Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah
A ji Wegig berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan
arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari
masyarakat Bali.
Ilmu Hitam yang di kenal dengan istilah
"Pengeleakan" di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh
Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala
manifestasinya dalam fungsinya untuk memprelina (memusnahkan ) manusia
di muka bumi.
Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah Di Bali
Ilmu tersebut dikenal masyarakat luas sejak dulu, ilmu ini memang
teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif
singkat.
Ilmu Leak dapat juga menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.
Dalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal dengan
istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda
yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan
malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati.
Demikian pula
dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut Ilmu Hitam atau
Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan
atau Ilmu Putih.
Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan, tergolong
"Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu
sifat yang suka menggangu orang lain.
Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa".
Ngiwa asal katanya kiwa (Bahasa Bali) artinya kiri.
Ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri.
Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian Ilmu Hitam.
Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun
pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran panjang 30 cm dan
lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang
sangat sakral.
Pada jaman Raja Airlangga yang berkuasa di
Kerajaan Kediri yaitu pada abad ke-14 ada seorang Ibu yang menguasai
Ilmu Pengleakan yang bernama Ibu Calonarang. Pada waktu Ibu Calonarang
masih hidup pernah menulis buku lontar Ilmu Pengleakan empat buah yaitu :
Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas, Lontar Jung Biru.
Calonarang adalah nama julukan seorang perempuan yang bernama Dayu Datu
dari Desa Girah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kediri.
Calonarang berstatus Janda sehingga sering disebut Rangda Nateng Girah
yaitu Rangda artinya Janda atau dalam bahasa Bali disebut balu, Nateng
artinya Raja (Penguasa). Girah adalah nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda
Nateng Girah’’ artinya Janda Penguasa desa Girah.
Calonarang
adalah Ratu Leak yang sangat sakti, pada jaman itu bisa membuat wilayah
Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam
waktu singkat, yaitu pada wilayah pesisir termasuk wilayah desa Girah.
Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :
Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah
ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh
seorang janda yang bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu
Datu).
Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada
empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain :
Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.
Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :
1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa
merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih,
kambing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.
2. Ilmu Leak
Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah
bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda bisa terbang tinggi, paruh
dan cakarnya berbisa, matanya bisa keluar api, juga bisa berubah wujud
menjadi Jaka Tungul atau pohon enau tanpa daun yang batangnya bisa
mengeluarkan api dan bau busuk yang beracun.
3. Ilmu Leak
Tingkat Tinggi yaitu orang yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa
merubah wujudnya menjadi Bade yaitu berupa menara pengusungan jenasah
bertingkat dua puluh satu atau tumpang selikur dalam bahasa Bali dan
seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga
apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.
Ibu Calonarang Terhina
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama
Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada
satupun pemuda yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali
diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu
kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu,
begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang
paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan
tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya
berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan
tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa
muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin
dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan
Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi
api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang
sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh
masyarakat Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih
bercampur berang, sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua,
itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong
cucu, berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak.
Ibu
Calonarang berkata kepada Nyi Larung : “Hai Nyi Larung, penghinaan ini
bagaikan air kencing dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan
membalas semua ini, rakyat Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak
dalam sekejap. Semua orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki,
perempuan, tua muda, semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan
penghinaan ini. Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka
lebih baik aku mati, percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini
tidak melakukan balas dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
Demikian kata-kata Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau
seandainya hal ini menjadi kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan
bertanya “Kalau demikian niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal
tersebut”. segera dijawab oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung,
ketahuilah, jangan terlalu khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu
Calonarang bukanlah orang sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin
dengan diri, maka aku tidak akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut
merasakan akibat dari segala perbuatan yang telah mereka lakukan
terhadap anakku.
Kau Nyi Larung, Ibu minta agar kau
mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk ke Pasraman
Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah malam nanti. Aku akan menurunkan
segala ilmu kewisesan yang aku miliki kepada kalian semua. Karena
sekarang hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua melakukan
pekerjaan seperti biasanya. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya.
