimbulkan kerugian bagi penduduk. Karena pekarangan tegalan dan halaman orang diterjang air yang mendadak tergulung melewatinya membuat resah masyarakat; perihal yang demikian itu tidaklah dihiraukan oleh S. Benang malah melanjutkan perjalanannya ke Kediri.
Terkisahkan makhluk astral/demit/gamang yang bernama Nyai Plencing bercokol di dalam sumur Tanjungtani bersama anak cucunya, hal ihwal di atas telah dimengerti oleh anak cucu Nyai Plencing tentang peristiwa yang menimpa desa Gedah sampai dari pada tingkahlaku S.Benang. Dengan kebulatan Nyai Plencing beserta anak dan cucunya mengadakan serbuan terhadap diri S.Benang; akan tetapi kesemuanya itu kandas oleh karena Sunan Benang mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan bagi dirinya. Akhirnya Nyai Plencing dan anak cucunya melarikan diri dan melaporkan kejadian ini kepada rajanya yang berada di wilayah Kediri ialah sebuah kerajaan demit bernama: Selabale, rajanya bernama Buta Locaya, kedudukannya sekitar kaki gunung Wilis, sebenarnya Buta Locaya itu pada jaman dahulu kala, adalah patih dari Sang Prabu Jayabaya nama aslinya adalah Kyai Daha. Oleh karena sang prabu berkenan mengambil namanya untuk dipakai nama kotanya (kota Daha), maka Kyai Daha diganti oleh prabu Jayabaya menjadi Buta Locaya sekaligus diangkat menjadi patih. Sebutan Kyai disini adalah sebagai penjaga anak cucu kaum kerabatnya.
Kemudian Sang Prabu menuju ke tempat tinggalnya Kyai Daka saudara dari Kyai Daha, maka setibanya beliau ditempat tersebut disambutnya dengan meriah serta banyak beberapa suguhan yang dihaturkan terhadap sang Prabu beserta para prajuritnya maka sebagai imbalan dari beliau terhadap Kyai Daka namanya diambil sebagai nama sebuah desa dan diganti nama Kyai Ninggulwulung bahkan diangkat sebagai Senopati perang.
Sepeninggal prabu Jayabaya bersama putrinya Ni Mas Ratu Pagedongan meninggalkan kerajaan Daha maka Kyai Buta Locaya (Kyai Daha) dan Kyai Tunggulwulung (Kyai Daka) turut pula menghilang kembali ketempat asalnya dan merajai orang-orang Bunian/Samar/Astral. Ni Mas Ratu Pagedongan menjadi raja Bunian di seluruh nuswa Jawa, meliputi lautan selatan kotanya di segara Kidul dengan sebutan Nimas Ratu Angin-angin. Kyai Buta Locata di Selabale dan Kyai Tunggulwulung ada di gunung Kelut menjaga kawah/lahar.
Pada saat duduk disinggasana dihadap patihnya Ki Megamendung dan kedua orang putranya yang bernama Panji Saktidiguna dan Panji Sari Laut. Pada saat mereka sedang berada di Balairung istana serta mengadakan sarasehan antar para nayaka, mendadak dikejutkan datangnya Nyai Plencing dan mengadukan hal ikhwalnya serta tingkah laku Sunan Benang yang berani merusak segala tatanan manusia dan Bunian bahkan menyengsarakan dan mengutuk secara sembarangan yang bukan pada tempatnya, Ki Buta Locaya setelah mendengar pengaduan Nyai Plencing amatlah murkanya maka diajaknya seluruh kerabatnya utuk mengadakan perlawanan terhadap tindakan tirani/tak terpuji dari Sunan Benang, setelah mereka bergerak sampai di desa Kukum, Kyai Buta Locaya berubah sebagai manusia dan menyamar bernama: Kyai Sombre dan mencegat datangnya Sunan Benang di bawah pohon sambi.
Tak lama kemudian Sunan Benang datang dari arah utara, bahkan sudah mengetahui bahwa yang mencegat dirinya di bawah pohon sambi adalah raja para dedemit/bunian/gamang, segera Sunan Benang mengeluarkan kekuatanya secara gaib, hal demikian segera diimbangi oleh Kyai Buta Locaya; keadaan kedua tokoh tersebut memang seimbang akan tetapi yang tidak mampu menerima ajian yang bagaikan bara panasnya adalah para raja: jim-pri-dedemit, terpaksa melarikan diri menghindar sejauh mungkin, lain halnya dengan pengiring kedua orang dari S. Benang, mereka jatuh pingsan tak sadarkan diri. Begitu serunya mereka berdua saling mengadu kesaktian yang akhirnya Kyai Sambore (Buta Locaya) mengeluarkan ajian yang berpengaruh pada lingkungan sekitarnya menjadi dingin bagaikan membeku. Untuk sementara waktu, untuk sementara waktu mereka menghentikan pertarungannya lewat kesaktian ajian masing-masing.
Dengan nada lirih Sunan Benang menyapa Kyai Sambore (Buta Locaya), engkau mencegatku serta memakai nama samaran Sombre segala, apakah engkau mendapatkan berkah keselamatan? Serentak Buta Locaya terkejut karena diketahui penyamarannya, maka balik bertanya: “mengapa anda mengetahui tentang diriku yang sebenarnya” jawab Sunan Benang: “yah! Memang aku mengetahui akan keberadaanmu jika dirimu adalah rajanya para jim dan peri yang menguasai wilayah Kediri dan sekitarnya” kembali Kyai Locaya bertanya “paduka itu adalah orang apa dan dari mana asalnya, melihat cara berpakaian yang anda kenakan sangat berbeda dengan umumnya masyarakat di Jawa bahkan pating kedodor tidak karuan seperti belalang kadung.
Sunan Benang menjawab “ aku adalah bangsa Arab, namaku Sayid Keramat dan rumahku di Benang wilayah Tuban, tentang perjalananku akan Ke Kediri guna melihat petilasan/bekas kerajaan sang prabu Jayabaya tempatnya itu di sebelah mana? Maka Buta Locaya menjawab antara lain sebagai berikut: “di sebelah timur sana ada sebuah desa Menang namanya kraton dan pasanggrahan juga sudah tidak ada; petamanan Pagendawati kepunyaan Ni Mas Ratu Pagedongan beserta Pesanggrahan Wanacatur sudah tidak ada lagi, yang ada hanya nama sebuah desa, dahulu kalanya sirna tersiram dan tertimbun pasir dari letusan gunung Kelut. Lalu saya berganti bertanya, mengapa anda membuat sengsara anak cucu adam, misalnya mengutuk para jejaka dan perawan tidak laku kawin kalau belum menjadi tua serta memberi nama sembarangan suatu wilayah menjadi kota gedah juga memindah aliran sungai yang menyebabkan di daerah ini menjadi langka air bukankah itu cara yang tidak terpuji? Ibarat anda adalah seorang ulama, lalu yang pangeran patokan hukum apa menjadikan anda bertindak sewenang-wenang, istilah menghukum orang tanpa dosa?
Maka Sunan Benang: “sebabnya disini aku namakan kota Gedah, karena orang-orang disini agamanya tidak hitam maupun tidak putih tetapnya beragama biru atau disebut agama Kalang. Adanya saya kutuk mahal air, karena sewaktu saya meminta air tidak diberi bahkan dimaki, maka aliran sungai berantas yang sebenarnya tetap mengalir melewati daerah ini saya geser aliranya ke tempat lain sehingga ditempat ini mahal air; disamping itu saya minta air imbon kepada salah satu sanak perawan yang sedang beranjak dewasa kontan kutukan saya berlaku atas segalanya.
Kembali ki Buta Locaya menyangkal; “itu namanya tidak sebanding dengan kutukan paduka, karena yang salah adalah satu orang mengapa seluruh masyarakat dibuatnya menderita oleh karenanya, harap direnungkan. Apabila hal ini diadukan kepada yang mempunyai negara/raja, paduka akan mendapat hukuman yang setimpal bahkan mungkin lebih berat, karena membuat resah dan sengsara masyarakat, langkah paduka ini adalah menyimpang dari pada pangeran agama apa saja yang tergelar di bumi ini, kita ini adalah titah Sang Hyang Manon. Paduka bukanlah seorang raja, tetapi sok berkuasa bahkan mengganggu ketenangan orang beragama, itu namanya durhaka dan jahil.
Tukas Sunan Benang: “biarpun kau laporkan Raja Majalengka sekalipun aku tidak akan takut” Ki Buta Locaya setelah mendengar uacapan yang demikian itu sangat marah lalu berkata sangat ketus: “ucapanmu itu bukan tata kalimat ahli praja kata-katamu persis seperti orang liar / urakan, membanggakan punya kesaktian, merasa didampingi para malaikat dan merasa dikasihi oleh Sang hyang Widhi lalu berbuat sewenang-wenang maunya sendiri, jangan dianggap engkau saja yang memiliki kesaktian. Di tanah Jawa ini masih banyak yang melebihi dirimu hai S.Benang, maka sudah sepantasnyalah mendapatkan kasih dari Dewa karena berperilaku bijaksana serta welas asih terhadap sesama, lain halnya engkau yang bertindak menyimpang dari peraturan agama tidak ubahnya sebagai iblis berbadan manusia. Karena nyatanya engkau dari Arab yang sesuatunya berbeda, baru digoda anak kecil saja sudah marah, bahkan sebutan sunan yang engkau sandang tidak ada artinya sama sekali, karena tidak sesuai dengan harkat dan derajat yang engkau miliki, sudah sepantasnya engkau seorang adonis.
Jika memang engkau seorang Sunan yang sejati, menurut ajaran apapun pasti menyimpan budi yang luhur dan bijaksana; akan tetapi kenyataan yang saya amati secara langsung, engkau tidak memiliki sifat-sifat seorang sunan bahkan sebaliknya sifat iblis yang engkau miliki sehingga dalam kisah perjalanan hidupmu seakan-akan membuat neraka sendiri bila mana sudah jadi maka engkau akan memasukkanannya dan kerkubang di dalamnya karena tingkahlaku tidak terpuji.
Cobalah camkan baik-baik hai S.Benang saya ini bangsanya jim/kajiman/bunian/gamang, toh masih menjaga kesejahteraan manusia, lalu anda sebagai manusia menjaga apa? Bahkan sebaliknya merusak tatanan yang sudah ada apalagi akan di tanah kelahiran sendiri/perantauan di negeri orang seharusnya engkau bisa menyelaraskan dengan keadaan di sini, tetap sudahlah saya meminta dengan hormat, agar sesuatu yang telah direka oleh kutukanmu itu, supaya dikembalikan sebagaimana aslinya seperti aliran sungai yang telah bergeser arah sehingga merusak dan membuat masyarakat menjadi sengsara. Bilamana anda tidak mau mengembalikan semua yang telah saya sebutkan tadi, maka semua manusia di pulau Jawa yang beragama Islam, akan saya teluh/teranjana biar mereka semua tupas habis karena saya akan minta bantuan tentaranya Kanjeng Ratu angin-angin yang menguasai Samudera Selatan.
Melihat gelagat yang sangat mengkawatirkan maka Sunan Benang berkata lirih mengingat apa yang telah diperbuat memang sangatlah keliru, apabila dipandang sebagai seorang ulama yang katanya terpandang: “hai Buta Locaya, saya ini bangsa Dunan yang tabu/pantang sekali untuk menarik lagi kata-kataku yang telah keluar, akan tetapi aku dapat membantai dengan waktu bilamana nanti sudah lewat 500 tahun. Maka segala yang telah aku ucapkan dan merupakan kutukan akan musnah dan kembali sebagaimana semula terutama aliran sungainya”. Setelah mendengar ucapan Sunan Benang yang demikian itu, maka ki Buta Locaya sangatlah murka: “ucapanmu itu sangatlah mustahil bila dirasakan, yang penting sekarangpun harus kau kembalikan seperti keadaan semula, kalau tidak mau akan kuikat sebagai seorang pesakitan” Sunan Benang menyela, “sudahlah Buta Locaya, tidaklah usah kamu bertanya atau menjawab apa-apa denganku karena aku akan segera pergi ke timur dan pohon sambi ini kunamakan pohon cacil yang artinya seperti anak-anak yang bertengkar antara kajiman dan manusia yang pecicilan saling berebut kebenaran; ditempat ini pula sebagai tempat peringatan kita berdua antara makhluk halus/jim dan manusia saling bertengkar, disebabkan oleh sungai. di sebelah utara dinamakan desa Singkal dan di tempat ini dinamakan desa Sombre, dibagian selatan desa dinamakan desa Kawarungan”. Sambil berkata demikian maka Sunan Benang melompat ke sebelah timur sungai. Akan tetapi ki Buta Locaya juga sigap dan segera mengejar jalannya S. Benang kemana ia akan menghilangkan jejak dan pergi menjauh.
Setelah beberapa saat, maka perjalanan Sunan Benang sampai di desa Bogem dan melihat arca kuda berkepala dua dan terletak di bawah sebuah pohon yang sangat rindang bahkan berbuah sangat lebat, namanya pohon trenggulun, maka S. Benang mengambil kudi/belakas kemudian memenggal kepala arca kuda tersebut. Tak lama kemudian Kyai Buta Locaya melihat kejadian tersebut, maka ia berkata sambil bersungut-sungut serta menjelaskan apa artinya dari arca kuda berkepala dua yang dibuat oleh prabu Jayabaya tersebut.
Pralambang arca kuda berkepala dua adalah, dikemudian hari akan terjadi sesuatu yang melambangkan hak antara pria dan wanita di jaman nusa srenggi yang pasti akan terjadi kodratnya. Sunan Benang bercampur geram berkata”kamu seorang kajiman yang berani bertengkar dengan manusia, maka namanya kumentus/sombong. “maka Ki Buta Locaya menyahut, “apasih bedanya kau dan aku, kalau engkau seorang sunan dan aku seorang raja bahkan sama-sama titah Hyang Widhi”.
Setelah Sunan Benang melakukan sembahyang, maka melaksanakan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya ke arah utara, akhirnya tiba di desa Nyahen. Di tempat iniah Sunan Benang tertegun melihat arca raksasa dalam posisi bersimpuh sebelah dan menghadap ke arah barat terletak di bawah pohon dadap yang kebetulan bunganya bertebaran mengguyur kearah arca tersebut, sehingga pandangan tertentu seakan memancarkan warna kemerah-merahan menyala. Sunan Benang membayangkan betapa besarnya bentuk arca tersebut. Karena tingginya sampai 16 kaki dan pinggangnya ± 10 kaki, bila diangkat oleh dua orang saja belum tentu mampu untuk memindahkannya ataupun menggesernya kecuali bila menggunakan alat tertentu. Maka dalam benaknya terbetik rasa kejahilannya, mendadak lengan sebatas bahu arca tersebut disempal hingga putus serta jidatnya dicolek hingga cacat. Ki Buta Locaya datang terlambat sehingga semua peristiwa yang telah berlangsung dan menghardiknya. “Hai Sunan Benang, nyata bahwa engkau itu adalah manusia jahil dan laknat, coba jawab apa maksudmu berbuat seperti itu, karena arca itu adalah buatan sang Prabu Joyoboyo?” maka jawab Sunan Benang, “sebabnya arca ini saya rusak supaya tidak disembah-sembah dan diberikan sesajian, karena bagi semua orang yang menyembahnya sama dengan kafir dan sesat karena menyembah batu/berhala namanya nerakalah tempatnya kelak.
Ki Buta Locaya berkata geram “tidak usah kau terangkan, maka semua orang Jawa disini sudah mengerti bahwa itu adalah arca batu yang tidak berdaya maupun memberikan berkah, karena para kajiman semua bertempat tinggal di kayu-kayu dan lain-lainnya dikumpulkan menjadi satu ditempat itu, jadi bilamana manusia akan mempergunakan kayu maupun yang lainnya di dalam kawasan itu akan aman karena tidak dihuni oleh makhluk astral seperti saya ini. Karena antara makhluk Tuhan antara yang satu dengan yang lainnya saling keterikatan, maka manusia secara sadar memberikan imbalan antara rasa terima kasihnya dan sekedar memberikan oleh-oleh yang sesuai dengan selera si penghuni arca tersebut. Bahkan tidak terikat harus menyembahnya; akan tetapi saling menghargai karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama. Engkau berani merusak tempat itu berarti penghuninya akan bertebaran kemana-mana, yang jelas suatu gambaran bahwa engkau adalah tidak berbudi, bahkan mencemari nama para ulama menjadi tercela serta menjadi cacat selamanya. Kembali bangsa Arab bersujud ke Ka’bah, bukankah itu juga batu? Apakah tidak lebih kesasar lagi? Ayo jawablah pertanyaan saya ini!” maka Sunan Benang menjawab: “Ka’batullah itu yang membuat memang nabi Ibrahim dan disitulah pusatnya bumi serta dibuatkan tugu batu, barang siapa menyembahnya, maka akan dihapuskan segala dosa dan nodanya selama orang itu hidup di dunia serta dicadangkan untuknya sorga serta beberapa kenikmatan yang akan diperolehnya, itulah menurut kitab saya”.
Mengingat uraian dari Sunan Benang yang tidak masuk akal bahkan seakan banyak menghayal maka jawabnya tegas: “buktinya apa kalau memang dikasihi oleh Tuhanmu bahkan dapat pengampunan segala macam dosa, apakah Tuhanmu telah memberikan tanda tangan dan cap jempolnya?” Sunan Benang segera menjawab singkat akan tetapi tidak mendasar: “dalam pangeran kitab saya, bila mana dikemudian hari dia meninggal akan mendapatkan kebahagiaan”.
Ki Buta Locaya berkata sambil mendengus: “lagi-lagi engkau menguraikan hal yang tidak masuk akal manusia, mungkin dapat diterima bagi manusia yang berpikiran dangkal dan picik. Bila diibaratkan orang Islam yang hidup pun tidak melihat dan mengetahui, apalagi kalau dia sudah mati. Dan sekarang nyatanya dia masih hidup menyembah Ka’bah batu bahkan yang ada di negerinya orang lain lagi; biarpun sembahyang siang dan malam kalau kenyataan masih sasar susur jalannya menyembah batu/Ka’bah yang nyata itu buatan manusia biarpun berderajat Nabi toh juga manusia tak ubahnya sama dengan kita semua kemudian saya bandingkan dengan prabu Jayabaya yang membuat arca yang indah dan berguna itu bahkan mempunyai kelebihan mengerti dengan masa yang akan datang, itulah tandanya Prabu Jayabaya dikasihi oleh Tuhan; karena buktinya para Nabinya orang Islam tidak ada yang dapat meramalkan masa yang akan datang. Adat kebiasaan orang di Nusantara terutama di Jawa itu sangat memulyakan apa yang menjadi warisan leluhurnya, untuk apa mempercayai kepercayaan Arab yang belum karuan duduk perkaranya apa itu bohong atau betulan; yang tidak habis saya mengerti dirimu sendiri yang jelas berasal dari negara Arab, di negeri orang kau berani berbuat sembarangan apalagi di negerimu sendiri, mungkin engkau termasuk orang yang tidak disukainya oleh masyarakatmu sehingga diusir dari negeri asalmu. Apalagi engkau disini lalu memamerkan segala kehebatannya di negerimu yang seperti neraka panasnya mahal air juga makanan, bobroknya masyarakat disana yang segala sesuatunya saya telah mengetahui dengan tuntas karena aku adalah raja dari pada jin yang jelas memiliki kesaktian. Bahkan yang paling rendah bagi suatu martabat bangsa adalah bahwa dinegerimu masih terdapat jual beli orang untuk dijadikan budak belian apakah ini tidak biadab dan masih banyak lagi yang kalau saya nalar adalah suatu kebobrokan akhlak dari pada masyarakat disana, sedangkan engkau disini mencuap-cuap menjual kecap tentang kebesaran dan kemulyaan negerimu, ini adalah suatu gambaran yang nyata. Secara tegas saya akan mengusir engkau dari sini agar tidak membuat cemar dan onar, bila engkau tidak mau akan ku panggilkan adikku yang berada di gunung kelud untuk segera meringkusmu dan memasukkanmu kedalam kawah/lahar. Atau engkau ikit aku bersarang dalam kerajaan Selabale sebagai muridku, engkau setuju? Untuk apa kamu keluyuran yang tidak ada ujung pangkalnya. Andaikata engkau aku bandingkan dengan prabu Jayabaya sangatlah jauh dalam segala hal, karena beliau dapat meramalkan segala jaman, bahkan jaman yang sangat jauh kedepanpun dapat dicetuskan dengan berbagai kiasan yang sangat menakjubkan; apakah kiranya engkau juga bisa, maka jelas engkau tidak akan mampu. Disinilah suatu daya nalar yang tinggi sebagai titah Sang Hyang Widhi yang sangat sulit dicari bandingannya. Maka lebih baik engkau segera pergi dari sini dari pada sampai aku berubah pikiran dan menjadi bringas, inilah peringatanku yang terakhir yang berlaku atas dirimu hai S. Benang!”.
Sunan Benang tidak menduga bahwa keadaannya akan menjadi terbalik bahkan dari negeri sendiri yang menjadi pecundang dan bulan-bulanan Ki Buta Locaya tentang situasi dan kondisi di negerinya (Arab), belum sempat ia mengeluarkan pendapat Ki Buta Locaya menyela “coba engkau bayangkan sejelek-jeleknya titah / mahkluk seperti saya ini adalah raja, segala kesenangan dan kemulyaan telah ku peroleh berkat ketekunan dan bhaktiku kepada Sang Hyang Widhi, lalu kemulyaanmu dimana? Nyatanya engkau sendiri keluyuran mencari pengaruh kesana kemari ditambah pula dengan tindakanmu yang tidak terpuji sebagai seorang ulama, merusak tatanan dan merombak agama orang lain tanpa dipikirkan segala akibatnya artinya engkau telah membuat lobang neraka sendiri yang telah selesai nanti engkau akan segera masuk didalamnya dan akan menjadi penghuni lestari selamanya”.
Secara sadar Sunan Benang berkata lirih: “baik Ki Buta Locaya, aku berikrar di sini di bawah pohon dadap dan engaulah yang menjadi saksi utamaku bahwa aku telah bertengkar denganmu dengan mengadu segala kesaktian maupun ilmu kanoragan sampai kepada lembaga pengetahuan yang hakekatnya memang sangat aku rasakan/resapi tentang segala kebenarannya, aku tidak malu terhadapmu tentang segala kekurangan ku dihadapan mu; nyatanya aku memang keliru dan kalah dalam hal tersebut di atas. Baiklah kita sudahi sampai di sini dan aku segera mohon pamit akan kembali ke Benang” kemudian Sunan Benang segera meninggalkan tempat itu; mengatahui cara yang arif yang telah dilakukan Sunan Benang terhadap Ki Buta Locaya maka Sunan Benang bebas dari pengejaran yang dilakukan terus menerus oleh Ki Buta Locaya dan serempak pula ia beranjak bersama prajuritnya yang berjumlah ribuan itu kembali kekerajaan Selabale.
Kembali kisah semula, di kerajaan Majalengka sang prabu Brawijaya V sedang duduk di singgasana dihadap para mentri dan hulubalang, maka ki patih menghaturkan sebuah berita kepada sang prabu bahwa baru saja menerima surat Tumenggung dari Kertasana yang isinya bahwa Kertasana sungainya kering kerontang yang mengherankan aliran sungai dari Kediri itu bertolak arah menuju ke timur, sehingga di sebelah barat daya Kediri banyak kebun beserta pondokan penduduk diterjang aliran sungai tersebut yang sangat deras karena datangnya secara mendadak, kesemuanya itu telah diketahui penduduk bahwa terjadinya peristiwa tersebut adalah dikarenakan polah tingkah dari orang Arab yang bernama Sunan Benang mendadak sontak dang Natha/prabu murka dan segera beliau menugaskan nayakaning natha untuk pergi ke Kertasana untuk meneliti dan mengungsikan penduduk yang keterjang aliran air, serta memanggil Sunan Benang untuk segera menghadap ke Majalengka.
Secara singkat penelitian telah selesai dilakukan oleh nayakaning praja bersamaan pula datangnya utusan ke Tuban untuk memanggil Sunan Benang bahwa ternyata Sunan Benang tidak berada di tempat, entah kemana perginya. Maka kesimpulan beliau orang-orang Arablah penyebab dari keresahan dan seakan menteror masyarakat agar pemerintahan Majalengka menjadi kacau dan segera diadakan pembersihan secara menyeluruh agar orang-orang Arab di seluruh Jawa diusir dan disuruh keluar dari kawasan nusantara, terkecuali orang-orang Arab yang berada di Demak dan Ngampelgading. Bagi orang-orang Arab yang dikenakan sangsi pengusiran itu andaikata tidak mau, maka sang prabu memberikan purba wisesa untuk menyudahinya membunuhnya.
Rakyan patih juga mengulas tentang ulama Giripura sudah sekian lamanya ± 3 tahun tidak pernah menghadap maupun menghaturkan upeti kepada kerajaan Majalengka, menurut perkiraan dari semua yang ada, kemungkinan akan membuat kerajaan tersendiri tanpa memikirkan segala kebajikan dari sang prabu bahwa mereka itu makan minum dan bernaung di bawah panji-panji kerajaan Majalengka. Karena terbukti bahwa para santri Giripura dengan cara dan sikap yang sangat menyolok bahwa dirinya mengaku sederajat dengan raja di Majalengka bahkan kelebihannya mungkin lebih tinggi ketimbang Majalengka. Apalagi setelah nyata mereka mengikrarkan bahwa dirinya mengaku sebagai prabu Satmata, inilah yang menjadi sumber pembicaraan masyarakat yang beragama Ciwa-Buda, mereka sengaja menyamai nama Bathara Wisnu waktu menjadi raja di Medang Kasapta.
Setelah sang Natha mempelajari situasi dan kondisi negeri yang semakin gawat, maka beliau memberikan suatu keputusan supaya mengadakan penyerbuan ke Giripura. Walhasil Giripura digempur habis-habisan sehingga Sunan Giri melarikan diri ke Benang untuk mencari bantuan; oleh karena di pantai utara sebagian besar sudah masuk Islam, maka bantuan datangnya dari utara. Akan tetapi dari bagian selatan masih utuh beragama Ciwa-Budha. Tugas dan kewajiban pasukan Majalengka menyelesaikan Giripura yang dianggap membangkang terhadap kewenangan raja dengan singkat Sunan Benang sudah mengakui kesalahannya maupun Sunan Giri juga merasa bersalah karena sudah lama tidak menghadap ke Majalengka, maka secara diam-diam mereka berdua pergi ke Demak. Berlindung di tempat adipati Demak (R.Patah/Babah Patah) serta menghasut agar secepatnya memberontak ke Majalengka akan tetapi secara halus jangan sampai ketahuan, kesempatan ini harus dipergunakan dengan dasar bahwa Majalengka sekarang ini sudah masanya hancur karena sudah mencapai seratus tiga tahun. Menurut ramalanya Sunan Benang dan Sunan Giri yang dapat menjadi raja hanyalah Raden Patah / sultan Demak. Berkatalah mereka berdua, “hai Patah, cara yang engkau pergunakan harus membuat suatu samaran yang intinya adalah para bupati disekitar pantai selatan dan sudah masuk Islam engkau kumpulkan di Demak ini, dengan alasan akan mendirikan sebuah masjid. Lalu pada hari maulud Nabi yang akan datang ini, engkau menghadaplah pada ayahandamu di Majalengka, akan tetapi beserta prajuritmu lengkap dengan segala perlengkapan perang maka Raden Patah menjawab: “ saya takut sekali untuk merusak kraton Majalengka, karena memerangi ayah bahkan raja yang telah memberikan segala kemulyaan terhadap diri saya; menurut penalaran yang saya pelajari, saya belum dapat membalas budi dan berbakti kepada orang tua terkecuali hanya rasa setia dan taat serta tunduk segala apa yang menjadi wewenang beliau. Saya memegang amanat beliau dari Sunan Ampel, bahwa saya tidak boleh sama sekali berani dengan ayah biarpun dia beragama Ciwa-Budha. Karena saya terlahir kedunia sarananya adalah beliau juga, maka sudah selayaknya saya wajib menghormatinya sesuai dengan ajaran agama. Ibaratnya orang kafir (di luar agama Islam kafir namanya) beliau itu tetap orang tua kami, apalagi kenyataannya memberikan saya kedudukan kesejahteraan bahkan beliau memberikan kebebasan kepada saya untuk memeluk agama saya (Islam), dengan pengangkatan saya sebagai adipati di Demak ini maupun pengangkatan adik saya Raden Kusen di terung, sama sekali beliau tidak memaksa saya untuk memakai agama ayahanda (Budha). Itulah tandanya beliau arif dan bijaksana yang benar-benar mengayomi para kawulanya sesuai dengan dharma yang diembannya sebagai seorang raja”. Maka S.Benang menyela”, biarpun engkau memusuhi ayah dan raja tidak ada jeleknya karena engkau memusuhi orang-orang kafir, berarti engkau akan masuk sorga. Jika apa yang dimaksudkan oleh Sunan Ngampel menghalangi untuk memukul Majalengka, itu karena kelahiran dari Cempa yang pengetahuannya masih picik. Aku jangan disamakan dengan dia, karena aku adalah darah turunan Nabi Muhamad, Sunan Benang adalah Sayid Keramat panutannya orang-orang Islam seluruh dunia. Jadi andaikata engkau Patah memusuhi ayahmu sendiri, adalah memusuhi satu orang apalagi raja dikemudian hari ayahmu kalah maka seluruh tanah Jawa akan menjadi Islam seluruhnya berkiblat kepada Ka’bah, alangkah untungnya bagimu karena engkau mendapat anugrah Allah yang tiada taranya bahkan berlipat ganda sorga ada di tanganmu. Jika melihat tentang riwayatmu sejak dalam kandungan, toh sudah dibuang oleh ayahandamu sejak dulu buktinya diberikan kepada Arya Damar (Bupati Palembang), uraiannya bibit orang Jawa di bawa oleh putri Cempa dan diberikan oleh darah raksasa, maka dinamakan pegat sih. Jadi jelas bahwa ayahandamu tetap tidak baik lahir bathinnya, maka pesanku balaslah dengan cara yang sangat halus jangan kentara dalam hatimu dalam penuh niat hisaplah darahnya dan kunyahlah tulang belulangnya agar semuanya menjadi impas.
Giri juga menyambung “aku ini tidak mempunyai kesalahan, akan tetapi digebug dengan perang oleh ayahandamu, karena dianggapnya aku akan menjadi penguasa tersendiri, memang dasarnya sudah lama aku tidak menghadap ke Majalengka, maka sesumbarnya Kyai Patih Majalengka bilamana aku dapat tertangkap olehnya, kemudian aku akan dikusiri dan tiap hari aku disuruh memandikan anjing. Banyak juga orang Cina yang datang di pulau Jawa sesampainya di Giri maka mereka aku Islamkan. Karena mengislamkan orang kafir pahalanya sangat besar dan sorga tempatnya. Ayahandamu sangat membenci kepada para santri yang berzikir karena seperti orang yang kena sakit ayan karena geraknya manggut-manggut, maka jika engkau tidak mempertahankan maka rusaklah agama Rasul Muhamad ini sampai kemudian hari.
Raden Patah berkata, “adanya perintah raja untuk menggempur itu saya rasa benar sekali, karena kanjeng sunan seakan membuat wilayah tersendiri apalagi masih bernaung di wilayah Majalengka yang seharusnya tunduk dan taat kepada wewenang raja, maka sudah wajibnya raja menghukum serta menindaknya kalau perlu memusnahkannya sekaligus itu sudah benar. Kanjeng sunan tidak merasa makan dan minum di tanah Jawa yang menjadi wilayah kekuasaan raja prihal tersebut amatlah sangat tercela. Sedangkan aku putra raja yang syah saja selalu berbhakti dan taat kepada rajanya, apalagi para sunan yang ada di tanah Jawa sebenarnya harus menyadari tentang keberadaan dirinya, yang menumpang hidup dibawah lingkungan raja apalagi telah memberikan kedudukan di masing-masing wilayah itu adalah sangat arif dan bijaksana.
Sunan Benang berbicara lagi dengan harapan hasutannya itu dapat mengenai dan berharap luntur kesetiaan Raden Patah terhadap ayahandanya jadi unsur politik yang sangat kotor banyak terdapat disini dalam pengembangan agama yang dibarengi dengan cara yang kurang wajar, biarpun secara sporadis berkembang, akan tetapi tidaklah mulus jadinya terbukti sampai saat ini banyak orang-orang beragama Islam kalang adanya, ini fakta.
Sunan Benang berbicara lagi: “memang segala sesuatunya yang engkau ucapkan itu adalah benar akan tetapi ini bukanlah kepentingan pribadimu saja yang akan merasakan akibatnya akan tetapi orang banyak sekali terutama bagi kalangan orang-orang Islam sendiri sangat membutuhkan suatu kebebasan yang tidak terikat oleh seorang raja atau dibawah lindungan seorang raja yang beragama Ciwa ataupun Budha, aku ibaratkan sebagai duri dalam daging. Maka satu-satunya jalan yang harus engkau tempuh adalah menghancurkan Majalengka jika engkau menanti surutnya ayahandamu, maka engkau tidak mungkin akan menjadi seorang raja oleh karena engkau terlahir dari selir maupun ampean atau padmi: jadi keluar dari permaisuri adalah saudara tuamu adalah Adipati Pranaraga atau akan dilimpahkan kepada menantu beliau Ki Handayaningrat di Pengging, maka engkau dapat mencari alasan yang tepat karena di Giripura digempur oleh pasukan Majalengka dan engkau hanya bersifat mengadakan serangan balik saja. Biarpun engkau dianggap memusuhi ayahmu sendiri dengan dalih dialah orang kafir yang perlu disingkirkan dari peradaban bumi ini, kalau seorang kalifan adalah memiliki apa yang menjadi kekuasaannya jadi tidak salah andaikata engkau menjadi raja dengan dasar merebut kerajaan orang-orang kafir seperti ayahandamu itu, karena sudah wajibnya bahwa orang Islam berperang dengan orang kafir, biarpun mereka itu lain bangsa sekalipun andaikata mau menjadi orang Islam, maka kita wajib menganggap saudara. Tujuanku ingin melihat dan merestuimu sebagai seorang raja dikemudian hari mendirikan agama suci dan memberantas agama Budha dan yang lain-lainnya agar engkau menjadi seorang chalifatullah yang sebenarnya memegang tanah Jawa”. Maka segala bujukan dan rayuan dari Sunan Benang sangat manjur, secara singkat Raden Patah/Sultan Bintoro mau melaksanakannya serta mengadakan persiapan untuk serangan balik ke Majalengka. Kesemuanya sangat menyetujuinya hanya satu yang tidak ialah Syeh Siti Jenar, maka dia dalam keadaan terpaksa disingkirkan oleh Sunan Giri dijerat lehernya dengan lawe wenang sehingga gugur seketika, karena perintah yang dikeluarkan oleh Sunan Benang, maka sebelum ajal tiba: Syet Siti Jenar sempat mengeluarkan sumpahnya antara lain sebagai berikut: “hai S.Giri engkau camkan apa yang menjadi sumpahku tentang para ulama dikemudian hari, tidak akan saya balas diakherat akan tetapi langsung di dunia, andaikata kemudian hari berdiri seorang raja didampingi oleh para sesepuh, maka tiba waktunya saya akan gantian menghukum nglawe lehernya hingga pada putus semua!!” S. Giri memberikan penguat dengan ulasan bahwa pembicaraan orang sekarat tidak akan ada hasilnya. Kesemuanya berdasarkan filsafah yang perlu digali sebenarnya.
Setelah semuanya siap siaga dalam rangka penyerbuan ke Majalengka, maka R. Patah dijadikan raja bernama Senopati Jinbuningrat dengan patihnya bernama patih Mangkurat berasal dari negara Atas angin, telah siap dengan paralatan perang yang diikuti para sunan dan para bupati di pesisir utara, bahkan semua prajurit tidak tahu apa tujuannya hanya para bupati dan para ulama yang mengerti betul akan hal ini, akan tetapi Sunan Benang dan Sunan Giri tidak turut serta dalam penyerbuan ini alasannya sesudah semakin tua usianya dalam perjalananpun akan membuat repotnya semua orang, yang jelas sama dengan melempar batu sembunyi tangan mengadu antara ayah dan anak supaya berperang dan kemudian akan mengambil keuntungan tanpa susah payah mengadu jiwa yang kemudian turut berpesta pora. Kesimpulan yang dapat kita petik adalah suatu cara yang sangat kotor sekali, wujudnya seorang ulama akan tetapi persis seperti iblis layaknya (adonis); jadi kriteria yang diberikan oleh Sunan Benang dan Sunan Giri adalah berdasarkan keduniawiannya saja tanpa sedikitpun mengagungkan nama agama disertai sentimen pribadi yang disuntikan kepada Babah Patah agar membencinya kepada ayahandanya sendiri, inilah suatu ajaran buruk yang berkedok agama, sungguh memalukan sekali bila terungkap oleh masyarakat Islam umumnya dan khususnya di Jawa.
Kita mengisahkan kembali di Majalengka, patih Majalengka memaparkan kejadian penyerbuannya di Sunan Giri yang menjadi senapati perang adalah Ki Becasena ialah orang Cina yang sudah masuk Islam beserta prajurit cinanya sebanyak 300 (tiga ratus) orang, sebagian besar mereka mati tertembak oleh pasukan dari Majapahit/Majalengka dibarengi pula dengan gugurnya Secasena maka nasib Sunan Giri dan Sunan Benang pun mengalami yang serupa karena tidak kuat menerima berondongan peluru oleh pasukan Majalengka yang bagaikan hujan layaknya, segera melarikan diri keduanya melewati lautan yang diperkirakan langsung menuju ke utara arah ke barat menyusuri pantai yang diperkirakan menuju ke Demak. Maka sang prabu maka sang prabu memerintahkan untuk menangkapnya andaikata dia berada di Demak dan berlindung kepada Babah Patah, karena mempunyai alasan yang sangat besar terhadap pemerintah Majalengka; antara lain kesalahan Sunan Benang merusak daerah Kertasana, Sunan Giri ingin berdiri sendiri bahkan mengaku sebagai penguasa di Giripura.
Pada waktu ki patih keluar dari paseban agung guna melaksanakan segala perintah raja tersebut, mendadak ada utusan yang datang dari kabupaten Pati Caraka Ki Menak Tanjungpura menyatakan dalam suratnya bahwa adipati Demak telah mengangkat dirinya sebagai raja dan bergelar: Sultan Adi Surya Alam Ing Bintoro; yang merestuinya adalah Sunan Benang dan Sunan Giri, maka segera pasukan segelar sepapan sebanyak –juta berangkat menuju Majalengka untuk mengadakan serangan besar-besaran. Menurut jalannya ceritra dan alurnya sejarah memang Babah Patah lebih berat kepada gurunya dari pada ayahnya sendiri, karena sifat gurunya yang seperti iblis tidak tahu membalas budi dianggap sebagai panutannya, sehingga dirinya sendiri tidak merasa sebagai penganut sifat boneka yang dirangsuki setan tidak ubahnya seperti jalangkung-jalangse yang selalu diprogram oleh setan. Setelah sang prabu mengerti duduk perkaranya bahwa pasukan Demak akan menyerbu ke Majalengka dengan senapati sultan Jinbun/Sultan Bintoro/Babah Patah sendiri, maka sang prabu tertegun bagaikan arca perunggu merah padam mukanya sesaat tidak dapat mengucapkan sepatah katapun karena melihat cara ajaran dari agama Islam sebenarnya tidak semikian, tetapi oknumnya yang sangat biadab; disamping beliau juga menyesali segala caranya yang telah mempercayai putri Cempa yang selalu mengadakan bujuk rayunya agar orang-orang beragama Islam supaya diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan agamanya tanpa ada hambatan serta para ulamanya agar diberikan kedudukan yang layak dan terpandang di mata masyarakat Majalengka. Semua yang diinginkan putri Cempa selalu diturutinya, tanpa memikirkan akibatnya; nah ternyata sekarang terjadilah hal yang dianggapnya sangat aneh dan janggal yang sekaligus mengena terhadap diri pribadinya bahkan kerajaan serta rakyatnya ikut terlibat dalam kesengsaraan. Maka beliau menganggap sebagai seorang raja yang mementingkan dirinya sendiri.
Sang prabu merenungi segala kejadian yang telah lampau, ternyata apa yang telah beliau lakukan adalah lepas kendali tanpa pertimbangan yang sebenarnya harus dimusyawarahkan oleh beberapa mentrinya, disamping jalurnya sejarah memang harus demikian. Dengan penuh iba sang prabu bertanya kepada patih beliau sebagai berikut: “kakang, mengapa kisah yang jelek ini menimpa kita kakang? Aku hampir tidak percaya dengan tingkah si Patah dan juga para sunan maupun orang-orang Islam yang ada di Pulau Jawa pandangannya sangat picik dan kotor sekali pikiranku sangat gelap sekali karena hampir tidak dapat aku cerna dan mendadak otakku menjadi tumpul rasanya aku ini berpijak tanpa landasan. Aku ingin pendapat kakang patih, agar kesemuanya tidak menjadi mentah dan menemui jalan buntu!!” maka Rekrian Patih menjawab: “duh sang prabu, hambapun sudah tidak dapat menghaturkan segala pertimbangan yang memang tidak perlu kita nalar kembali, menurut pendapat hamba perhitungkan apa yang akan terjadi bilamana serbuan dari pasukan Demak sampai di Majapahit.
Rasa kekesalan seorang raja besar maka keluarlah sabdanya yang berupa kutukan: “semoga Bethara Yang Agung memberikan restu kepada hambamu ini, agar pemohonan hamba terkabul di kemudian hari, tiada lain yang akan hamba pintakan dari Mu agar terbalaslah sakit hati hamba dan semoga orang-orang Islam itu kemudian harinya agar terbaliklah agamanya menjadi orang-orang yang berkucir (ibarat burung kokokan putih mulus bulunya tetapi berisi kucir kuning warnanya) manusia yang tidak tahu membalas budi bahkan semua para sunan akan mengenakan nama balikan serta nama tempat saja tanpa mengenakan nama aslinya!!” rupa-rupanya permohonan beliau dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga dalam kenyataan sampai saat ini berlakulah segala apa yang beliau mohonkan. Kemudian sang prabu meminta kejelasan daro Ki Patih tentang pertarungan yang mesti akan terjadi di medan laga nanti, karena merasa malu melawan anak sendiri, andaikata dia menang tidak akan mendapat pujian andaikata kalah malah menambah merosot derajat beliau di mata masyarakat; maka beliau hanya menitahkan supaya prang ini dipapag oleh putranya antara lain Adipati Pengging/Pangeran Handayaningrat dan Adipati Pranaraga/Pangeran Lembu Pangarsa, karena di Majapahit sendiri juga masih ada seorang putra Raden Gugur namanya, akan tetapi masih terlalu kecil untuk maju perang. Setelah sang prabu mengatur segala strateginya dan dipandang cukup maka kembali beliau menggerutu, “andaikata si Patah itu ingin menduduki tahta sebagai raja dan memohon kepadaku secara wajar, sudah barang tentu aku berikan dengan berbagai sarana dan pertimbangan yang seadil-adilnya, karena ia menempuh jalan yang sesat maka kemudian hari tidak akan dapat jalan sesuai dengan dikehendakinya, hanya memberikan batas sampai tiga turunan saja itupun kalau memungkinkan, karena segala sesuatunya Sang Hyang Widhi juga yang akan memastikannya”. Setelah beliau berpesan panjang lebar terhadap patih Majalengka dan menyerahkan mandat sepenuhnya tentang hitam-putihnya kerajaan Majapahit, maka sang prabu segera meloloskan diri ke arah Timur, tujuan beliau tidak ada lain ialah pergi ke Bali untuk mengadukan hal tersebut kepada Dewa Agung Jambe di Klungkung, diiringi oleh kedua nayaka kerajaan: (a). Ki Sabdapalon dan (b). Ki Nayagenggong.