Nanti malam kita akan berkumpul lagi membicarakan masalah tersebut, dan
ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita akan lakukan ini,
kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu berupa serangan wabah
penyakit yang sulit diobati yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu
singkat. Demikian Ibu Calonarang menutup pembicaraannya pada sore hari
tersebut, dan semua kembali melakukan kegiatan sebagaimana mestinya.
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Diceritakan Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti
biasanya. Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah
dengan menanam padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang gembira
bermain sambil mengembalakan sapi dan bebek di sawah. Mereka riang
gembira, menemani orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula
masyarakat yang bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan
suci seperti pura dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu
gerbang, dan lain-lain. Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai
pedagang dengan menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain
untuk keperluan sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus
membuat perabotan pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan
dari besi lainnya. Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki
biasanya diisi dengan mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan
digunakan untuk mencari kutu rambut.
Tidak ada terasa hal-hal
aneh atau pertanda aneh di siang hari tersebut. Kegiatan masyarakat
berlangsung dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam hari. Pada malam
hari masyarakat yang senang matembang atau bernyanyi melakukan
kegiatannya sampai malam. Demikian pula dengan sekaa gong latihan sampai
malam di Balai Banjar. Suasananya nyaman, tentram, dan damai sangat
terasa ketika itu.
Setelah tengah malam tiba, semua masyarakat
telah beristirahat tidur. Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi
senyap, ditambah lagi pada hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon.
Suatu hari yang dianggap kramat bagi masyarakat. Masyarakat biasanya
pantang pergi sampai larut malam pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari
tersebut dianggap sebagai hari yang angker. Sehingga penduduk tidak ada
yang berani keluar sampai larut malam.
Ketika penduduk Rakyat
Kediri tertidur lelap di tengah malam, ketika itulah para murid atau
sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi leak datang ke Desa-desa wilayah
pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka warna bertebaran di angkasa.
Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari angkasa. Ketika itu, penduduk
desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan kedatangan pasukan leak
tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa merasakan udara menjadi panas dan
gerah. Angin dingin yang tadinya mendesir sejuk, tiba-tiba hilang dan
menjadi panas yang membuat tidur mereka menjadi gelisah. Para anak-anak
yang gelisah, dan terdengar tangis para bayi di tengah malam. Lolongan
anjing saling bersahutan seketika. Demikian pula suara goak atau burung
gagak terdengar di tengah malam. Ketika itu sudah terasa ada yang aneh
dan ganjil saat itu. Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok darat yang
ramai, padahal ketika itu adalah musim kering. Demikian pula tokek pun
ribut saling bersahutan seakan-akan memberitahukan sesuatu kepada
penduduk desa. Mendengar dan mengalami suatu yang ganjil tersebut,
masyarakat menjadi ketakutan, dan tidak ada yang berani keluar.
Endih atau api jadi-jadian yang berjumlah banyak di angkasa kemudian
turun menuju jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar
sangkar ayam mendarat di perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api
kecil-kecil warna-warni. Setelah itu para leak yang tadinya terbang
berwujud endih, kemudian setelah di bawah berubah wujud menjadi leak
beraneka rupa, dan berkeliaran di jalan-jalan desa. Ketika malam itu,
ada seorang masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik
jendela rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang
dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di
luar. Orang tersebut, karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam
rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan
Hyang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut
mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau
bicara.
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah
tiga puluh empat orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah
senior yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua
sudah berada di desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah
dengan hujan gerimis yang memunculkan bau tanah yang angid, mambuat para
leak menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di
angkasa berkejar-kerjaran dan menari-nari. Monyet-monyet besar, anjing
bulu kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan
sepanjang desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing,
gegendu kerbau, gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan
Kediri. Demikian pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat
dan bersandar di angkul-angkul rumah penduduk. Leak yang berwujud kreb
kasa atau kain putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di
jalanan. Di perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud
bade atau menara pengusungan mayat sedang menari-nari memenuhi jalanan.