Tanpa dirasa dan diduga, pasukan Demak sudah berada di tepis iring kerajaan Majapahit sebanyak tiga juta prajurit siap mengadakan gempuran. Peperangan ini terjadi pada tanggal 13 Maulud Jimakir 1303 (tahun Arab) dengan persamaan masa ke 9 (sanga) wuku prangbakat, maka perang besar segera terjadi dipagang oleh para sunan sebagai panglima perangnya dari Demak dan para Bupati Nayaka Praja beserta Ki patih Majalengka sebagai tameng dari kerajaan Majapahit, karena keadaan pasukan yang tidak seimbang, seakan pasukan Majalengka dijadikan bulan-bulanan, maka R.Lembupangarsa putra Majapahit segera turun tangan dan membabat kakan-kiri yang akhirnya bertanding dengan S.Ngudung, oleh R.Lembupangarsa diserobot oleh serangan dari Patih Demak bernama Patih Mangkurat yang menombaknya dari arah belakang/punggung sampai tembus walikat/dada, maka R.Lembupangarsa gugur seketika. Rekyan Patih melihat kejadian ini, maka segera mengadakan serangan kearah S.Ngudung dan berhasil menikam kerisnya di lambung Sunan Ngudung seketika gugurlah dia. Sedangkan patih Mangkurat dari Demak sudah kehilangan alak, maka segera berlindung di tengah-tengah pasukannya agar lolos dari kejaran maut. Karena ketidakseimbangan pasukan, maka pasukan dari Majapahit sudah terdesak dan banyak yang gugur, bahkan nasib dari para Bupati Nayaka 8 orang telah gugur pula. Melihat gelagat yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertahan maka Ki Patih segera mempergunakan kekuatan yang terakhir guna mengurangi kekuatan yang lawanpun sebenarnya tidak akan mampu bila diterjangkan dengan ajaran Kumbala Geni dengan kegesitan sepi anginnya yang sangat dahsyat. Sambil berperang Ki Patih mendapat pawisik dari Sang Hyang Prama Kawi agar segera meninggalkan pertempuran yang menurut jalannya sejarah sudah masanya keruntuhan kerajaan serta kejayaan Majapahit berpindah ke Demak, karena pulung kraon yang berupa wahyu cakraningrat sudah berpindah di Demak pada saat itu juga. Rekyan Patih majapahit segera merusut tubuhnya dan lenyap dari pandangan semua prajurit Demak, disamping perasaan kesal dan geram terdengar pula umpatannya berupa kutukan kepada lawn-lawannya. “hai orang-orang Islam semua camkanlah kata-kata saya ini dalam benakmu sampai anak cucumu kemudian kelak agar mengetahui bilamana engkau adalah orang-orang yang tidak berbudi, akan menerima buah karmamu karena rajaku telah memberikan segala kebajikan yang akhirnya kalian semua membalasnya dengan kebusukan bahkan sampai hati menyerang kerajaan Majapahit yang dahulu mula engkau mohon perlindungan serta makan minum di kawasan yang memberikan segala kebebasan engkau mengembangkan agama mu/Islam tanpa mendapatkan hambatan sedikitpun dari rajaku, maka kutiupi ubun-ubunmu serta kugunduli kepalamu!” begitulah ujar Patih Majalengka pada saat-saat terakhir.
Para prajurit kemudian masuk ke dalam benteng dan menjarah barang-barang yang ada sampai tuntas bersih. Kemudian adipati Terung Babah Kusen masuk ke dalam kraton dan membakari semua peninggalan sejarah maupun buku-buku Ciwa-Budha, keseluruhannya dimusnahkan agar tidak dapat dijejak lagi oleh dinasti selanjutnya. Ini benar-benar biadab, karena mereka membasmi agama lain dengan kedok agama yang dipakainya saat ini paling benar dan hakiki, maka tidak boleh tersaingi oleh agama yang telah berdiri sejak dahulu, dengan dalih bahwa agama lain adalah penyembah berhala dan penganutnya dianggap kafir dan tidak bertuhan; kesemuanya memang sangat menyakitkan, sebagai imbalannya di Jawa banyak beragama kalang. Nasib dari para putra yang masih kecil adalah R.Gugur lolos entah kemana yang dimungkinkan bersama kaum kerabat keraton yang tidak mau takluk beserta puluhan bahkan ratusan rakyat Majapahit melarikan diri ke gunung-gunung maupun ke hutan-hutan, ada yang kearah timur maupun ke barat daya di sekitar Gunung Semeru. Bila kita teliti dengan seksama, maka perang ini bukanlah perang antara kerajaan satu terhadap kerajaan yang lainnya, akan tetapi perang agama, karena agama yang satu memusnahkan/membasmi agama yang dianggap sesat, sungguh tragis sekali kejadian pada saat itu. Dapatlah kiranya kita bayangkan tentang pemaksaan agama yang baru terhadap agama yang lama dan pasarean/makam Bratalaya diperkirakan tempat jenasah Raden Lembupangarsa, terletak di sisi tenggara dari letak puri majalengka.
Kembali pada kisah Babah Patah, setelah dapat menghancurkan kerajaan Majapahit bersama kebudayaannya bahkan agamanya, serta dirinya telah dapat kemenangan atas perlakuan terhadap ayahandanya sendiri dan dapat menyepak sanak saudaranya dari kerajaan Majapahit maka dirasa cukup genap tiga hari di Majalengka akan kembali ke Demak dan singgah dahulu Ngampel gading; maka sepeninggal Raden Patah dari Majapahit untuk sementara urusan kerajaan Majapahit yang sudah porak poranda itu di jaga patih dari Demak/Mangkurat dan Adipati Terung dan Sunan Kudus yang menjadi raja sementara dalam kerajaan Majapahit kita ceriterakan di Ngampel gading, Sunan Ngampel memang sudah beberapa lama wafat, tinggal istrinya Nyai ageng yang menjadi sesepuh di Ngampel Gading; sesampainya disana segala kejadian yang Raden Patah lakukan terhadap kerajaan ayahandanya diuraikan seluruhnya keadaan Nyai Ageng, maka Nyai Ageng sangat terkejut bercampur haru dan menangis merangkul R.Patah serta berbicara dengan hati : “oh cucuku, ternyata sebagai seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya sendiri”. “kemudian ia bertanya kepada: “cucuku, aku ingin bertanya kepadamu dan engkau menjawab dengan jujur, siapakah sebenarnya ayahmu itu? Dan siapa pula yang mengangkatmu menjadi raja? Dan siapa pula yang memberikan izin/restu? Dengan alasan apa engkau menyengsarakan ayahandamu sendiri tanpa dosa? Nah! Jawablah yang menjadi pertanyaanku itu?” maka Raden Patah? Pangeran Jin Bun membenarkan bahwa sang prabu yang ke-5 itulah ayahandanya, hanya dia dilahirkan oleh istri beliau yang dari Cempa dan mengangkatnya menjadi raja adalah bupati di pesisir Utara yang sudah masuk Islam serta memberikan izin dan restu kepada sunan. Dengan dasar itu maka Majapahit dirusak olehnya karena Sang Prabu Brawijaya V tidak mau masuk Islam, bahkan beliau tetap menyembah berhala serta penganut agama kafir-kufur yang berpedoman ngawur Budha kawak tanpa otak bagaikan anjing kena kurap.
Maka Nyai Ageng tak dapat membendung lagi segala apa yang dipendamnya segera dimuntahkannya demi untuk menghilangkan rasa kesalnya terhadap Raden Parah yang sampai hati berbuat sewenang-wenang terhadap orang tuanya sendiri. Maka secara gamblang Nyi Ageng berkata, “hai cucuku, dalam langkahmu itu sebenarnya engkau telah mengadakan kesalahan mutlak tiga perkara yang kemudian hari sangat sukar untuk dihapuskan dan akan menjadi sangat sukar untuk dihapusnya dan akan menjadi ganjalan hidupmu selamanya, karena dunia akan menertawakanmu bahwa engkau adalah seorang anak yang durhaka bahkan bertindak sewenang-wenang tanpa dasar perikebajikan, sama dengan seperti kalajengking yang menyengat kepalanya sendiri, tidak urung akan menderita sendiri sampai seketurunanmu, bahkan akan menjadi pecah belah”. Demikian ujar Nyi Ageng sambil menangis.
Sultan Demak akan perihalnya, akan tetapi karena sadar utamanya memang Raden Patah berat kepada gurunya dari orang tuanya sendiri, maka jurang pemisah antara seorang anak dan ayah/orang tuanya sangatlah jauh disamping lain agama pula, tidak urung dia harus memihak kepada gurunya yang memang muridnya belum banyak pengetahuannya; maka dengan mudahnya hal ikhwal tentang kehebatan gurunya sangat diagungkan sekali, sehingga orang tuanya sendiri tidak tampak di mata hatinya. Kesempatan ini sengaja dimanfaatkan oleh para sunan, terutama Sunan Benang dan Sunan Giri yang sebenarnya tersingkirlah dari bumi Majapahit karena ulah dan tingkahnya yang tidak terpuji itu, maka terjadilah ungkapan: sejarah yang seliwah.
Maka Nyai Ageng mempunyai peluang untuk memuntahkan segala sikap tegasnya: “cucuku! Engkau harus mengerti tentang tiga perkara dosa yang telah engkau lakukan terhadap ayahandamu ialah yang pertama melawan orang seorang raja, yang kedua engkau melawan orang tuamu sendiri dan yang ketiga engkau telah diberikan kenikmatan serta kedudukan bahkan kebebasan mengembangkan agamamu. Dimata dunia engkau kelihatan belangnya, oleh karena engkau belum membalas jasa kepada orang tua bahkan kesetiaanpun tiada terpatri sedikit saja di hatimu, malah sebaliknya engkau menganiaya kepada orang tuamu bahkan menghancurkan kerajaannya dan merebut tahtanya, apakah ini memang dibenarkan oleh agama? Coba camkan benar-benar apa yang menjadi ucapanku ini. Tentang agamapun tiada paksaan bagi siapa saja yang menganutnya, bahkan engkau pernah menganjurkan kepada beliau untuk berganti agama Islam bukan? Nah! Lalu dimana letak kesalahan orangtuamu? Adanya Islam dan kafir siapa yang membuatnya bukankah Tuhan juga, sedangkan engkau sendiri tanpa orang tua yang engkau anggap kafir itu belum tentu engkau akan terlahir ke dunia ini. Kalau dinalar kembali dahulu ibumu (putri Cempa) itu sebelum masuk Islam menyembah Toa Pak Khong. Kisah para nabi yang telah lampau juga tidak demikian seperti caramu memaksakan kehendak dan menganiaya orang tuamu dengan dalih beragama Budha telanjang tanpa busana. Sehingga keluguan dari falsafah yang dimilikinya tinggi, ibarat sebuah gangsingan yang berputar sangat cepat sehingga terlihat diam tak bergeming maupun beranjak dari tempatnya. Jika engkau baru mengetahui satu pegangan jangan coba untuk mencela agama orang lain apalagi agama Ciwa-Budha ini sudah berkembang sejak ribuan tahun sebelum agama-agama lainnya menampilkan pamornya di mata dunia. Nah! Jika engkau seorang nabi yang mu’jizat, maka keluarkanlah mu’jizatmu dan aku akan menontonnya. Maka Jin Bun Patah mengatakan secara jujur bahwa dia tidak mempunyai kekuatan apa-apa, hanya kalau mengIslamkan orang kafir katanya akan naik ke sorga. Nyai Ageng menjawab lagi: “hai Patah coba engkau renungkan, sorga dan neraka itu siapa empunya, bahkan secara lahiriah engkau telah membawanya sendiri kemana-mana: bahkan engkau lebih mempercayai perkataan orang luar lagi para pengembara yang kesana kemari mencari penghidupan tanpa dasar dari pustaka dari leluhur kita yang mulia bahkan tersohor di seluruh kawasan bahkan manca negara. Engkau adalah seorang santri yang buka ahli budi, hanya engkau menghandalkan destar putihmu yang tidak sesuai dengan hati nuranimu. Rasanya segala tobatmu itu tidak akan berguna sama sekali oleh karena begitu besarnya kesalahanmu untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan sampai akhir hayatmu.
Setelah Raden Patah mendengar serta menghayati segala petuah dari neneknya Nyai Ageng Ngampeldenta, hatinya merasa kecewa sekali serta murung dan kemudian merenung begitu lamanya, karena yang merasa dirugikan adalah dirinya sendiri oleh para sunan; dengan kenyataan bahwa dirinya dijadikan umpan serta ujung tombak memerangi orang tua maupun kaum kerabatnya sendiri, perasaan hancur luluh sehingga tergetar ke seluruh tubuhnya karena memikirkan kenyataan yang baru dialaminya belum sempat Raden Patah membuka pembicaraan lebih lanjut, Nyai Ageng mendahului berkata: “cucuku! Engkau ini sebenarnya dimasukkan kedalam jurang kenistaan oleh para ulama dan para bupati yang kebetulan engkau sendiri mau menjalaninya, maka engkau yang mendapatkan celaka bukan para ulama dan para bupati tersebut digenapi bila engkau kehilangan orang tuamu serta sanak saudaramu selama hidupmu akan menyandang gelar buruk serta durhaka biarpun engkau kemudian hari menjadi raja di muka bumi ini, akan tetapi Tuhan tetap menghukummu diakherat nanti, ibarat nasi telah menjadi bubur maka pasrah adanya dengan takdir.
Adipati Pranaraga dan adipati di Pengging sama sekali belum mengerti bahwa Majalengka sudah runtuh oleh tingkah si Patah: karena pemberitahuan dari Majapahit belum berangkat, sudah keburu datangnya pasukan dari Demak yang sudah mengepung keraton. Biarpun peperangan telah berlalu pasti akan berlangsung peperangan yang kedua kalinya lagi antara Demak dan Pengging dan Pranaraga, karena bisa dipastikan pasukan kedua adipati ini adalah besar-kuat sekali, dapat diperhitungkan bahwa mungkin Demak akan menjadi pecundang. Maka setelah Nyai Ageng memberikan penjelasan demikian, alangkah kawatirnya Raden Patah sebab diapun mengetahui bahwa sentral/basis militer Majalengka adalah di Pengging dan Wengker. Satu-satunya jalan untuk penyelamatan adalah Raden Patah harus mencari kemana sang prabu Brawijaya V itu melarikan diri, agar pertumpahan darah dapat tercegah. Maka pesan dari Nyai Ageng Ngampel bilamana sang prabu sudah diketemukan dan dapat dibujuk kembali ke Majalengka dan diharapkan singgah di Ngampel.
Maka sultan Demak kembali dengan panji-panji kemenangan dan proses ini sengaja tidak kita paparkan disini, maka sambutan dari Sunan Benang dan Sunan Giri tentunya paling hangat, karena segala cara yang diprakarsainya telah berhasil dan yang melaksanakan misinya adalah Raden Patah sendiri dapat diadu dengan ayahnya tak ubahnya seperti mengadu jangkrik dalam bumbungan. Maka perencanaan untuk memporak-porandakan keraton Majapahit supaya dilanjutkan agar jejak dari keraton maupun agamanya serta perpustakaan yang masih tersisa supaya di bumi hanguskan. Babah Patah sudah tidak berdaya sekali menghadapi semuanya ini. Karena kalah wibawa oleh gurunya sehingga kehilangan pedoman mana yang salah dan benar sudah tidak dapat dibedakan lagi; pada saat itu babah Patah benar-benar telah kehilangan kontrol bahkan lepas kendali, karena ancaman / ultimatum gurunya akan kembali ke Arab bilamana Raden Patah tidak mau menjalanka perintahnya. Sunan Benang memberikan penjelasan tentang Nyai Ageng agar tidak perlu dipikirkan karena semua ocehannya akan menghambat semua rencana; karena masih ada setru yang wajib dihadapinya lagi ialah adipati Pengging yang pasukannya sangat handal dan kuat, kekawatiran ini sangat diperhitungkan oleh semua sunan dan bupati maupun ulama, agar dikemudian kelak tidak menjadi pecundang bila keadaan menjadi terbalik maka Demaklah yang hacur lebur.
Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, Babah Patah mengikuti segala petunjuk dari Sunan Benang antara lain sebagai berikut: “andaikata prabu Brawijaya dapat diketemukan dan dapat diajak pulang, maka disanalah Raden Patah berkesempatan untuk memohon maaf kepada ayahandanya serta mendudukan lagi sebagai raja akan tetapi jangan di Majalengka sedapat mungkin agar di luar wilayah kekuasaan para sunan dengan tujuan tidak akan menghalangi semua pekerjaan semua bupati di wilayah utara, para sunan dan Ulama akan mengadakan da’wah/ceramah/pidato keliling agar dengan cepat seluruh wilayah di Islamkan. Akan tetapi Sunan Giri mempunyai pendapat lain lagi, lebih leluasa pekerjaan yang akan dilaksanakan nanti pemecahannya tidak lain agar Sang Prabu Brawijaya diteluh/disakiti secara mistik supaya lekas ajalnya, karena mereka berpedoman kalau membunuh kafir tidak mendapat dosa, syukur kalau dapat menjadikan orang kafir menjadi orang Islam.
Kita akan mengkisahkan tentang tugas dan kewajiban seorang sunan yang penuh kearifan dan kebijaksanaan dalam masa transisi yang benar masa kritisnya bagi agama lama menghadapi/menanggapi agama yang baru. Tidak ada duanya di pulau Jawa ialah Sunan Kalijaga (Raden Sait) maka didalam kitab dharma gandul ini memang tidak ada pengungkapan tentang biografi para sunan jadi uraiannya hanya tugas dan kewajibannya saja. Menurut pendapat yang dirasakan oleh Sunan Kalijaga, sang prabu diperkirakan meloloskan diri ke arah timur sampai ke Blambangan serta harapan besar akan menyeberang ke Bali. Andaikata hal ini benar-benar terjadi, maka akan berkobarlah perang besar-besaran. S.Kalijaga berusaha siang dan malam diiringi dua orang nayaka praja dari Demak untuk menjajak dimana saat ini beliau berada; terbetiklah hati nurani Sunan Kalijaga/Raden Sait alangkah sedih dan sengsaranya perjalan sang prabu setelah dapat diketemukan oleh Raden Sait tersebut karena Raden Sait menimbang tentang segala kebaikan dan kebijaksanaan sang prabu yang telah memberikan perlindungan maupun kedudukan bahkan rakyatnya sendiri yang akan masuk Islam tidak pernah beliau halangi; itulah tandanya beliau sangat mengutamakan hak-hak seseorang untuk mempunyai prakarsa asalkan bertujuan mulia. Tetapi sang prabu memang memiliki nasib yang berbeda dengan apa yang telah beliau lakukan sebagai seorang raja, beliau tidak mendapat pahala akan tetapi mendapat musibah bahkan aib/cacat yang diterimanya. Mungkinkah ini suatu garis yang memang sejarah menghendakinya agar keseimbangan dikemudian hari tentang lembaga perpustakaan umat manusia serta pelajaran baik dan buruk tingkah laku manusia kemudian kelak sebagai suri tauladan.
Singkatnya ceritera yang akan kita paparkan disini setelah sang prabu sampai di daerah Blambangan karena merasa lelah sekali, maka beliau berhenti dipinggir sebuah beji di bawah pohon Cendani yang sangat rindang, kedua nayaka agung saling bercanda yang bernadakan menyindir beliau tentang kejadian yang baru saja dialami di keraton Majapahit; rasa telah bercampur kesal menjadi satu bagaikan disayat sembilu, harapan untuk berpijak telah tiada serasa bumi surut menelannya dan alam menertawakannya. Begitulah apa yang telah dialami oleh sang prabu Brawijaya V. sebagai dinasti kerajaan yang mudah goyah dan lapuk, bukankah pada mulanya Majapahit sebagai kerajaan terbesar di nusantara? Bahkan dapat menaklukkan tiongkok dan menjelajah sampai selat Madagaskar? Semua hanya tinggal kenangan belaka. Kemudian langkah apa yang akan beliau perbuat setelah ini?.
Tak dapat dipungkiri semua kejadian itu, begitu cepat bagaikan kilat negara yang kuat kokoh seperti Majalengka/Majapahit dapat dirusak dalam sekejap, pada saat itu sang prabu larut dalam lembah kesengsaraan yang selama hidupnya tidak mungkin dapat dilupakannya karena faktor kebajikan sudah tidak mendapat tempat lagi rasanya di muka bumi ini. Pada saat beliau menimbang semua kejadian yang baru dialaminya, maka secara kebetulan dikejutkan kehadirannya Sunan Kalijaga/Raden Sait yang langsung menelungkup dihadapan sang prabu sambil menghaturkan sembah berulang kali dan mohon agar semabhnya itu dapat diterima beliau. Maka sang prabu bertanya kepada Sunan Kalijaga: “hai Sait! Ada apa engkau datang? Apa pula perlunya mengikuti langkahku?” Sunan Kalijaga segera menjawab dengan penuh hormat: duh! Sinuhun junjungan hamba serta kawula semua di Majalengka. Kedatangan hamba ini adalah diutus putra paduka, dimana saja paduka dapat hamba jumpai terutama pada saat ini hamba sudah dapat menemukan serta menghadap paduka di tempat ini, sembah sungkem putranda Sultan Demak hamba haturkan dihadapan Ayahanda Aji. Serta memohon diampuni kesalahan serta dosanya karena sampai memberanikan diri merebut keprabon Singgasana paduka Natangrat. Yang tidak mengerti tatakrama / tata susila hanya mengikuti darah muda yang penuh angkara karena mempunyai keinginan menjabat sebagai raja memerintah para hulubalang para bupati dan para nayaka praja di seluruh kawasan pulau Jawa, maka putra paduka merasa bersalah dan berdosa, karena mengingat bahwa putra paduka merasa mempunyai raja yang agung meningkat derajatnya menjadi Aipati di Demak. Disamping belum pernah membalas segala kebaikan maupun berbakti kepada orang tua bahkan selama ini malah disia-siakan serta membiarkan lolos dari keraton dan pergi terlunta-lunta entah kemana Putra paduka merasa akan mendapat kemarahan/murka pangeran, maka putra paduka berharap kembali ke Majapahit serta kembali ayahanda prabu mengambil tampuk pimpinan sebagai raja mengayomi para kawula serta sebagai junjungan para Nayaka serta pertisentana kraton berupa anak, cucu, buyut yang pada saat ini telah menantikannya”.
Sang prabu menjawab semu!: “Sait! Semua ucapanmu telah kudengar, akan tetapi tidak kuperhatikan apalagi aku masukkan kedalam hati, oleh karena aku sudah jera/kapok musyawarah dengan para santeri yang bermata lapisan, maka juling penglihatannya. Sehingga segala kebaikan yang akan aku berikan kepada mereka semua dibalasnya dengan kejahatan yang jelas sama dengan tatanannya seekor babi hutan. Mereka mengadakan perlawanan tanpa penantang, cara itu adalah bukan sifat kesatriya sejati”. Sang prabu terdiam sejenak, maka Sunan Kalijaga menyela kembali, “sinuhun! Hamba tidak dapat menyalahkan apa yang telah terjadi, mungkin kesemuanya itu sudah kehendak Illahi. Apalagi paduka sendiri yang menyandang peristiwa dari ulah perbuatan tirani seseorang amatlah menyakitkan sekali. Maka hamba sangat berharap kepada paduka agar kesemuanya itu dapatlah dikaji dari awal mula adanya putra paduka terlahir ke muka bumi oleh paduka pula, bilamana dipandang dari sisi lain maka kita unsur kesemuanya itu yang akan membalik kepada kita pula adanya ulasan hamba ini memang tidak berujung dan tidak berpangkal, akan tetapi dapat dijadikan suatu pedoman yang dapat pula kita ambil segala hikmatnya, biarpun terhadap putra sendiri apalagi orang lain, jadilah paduka soko guru yang utama dalam menilai kesemuanya ini, harapan hamba adalah mohon pengampunan dari paduka sebesar-besarnya.
Sunan Kalijaga masih melanjutkan aturnya, “sinuhun! Atas kehendak putra paduka akan menyerahkan jiwa raganya terhadap segala kesalahan yang telah diperbuatnya, sekalipun mendapatkan hukuman pancung dari paduka selaku raja yang syah di Pulau Jawa asalkan paduka meluluskan permohonannya agar segera kembali ke Majapahit dan tetap menjadi raja sebagai pendamping utamanya adalah putra paduka Raden Patah sebagaimana yang telah ditentukan adalah adipati Demak. Maka disinilah putra paduka dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada paduka dan kerajaan sampai akhir hayatnya. Sang prabu menyaut dengan berseloroh rasa geramnya: “Sait! Apa ada dan dimana seorang raja yang telah dikalahkan perangnya kemudian dibujuk kembali untuk memangku jabatan sebagai raja lagi bahkan di tempat singgasananya yang sudah hancur berantakan disuruhnya nongkrong untuk memangku tahtanya yang bersifat towokan/boneka? Hai Sait! aku ini bukan anak kecil yang mudah untuk dicekoki segala ocehan apalagi kata-katanya si Patah Babah sudah tidak masuk akal. Yang penting disini adalah kalimatku untuk kamu sampaikan kepada si Patah supaya diingat-ingat bahwa tidak mungkin aku mau menjadi raja atas kehendaknya selaku musuh utama lepas dari ikatan keluarga, akan tetapi aku akan berusaha menjadi raja kembali ditempat semula dengan cara merebutnya secara kesatriya ialah perang harus berkobar kembali: pada saat ini aku sudah berikrar bahwa aku akan berhadapan dengan dia selaku satru/musuh. Karena iapun demikian terhadap diriku sewaktu menggempur Majalengka bahkan dengan cara yang sangat menjijikan dengan cara membokong orang yang sedang tertidur lelap, jelas saja sangat mudah, sama dengan membalikkan telapak tangan. Raden Sait? Sunan Kalijaga tidak berputusasa akan tetapi sangat bergetar dalam hatinya karena tidaklah menyangka bahwa sang prabu masih mempunyai semangat tempur yang tinggi guna menghadapi putranya sendiri, maka haturnya lagi. “sinuhun! Hamba telah memaklumi segalanya, akan tetapi yang hamba akan haturkan bukan soal permusuhan tetapi soal keutuhan dinasti kerajaan yang maha besar di nusantara; andaikata paduka tidak menghendaki duduk di singgasana kembali, maka niat putra paduka akan membuatkan sasana hinggil/padepokan raja dimana saja yang paduka kehendaki sampai semua sarana kaprabotan marshi? Maharesi sampai altar agung serta kesejahteraan beliau akan diselenggarakan oleh putra paduka dengan tulus ikhlas. Putra paduka hanya akan memohon satu ciri sari paduka ialah pusaka kerajaan yang menjadi bekal beliau selama menjadi Adipati Demak. Karena pusaka keraton sebagai lingga/simbul paduka yang selalu mendampingi para sentana putra-cucu-buyut yang kemudian hari akan meneruskan dinasti kerajaan besar di Pulau Jawa. suatu dharma bhakti putra paduka kepada ayahandanya Aji mohon pengampunan dihadapan paduka, andaikata paduka merasa berat untuk memaafkannya maka putra paduka mohon dikisas maupun disiksa dari dunia sampai keakherat tulah permintaan putra paduka yang melebihi batas kewajaran, maka segala kuncinya ada dalam genggaman paduka, hamba mohon maaf pula karena berani menghaturkan beberapa saran dihadapan paduka yang sebenarnya tidaklah pantas hamba lakukan karena terpaut beberapa kepentingan maka hamba berani menjadi petaruh atas keluhuran budi paduka dikemudian kelak. Hamba memohon kepada paduka agar paduka suka menjelaskan kepada hamba sepeninggal paduka dari keraton Majalengka sebenarnya hendak menuju kemana? Sekali lagi hamba mohon diampuninya tentang pertanyaan hamba yang bukan pada tempatnya, demikian sinuhun”?.
Pucuk cinta ulam pun tiba itulah sebuah pepatah melayu, memang yang sangat dinantikan oleh sang prabu adalah pernyataan yang terakhir ini, maka Prabu Brawijaya berkata dengan tegas dan penuh rasa dendam yang tak dapat disembunyikan dari raut wajahnya biarpun sudah mulai keriput. Maka menghamburlah segala ganjalan yang dipendamnya antara lain: “hai Sait! Perlu engkau ketahui, bahwa tujuanku akan pergi ke tanah Bali yang pertama adalah ingin mengadukan peristiwa tersebut kepada dinda prabu Dewa Agung Jambe di Klungkung agar memanggil semua raja-raja di kawasan nusantara lengkap dengan prajuritnya untuk siaga perang besar merebut kembali keraton Majapahit dar cengkraman si Patah/Adipati Demak maka tidak akan kulewatkan pual adipati Pelembang/Arya Damar akan aku beritahu tentang anaknya si Kusen yang telah kuangkat menjadi adipati di Terung dan si Patah telah berani mengadakan makar terhadap orang tua, maka aku meminta kerelaannya bawah di Patah dan Kusen akan kuhabisi jiwanya. Yang terakhir akan aku beritahu juga kepada kaisar Hong Tse The di Cina Negeri, kalau aku telah mempunyai anak laki-laki dengan putrinya bernama Jin Bun / Patah; maka kuberikan penjelasan yang sama dan kuminta kerelaannya kepada kaisar Hong Tse The bahwa cucunya akan aku bunuh paling tidak aku penjarakan selamanya; dengan permintaan bala tentara Cina yang cukup besar supaya dikirimkan ke Bali lengkap dengan peralatan perangnya. Aku sudah memastikan dalam waktu yang singkat pasti kesemuanya sudah berkumpul di Bali, kemudian segera akan ku berangkatkan ke Jawa untuk melabrag si Patah dan semua begundalnya sampai bersih, bahkan Demak akan ku jadikan karang abang / bumi hanguskan kurebut tahta kerajaan Majalengka dengan cara ksatrya. Biarpun orang mengumpat ayah menupas anaknya, jelas aku tidak pedulikan karena dialah yang mendahului anak menghancurkan ayahnya. Maka tingkahku ini hanya bersifat timbal balik atas hasil perbuatan mereka sendiri bahkan aku sama sekali tidak merasa malu oleh karena segala faktor pertimbangan sudah menjurus ke arah itu. Sementara sang prabu bercerita panjang lebar. S.Kalijaga berpikir keras pula, jika benar-benar demikian beliau akan mengadakan serangan total bahkan mengarah kepada pembersihan secara besar-besaran, tidak urung Demak-Giri-Benang akan menjadi lautan api; terutama para ulama-sunan-bupati pesisir utara sampai barat akan menjadi buronan pemerintah Majapahit andaikata dibiarkan Sunan Kalijaga juga teringat dengan apa yang diceriterakan oleh Nyai Ageng Ngampeldenta, bahwa sang prabu tidak boleh dianggap enteng biarpun telah dapat dikalahkan pada saat ini, karena menurut keterangan Nyai Ageng orang-orang Jawa yang beragama Ciwa-Budha masih cukup besar dan kesemuanya ini akan dipimpin oleh Adipati Pranaraga dan Adipati Pengging; Demak untuk menghadapi gempuran dari kedua adipati beserta para bupati dibagian selatan saja sebenarnya sudah sangat kewalahan, belum lagi tibanya pasukan dari Bali-Lombok-Sumabawa-Sumba-Tidore-Blacan-Bugis-Manado-Swarnadwipa danTiongkok/Cina banyak lagi kerajaan yang masih setia terhadap kerajaan Majalengka biarpun rajanya telah berusia lanjut yang paling utama karena dasar kebijaksanaan dari raja Majapahit turun temurun memang menjadi pusat ikatan dalam segi perdagangan atau pusat kebudayaan bagi beberapa bangsa yang menjalin persahabatan dengan dasar pengertian yang cermat yang cukup tinggi dilambari kebijaksanaan. Maka Sunan Kalijaga terhenyak beberapa saat hampir tidak dapat mengeluarkan suatu pendapat.
Sang prabu mengerti gelagat Sunan Kalijaga sedang berpikir serta menimbang tentang segala apa yang telah diuraikan oleh sang prabu, secara langsung beliau memberikan kesempatan untuk mendapat tanggapan. Ternyata benar, seperti terhenyak dari lamunan Sunan Kalijaga berkata lirih: “sinuhun! Seorang raja memang memiliki suatu prinsip yang dasarnya mensejahterakan kawula/rakyatnya dan mengayomi sepenuhnya dari segala macam ancaman maupun marabahaya tanpa mementingkan masalah pribadi, justru inilah yang akan hamba haturkan dihadapan dinuhun sebagai penguasa negeri. Andaikata pada saatnya nanti tidak suatu peperangan besar maka jelas rakyat yang akan menanggung resikonya terutama menderita kesengsaraan maupun penderitaan; hamba mengingat bahwa yang paduka akan gempur adalah anak pusaka paduka sendiri, ialah Majapahit agar terlepas dari cengkraman putra pasuka sendiri, sementara para cendekiawan akan berpikir tentang peperangan ini adalah kepentingan paduka pribadi dan dapat kita selesaikan secara pribadi pula, sedapat mungkin jangan sampai membawa korban akibat dari peperangan tersebut. Biarpun semua mengetahui bahwa paduka harus dibela oleh segenap kawula yang tercakup dalam manggala yuda, hamba pun sudah menghaturkan kehadapan paduka sejak semula, bahwa putra paduka menyerahkan diri hidup atau matinya nanti paduka yang memiliki purbawisesa, asalkan paduka berkenan menerima kembali kedudukan paduka sebagai raja. Kesimpulannya akan dituntaskan dengan mulus oleh karena tanpa dipukul oleh perang, ternyata putra paduka sudah menyerah tanpa syarat, hamba tidak membakarnya atau menghasutnya agar paduka dapat tertarik oleh bujukan hamba ini, akan tetapi hamba mengharap agar paduka memberikan suatu hukuman bagi putra pribadi yang telah mempermalukan paduka. Seyogyanya kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin”.
Sang prabu menyela, “Sait andaikata yang terkena musibah itu engkau sendiri, lalu apa yang engkau akan perbuat? Memang engkau berbicara itu sudah memakai landasan yang adil dan bijaksana, akan tetapi engkau mengarah kepada kemenangan pribadi ya bukan? Nah! Untuk adilnya akupun mempunyai suatu pembelaan yang didasarkan penalaran yang baik pula. Jadi kau harus menimbang, tidak lalu memojokkan aku terus menerus! Camkan ini”. Sunan Kalijaga terasa terjerembab dalam percaturan dengan seorang raja besar yang telah berpengalaman dalam menjalankan roda pemerintahan terutama dalam mengatur tata praja membawahi beruluh-puluh raja diwilayah nusantara sampai ke manca negara; belu sampai dapat pemecahan yang serasi dengan keinginan, maka S.Kalijaga dikejutkan lagi dengan penjelasan sang prabu Brawijaya secara gamblang: “Sait! Mungkin peperangan nanti yang akan datang itu adalah kehendak Dewa Yang Agung untuk menegakkan dharmaku sebagai seorang raja jadi bukan seorang ayah dari musuhku, maka sudah sepantasnya harus ku laksanakan. Biarpun orang mengatakan antara aku dengan si Patah itu sebagai anjing-anjing yang berebut tulang, itu tidak menjadi masalah bagiku, yang aling utama adalah aku berperang suatu prinsip bahwa aku harus menggeser musuh-musuh yang merongrong maupun merombak apalagi sampai menduduki istana yang dengan sengaja menjatuhkan martabat raja, jadi apa yang menjadi langkahku nanti adalah suatu kewajiban yang harus aku penuhi sesuai dengan asta brata yang aku sandang sebagai penguasa.
Kita tuntaskan sekian dahulu mengenai sesuatu yang berupa perselisihan pendapat diantara pihak-pihak yang berunding antara Sunan Kalijaga dan sang Prabu Brawijaya V. Karena Sunan Kalijaga sudah menyadari apapun jalannya pembicaraan selalu mengalami kebuntuan, maka segera diputuskannya untuk membuat suatu langkah yang dipandang praktis oleh Sunan Kalijaga biarpun itu adalah suatu keputusan dan langkah yang sangat membahayakan jiwanya, namun dia yakini akan membuahkan hasil yang sempurna. Maka S.Kalijaga segera menyerahkan pusaka yang di bawanya berupa duwung ataupun patrm kehadapan Sang Prabu serta bersujud dihadapanya, serta memohon kedepan beliau agar menghabisi jiwanya. Sunan Kalijaga mempunyai dalih yang dipandang tepat oleh karena dia merasa malu tentang tidak berhasilnya untuk membujuk Sang Prabu agar mau kembali ke Majalengka dan yang kedua tidak dapat menjalankan tugasnya mendamaikan pertikaian antara ayah dan anaknya bahkan yang lebih gawat lagi adalah para kawula di Majapahit khususnya dan di Jawa pada umumnya yang sudah barang tentu akan menerima segala akibatnya dari pertikaian kedua insan tersebut. Dengan kalimat yang penuh iba duh! Sinuhun! Sesembahan semua kawula di Majapahit, hamba pasrah seluruh jiwa dan raga hamba untuk paduka kisas daripada nantinya akan dosa dan noda yang tidak lain akan menambah beban paduka dikemudian kelak sebagai penghalang semua prakarsa yang paduka kehendaki, maka sebelum paduka akan membuat karang abang/dinasti Brawijaya yang termasyur itu, terlebih dahulu habisi hamba ini sebagai awalan korban kemasgulan dan kekesalan paduka. Sinuhun! Janganlah ragu-ragu untuk melakukan pengkikasan terhadap diri hamba ini, karena dasarnya hamba sudah ikhlas dari dunia sampai keakherat semoga sang prabu berkenan meluluskan permohonan hamba itu, karena kalaupun hidup sudah tidak berguna lagi”.
Serasa ada petir di siang hari sang prabu terpana/terpaku beberapa saat, karena tidak menduga akan ada reaksi dari Sunan Kalijaga yang demikian rupa, seperti hati yang bergelora seperti air sungai yang menggelagak siap untuk menelan apa saja yang diterjang, mendadak sirna dan luluh lantak dibuatnya, kemudian sang prabu bersabda: “Sait cobalah tegar sedikit jangan seperti anak kecil, kemudian perbaiki sikap dudukmu agar aku dapat berbicara dengan penuh kejujuran; disamping aku sudah jera/kapok berembug dengan para santeri yang tidak berbudi maka tidak luput pula engkaupun aku curigai bahwa kata-katamu itu hanya merupakan suatu pemikat seperti yang lain guna akan mendapatkan keuntungan dari pihakmu, maka berilah kesempatan aku berfikir secara hening, agar dapat kubedakan yang mana yang benar dan salah itu ibarat aku sedang menjaring angin, lalu ayakan/sidi apa yang harus kugunakan untuk menepis atau menyaringnya, karena engkau sendiri dapat membayangkan sendiri semua apa yang kuhendaki bukan?! Nah! Aku akan melihat sampai dimana akan sifat kandelmu / kepercayaanmu tentang makna kebesaran Tuhanmu yang sudah sering kali aku dengan putri Cempa ibunya si Patah itu kalau masuk menjadi orang Islam itu saratnya sangatlah mudah asalkan sudah menyebut sahadat kiranya sudah cukup dalam pentasbihannya dan sah menjadi mu’min. maka aku akan mengorbankan jiwa ragaku demi kepentingan manusia yang sangat banyak akan tidak kena musibah karena ulahku membuat suatu kencah peperangan yang dipandang sangat merugikan bagi orang lain hanya membela kepentinganku turut berkorban, inilah ikrarku dihadapanmu Sait engkau mengerti bukan”?sejenak hening tiada sepatah katapun yang keluar dari mulut Sunan Kalijaga.
Akan daya tanggapnya Sunan Kalijaga yang demikian rupa, maka sang prabupun sudah memahami, kemudian meluncurlah tutur katanya : “hai Sait! Sebenarnya aku sudah jenuh dan bosan dengan keadaan yang aku hadapi, biarpun aku masih memangku jabatan sebagai raja, apalagi sekarang sudah tidak sama sekali, jadi secara tidak langsung Dewata Yang Agung telah memberikan kebebasan kepadaku untuk melakukan suatu dibidang yang lain agar daya nalarku lebih berkembang dan mendapat pengantar pengetahuan yang entah datangnya darimanapun harus kuterima dan kucerna. Sait! Aku merasa sebagai seekor burung yang telah lepas dari sangkarnya, kemanapun aku pergi tentunya tiada satu orangpun yang akan menghalangiku; begitupun saat ini yang menurut penulisan sejarah mungkin riwayatku sudah berakhir dan tidak akan muncul lagi sebagai tokoh negeri seperti dahulu, karena aku memang sudah tua dan tenaga sudah susut ditambah pikiran kalut. Untuk menambah pengalamanku dan pengetahuanku sebelum aku meninggalkan semua ini/mati, maka aku ingin mengisi satu lembaran sejarah lagi yang dapat dijadikan pedoman bagi anak cucuku dikemudian hari. Aku mempercayai katamu Sait, maka aku akan menerima segala tawaran yang akan disodorkan kepadaku, karena aku gagal dalam langkahku untuk memenuhi kehendakku disebabkan akan membawa bencana yang sangat besar diseluruh rakyat Majalengka sendiri, dengan jalan aku akan kembali akan tetapi belum tentu aku mau menjadi raja lagi seperti dulu; tetapi jalanku inilah yang sangat perlu untuk disandikan/disamarkan agar masyarakat/rakyat tidak mengetahui aku sebenarnya, dalam pertimbangan ini apakah engkau bersedia melaksanakan permintaanku itu”? maka Sunan Kalijaga menjawab: “sepenuh jiwa raga hamba hamba bukankah paduka yang memilikinya? Dari awal mula hamba telah menyerahkan jiwa raga hamba untuk kepentingan paduka pribadi tinggal paduka perintahkan saja kepada hamba pasti hamba laksanakan titah paduka yang tulus ikhlas dan penuh rasa tanggungjawab dikemudian hari”.