Semua leak tersebut menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan
oleh gurunya yakni Ibu Calonarang.
Sungguh-sungguh seram memang
pada malam itu. Penduduk desa tidak ada yang berani berkutik, apalagi
keluar rumah. Para leak di malam itu telah menyebarkan penyakit grubug
di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Setelah semalaman para
leak berpesta pora, maka hari telah menjelang pagi. Tiba saatnya para
Leak untuk kembali ke wujud semula. Karena begitulah hukumnya sebagai
leak. Waktu mereka adalah di malam hari. Apabila mereka melanggar hukum
tersebut maka mereka akan mendapatkan bahaya. Ketika hari menjelang pagi
para leak pun kembali ke tempatnya semula, dan pulang ke rumah.
Demikian pula dengan Ibu Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi
Lendi dan Nyi Sedaksa kembali pulang ke rumah setelah pesta pora di
malam hari. Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja
mereka semalam.
Diceritakan keesokan harinya penduduk desa
bangun pagi-pagi. Mereka ramai menceritakan keanehan-keanehan dan
keganjilan-keganjilan yang terjadi pada malam harinya. Semuanya
menceritakan apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka sempat
saksikan malam itu dirumah masing-masing. Namun sedang asyiknya mereka
bercerita, tiba-tiba saja ada seorang penduduk yang menjerit minta
tolong. Orang tersebut mengatakan salah seorang keluarganya tiba-tiba
saja sakit perut, muntah-muntah, dan mencret-mencret. Ketika mau
memberikan pertolongan kepada penduduk di sebelah Barat tersebut,
tiba-tiba saja tetangga di sebelah Timur menjerit minta tolong ada salah
seorang keluarganya yang muntah dan mencret. Pagi itu, masyarakat desa
menjadi panik. Karena mendadak sebagian penduduk mengalami muntah dan
mencret. Bahkan pagi itu, ada beberapa yang telah meninggal. Beberapa
lagi belum ada yang sempat diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal.
Demikian semakin panik masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal
dikuburkan di setra atau tempat pemakaman mayat, namun ketika pulang
dari setra, tiba-tiba saja yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan
meninggal. Demikian seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut.
Seolah-olah kematian ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan
pemandangan di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu.
Kerajaan Kediri gempar, sehari-hari orang mengusung mayat kekuburan
dalam selisih waktu yang sangat singat.
Menghadapi situasi
demikian beberapa penduduk dan prajuru desa mencoba untuk menanyakan
kepada para balian atau dukun untuk minta pertolongan. Para balian pun
didatangkan ke desa-desa yang kena bencana wabah gerubug. Ternyata
mereka juga tidak dapat berbuat banyak menghadapi penyakit gerubug yang
dialami penduduk desa. Bahkan, si balian atau dukun yang didatangkan
tersebut mengalami mutah berak dan meninggal. Setiap hari kejadian
tersebut terus berlangsung. Penduduk desa menjadi bingung dan panik. Ada
yang berkehendak untuk mengungsi dan menghindar dari grubug tersebut.
Mereka berbondong-bondong meninggalkan desanya. Namun ketika sampai di
batas desa, mereka itu mengalami muntah berak dan meninggal seketika.
Melihat keadaan seperti itu penduduk yang masih hidup menjadi semakin
ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua tidak ada yang berani tidur
sendirian, dan tidak berani keluar rumah. Lolongan anjing tak
henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak dongkang, semuanya
ribut saling bersahutan.
Adanya musibah yang menakutkan
bercampur dengan sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah diri dan
menyerahkan semuanya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap saat mereka
memuja dan memohon kehadapan beliau agar bencana grubug ini segera
berakhir, dan semua penduduk yang masih hidup diberkahi keselamatan dan
kekuatan. Di samping itu perlindungan-perlindungan magis dipasang di
depan pintu masuk pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan petunjuk
orang pintar atau sesuai dengan kebiasaan para tetuanya terdahulu.
Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis seperti daun pandan
berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur sirih,
berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu yaitu
benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang kepeng.
Jadi pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan memohon
perlindungan kehadapan Hyang Maha Kuasa.
Setelah berberapa hari
mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya para prajuru
desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku,
mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah. Pada
intinya mereka membicarakan mengenai masalah atau penyakit gerubug yang
menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau seandainya
masalah ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti penduduk desa akan habis
semuanya.
Mereka tetap berharap agar semua masyarakat
meningkatkan astiti bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan agar diberikan keselamatan, kesehatan,
perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa
para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku sepakat
untuk melaporkan masalah ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri.
Mereka berencana memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan
untuk datang ke desa-dewa wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau
rakyatnya yang sedang ditimpa musibah penyakit atau gerubug. Karena
beliau sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib
untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan
merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi.
Ketika para
tetua desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di
Bale pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi,
kepala kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan,
dengan mata merah, dan bicaranya ngawur. Rupanya orang ini dalam
keadaan mabuk. Orang tersebut datang di bale pertemuan dan berkata bahwa
anaknya telah meninggal karena muntah mencret. Pemabuk itu kemudian
berkata : mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku, akan aku
santap bola matanya mentah-mentah. Demikian orang tersebut sesumbar
dihadapan para sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan sesumbar tersebut
Si Brewok tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan akhirnya
tewas di tempat.
Setelah beberapa saat Si Brewok tergeletak,
kemudian para tetua desa tersebut menjadi teringat dengan kejadian yang
terjadi beberapa waktu lalu ketika di Desa Girah. Mereka baru ingat
bahwa Si Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari kejadian yang
menimpa Diah Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan
orang banyak, Si Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa
ngeleak karena Ibunya Calonarang adalah orang sakti dan bisa ngeleak.
Jangan-jangan hal itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang
melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri sekarang ini. Karena
Calonarang merasa tersinggung dan terhina tidak akan tinggal diam.
Mungkin saja ia akan membalas dendam sesuai dengan kemampuannya. Apalagi
Calonarang adalah seorang yang sangat sakti dan memiliki murid yang
sangat banyak. Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mencoba untuk
menghancurkan desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar penyakit
gerubug. Rupanya mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama,
dan sepakat untuk segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu
Airlangga Raja Kediri.
Keesokan harinya para prajuru desa
beserta rombongan berangkat menuju Istana Kediri. Sangat cepat
perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan sampailah rombongan
tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. Ketika di Istana
rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang tenang, damai, dan
biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan dengan apa yang
terjadi di desa sekarang ini. Di bencingah puri tampak sekelompok
masyarakat yang sedang duduk-duduk di bawah rimbunnya daun beringin yang
sangat besar yang tumbuh di becingah, seolah-olah memayungi rakyat
Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau akarnya yang menjulur
sampai menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan tangannya untuk menolong
rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka seperti biasa yang laki-laki
beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam aduan. Di sampingnya
tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna, dan mekruyuk atau
berkokok saling bersahutan. Disana, ada pula dagang kopi, dagang kue,
dagang nasi, dengan be guling nyodog atau babi guling yang utuh dan
diletakkan di atas meja dagangan.
Rombongan tersebut disapa
oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera masuk ke
dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi bentar yang
megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang tinggi, dan bale
bengong yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi klangen atau
kagum. Di hulu sebelah timur laut terdapat pemerajan puri atau tempat
suci keluarga Raja yang sangat disucikan.
Mereka kemudian
menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan.
Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut
kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke
Istana. Dijelaskan pula secara panjang lebar mengenai masalah yang
sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Mereka
kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke desa-desa.
Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu
menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan dengan roma muka yang
agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu keadaannya, penyebar
gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak bukan adalah
Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi aku akan
segara berupaya untuk menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi
Calonarang yang sakti tersebut”.
“Pengerusakan dan penyebaran
penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebenarnya adalah tantangan
langsung bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi
bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat berani
kepadaku, dan sangat besar dosanya karena telah membunuh banyak rakyatku
yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga
orang tersebut harus mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal”.