Boleh kita percaya ataupun tidak, sebab dengan pertimbangan singkat seakan belum mendasar sudah lalu berobah haluan dan berbelok arah dengan mudahnya, bila ditinjau beliau bekas seorang raja besar di tanah air kita hampir rasanya tidak dapat kita telaah dalam pengkajian secara wajar. Akan tetapi konon kejadiannya demikian, maka kita hanya dapat mengulas tentang apa yang sebenarnya kita temukan dalam lembaran sejarah penulisnya dipihak mana (Islam atau Hindu) itu masih kita jajaki kebenarannya. Maka secara singkat Sang Prabu telah mengucapkan syahadad Rasul, yang resminya langsung mencukur rambut serta disunat farajnya dan masih banyak lagi prasaratan lainnya yang tidak perlu kami tampilkan disini, karena dasarnya kita memerlukan pengetahuan itu maka kita lihat alurnya sejarah saja bukan mengenai pengislamannya sang prabu tanggapan inipun di Jawa masih dalam tahap penelitian tentang kebenaran sejati. Apakah benar-benar sang prabu itu masuk menjadi orang Islam atau hanya suatu ceritera yang bersifat taktik dan berbau politik. Karena jika beliau masuk Islam pasti ada makamnya, jika tidak lalu dimana dan bagaimana kesudahannya. Memang waktu orang-orang Demak dan Terung menyerbu kedalam keraton, semua yang berbau dan berbudaya Ciwa-Budha bahkan semua pustakanya dibakar habis tanpa sisa, hal tersebut sangat mengharukan sekali karena sama dengan membasmi agama Tuhan juga adanya dan juga keselamatan candi-candi yang ada juga turut terancam kehancuran disamping tidak tarawat juga penduduknya sudah banyak yang masuk Islam. Lalu apakah jadinya semua tempat suci sangat sangat kita agungkan itu?
Ki Sabdopalon berkata: “wahai raja Wilwatikta, tutur katamu yang engkau keluarkan itu sebenarnya keputusasaan, maka yang engkau keluarkan adalah bukan yang aku kehendaki; karena segala yang engkau ucapkan belum mempunyai landasan yang kuat untuk meneliti semua aspek atau kejadian yang akan menimpa dirimu. Jadi aku harap secara jujurlah semua anasir yang menimpa dirimu pada dewasa ini memang sudah menjadi suratan takdir, akan tetapi sebenarnya tidak separah itu andaikan engkau mau mengerti gelagat atau keadaan bahwa Dewata Agung selalu memberikan bimbingan kepadamu, akan tetapi rupa-rupanya engkau sendiri yang kurang tanggap akan gambaran yang sudah diujudkan seperti hadirnya putri Cempa yang sekaligus menjadi istrimu serta membujuk dan merayumu agar engkau banyak memberikan peluang kepada orang yang tidak kenali secara wajar misalnya bentuk para ulama-sunan, yang nyatanya kesemuanya ini orang pendatang yang nantinya akan merongrong kewibawaanmu sebagai raja dengan jalan memperalat seorang perempuan yang sekaligus sebagai pendampingmu agar engkau dapat diluluhkan serta ditaklukkan wahai sang prabu Dewata telah memberikan tanda/lampu merah kepadamu agar engkau waspada, akan tetapi engkau terlena bahkan lelap sekali tidurmu dalam pelukan putri Cempa yang hasilnya membuahkan suatu malapetaka bagimu sendiri. Menurut pendapatmu, menyelamatkan orang banyak adalah tindakan bijaksana, akan tetapi engkau adalah seorang raja bukan orang biasa, jadi andaikata engkau kalah maka keseluruhan rakyatmu menderita kekalahan, andaikata engkau menang jelaslah rakyatmu juga mendapat kemenangan, segala yang engkau ucapkan itu tidak sewajarnya karena terbukti adanya raja meninggalkan tahtanya sebelum menghadapi peperangan, apakah tidak dinamakan pengecut oleh rakyatmu sendiri. Karena aku tahu bahwa alasanmu adalah menghadapi anakmu sendiri engkau merasa malu, suatu contoh lakon Gojali Suta yang artinya Gojali: ayah dan Suta: anak, maka Sri Bathara Kresna terpaksa membunuh putranya sendiri sang Prabu Boma Naraka Sura demi menegakkan kebenaran, bagaimana rasa sedih dan terharunya Sri Bethara Kresna mengkikas/menghabisi putranya sendiri, akan tetapi demi dharma yang harus dilaksanakan. Dan selamatlah semua hamba sahaya serta rakyatnya, inilah yang namanya berkorban demi untuk orang banyak, lalu engkau berkata demikian itu dimana letak pengorbananmu terhadap rakyat kaum kerabat serta agama dan kepercayaanmu, apakah bukan sebaliknya engkau menghianati kepada seluruh rakyatmu juga kaum kerabatmu”?
Maka sang prabu mencoba untuk mengalihkan percaturan pembicaraan antara lain demikian: “kaki sabdapalon dan Nayagenggong, aku ini sebenarnya berada diperempatan jalan yang langkahku terendat-sendat oleh beberapa faktor hambatan sehingga penuh purba sangka, sebab yang akan kujalani itu menggambarkan sesuatu masa tidurku yang amat panjang sehingga tidak dapat aku katakan kapan akan bangunnya, hal tersebut sangat sulit aku bayangkan karena seakan-akan aku tidak mendapat restu dari Dewata Agung, apalagi sekarang ini aku telah meninggalkan begitu saja tanpa memperdulikan akibatnya dari langkah yang mungkin sangat membahayakan bagi rakyatku yang masih setia. Karena aku dipojokkan olehmu mengenai rasa takut dan jiwa pengecut itu kesemuanya memang kumaklumi, kemungkinan aku akan selamanya tenggelam tanpa bekas sampai sejarah mengungkap kembali masa jayaku sampai kepada leluhurku yang hakekatnya akulah yang merusak dinasti kerajaan Majapahit sehingga pudar dan tenggelam tanpa purwa-madya-wasana”.
Ki Sabdapalon memotong: “sinuhun! Prabu Alit Angkawijaya-Bra Kumara, aku tidak akan menelanjangi orang yang berbusana rapi seperti dirimu, akan tetapi perlu sekali untuk ditata serta diluweskan agar serasi dengan pandangan umum, supaya dikemudian hari tidak mendapatkan ocehan serta apa yang telah terjadi tidak dicontoh oleh yang lain tentang segala kekeliruannya. Kembali engkau kusinggung karena mengatakan masa tidurmu yang sangat panjang, dimasa kegaibanku bilamana aku tidur sampai mencapai usia 100 tahun, maka terjadi hura-hura yang berupa peperangan antar saudara saling memakan bangsanya sendiri. Maka dapat engkau perkirakan bahwa umurku pada saat ini baru mencapai 2003 tahun. Dengan penuh ketekunan serta kesabaran aku mengasuh para penguasa yang ada di Pulau Jawa dan sekitarnya yang menganut agama Ciwa dan Budha serta menjunjung tinggi martabat kebudayaan serta kepercayaan. Yang sangat mengherankan adalah engkau hai sang prabu Kerta Bumi! Sampai hati pula engkau meninggalkan pikukuh/keyakinan para leluhur Jawa yang sejak semula telah terpatri dengan kuat dan rapi dan segala menumen berupa tempat-tempat sucipun masih tetap berdiri dengan penuh kemegahan serta keagungannya sesuai lambang agama Hindu: Ciwa-Budha dengan simbol teratainya yang tidak akan tenggelam biarpun ada banjir yang dahsyat apapun dia tetap terapung dipermukaan air, apa air itu bersih bagaikan tirta sanjiwanipun ataupun kotor dan berlumpur bagaikan air kanal dan hitam pekat: kenyataannya sang teratai bunganya tetap putih bersih tak tercemar dan ternoda oleh anasir dari bersih-kotornya air yang memberikan penopang kehidupannya, itulah suatu contoh nyata yang dapat kita petik hikmahnya bagi kita semua umat manusia.
Sang prabu memberikan imbangan dalam pembicaraan ini antara lain sebagai berikut: “kaki Sabdapalon dan Nayagenggong! Aku ingin mengemukakan suatu pendapat yang bersifat umum, andaikata pakaianku yang telah kumal apalagi rusak, apakah tidak dibenarkan andaikata aku berganti pakaian yang baru dan bersih serta memberikan kelapangan dada dan nyaman dipandang orang”? maka jawab Ki Sabdapalon: “nah! Disini tampak jelas, bahwa segala rayuan putri Cempa benar-benar telah menyusup disanubarimu wahai raja agung! Pakaian yang engkau kenakan saat ini memang serba baru, sebagai misal jika barang baru memang sangat enak dipakai, apalagi dipamerkan kesana kemari sudah barang tentu banyak-banyak penonton serta peminatnya itu sudah wajar bukan! Akan tetapi yang engkau kenakan itu bukan baju yang dikenakan oleh kaum kerabat serta para leluhurmu, jelas akan sangat janggal dan merusak suasana serta keharmonisan keluarga sehingga bertolak belakang dengan kepercayaan dan kebudayaan yang telah kita miliki beribu-ribu tahun yang silam. Maka sudah terbayang dimataku bahwa agama yang engkau pakai pada saat ini jelas akan merubah semua struktur ataupun pola kebudayaan yang nantinya dicampur aduk dengan kebudayaan Islam, tentu sudah sliwah/blero; ibarat seekor onta di padang pasir Saudi Arabia yang jelas kepanasan dan kering kerontang memasuki daerah kita yang subur makmur, sudah jelas langsung melahap apa saja yang ada terutama sekali air, suatu contoh Sunan Benang yang sangat usil dengan sepak terjangnya merusak aliran sungai di daerah Kertasana, belum lagi Sunan Giri yang rakus mencaplok semua yang ada sehingga ingin menguasai dan mengangkat dirinya sebagai raja yang sangat berkuasa di Giripura”.
Kemudian Ki Sabdopalon menyambung lagi: “sang prabu mengatakan pakaian yang sudah kumal apalagi engkau mengatakan sudah rusak, jika aku mengajukan suatu pertanyaan belum tentu engkau dapat menjawabnya dengan tepat, misalnya pakaian yang kumal itu bagaimana dan ditambahi lagi dengan kalimat rusak lalu apakah yang demikian itu”? maka jawaban sang prabu bersifat semu: “pakaian yang aku maksudkan adalah bersifat babad tiada kekebalan dalam menghayati kasanah agama dan nyata adalah sangat rapuh bahkan kini sudah tua tata lahirnya, maka sudah barang tentu akan mengalami rusak dan tidak berguna lagi di mayapada ini, itulah yang aku maksud sehingga memerlukan pengetahuan baru untuk mencari kekurangannya di dalam aku menggeluti ajaran mental spiritual”! Sabdopalon menjawab dengan ketus sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda keheranan yang tidak terhingga: “pangeran Alit Angka Wijaya! Bukankah yang engkau katakan itu adalah ajaran Ciwa-Budha dari ajaran Islam, karena menurut sepengetahuanku tidak ada tumbal yang hidup kembali? Dumitis, karena menurut ajaran Islam tidak ada, maka mereka para santri semua berpedoman bahwa hidup di dunia ini hanya sekali saja. Jadi aku meminta kepadamu agar engkau jangan mencampuradukkan ajaran Hindu dengan ajaran Islam, itu merusak dan sesat yang kemudian hari delapan yang akan engkau terima diakhirat”. Kemudian sang prabu berpikir untuk memberikan tanggapan “jika menurut jalurnya maka asal kita dari Nur/sinar Tuhan maka sudah brang tentu akan kembali ke sana juga”. Sabdapalon memotong: “nanti dulu pangeran Alit, jangan kita berembug tentang kembali atau tidaknya yang jelas belum tahu duduk perkaranya maka tidak semudah itu untuk berucap kembali ke sana: yang nyata bahwa engkau bekas raja besar dan belum memasuki masa kependetaanmu, sudah jelas bahwa pengetahuan tentang keagamaanmu kurang, buktinya engkau mudah tergiur masuk agama lain tanpa adanya pertimbangan yang nantinya akan menyangkut orang banyak sebagai korban langkahmu itu. Wahai Kaki Prabu! Engkau bear-benar berada di tengah-tengah Kerta Bumi yang sejak dulu hingga kini tidak pernah memahami apa yang dikerjakan oleh para leluhurmu, sehingga segala warisan nenek moyangmu tidak engkau pelajari akan tetapi malahan mencampakkannya begitu saja dan kemudian kelak engkau tidak akan dapat berkah serta ijinnya apalagi restu para sesepuh yang berwujud awatara. Karena engkau tidak mengenakan budhi lagi, maka siapa lagi yang akan merestuimu”? maka sang Natha menjawab: “kaki Sabda Palon! Cipta serta rasku terpaksa menempel kepada orang yang kuanggap lebih dan suci karena aku anggap kelebihan yang mengatasi pikiranku”. Sabdapalon menghardik: “apa! Jadi engkau akan menempel seperti hidupnya seonggok parasit/benalu yang selalu menggantungkan dirimu kepada pohon yang induk semangnya adalah martabat dari bangsa lain; wah! Sinuhun! Engkau sungguh-sungguh tersesat jalan pikiranmu apalagi engkau benar-benar akan berbuat seperti itu. Andaikan pohon semang yang engkau tempeli itu mengusirmu lalu engkau pergi kemana lagi, bukankah engkau akan menajdi orang gelandangan di dunia sampai diakherat? Bahkan tidak mempunyai pegangan dalam pengemban misimu, selaku manusia yang sudah diberikan segala kemikmatan sebagai raja, nah! Jelas sekali bahwa disinilah upah dari seseorang yang tidak pernah mensyukuri segala pemberian dari Dewata Yang Agung. Sedangkan dari pihak para sunan sendiri tidak dapat memberi jaminan mutlak tentang keberadaanmu, malahan memusuhinya. Camkanlah ucapanku ini agar engkau mengerti”.
Sabdopalon berkata sambil berseloroh : “cobalah segala pendapat yang telah engkau peroleh dari para sunan itu apa saja terutama yang mengambil dari kitab sucimu yang baru itu”! maka jawaban sang prabu: “Kaki, aku sebenarnya merasa enggan menyampaikan sesuatu kepadamu, karena sudah dapat menerka pasti tidak akan pernah benar adanya bahkan sebaliknya aku jadi pecundang bagimu akan tetapi aku membenarkan tentang masa kelahiran setiap manusia bahwa sebelumnya tidak ada, tidak ada kemudian lahirlah menjadi ada akhirnya tiada karena meninggalkan dunia ini kembali kosong/suwung, bagaimana pendapatmu”? Sabdapalon menjawab wahai sang Prataning Bumi! Kita semua sudah sependapat bahwa kita ini manusia titah Tuhan yang paling unggul di Madyapada, jadi kalau menurut dasar ahli segala sesuatu yang dapat memperhitungkan untung dan ruginya hidup ini serta memahami baik buruknya semau langkah maupun kejadian sampai kepada yang adil dan batil. Jadi jika berpedoman kepada asas tadi asal kosong kembali ke kosong itulah binatang melata di bumi yang konon kelahirannya hanya untuk digemukkan kemudian disembelih dan berakhir menjadi kotoran manusia, apakah engkau juga demikian! Jika engkau berpedoman semacam itu sangatlah sesat, karena dianggap sebagai matinya kalap nglawon/merana. “sang prabu menyangkal: “pada saat aku mati nantinya menunggu dimakamku lebih dahulu sampai semua dagingku hancur luluh menjadi debu”! Ki Sabdopalon membentak: “wah engkau akan menunggui makammu? Bukankah lama-lama engkau menjadi setan kuburan yang sangat menakutkan bagi anak-anak kecil? Aduh sinuhun!, alangkah nista dan hinanya hidupmu nanti menjadi penunggu kubur. Itu namanya suatu ajaran yang bersifat menyesatkan sekali bagi semua manusia karena hanya ingin gampangnya kalau sudah mati ya hilang dan malah menjadi setan kuburan. Disini jelas sekali bahwa orang-orang beragama Rasul/Islam terang tidak dapat moksa ke Nirwana phada, karena selamanya asyik menunggu kuburan. Lalu pedoman apa yang harus dipakai selama hidup ini, coba jawablah!”.
Sang prabu berpikir tetapi dibayangi oleh chadis/chotbah nadi yang berbunyi sebagai berikut: “saya dilahirkan tidak mempunyai daya apa-apa, maka adanya saya hanya menerima pembagian sebagai titah jadi terserah sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa!”. Jawab Ki Sabdopalon: “pangeran! Manusia itu tidak dibenarkan meninggalkan sifat kemanusiaannya, manusia dilengkapi dengan akal dan budi boleh menampik/menolak ataupun menerima segala apa yang kita alami akan tetapi wajib berihtiar/berusaha tidak boleh mandeg ataupun pasif, karena akibat dari kemasabodohan itulah yang mengakibatkan kita menjadi manusia dungu dan bego. Bila engkau dititahkan dan menerima menjadi batu, maka tidak perlu lagi adanya pertimbangan yang panjang lebar, malahan tidak perlu mencari ilmu segala di dunia karena sudah cukup menjadi batu. Disinilah kelihatan kita disuruhnya menjadi bodoh sekali agar tujuan para sunan/wali mudah untuk memperalat kita semua dan menggiringnya ke padang machsyar/luas tanpa batas, maka kelembagaan mereka bersifat statis dan berhaluan sangan fanatik karena yang aku dengar langsung dari para santri adalah memperbincangkan soal sorga dan neraka yang kesemuanya itu tidak tahu persis di mana tempatnya di dunia atau di akherat. Padahal sudah nyata bahwa sorga neraka sudah dibawa langsung sesuai dengan hasil dari ulah karmanya yang meraka buat sendiri, jadi jelas sekali kekonyolannya tentang pengantar pengetahuan yang sangat sempit sekali yang mengaku dirinya mengaku paling luas”.
Beberapa alasan secara harafiah telah terungkap, yang berbentuk semu ataupun nyata; akan tetapi sang prabu mendapat kesimpulan terakhir: “kaki Sabdo tahu amurwengrat! Aku berkesimpulan terakhir untuk menghadap Yang Maha Esa ring Sorga mani loka dan akan dijadikan apa saja oleh beliau akupun sudah pasrah ataupun akau dijadikan karaknya neraka akupun menerimanya, itulah satu pedoman bagiku yang dapat aku keluarkan dihadapanmu Kaki!”sampai disilah rupanya sang prabu tidak mendapat respon dari Ki Sabdopalon dan Nayagenggong terbukti selalu disanggah dan bahkan ditentang segala pendapatnya yang dirasakan oleh sang prabu sudah matang, setelah setelah diperbincangkan dengan Sabdopalon dan Nayagenggong masih jauh dari pada keliru dan sesat yang kemudian diluruskan serta diberikan ulasan bahwa segala sesuatunya yang berada di bumi kita sebenarnya sudahlah matang terutama segala ajaran yang didasarkan kitab Wedha yang bermuara kepada sastra Jendra Hayuningrat.
Maka Ki Sabdopalon berbicara: “sinuhun! Sang prabu wiwatikta, semua apa yang menjadi permasalahan bagimu aku anggap telah selesai dan sudah mumpuni dalam arti yang wajar. Mengenai kiblat yang dikehendaki oleh kaum Arabi/Arab, itu sudah jelas bagimu bahwa orang Arab membuat batu besar agar tidak nyata bahwa mereka pun motifnya menyembah berhala juga berubah pola pikiran dianggap sebagai pusarnya orang-orang Islam menyembah Tuhan yang kalau tidak salah disebut Baitullah yang artinya Bait = rumah dan Allah = Tuhan, jadi sudah jelas sekali bukan? Bahwa ka’bah / Baitullah sama dengan kita punya candi yang memang asli buatan nenek moyang sendiri dari pada batunya orang Arab yang kita tidak merasa memiliki serta mengetahui apa isi didalamnya batu ka’bah tersebut: jadi kita masih dibutakan oleh segala hal-hal hanya orang Arab sajalah yang boleh tahu, maka disinilah suatu kejanggalan yang terdapat dalam agama Rasul karena segala segala sesuatunya harus seperti orang-orang di Arab sampai membuat nasi saja harus nasi kabuli dan membuat satepun harus sate marchaban dan masih banyak lagi contoh yang aku ketahui, seperti hewan yang tidak ada di sana maka diharamkan serta di najiskan, sedangkan hewan seperti babi dan anjing adalah Tuhannya dia juga yang menciptakannya, aneh bukan?” Sabdopalon sengaja memberikan peluang kepada sang prabu untuk menyanggah uraiannya tetapi ada suatu bayangan yang tersirat diraut wajahnya bahwa sang prabu ingin mendapat penjelasan yang mungkin dapat mengena disanubarinya, maka ki Sabdopalon melanjutkan bicara: “sinuhun! Masalah sorga dan neraka sebenarnya sudah engkau bawa kesana kemari, sebab tubuh kita itu terdiri dari dua unsur yang satu nyata dan yang satunya lagi ga’ib ialah raga dan suksma, dari jaman adampun manusia sudah dibekali dengan sorga dan neraka tinggal kita memilihnya; kemudian untuk kelengkaan selanjutnya maka kita dibekali oleh Tuhan perwatakan, jadi jelas akan terjadi suatu pergolakan sehingga mewujudkan suatu lembaran sejarah kemanusiaan seperti yang terjadi masa kini maupun di masa yang akan datang; itulah yang dinamakan suatu dinamik atau seninya sebuah kehidupan, maka aku menganjurkan kepadamu agar engkau tidak berlari-lari kesana-kemari mengejar sorga apalagi neraka. Lain dengan agama Ciwa-Budha bilamana raga itu sudah lapuk maka atas kuasa kehendaknya disertai buah karmanya dan seijin Sang Hyang Parama Wisesa maka berganti dengan raga yang baru dan dengan lakon yang baru pula yang bersifat hanya akan melanjutkan sebuah legenda yang tertunda agar tata kehidupan pada masa yang akan lebih sempurna dan dapat lulus kembali ke Nirvana dengan-Nya”.
Ki Sabdopalon melanjutkan: “sinuhun! Dengan uraian ku tadi, maka aku berkesimpulan bahwa agama Rasul sudah jelas tidak mengarah ke sana, karena berpedoman sebagai penunggu kubur sewaktu raga belum hancur luluh menjadi satu dengan tanah maka tidak ubahnya dengan hantu penunggu makam. Kaki Alit Angkawijaya, munurut petuan yang terdapat dalam agama Ciwa-Budha itu kita dipacu untuk mengerti sekali tentang batang tubuh kita yang selalu kita gunakan sebagai sarana hidup di maya pada, maka yang paling utama kita harus mengerti serta dapat membaca sastra yang terdapat disekujur tubuh kita agar kemudian hari bilamana kita akan berganti busana setelah kita melepaskan busana yang lama kita tersesat dan tidak keliru sasarannya, dilambari pula oleh karma wasana yang telah kita lakukan selama memakai busana yang lampau. Bila asal kita dari manusia harus kembali sebagai manusia bahkan derajat pangkat serta martabatnya harus lebih tinggi dari semula karena kenaikan suatu jenjang kehidupan sudah diatur oleh dharmanya yang selalu mengikuti kita sejak awal mula kemana kita akan melangkah, kesemuanya itu masih merupakan suatu rahasia yang oleh manusia biasa jelas tidak akan mengerti. Sinuhun! Mungkinkah engkau dapat mencapai hal tersebut? Masalah ini sangat aku prihatinkan karena rasanya engkau masih sangat jauh dari jangkauan yang aku sebutkan diatas tadi, apalagi sudah jelas dan nyata engkau telah memisahkan diri tanpa setahu diriku yang sejak semua aku selalu mengasuhmu dengan penuh kesetiaan dan berakhir engkau pula yang membuat jurang pemisah antara engkau dan aku. Perihal inilah yang membuat aku sangat kecewa mengapa tidak adanya musyawarah dan mufakat terlebih dahulu untuk mengkaji dengan saksama segala upaya di hari depan kita; apakah akan mundur atau maju dapat kita tentukan dari awal. Menjadi kenyataan kemudian bahwa engkau masuk Islam, maka masyarakat di Jawapun akan menjadi Islam semuanya tanpa terkecuali diambang keterbengkalaian yang sangat hingga apa yang sudah dirintis oleh para leluhur kita engkaulah yang menghancurkan akhirnya, apakah persoalan ini tidak terbetik sedikitpun didalam sanubarimu hai raja Majapahit? Sampai engkau mempunyai langkah dan keputusan seperti anak kecil yang belum dapat berfikir? Biarpun itu sudah garis takdir yang sudah dibuat oleh Dewata Yang Agung, akan tetapi sudah berulangkali aku katakan kalau kita berichtiar/berusaha pasti tidak separah seperti apa yang terjadi pada sekarang ini sudah menjadi kenyataan bahwa ambang kehancuran agama dan kebudayaan Ciwa-Budha di pulau Jawa sudah tidak dapat kita hindari lagi; semua tempat suci akan menjadi apalah nantinya, candi-candi yang begitu kita utamakan sebagai tempat yang maha suci kemudian hari akan menjadi apalah kita semua tidak dapat memberikan suatu penilaian yang pasti. Karena perkembangan yang akan merubah budaya kita jelas akan dipelopori oleh kebudayaan yang datangnya dari persi maupun dari Arabi sehingga keseluruhannya akan bertolak belakang dengan keadaan pada jaman keemasan Majapahit. Sesuatu bukti bahwa sebenarnya engkau sebagai orang yang sudah mumpuni/pradnyan ternyata belum dapat mengenali dirimu sendiri sehingga mudah sekali untuk dibujuk dan dirayu oleh hal-hal yang sangat merugikan bagi kepentingan orang seluruh Jawa. Apakah engkau tidak merasa keliru dan bersalah bahwa tindakanmu itu sangatlah gegabah ibarat engkau mencari keteduhan dan pengayoman akan tetapi tidak mempedulikan yang lainnya mendapat kesengsaraan dan musibah yang tidak dapat terelakkan lagi”!.
Sementara Ki Sabdopalon menghentikan pembicaraannya, raut wajah sang prabu menunjukkan kecemasan bahkan kemasgulan yang terperi atau sangat was-was serta bermuram durja maka keluhanya: “Kaki Sabdopalon dan Nayagenggong! Aku ini berada dipersimpangan jalan seperti apa yang pernah ku katakan, jadi untuk menentukan sikapku masih selalu diliputi rasa kebimbangan dan penuh keraguan, maka untuk mengambil keputusan ini sebenarnya aku tidak kuasa untuk menariknya kembali agar aku menjadi orang/umat penganut agama lama, karena aku berpedoman bahwa sesuatu jabatan apapun bentuknya jika sudah habis masanya maka akan digantikan oleh pejabat yang baru. Maka mau tidak mau kita akan mengikuti segala petunjuk pejabat yang baru bukan lagi mengikuti petunjuk pejabat yang lama bukankah begitu kiranya!” sahut Ki Sabdopalon: “sang prabu! Engkau ini kelihatan sekali bahwa pengetahuanmu tentang agama mentah sekali, sehingga engkau tidak dapat membedakan antara agama dan pemerintahan kau anggap sama. Jika suatu pemerintahan sampai sampai lembaga ketatanegaraan selalu mendapat perobahan setiap generasi, akan tetapi agama tidak demikian adanya, agama adalah langgeng dari generasi secara beruntun terus terpakai tanpa perobahan apapun bentuknya; kemungkinan yang ada perobahan hanya dibidang sarana itu mungkin saja terjadi; akan tetapi hakekat agama tidak akan berobah sedikitpun. Nah! Itulah yang namanya agama, yang engkau samakan dengan pemerintahan yang pada suatu saat mesti ada perobahan. Jikalau segala sesuatunya ditumpukkan kepada takdir, sudah barang tentu semua manusia tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Kenyataan yang dapat aku raba disanubarimu bahwa engkau sendiri tidak pribadimu yang sebenarnya, sudah barang tentu jati dirimu kabur bagaimana tidak mudah luntur dan hancur!” maka sang prabu bertanya: “coba tunjukkan kepadaku tentang kebenaran pangeran/sukma sejati dan keberadaannya ditubuh manusia dan bagaimana hakekatnya serta wujud dari pada gambaran yang dapat kita rasakan secara gamlang dimana pangeran yang sejati?”.
Jawab ki Sabdopalon: “kai prabu sebenarnya sudah tidak perlu lagi untuk bertanya tentang falsafah/petuah agama Ciwa-Budha, karena toh sudah tidak berguna lagi bagimu karena engkau sudah bersalin agama Rasul yang konon akan manambah murtadmu terhadap agama yang engkau anut sekarang ini, maka alangkah baiknya engkau menekuni saja agamamu yang baru itu apalagi telah diniati serta diikrarkan olehmu sendiri dengan disaksikan oleh Raden Sait sebagai pentasbich Islam antara wali sangat yang telah bersusah payah mencarimu agar engkau mau kembali ke Majapahit serta ditambahi pula mau masuk agama Rasul. Kesemuanya ini sangat menguntungkan bagi Raden Sait/Sunan Kalijaga karena pertama dia akan mendapatkan anugerah dari Raden Patah atas keberhasilannya menemukan ayahandanya bahkan yang paling istimewa mau masuk Islam meninggalkan agama Budha yang dianggap penyembah berhala dan orang kafir alias kafiran adanya bukti segala-galanya sudah tidak memilikinya berupa istana sampai ke singgasana, yang kedua dia akan mendapatkan pahala dari Yang Maha Kuasa karena berhasil meredakan amarah sang prabu sehingga mengurungkan niatnya untuk mengadakan pembalasan terhadap sepak terjang di Patah yang telah merusak dan memporak-porandakan Majapahit menjadi puing-puing yangtidak berarti lagi bagi dinasti selanjutnya yang menganut agama Ciwa-Budha dan yang ketiga adalah keberadaan agama yang baru ini tidak akan mendapat penghalang dari siapapun, bahkan saat ini dapat mencengkramkan kukunya di bumi Majalengka!”.
Sang prabu merasa kecewa karena pertanyaan yang baru diungkapkannya belum mendapatkan jawaban yang sebenarnya dan malahan mengarah kepada langkah dari dirinya keliru memilih jalan serta uraiannya mengarah pada tekanan jiwa, yang kenyataannya adalah merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk dikenang direnungi serta dihayati. Kemudian pertanyaan yang dianggapnya untung-untungan, yang artinya sukur mendapat penjelasan ataupun sama sekali tidak, karena sang prabu sudah memperkirakan kejenuhan dari Ki Sabdopalon berdialog dengan dirinya yang menjurus kearah cemoohan serta makian secara halus: “Kaki Sesotyamaniking Jagad, aku ingin jawaban dimana letak pangeran yang sejati itu saja!” jawab yang tulus kembali keluar dihadapan sang prabu: “sinuhun kaki kertabumi, andaikata engkau mencari kebenaran serta hakekat yang sejati tentang kebenaran pengeran yang sejati dan sebenarnya adalah tidak jauh dari dirimu sendiri dan engkaulah bayangannya sebagai wujud nyata dari daya gerak yang tidak nampak dimata manusia; karena perumusannya segala sesuatu yang bergerak pasti ada yang menggerakkan inilah ada suatu dasar prakarsa yang tidak kasat mata terkecuali mempergunakan indriya yang menelusuri dimensi ke VI. Maka si prakarsa diberikan energi kemudian energi tersebut diberikan kepada angga sarira yang merupakan gerak nyata yang dapat kita rasakan atau kita amati untuk lebih mendasar adalah sebagai berikut: (a) sumber energi (b) prakarsa, (c) biomedighanik; letak kedudukan yang wajar adalah a sumber energi dalam ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan dharma wasananya; b. prakarsa suatu bentuk perwatakan yang bestatus mengolah data sesuatu dengan daya input yang masuk adalah vu data yang dioleh melalui suatu komparator secara cepat kemudian dianalisa melalui analisis sprectro dan baru dipersiapkn untuk program langkah yang harus diambil atau dilaksanakan setelah ditampung didalam data bank, di dalam data bank inilah semua prakarsa sudah dipersiapkan tinggal dipicu untuk pelaksanaannya saja dan c. biomechanik sebagai pelaksana nyata sekaligus sebagai pembalut/pembungkus dari kedua unsur yang sangat abstrak tersebut, jadi kesimpulan yang dapat diambil adalah tiga serangkai yang bergerak menurut scenario yang dharma wasananya sudah dicetak merupakan dichcard yang mendekati ke arah kodratnya dalam babak berikutnya, kesemuanya terjadi secara kontignue bahkan terus-menerus. Tiga serangkai ini memang kelihatannya berkumpul menjadi satu wadah di dalam angga sarira, akan tetapi sebenarnya kesemuanya itu berdiri secara individu sesuai dengan karakteristik bahan penjelmaan/ciptaan yang telah dirancang oleh semua aspek kehidupan yang bersifat langgeng maupun tak langgeng sesuai dengan kodratnya masing-masing. Sinuhun! Sudah tuntaslah segala sesuatu yang engkau pinta kepadaku berupa saran serta nasehat yang kemungkinan dapat dijadikan landasan bagimu untuk bekalmu agar engkau dapat meneliti sendiri siapakah sebenarnya pangeran yang sejati dalam dirimu itu? Sampai disini kiranya aku dapat memberikan beberapa ulasan yang cukup dalam diantara individu yang semula menjadi satu sehingga tirai gaib yang sebenarnya selalu terbuka bagimu pada saat ini sudah tertutup rapat bagaikan tersumbat oleh prakarsa yang timbulnya dari lain unsur, sehingga pelita yang sebenarnya ku jaga siang dan malam agar tetap menyala akhirnya padam juga oleh tingkah dan polah para wali yang membalikkan segala fakta!”.
Sang prabu dengan tekun mendengarkan segala uraian yang bagi orang awam sangat sulit untuk dimengerti karena disamping bukan pelajaran filsafat juga bukan pelajaran tata susila agama akan tetapi pelajaran khusus yang menyangkut bidang anatomi tubuh beserta isinya sampai segenap daya kekuatan yang menyangkut gerak langkah manusia serta yang menghidupi dengan akal dan budi bahkan mempunyai kaitan yang erat dengan kejadian yang telah lampau merupakan karma wasana tiap insan yang tergelar di maya pada, maka ucapannya: “Kaki Sabdopalon dan Nayagenggong, aku sudah meyakini semua nasehat yang merupakan petuah utama yang sejak semula belum pernah aku terima dari siapapun dan pada saat ini baru aku wejangan darimu, yang sangat aku sesalkan adalah mengapa kejadiannya baru sekarang disaat aku mendapat jalan yang sangat sulit menentukan jalan hidupku yang serba meragukan sehingga aku tidak mampu untuk memutuskan secara pasti dimana aku harus berpijak; namun langkah yang telah aku buat adalah suatu lembaran sejarah yang menentukan seluruh orang Islam di Jawa terutama yang akan mengikuti langkahku atau mengikuti ajarannya para wali/sunan. Bilamana langkahku ini direstui oleh para leluhurku serta Dewata Yang Agung, maka kemudian hari penganutku akan dinamakan Islam Kalang yang artinya: tata lahirnya Islam akan tetapi batinnya tetap beragama Budha, atau kemungkinan ada pilihan lagi yang berdasarkan penganut Sunan Kalijaga/Raden Sait yang berdasarkan Islam ahlus sunah. Dengan tujuan untuk menyelamatkan segala peninggalan jaman Ciwa-Budha yang masih tersisa akan kelestariannya tetap terjaga sampai akhir masa supaya tidak musnah begitu saja dari peradaban di masa yang akan datang. Ki Sabdopalon menyela: “sang prabu! Jalan yang engkau tempuh saat ini memang sudah tepat, karena ikrar dan sumpahmu telah berlangsung yang searah dengan apa yang engkau kehendaki agar engkau selalu berdekatan denganku biarpun pakaian yang engkau kenakan adalah jauh berbeda dengan yang dahulu dan rasanya aku dapat menerimanya sesuai dengan dhramamu yang mulai matang. Tidak perlu engkau sesalkan segala kejadian yang sudah menimpa dirimu, karena adanya kejadian itulah maka engkau menjadi matang dan semoga mendekati ke arah kesempurnaan. Sudah sampai pada waktunya aku harus membuka rahasia pada diriku agar engkau mengetahui dengan pasti, bahwa diriku adalah berdasarkan sastra dalam sanubari tiap insan/manusia, juga berupa pola kehidupan ditiap jalan serta mewarnai segala kejadian yang berupa panca roba dalam ruang lingkup yang tidak terbatas dan sangat sulit bila engkau menalarinya. Sabda: perintah yang berupa ucapan; palon : iman dan keyakinan; Naya: situasi/ gelagat; Genggong: tidak berubah/langgeng/ abadi, sudah jelas bukan? Maka aku minta engkau mempunyai prinsip yang dapat menopang tata kehidupanmu dikemudian kelak agar engkau tidak terombang ambing oleh keadaan. Jangan engkau kawatir tentang apa yang menjadi keinginanmu, karena aku selalu menopangnya biarpun sampai akhir hayatmu. Tugasku nanti yang akan datang akan menjumpai kaum kerabatku dan anak cucumu bila mana sudah genap pada ± 560 tahun dari saat ini, guna mengingatkan kembali tentang hakekat kebenaran yang sejati dan benar-benar aku akan mengajarkan agama Budha berdasarkan budi serta dewa sebagai landasan dewan dan jawatan yang bermata satu /netra tunggal, hakekatnya merangkul semua aspek keagamaan tidak ada bedanya antara agama satu dengan agama yang lainnya, serta aku menjaga agar peninggalan tidak hilang begitu saja, bahkan dapat digali kembali buktikan!”.
Sang prabu Brawijaya tertegun mendengarkan semua uraian apalagi yang menyangkut jati dirinya secara garis besar sudah diketahui latarbelakangnya, maka tidak ada lagi jalur pemisah antara titah dengan Tuhannya lalu: aduh, pakulun! Hyang Prama Esti, hamba sangat mendambakan sejak dahulu kala, akan tetapi paduka pakulun selalu menyamarkan segala apa yang menjadi rahasia dewata, bukti nyata bahwa hambamu ini baru dapat mengungkap sejauh mana setelah paduka membeberkan tentang keberadaan paduka yang sebenarnya, maka paduka telah ketahui bahwa hambamu ini telah berganti busana/agama hamba mohon kepada paduka agar mendapat keputusan yang mungkin hamba dapat merumuskan kembali tentang segala apa yang hamba ikrarkan dan disaksikan oleh Sait. “ki Sabdopalon bertitah “kaki prabu! Engkau sudah terlanjur mengucap, karena kamu adalah seorang raja yang menghayati ilmu keagamaan, maka sabda pandita maka sabda pandita tidak dapat diulang kembali ibarat seseorang yang telah berludah tidak mungkin akan tidak boleh ludah tersebut dijilat kembali. Janganlah engkau risaukan hal tersebut wahai Kaki Prabu semoga perjalananmu dalam mengarungi bahtera kehidupan yang akan datang agar dirimu disamarkan jangan sampai diketahui oleh seluruh kaum kerabat serta keturunanmu bahwa dirimu telah berganti pakaian/busana. Jika kaki prabu masih memegang tampuk pemerintahan, maka pangeran asta gina yang menjadi dasarnya untuk menuntaskan dalam ilmu pendetaan. Ada pesanku yang sangat penting untuk menghadapi para wali yang saat ini sudah mendapat peluang dalam segala hal, maka engkau hai Trah Wijaya supaya berlaku luwes tidak perlu memberikan sangkalan apapun dan kalau engkau diajak kembali oleh si Sait, maka janganlah lupa engkau singgah terlebih dahulu ke Nyai Ageng Ngampel agar mendapat penjelasan tentang keadaan seluruhnya terutama mengenai anakmu si Patah, apakah dia sudah benar-benar bertobat atau hanya pura-pura, maka engkau dapat mengetahui secara pasti; anakmu adipati Pranaraga dan menantumu Adipati Pengging agar engkau cegah supaya tidak terjadi pertumpahan darah antar keluarga, maka segala sesuatunya dapat engkau lakukan bersama si Sait setelah semuanya itu engkau laksanakan maka tugas selanjutnya engkau kembali menghadap Latawalhuja untuk penyerahan dirimu sepenuhnya karena tugasmu sebenarnya sudah selesai di Madyapada, ini suatu rahasia yang harus dipegang erat-erat olehmu jangan sampai kau ucapkan kepada siapapun. Nanti setelah engkau sampai di Ngampeldenta maka si Sait? Akan aku wejang sendiri mengenai tugas selanjutnya yang harus ia laksanakan untuk menopang niatmu supaya terlaksana dengan mulus tanpa hambatan apapun”.
Sang prabu sangat meyakini dengan wejangan gaib yang semula tidak menduga sama sekali bahwa memang prihal Itulah yang sangat didambakannya untuk sekedar mengetahui bagaimana kesudahannya andaikata dirinya benar-benar telah mundur dan kembali ke alam baka. Untuk menutupi segala kebijaksanaan yang sebenarnya tidak patut diceriterakan, maka Sunan Kalijaga meyakini adanya suatu ciri tentang air sendang yang berbau harum (Banyuwangi), tanda bahwa sang prabu telah menjadi Islam sejati; padahal kesemuanya itu tidak demikian, karena dengan panca bayunya Ki Sabdopalon maka air itu menjadi harum, secara langsung Sunan Kalijaga sebenarnya terkecoh akan tetapi tidak mengerti, yang mengetahui hanyalah sang prabu pribadi atas kehendak Dewata Yang Agung. Disisi lain dimanfaatkan tentang kejadian yang menjurus ke arah sumpah serapah bisa dikategorikan saling mengadakan tipu daya.
Sebagai pemungkas dan mengakhiri pembicaraan antara sang prabu dengan Ki SabdaPalon-Nayagenggong, maka ujarnya kembali: “anakkku kaki prabu, jika kisah perjalanan hidupmu yang terakhir ini engkau laksanakan dengan penuh pengabdian kepada sesama, maka engkau akan mendapatkan anugerah dan yang aku cinta darimu hai kaki prabu engkau akan menjadi lambang sejarah di tanah Jawa berdiri diantara kedua sisi yang berbeda agama serta kebudayaannya, maka sudah sewajarnyalah dirimu harus lentur sekali karena tujuanmu sudah aku ketahui agar kelestarian dari warisan para leluhur tetap terjamin bahkan kemudian hari akan menjadi kekaguman bagi seluruh umat manusia. Inilah timbal balik dari pengorbananmu yang kemudian akan mendapat berkahnya, kesemuanya itu untuk mengurangi rasa durhakamu terhadap hasil karya para leluhur yang telah berabad-abad diagungkan. Sang prabu kertabumi! Aku berjanji kepadamu, munculnya aku kembali setelah 560 th akan menghapus nama burukmu dimata kawula wargamu yang sangat menyesali karena dianggap durhaka terhadap leluhurmu; kaki prabu! Untuk sementara waktu aku akan menepi/berdiam diri agar segala langkahmu tidak terganggu, akan tetapi aku tidak terlepas darimu dalam manunggalnya Kawula Gusti, hanya aku minta agar engkau tidak pula mengusikku dalam semadiku selama 560 tahun. Jika tidak aku lamban dengan tapa brata yoga semadi, maka langkahku kemudian hari dapat hancur dan gagal dalam mengembalikan citra agama Ciwa-Budha beserta budayanya. Oleh karena keadaan 5½ abad yang akan datang, pasti perkembangan agama Silam dan yang lainnya sudah mulai berakar. Maka ini suatu tantangan bagiku untuk mematangkan segala kemampuanku menerobos beberapa benteng yang sudah mulai kokoh bahkan aku akan mencabuti akar-akar yang menjadi akar penunjang hidupnya agar dapat aku tumbangkan sedikit demi sedikit dan akan kubuat matanya juling agar penglihatan mereka semuanya kabur tidak dapat melihat satu sisi saja sehingga kemurnian agama mereka akan menjadi kacau balau sesuai dengan cara mereka dahulu sewaktu merusak agama dan menghancurkan kebudayaan nenek moyang kita disamping aku akan menghitung waktu bagi orang-orang Islam sudah banyak yang kaya raya bahkan melimpah; maka disinilah kesempatan untuk membutakan mata hati mereka agar mereka makin jauh dengan Tuhan yang disembahkannya dan berakhir akan lari kemateri sampai benda mayapada dijadikan batu tumpuan untuk alasan persembahannya dan hal tersebut harus terjadi, akan kuperluas tempat peribadatan mereka sehingga mereka tidak dapat memeliharanya, sudah barang tentu rapuhlah dan secara pelan tapi pasti iman mereka bagaikan batang padi, sifat padi bila sudah dipanen maka batangnya hanya merupakan onggokan sampah yang menggunung dan akhirnya akan menjadi kompos belaka dan kemudian balik lagi menjadi batang padi kembali begitu seterusnya, jadi iman orang-orang itu timbul tenggelam tidak menentu sehingga mudah sekali untuk digilas atau dienyahkan. Kaki prabu Angkawijaya! Ada satu masalah tabir kegelapan yang melanda kerajaan Majapahit sampai para cendekiawan membuat kiasan kata yang berupa sindiran tentang rusaknya sebuah negara besar dan berwibawa di Nusantara hanya dikalahkan oleh: (a). hadirnya lebah-lebah madu (b).permunculan tikus-tikus dan (c). berkeliaran para hantu iblis dari seberang. Maka sindiran ini sangat mengena andaikata kita hayati tentang arti dan maknanya, lalu sikap kita bagaimana menghadapi situasi seperti itu, secara nyata sudah engkau hadapi sendiri lakon tersebut satu persatu. Dalam perhitungan yang serba rugi engkau tinggal menghitung sisa untungnya bilamana masih tersedia barang sedikit”.
Prabu Brawijaya sangat terkejut setelah mendengar sindiran yang dimaksud oleh ki Sabdopalon, maka segera memohon penjelasan tentang arti dan maksudnya. “Duh! Pakulun Sang Amurweng Jagad, hamba mohon penalaran tentang arti ketiga kata kiasan yang telah tergelar olehmu ya junjungan hamba semoga pukulun berkenan untuk menjabarkan maknanya!” sambut Ki Sabdopalon terharu: “anakku kaki prabu yang sangat kukasihi, bilamana kita menoleh kebelakang sejenak akan terpampang suatu kisah yang sangat membanggakan bagi seluruh kaum kerabat sampai dinasti turun-temurun; tampak dalam sejarah bahwa keberadaan leluhurmu dahulu malang melintang di wilayah Nusantara sampai ke negeri Cina bahkan sampai ke selat Madagaskar, wah bukan main hebatnya sepak terjang leluhurmu di masa lampau, sehingga membuahkan suatu negara yang teguh sentausa di bawah lindungan panji Majapahit. Jadi tangga atau jenjang tertinggi pernah diraih oleh para tetuamu dalam pengembangan negara mencapai puncak keemasan, sampai akhirnya engkau mendapat giliran untuk membina serta menjaganya agar selalu utuh sepanjang masa dan kenyataannya manusia hanya pandai merencanakan saja, tentang keputusan dan takdir bukan wewenang manusia, inilah keterbatasan kita sebagai insan yang lemah. Terbukti seperti apa yang telah engkau alami justru sebaliknya dari keadaan pada jaman sesepuhmu yang telah lampau. Akan tetapi tidak perlu engkau kawatir karena memang sudah digariskan oleh Dewata Yang Agung bahwa jaman keemasan Majapahit sudah berakhir, akan tetapi garis keturunanmu masih memegang peranan dalam pucuk pimpinan pemerintahan di Jawa sampai beberapa masa yang akan datang, polanya masih utuh akan tetapi corak dan warnanya sudah tentu berubah dikarenakan perkembangan agama yang mencakup budayanya sebaneka yang akhirnya akan timbul warna yang tidak menentu; maka garis keutuhan dari kaum kerabatmu akan mulai pudar dan akan berubah menjadi tunggak jarak yang tumbuh dan bersemi dengan segala kesuburannya, maka di kala itulah aku sudah turun dan mulai mengadakan pembinaan secara pasti terhadap orang-orang yang kembali akan mengagungkan kebesaran Tuhan ke arah Hinduisme secara sadar bahkan penuh pengertian yang akhirnya akan membangkitkan kembali semangat dan pengorbanan ke arah ini. Kaki Prabu! Uraian tentang tiga kiasan akan aku jabarkan sebagai berikut: a. lebah madu mempunyai naluri sebuah mulut yang memuntahkan madunya/nektar dan mempunyai senjata senjata pamungkas dipantatnya berupa sengatan beracun, b. tikus yang berjumlah tidak terbatas, maka untuk menopang tata kehidupannya dia secara nalurinya akan menggerogoti apa saja yang ditemuinya guna ditimbun di sarangnya, c. sifat mahkluk astral yang bergentayangan di alam manusia sudah jelas akan mempengaruhi kita dalam segi apa saja berupa manusia-manusia yang bersifat iblis dan berwatak setan-setan bergentayangan. Jadi dikatakan oleh para cendkiawan bahwa negara Majapahit, hancur binasa oleh ulah ketiga faktor pengganggu yang bukan main ampuhnya sehingga kaki prabu sendiri tidak kuasa untuk menghindarinya bukan? Justru inilah yang menjadi pembahasan utama dalam kurun waktu yang tidak terbatas, maka kewajibankulah kemudian hari untuk menata dan memberikan pengertian kepada semua orang yang ingin mengetahuinya agar dapat menilai salah benarnya seseorang pada waktu itu”.
Dengan berbagai uraian yang telah dipaparkan oleh Ki Sabdopalon menambah kegoncangan iman sang prabu sehingga termangu-mangu dalam menentukan sikap apakah dirinya akan kembali menjadi orang lama atau orang baru, perasaan malu yang menyelimuti dirinya dihadapan Raden Sait/Sunan Kalijaga karena sudah terlanjur berikrar bahwa dirinya menjadi orang Islam, maka diputuskan untuk memohon tuntunan dari Hyang Paramesti Guru/Sang Hyang Guru Kessi dan memohon kepastian tentang dirinya: “duh! Pakulun mustikaning Rati hamba mohon petunjuk serta kepastian yang harus hamba laksanakan dikemudian kelak, semoga pakulun berkenan merestui hambamu yang papa citraka ini”.jawab kaki Amurwaning Bumi/Ki Sabdapalon: “putraku kaki prabu! Untuk menggenapi sejarah maka sudah sewajibnya kita tidak berwenang manangkal sebuah kodrat yang konon katanya telah tersurat dalam lepihan Ogan Lopiyan. Jadi tegasnya engkau membawa suatu misi yang baru guna pelestarian dari keruntuhan yang dialami, agar tidak terlalu parah dan punah, maka melewati misimu ini sudah dianggap sangat tepat dan jangan engkau ragukan lagi tentang keberhasilannya dikemudian kelak, karena akau akan menopang bahkan menyertai di dalamnya pada kurun waktu yang sangat panjang. Jadi engkau yang mempunyai gagasan dan akulah yang hakekatnya akan melaksanakannya, jelas bukan! Kaki prabu semua aku akhiri sampai disini dan semoga engkau tabah dalam menghadapi semua peristiwa yang sumbernya masih berkisar tentang dirimu dan anak keturunanmu, maka engkau harus ingat segala pesan-pesanku yang serba rahasia itu harus engkau laksanakan sebagaimana mestinya agar engkau menjalankan kodrat dan garismu yang tidak perlu mengusikku disaat aku sedang mengadakan tapa brata yoga semadiku di dalam memperkokoh tugas dan kewajibanku dikemudian hari, berkah dan restuku teruntuk dirimu hai! anakku semoga ketenangan ada dalam sanubarimu”.
Sang prabu terbelalak karena Ki Sabdapalon secara tiba-tiba tanpa diduga akan meninggalkannya, sehingga lama beliau tertegun mematung tak dapat mengeluarkan sepatah katapun, dirasakan lidahnya sangat kelu bahkan kaku, apalah dayanya untuk mengulas tata kehidupannya kelak seakan beliau sendirian tanpa rekan handaitaulan maupun kaum kerabat. Disaat itulah beliau sempat menitikkan air mata sebagai tanda kesedihannya yang tidak dapat dibendung lagi, setelah beberapa saat beliau sadar bahwa semuanya tidak perlu lagi beliau sesali, maka sebagai tanda bhaktinya kepada junjungannya yang semula dianggap sebagai orang biasa malahan dianggapnya sebagai orang abdi kinasih yang sebenarnya adalah junjungan utamanya, maka perlu keharuan sang prabu mencakupkan tangan menyembahnya tanda hormat dan bhaktinya kepada Tuhan. Karena Ki Sabdapalon sudah hilang, maka arah sembahnya ditujukan ke sendang pralingga dari junjungannya yang kemudian hari akan berganti Banyuwangi sebagai peringatan tempat sang prabu ditemukan oleh Sunan Kalijaga disamping perpisahannya dengan Ki Sabdapalon-Nayaggengong yang sekaligus beliau mendapat wejangan yang sangat berharga tentang falsafah hidup bagi dirinya dan anak keturunannya, maka sampai disini perbincangan antara sang prabu Brawijaya V dengan pangerannya yang berakhir kembali kepada tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya sebagai titah dan satunya lagi sebagai awatara yang mengolah dunia agar seimbang tentang tergelarnya sejarah kemanusiaan yang beraneka ragam asal dan bentuk serta karakternya guna meramaikan di Madyapada.
Maka sang prabu menoleh kepada Sunan Kalijaga yang pada saat itu masih menghadap kearah yang sama ialah ke arah sandang/beji yang telah menyebarkan bau harum sebagai persaksian bahwa sang prabu Brawijaya benar-benar telah masuk Islam secara lahiriah maupun batiniah, begitulah anggapan dari pada Sunan Kalijaga. semua peristiwa yang dialami oleh prabu Brawijaya sebenarnya hanya beberapa menit saja sama dengan peristiwa yang dialami Arjuna waktu mendapat wejangan dari Sri Kresna dalam Bhagawad Gita. Jadi sang prabu mencoba akan memberikan surprise/kejutan kepada Sunan Kalijaga tentang segala gelagat dan seluruh kejadian yang dialaminya, apakah dia mengetahuinya atau tidak, disini maka beliau ingin menguji pula kewaspadaan S.Kali Jaga tentang waskita/dibyacaksu.
Dengan ajian maruta manda hangraras puspa/angin sorga membelai bunga dengan dibarengi oleh harum baunya sendang tersebut, maka tersentaklah Sunan Kalijaga, karena tak terduga diapun mendapatkan wejangan yang sama seperti sang prabu dengan kegaibannya Sang Hyang Wisnu Murti; jadi secara kilat apa yang dialami oleh Sunan Kalijaga serupa pula dengan wejangan yang telah diterima oleh sang prabu, maka kejadian yang sangat ga’iblah yang merubah pendirian dari daya nalar Sunan Kalijaga menjadi pelajaran utama bagi dirinya, karena segala wejangan yang diterimanya sangat mantab, sehingga pengetahuannya mengenai agama maupun lembaga kebatinan sangat tinggi dibandingkan dengan semua sunan/wali. Maka semua proses yang dialaminya adalah suatu duplikat dari semua wejangan yang tertumpah kepada sang prabu, maka selanjutnya tertuang pada dirinya, tidaklah mengherankan jika rahasia gaib yang diterima oleh sang prabu adalah persis sama seperti apa yang diterima oleh dirinya. Setelah semuanya kejadian yang sangat gaib itu usai, maka Sunan Kalijaga menghaturkan sembah kearah sendang tersebut dan berbalik ke arah sang prabu kemudian menghaturkan apa dan bagaimana kejadian yang telah dia alami lalu sembahnya perlahan: sinuhun! Hamba tidak menduga sama sekali bila hamba ini dianugrahi pula oleh kasih sayang beliau Sang Hyang Wisnu Murti yang menyamar sebagai Ki Sabdapalon biarpun hamba sendiri sebagai ulama Islam, hamba tetap menjungjung tinggi kebesaran agama Ciwa-Budha; karena mempunyai dasar bahwa semua agama yang digelar di bumi ini adalah tidak lain keseluruhannya adalah ciptaan dari beliau semata yang sifatnya sebagai pelengkap dari keramaian jagad yang semakin lama memerlukan berbagai cara untuk berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sinuhun! Hamba sangat paham sekali dengan semua wejangan ini, karena intinya adalah untuk menambah wawasan seperti ibarat makanan kita tidak akan lengkap andaikata hanya memakan satu jenis makanan saja, maka kita disediakan makanan oleh beliau berbagai ragam makanan sampai ke lauk pauknya sehingga lengkaplah sudah pengetahuan kita untuk meniti jembatan kembali kepangkuan beliau yang hakekatnya serba maya. Hamba berjanji serta berikrar dihadapan paduka yang disaksikan oleh Sang Hyang Wisnu Murti, mulai saat ini hamba akan menjaga semua peninggalan dari para leluhur kita di masa silam yang berupa agama dan budaya yang tersisa, maka hamba akan turut serta membinanya serta mempertahankannya biarpun akan bertentangan dengan semua para wali / sunan. Karena hamba mempunyai dasar bahwa kita semua dilahirkan melewati orang-orang atau para leluhur yang beragama Ciwa-budha, hamba akan pertaruhkan jiwa raga demi keutuhan dan kelanggengan agama dan kebudayaan para leluhur kita, maka hamba diberikan kelebihan serta kesaktian oleh Sang Hyang Wisnu Murti guna melaksanakan semua tugas tersebut diatas”. Sejenak berhenti adanya.
Melihat kejadian tersebut, sang prabu hanya tersenyum hambar seakan tidak mempercayai penuturan penuturan Sunan Kalijaga karena dianggap seakan suatu rancangan dan perangkap yang merupakan jerat, karena beliau berpedoman bahwa adanya kegagalannya ke Bali dan merencanakan penyerangan ke Majalengka adalah karena ulah bujuk dan rayunya yang menjadikan pula sang prabu meninggalkan agama Budha dan masuk agama Rasul, maka ujarnya: “Hai Sait! Engkau sudah merasa menang bukan? Maka sudah sewajarnya engkau berbuat sesuka hatimu terhadap diriku yang memang aku secara langsung sebagai tawananmu, aku mengatakan demikian karena engkau dalam duta sekaligus perangkap prajurit pilihan dari Raden Patah yang ditugaskan menangkapku dengan cara dan tipu daya yang engkau miliki dan memang caramu itulah yang sangat ampuh sehingga aku dapat engkau taklukkan begitu mudahnya dan menyerah tanpa syarat, yang selanjutnya engkau akan menyeretku serta menggelandang ke tengah-tengah alun-alun di Demak guna dipertontonkan kepada orang-orang Islam di Demak agar meludahiku habis-habisan serta disuruh mandi dengan kencingnya para sunan/ulama semua dan dipupuri kotorannya si Patah biar aku matinya hina dan nista sebagai raja yang dapat engkau tumpas bersama para begundalmu bukan?”, kalimat sang prabu yang berhamburan keluar adalah merupakan kekesalannya yang luar biasa, maka ucapnya kemudian: “Hai Sait! Engkau memang pandai mencari titik kelemahan lawan akan tetapi engkau tidak mengetahui bahwa kelemahan yang ada pada dirimupun lebih besar, buktinya andaikata pada saat engkau menyerahkan senjata kepadaku agar membunuhmu dan andaikata hal itu kulakukan niscaya engkau telah menjadi bangkai pada saat sekarang, mengingat aku seorang ksatriya yang agung, jelas tidak sudi membunuh orang yang sudah pasrah menyerah, coba engkau camkan benar-benar hal ini!”.
Melihat gelagat yang sangat gawat maka S.Kali Jaga segera berdatang sembah serta bersujud di kaki sang prabu dan kemudian mencuci kaki beliau tanda bhakti serta tunduk dan taat sebagai seorang anak terhadap ayahnya, cara mencuci kaki sang prabu ialah Sunan Kali mengambil air sendang yang harum baunya dengan takir dari daun talas, maka air cucian dari sang prabu ditadahnya dengan daun pisang klutuk/batu. Kemudian Sunan Kalijaga membuka destarnya/igalnya yang putih tersebut lalu mengeringkan kaki sang prabu dan kemudian selanjutnya air cucian kaki sang Natha dipergunakan untuk mencuci muka serta dibasuhlah tangan dan kakinya serta sisanya diminumnya oleh kanjeng sunan Kalijaga guna meyakinkan bahwa dia tidak berpura-pura dalam menjalankan dharma bhakti mendampingi sang prabu selama masih diperlukan sepanjang pengembaraannya di madyapada; bagaikan seekor kerbau yang dicocok hidungnya sang prabu tertegun serta menurutnya saja apa yang diperbuat oleh S.Kali Jaga terhadap dirinya itu, disamping melihat celah dari sisi mana sampai sejauh itu Sunan Kalijaga melakukan apa yang menjadi seluruh kejanggalan bahkan jarang dilakukan oleh seorang anak ataupun murid terhadap orang tuanya ataupun gurunya. Ini sungguh hal yang luar biasa bahkan jarang terjadi, sambil menggeleng-gelengkan kepada tanda kekaguman serta keheranannya sang prabu menatap kearah muka S.Kali Jaga tidak berkedip barang sekejappun. Dalam sanubari terbeti suatu gejolak rasa ingin tahu apa maksud dan tujuan dari semua cara yang telah mereka lakukan, kenyataan yang dirasakan oleh sang prabu mendadak pengendapan suatu emosi yang berkobar disanubarinya mendadak hilang musnah begitu saja, bukankah ini suatu rahmat dari Dewata yang menjadikan beliau merasa tenang tentram tanpa sebab bahkan merasakan kesejukan yang luar biasa.
Maka suasana oleh sang prabu sangat sejuk dan hening tiada gangguan apapun yang menimpa dirinya biarpun keadaan yang sekarang beliau alami adalah bagaikan kapuk randu yang diterbangkan oleh angin entah kapan akan dijatuhkannya kembali ke bumi untuk kembali bersemi; Sunan Kalijaga masih bersimpuh di hadapan sang prabu seraya sembahnya: “sinuhun! Hamba sudah mengetahui seluruh kejadian ga’ib yang tidak mungkin akan hamba pungkiri tentang kebenarannya, maka segala kekesalan yang paduka tujukan kepada hamba barang tentu hamba terima dengan ketulusan hati, karena semua yang paduka ucapkan tidak mungkin terjadi oleh sebab hamba bukanlah senapati perang Demak dan hamba bukan pula seorang prajurit pilihan kadipaten Demak, hamba hanyalah seorang ulama yang diutus untuk mencari paduka dimanapun paduka harus ditemukan, kemudian dapatlah diadakan musyawarah dan mufakat untuk hamba jadikan pepunden/junjungan kembali dan duduk di atas tahta kerajaan dimana kiranya yang akan paduka kehendaki itulah tugas hamba selaku abdi darimu sang prabu; kesemuanya itu hamba lakukan demi untuk meyakinkan kehadapan paduka agar paduka dapat memaklumi tentang segala kewajiban yang hamba pikul pada saat ini selaku kawula yang penuh kesetiaan terhadap Gustinya, apalagi hamba mendapat suatu tugas yang sangat mulia dari Sang Hyang Wisnu Murti yang merupakan suatau rencana yang penuh sandhi dan sangat rahasia, bahka semuanya ini telah terjadi pula atas diri paduka juga yang mempunyai tugas dari beliau. Maka langkah selanjutnya hamba serahkan kepada sang prabu untuk bertindak sesuai dengan rencana paduka semula dan hamba tidak berhak memaksa lagi kehendak paduka, karena mulai saat ini dan selanjutnyahamba adalah sebagai bayangan paduka, dimana paduka berada hamba selalu mendampinginya. Sekalipun paduka akan menggempur kembali Demak dan memberikan pelajaran kepada Adipati Bintoro serta menghukum para sunan semuanya akan hamba laksanakan, namba mengahturkan kesediaan ini kehadapan paduka oleh karena berdasar perinsip yang dilandasi kebenaran hakiki, maka hamba sanggup menjadi senapati perang paduka guna menegakkan kebenaran yang telah diinjak-injak bahkan memperlakukan paduka sewenang-wenang, maka sendang sari inilah sebagai saksi utama semua yang telah hamba paparkan dihadapan paduka. Sebagai pernyataan hamba dihadapan paduka sinuhun, maka hamba telah membuka sorban/destar/igal putih dari kesunan hamba yang juga merupakan symbol kemuliaan para sunan, maka hamba mengenakan sarana penutup tubuh yang berwarna wulung/hitam sekaligus destarnya juga berwarna serupa”. Sampai sejauh itu kejadiannya tentang sumpah setia dan ikrar dari kanjeng Sunan Kali kepada sang prabu, maka sabdanya: ‘anakku Sait! Sejauh mana aku mempunyai prasangka yang sangat buruk terhadapmu, karena kita ini dipertemukan oleh satu junjungan yang kita agungkan yang berwujud kaki Sabdopalon+Nayagenggong, maka kita berdua telah dipersatukan oleh beliau yang maha mengetahuinya tentang kebenaran yang sejati aku harap agar engkau dapat memaafkan segala tuduhan yang aku lemparkan kepadamu, akan tetapi juga mengangkatmu sebagai putra sejati bagi diriku sekaligus menjadi tangan kananku yang aku andalkan dikemudian hari diwaktu aku menghadapi segala persoalan yang serba sulit; suka+duka yang aku lalui sudah tidak lagi kupikirkan, hanya tinggal memperhitungkan langkah kedepan serta menacari jalan pemecahannya semoga kita berdua direstuinya oleh para leluhur kita terutama oleh para sesepuh dan Sang Hyang Paramesti Guru, mari kita mencuci muka di sendang Sabdopalon itu anakku”.
Mereka berdua lalu mencuci muka serta membasuh tangan dan kaki kemudian masing-masing mengambil tempat untuk bersemedi, hasilnya mereka berdua memperoleh pawisik yang sama agar supaya meninggalkan tempat itu kemudian menuju ke barat lagi karena jalan itu satu-satunya yang harus ditempuh, apapun arti bagi sang prabu adalah masa usia senja berarti tugas yang dipikul disunia sudah mendekati masa akhir sesuai dengan peredaran waktu dan keadaan; maka arti bagi Sunan Kalijaga adalah menyamarkan segala perintah serta semua petunjuk agar dapat menjaga kelestarian peninggalan jaman bahari dan ketepatan dengan pakaian yang dikenakan serba hitam. Demikianlah sebuah pawisik yang diterima oleh kedua insan berbentuk satu badan tetapi berfungsi ganda.
Maka setelah selesai maka sang prabu berkata: “anakku Sait! Setelah kita sama-sama menerima perintah yang arti dan tujuannya telah kita mengerti, maka jelas sekali bahwa kemudian hari sepeninggalanku, engkaulah yang akan melanjutkan keseluruhan rencana ini, kuhargai setinggi-tingginya sumpah setiamu anakku; tanpa kuduga aku serasa hidup kembali sejak kehadiranmu berada disisiku, apalagi engkau menyatakan menjadi satu denganku sebagai bayangan nyataku dimata khalayak ramai dan engkau pula yang menjadi pelita garis keturunanku di kemudian hari. Anakku Sait! Kita sudah menerima segala kodrat Tuhan yang ditumpukkan kepada kita, jadi wajibnya kita tidak perlu sampai melawan kepastian yang sudah tergaris di dalam kitab Ogan Lopiyan”. S.Kali bertanya; “sinuhun! Lalu kita akan menuju kemana untuk menghadapi masalah ini?” sang prabu menjawab: “anakku Sait! Kita akan segera meninggalkan tempat ini di pagi hari menuju Ngampeldenta dan siapkan pula dua buah bumbung untuk membawa bekal air sekaligus sebagai ciri untuk melihat kesudahan dari bau harum sampai di wilayah mana nantinya. Maka bumbung yang satu isilah dengan air biasa/air tawar dan bumbung yang satunya isilah dengan air sendang yang baunya harum”.
Selama sang prabu bersama S.Kalijaga mengadakan pertemuan dipinggir beji/sendang di bawah kerindangan pohon cendani? Wreksa Kumala seorangpun tidak ada yang mengetahuinya, karena letak sendang tersebut mamang jauh dari keramaian masyarakat di samping keberadaan pada masa itu memang tempat tersebut tidak layak dihuni karena letaknya di tepi hutan belantara. Maka suatu kesaksian dari beliau bahwa terjadi air sendang/beji yang berbau harum itulah, akan menjadi ciri dari kejadian yang kemudian hari akan dikisahkan sebuah daerah yang bernama Banyuwangi? Air Arum/Tirta Arum begitulah adanya.
Singkatnya cerita menjelang fajar diufuk timur sedang merekah, sang prabu beserta S.Kalijaga telah meninggalkan tempat tersebut menuju Ngampeldenta dengan penyamaran yang sangat sempurna sehingga masyarakat yang daerahnya dilalui oleh mereka berdua sama sekali tidak mengetahui. Bumbung tempat air tersebut kedua-duanya disumbat dengan air daun pandan sili. Di bawah ini akan kami buatkan langkah perjalanan beliau antara lain: dari Banyuwangi/sendang Sabdapalon sampai desa Sumber waras-hari pertama. Dari Sumberwaras sampai desa Panarukan-hari kedua, dari Panarukan sampai desa Besuki-hari ketiga, dari Besuki sampai desa Probolingga-hari keempat. Pada hari 1-2-3: bau air dalam bumbung yang berisikan air sendang/beji masih berbau harum, pada hari keempatlah sampai di Probolinggo itu yang kita jadikan pedoman maupun teka-teki apa dan bagaimana segala rahasia yang belum terungkap sampai kini, karena para cendekiawan kita sangat terbatas segala langkahnya disebabkan suatu kecurigaan para ulama bilamana akan terjadi suatu tindakan makar dari unsur Ciwa-Budha.
Memang sudah menjadi suratan Illahi, bahwa air sendang yang bau harum tersebut setelah sampai pada hari keempat di Probolinggo, berubah baunya menjadi bau limbah kotoran dan terkisah sebuah desa Bangerwarih, tentang makna yang sesungguhnya belum dapat kita ungkapkan secara pasti; apakah dari tempat ini terjadi suatu pergolakan kembali unsur agama serta kebudayaan Ciwa-Budha, atau mungkin ada cara-cara lain yang bersifat metafora dalam pembenahan agama itu semuanya masih dipelajari tentang kebenarannya.
Jika menurut sumber yang dapat dipercaya memang dari tempat inilah ada gejala mengenai pemunculan dari faham atau keyakinan yang dasarnya selalu berpedoman pada ajaran Hinduisme biarpun keadaannya tidak begitu murni, terutama bagi masyarakat di Jawa yang masih melaksanakan hal-hal yang dianggapnya aneh bagi masyarakat Islam Kamil/Islam tulen. Jadi beberapa sekte dari unsur Hindu yang memang sangat kabur itu, maka dalam pengetrapannya saja sudah keliru apalagi ditambahi serta dibumbui dengan ramuan-ramuan keIslaman yang serba tidak menentu sehingga dianggap suatu kebatinan yang menjurus kelembaga swarta magic/black magic. Jadi sepintas lalu masyarakat lain agama (Islam dan Kristen) memandang cara yang dilakukan oleh orang-orang tersebut spontanitas mengecap ilmu setan atau penyembah berhala, bisa jadi tanggapan yang paling buruk penyembah ilmu sesat, sangat naif sekali kita rasakan dan kita dengarkan. Ditambah pula dengan oknumnya yang tidak mempunyai dasar keagamaan serta tidak memiliki falsafah / upanisad yang benar, wah! Keadaannya bertambah runyam. Sehingga dipandang oleh mereka yang anti bahkan memandang dengan sebelah matanya yang juling itu menganggap akan kemunculannya kembali agama Ciwa-Budha di Jawa tersebut merupakan suatu duri dalam daging bilamana perlu diadakan cara untuk mengisolir agar perkembangannya tersendat-sendat, biarpun guru Wisesa / pemerintah telah memberikan perlindungan serta kebebasan untuk pengembangannya, kenyataan dalam pelaksanaannya sangat menyakitkan sekali terpaksa secara terselubung untuk mencari peluang.
Kita kembali kepada kisah perjalanan kedua tokoh yang sangat unik karena sang prabu seorang raja yang tidak mempunyai istana dan tahta apalagi kawula serta kaum kerabat; Sunan Kalijaga seorang tokoh ulama yang tidak mempunyai pesantren kitabnya sudah kombinasi serta penganutnya tidak ada yang mengerti karena Sunan Kalijaga memang suka mengembara ke seluruh negeri jadi tidak pernah menetap di suatu pondok pesantren manapun, kedua tokoh itu memang sangat janggal dan keadaannya serba payah, kita mengajak untuk para pengamat dari kisah ini agar dapat merenungi keberadaan kedua tokoh tersebut yang hakekat dari hikayat tersebut masih merupakan tanda tanya, bilamana benar demikian adanya alangkah malangnya beliau-beliau ini, seakan menjadi manusia yang tersisih dari segala golongan. Akan tetapi makin dekat dengan sesembahannya yang memungkinkan beliau berdua ini bertahan hingga akhir hayatnya. Bagi insan yang mempunyai pandangan bijaksana tentu saja sangat berbeda penilaiannya; karena Dewata Yang Agung pernah memberikan segala kenikmatan bahkan kekuatan yang dipandang sudah dipandang lebih dari cukup bahkan kebahagiaan sekarang diterimanya dari Tuhan adalah diberikan suatu titi / jembatan sebagai sarana untuk kembali ke alam sunia; bukankah ini suatu pelajaran yang sangat berharga bagi seorang negarawan maupun bagi ulama seperti kanjeng Sunan Kalijaga yang masing-masing mengemban misinya selama masih belum dicabut hak-haknya oleh Yang maha Kuasa selaku pelayan dari semua manusia yang memerlukannya.
Prabu Brawijaya ke V atau terakhir mendapat sindiran sebagai: kerbau kumbang hatinya habis dimakan kutunya babi hutan yang artinya kerbau kumbang, raja yang kaya raya dan besar jajahannya, hanya bersuara seperti kumbang karena tidak berdaya menghadapi si kutu babi yang berhasil mengalahkannya, jadi waktu dahulu Raden Patah juga para sunan/ulama Islam berdatang sembah mohon perlindungan serta mohon tempat untuk hidup serta mengembangkan agamanya, malahan mendapatkan keistimewaan berupa kedudukan di masing-masing daerah yang ditempatinya sebagai orang yang terpandang, kemudian semuanya berbalik menjadi orang-orang yang durhaka serta memusuhi kepada sang prabu.
Adapun yang dimaksud dengan lebah madu yang merusak kerajaan Majapahit artinya serupa dengan di atas; waktu datang mereka semua dengan mulut yang manis karena ada sesuatu, yang kemudian dia menyengat dari belakang, mulut lebah mengeluarkan madu dan pantatnya berisi sengatan.
Adapun yang dimaksud dengan tikus berwatak menggerogoti jika diberikan peluang pasti akan merajalela bahkan serta cepat berkembang biaknya dalam menanamkan pengaruhnya seperti layaknya sebuah teror untuk berbuat makar disamping penguasaan daerah yang bersifat berdiri sendiri lepas dari pusatnya.
Adapun arti dari pada hantu/setan/demit adalah sebenarnya sudah dibawa sendiri oleh para ulama karena watak yang demikian itu adalah bukan watak dari manusia akan tetapi watak dari laknatullah/iblis yang terkutuk, yang tata lahirnya merupakan orang alim ulama atau orang yang bijaksana dalam pengamatan sepintas, kemudian lama-kelamaan akan timbul watak aslinya ialah iblis laknat yang sangat dikutuk oleh Tuhan karena perbuatannya.
Jadi lucunya sebuah negara yang besar hanya dirobohkan oleh: tikus/lebah dan hantu, itulah sindiran dari kerajaan Majapahit yang dulunya luar biasa hebatnya dalam segala hal serta mumpuni/memenuhi syarat sebagai kerajaan yang sangat kuat dan tangguh apalagi jaman Majapahit masa keemasannya yang dipegang oleh Sri Prabu Hayam Wuruk dengan patihnya sangat terkenal dalam sumpah palapa ialah patih Gajah Paramadha. Bukankah hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan semula jika dahulunya hebat sekali maka sekarang menjadi brengsek sekali, karena sudah jatuh pamornya karena kurang mampunya bagi seorang penguasa negeri untuk mamangku jabatan sebagai seorang raja dari dinasti yang hebat kemudian jatuh pamornya jadi buru dan runyam. Itulah sekedar penjabarannya perlu suatu tanggapan yang sangat peka/sensitif bahkan tidak boleh adalah penafsiran yang nantinya berakibat buruk terhadap jalannya sejarah. Kisah lanjutan dari penafsiran semula memang diperdebatkan sangat seru diantara para cendekiawan yang memperoses jalannya cerita; kami mempunyai pendapat bahkan kutipan maupun dari babon sejarah Majapahit yang terakhir memang sangat berbeda sekali dengan yang lain disamping karena para penulisnya memang bukan orang yang menganut agama Ciwa-Budha, jadi sudah jelas bahwa di dalam cerita yang sesungguhnya sudah dikebiri paling tidak dirubah dan diluweskan sehingga kita tidak mengetahui benar-benar latar belakang dari isi sejarah yang sebenar-sebenarnya setidak-tidaknya si pembaca sudah bertolak arah sehingga jalan cerita yang sebenarnya sukar untuk diresapi, karena beberapa faktor yang mungkin dianggap kurang baik dimata umum, maka diadakan perubahan disana-sini, sehingga kaburlah inti sejarah yang seharusnya dapat kita hayati bersama, karena sejarah tidak boleh berupa kebodohan akan tetapi suatu fakta yang nyata hendaknya.
Kita kembali kepada perjalanan sang prabu bersama Kanjeng Sunan Kali, setelah meninggalkan Probolinggo genap hari ke tujuh sampailah di Ngampel Gading/Ngampel Denta, oleh karena Kyai Ageng Ngampel sudah lama wafat, maka segala sesuatu di padepokan Ngampel dikuasakan kepada Nyai Ageng. Upacara dilaksnakan oleh para santri di padepokan dengan sangat sederhana, kemudian Nyai Ageng menghaturkan kepada sang prabu dan memberikan uluk salam kepada Sunan Kalijaga serta mempersilahkan beliau berdua untuk masuk di sasana hinggil untuk diadakan jamuan serta mohon restunya selaku seorang raja yang masih tetap diagungkan oleh hamba sehayanya di daerah Ngampel dan sekitarnya. Untuk mempersingkat cerita segala kejadian bedahnya keraton dan hilangnya Raden Gugur yang masih kecil entah kemana diuraikan kesemuanya oleh Nyai Ageng serta rasa penyesalannya Raden Patah terhadap kejadian ini, yang akhirnya berkesudahan rusaknya kaum kerabat di keraton Majapahit. Sang Prabu tidak banyak mengolah lagi apalagi, mengenai segala kejadian yang sudah lampau, hanya suatu perintah utama yang dikeluarkan oleh Beliau pada utusan dari Ngampel agar menyampaikan sepucuk surat kepada Babah Patah di Demak, supaya menghadap Sang Prabu yang pada saat ini berada di desa Ngampel Gading.
Sudah menjadi garis takdir yang dijalani oleh Prabu Brawijaya pamungkas bahwa Beliau sudah mendekati ajalnya maka mendadak Beliau jatuh sakit yang tidak lain hanyalah suatu jalan untuk kelepasan Atma dari Angga Sarira agar tidak lama menderita, suatu kemurahan dari Sanghyang Prama Wisesa terhadap diri Sang Prabu; suatu permintaan yang perlu dipenuhi adalah tentang jalannya pemakaman nanti agar Sang Prabu dimakamkan di Majapahit sebelah timur laut segaran dan dinamakan pesarian sastra wulan serta cungkupnya disamarkan dengan nama putri Cempa, jelas kesemuanya memiliki suatu tujuan agar Beliau yang sebenarnya tidak dapat dijejak oleh keturunannya disebabkan rasa harkat dan derajat Beliau agar tidak merosot dimata masyarakat disamping menunggu Ki Sabdapalon-Nayagenggong turun kembali selama 560 tahun yang akan datang guna membuka semua tabir misteri tentang keberadaan Beliau yang sebenarnya. Jadi misteri yang akan terpecahkan tersebut masih berupa teka teki, apakah berupa sistem penggalian antropologi dan arkeologi atau dari penemuan sejarah dalam sastra? Karena masalah yang kedua tersebut sudah tidak mungkin, karena semua sastra Agama Ciwa-Budha sudah dibakar semuanya sampai ketangan masyarakat kecil pun dimintanya oleh para penganut agama baru lalu membasminya. Itulah sekedar ulasan yang dapat kita petik agar mengerti.
Maka tugas Sunan Kalijaga adalah membuat surat yang ditugaskan kepada adipati Pranaraga (Bhatara Katong) dan adipati di Pengging (Handayaningrat) agar mengurungkan niatnya menggempur Demak dan ditandatangani oleh sang prabu. Kehadiran Raden Bondan Kejawan sebagai putra sang prabu yang keluar dari selir atau mendapat sebutan pangeran Lembu Peteng, dapat berbakti dan menunggu wafatnya sang prabu, maka kemudian hari dari dialah yang dipastikan meneruskan lajurnya dinasti di pulau Jawa sudah barang tentu kesemuanya ini adalah tugasnya Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mengatur segala sesuatunya, karena salah satunya putra yang mendapat restu dari sang prabu adalah Raden Bondan Kejawan. kemudian Hari Wahyu Cakraningrat ada pada sisi lain yang menurunkan raja di Mataram II, yang sudah mendekati masa pergolakan. Karena Nusantara hampir kedatangan VOC dan keadaan yang berubah lagi dengan kemunculan Belanda.
Inti cerita dari pengungkapan Dharmagandul sebenarnya sudah mencakup tentang asal mula orang-orang di Jawa beragama Islam, yang menurut jalannya skenario telah jelas para pemainnya didalam melakonkan seluruh kejadian dari petikan sejarah Dharma Gandul yang dipetik dari macapat maka lebih lengkap segala ciri dan uraiannya yang bait demi bait dapat kita ambil kesimpulannya. Karena terlahirnya Dharma Gandul ini jelas sesudah semua sebagai penganut Islam, maka didalamnya banyak terdapat kalimat atau kotbah sebagai penganut Islam, hal tersebut harap dimaklumi oleh para pengamat maupun para cendekiawan Hindu yang tengah mengoreksi tentang jalannya kisah tersebut di atas tentu banyak menemui banyak kejanggalan.
Sutawijaya/Panembahan senopati sebagai raja Majapahit yang kedua telah dikuasai dengan dasar agama Islam, pernah mempunyai prakarsa ingin mencari kembali tentang silsilah nenek moyangnya yang dahulu kala beragama Ciwa-Budha beliau berusaha mencarinya dari jaman Mataram ke 1. Raja Saylendra dan raja Sanjaya. Kemudian ke Kahuripan-Daha-Kediri-Medang Kemulan belum juga mengena, kemudian melanjutkan ke sejarah selanjutnya ialah Majapahit, yang konon suatu kerajaan yang berdiri paling lama diantara kerajaan-kerajaan yang lain. Dasar dan tujuan beliau karena mendapat pawisik dari salah satu leluhurnya yang beragama Ciwa-Budha agar mencari kemurnian dari agama yang membuat budaya yang ada dahulu sehingga sekarang biarpun keadaannya sudah semakin kabur dikarenakan budaya Arab dan Yerusalem (Islam-Kristen), dengan kata lain menggali kembali sejarah kerajaan Hindu (Ciwa-Budha) untuk disusun serta dilembagakan kepada masyarakat, agar generasi selanjutnya dapat mengetahui tentang duduk perkara yang sebenarnya tanpa ada cerita palsu atau yang diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Jadi segala usaha telah ditempuh oleh panembahan senapati, toh hasilnya sangat mengecewakan karena sebagian besar memang sudah tidak ada lagi yang dapat dijadikan pegangan guna menyusun prasasti Hindu yang menyangkut raja-raja yang menurunkan dirinya, yang ada hanya dari Demak. Nyata sekali ketidak senangan dari para cendekiawan Demak-Giri-Bonang-Terung yang memang anti luar biasa terhadap kebudayaan dan agama Hindu (Ciwa-Budha) dianggap suatu duri dalam daging, maka sudah selayaknya harus dihapuskan dari bumi nusantara. Andaikata Borobudur dan Prambanan itu merupakan barang yang berupa kertas mungkin sudah di bumi hanguskan sejak dahulu karena barang tersebut berbentuk kasar dan kuat apalagi terbuat dari batu gunung, maka orang-orang yang akan memusnahkannya tidak mampu tetapi malahan berbalik pura-pura turut melestarikan padahal itulah perbuatan yang sangat ingkar terhadap agama mereka sebenarnya atau orang Islam syirik.
Demikianlah suatu kenyataan yang terjadi di Jawa dan sekitarnya, yang pada dewasa ini sudah bukan masalah lagi yang perlu diperdebatkan. Lalu bagaimana orang-orang yang mengaku beragama Islam akan tetapi tidak sama sekali melaksanakan rukun Islamnya, misalnya sembahyang dan lain-lainnya? Bagaimana tentang penilaian para cendekiawan Hindu tentang hal tersebut, kenyataannya di Jawa dan sekitarnya berjuta-juta orang yang demikian tersebut, mereka beragama hanya dalam KTP saja. Dalam kenyataan mereka tidak pernah mengenal mesjid, suatu kebangkitan dari (teks tidak disebutkan) yang kontra jelas menganggap munculnya versi yang akan merusak (teks tidak disebutkan) Garis besar dari cerita yang motifnya berkisar diantara orang-orang besar antara seorang ayah dengan anaknya yang berakhir pudarnya agama Ciwa-Budha di Jawa. Agama Budha di Jawa yang masih ada sekarang adalah jasa dari para Tiong Hoa/Cina yang memeluk agama Kong Hucu lalu dapat membangkitkan kembali agama Budha di Jawa yang sebenarnya (Budha Dharma). Kami sengaja mengutarakan hal tersebut, karena memang yang berkembang di Bali khususnya sejak dahulu kala hingga kini asimilasi atau perpaduan antara aham atau ajaran Ciwa dengan ajaran Budha yang kita sebut Hindu, kesimpulan yang dapat diambil kebenarannya adalah di Bali dwipalah sebagai benteng pertahanan yang terakhir yang masih melestarikan serta mengembangkan agama Ciwa-Budha yang sudah lazim disebutnya agama Hindu atau Hindu Dharma. Mari kita menghayal sedikit, kemungkinan kesemuanya karena suatu kebangkitan dari para leluhur kita di jaman sekarang yang akan membebaskan diri dari belenggu kesewenangan suatu sekte yang menganggap dirinya paling unggul selama lebih kurang 560 tahun. Yang silam, dan sekarang masa kebangkitannya dari singksaan; menurut suatu pendapat memang sudah waktunya untuk berkembang kembali.
salam dharma
BalasHapusjan membuatku geram emang ini yang buat onaar
Hmmm....
BalasHapusSemoga saya masih hidup, sehingga bisa melihat bergantinya agama kekacauan dgn agam budhi
BalasHapusHindu budha import dari india
BalasHapusApabedanya dngn islam
KADRUN TOLOL TOTAL.
HapusOi tolol, hindu itu awalnya dari nusantara,namanya agama Tirta, tapi karena kedatangan orang india, di sempurna kan lagi menjadi Hindu, bukti ada prasasti di kutai lebih tua daripada kedatangan Rsi Markandeya ke Nusantara, bodoh kali kau ini tolol
BalasHapushanya ada 1 agama yg suka bikin knflik, siapa ayooo?
BalasHapus