Demikian sabda Raja Kediri yang menabuh genderang perang terhadap
Calonarang.
Sang Prabu juga menyampaikan pesan kepada rombongan
Desa Girah sesampai di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku
semuanya. Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida
Betara Tri Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah
berjaga-jaga di perbatasan desa sambil menghidupkan api obor sebagai
penerangan dan sekaligus mohon perlindungan kehadapan Hyang Betara
Brahma. Sebelum itu jangan lupa menghaturkan canang atau sesajen di
sanggah atau tempat suci keluarga masing-masing agar para leluhur kita
juga ikut membantu melindungi dari bahaya ini. Kemudian mohonlah
sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang putih, jangu, benang
tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak leak. Demikian
perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat beliau yang
sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para penghadap tersebut
diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak diceritakan perjalanan
mereka, maka sampailah rombongan tersebut di rumah, dan segera
memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.
Raja Kediri Murka
Kembali diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan
rombongan Desa Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale
penangkilan. Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya
dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu
sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan
panas hati beliau akibat ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali
perangai beliau ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning
yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau punakawan di
puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau
punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat
Sang Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan
menemani beliau ketika itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan
yang lainnya tidak disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju
kepada upaya bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.
Ketika hari menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat
beliau duduk sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki
Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng
dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar,
pintar ilmu silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan.
Ia sangat berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun
ia sendiri berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia
kepada Istana terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja
Kediri.
Sangat gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki
Patih Madri muncul di Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat
untuk diajak bertukar pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk
perasaan Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang
diperlukan sekali. Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan,
Sang Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini sangat kesal,
marah dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah
onar Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir
wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di
sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan
kekuasaanku. Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke
Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah
yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan
Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat
onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa
Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk
menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. Demikian kata
pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia
sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir
sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun
Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau
sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah
Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai
masalah ini.
Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang
garam ke laut begitulah ibaratnya”. Lebih lanjut Ki Patih Madri
menyampaikan haturnya kehadapan Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku
Calonarang tersebut, maka inilah yang disebut dalam sastra agama
sebagai Atharwa yang artinya melakukan pembunuhan yang sangat kejam
terhadap orang lain yang tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam.
Mereka telah menebar cetik atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula
digolongkan sebagai Himsa Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain
secara sewenang-wenang. Para pelaku dari semua ini harus dihukum berat
dan setimpal”. Demikian hatur Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu.
Kemudian Ki Patih Madri menambahkan haturnya sekarang Paduka jangan
terlalu bersedih dan khawatir. Hamba akan menjalankan Swadharmaning
Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang
lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga hamba untuk Kediri. Kita
akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah, kita hancurkan antek-antek,
dan kita musnahkan Calonarang”. Demikian Ki Patih Madri memompa semangat
junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu mendengar apa yang diucapkan
oleh Ki Patih Madri.
Raja Airlangga kemudian membuat keputusan
untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan
kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan penyerangan.
Gugurnya Ki Patih Madri
Diceritakan Ki Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan
penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua
dikumpulkan di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana
penyerangan ke tempat Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di
malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba.
Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan
senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau
sarana magis pelindung diri.
Karena kesaktian Calonarang, maka
serangan dari pihak Kediri yang dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui
sebelumnya. Sehingga Calonarang memerintahkan kepada seluruh
sisya-sisyanya atau murid-muridnya untuk bersiaga di perbatasan Desa
Girah. Calonarang beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan
para jawara Kediri yang akan menggempurnya. Mereka telah menggelar semua
ilmu yang dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan
penyengker gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus
pertahanan tersebut.
Pada tengah malam, sampailah Ki Patih
Madri dan para jawara Kediri di perbatasan Desa Girah. Mereka langsung
menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang telah
menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid
Calonarang yang dipimpin oleh Nyi Larung sehingga terjadilah pertempuran
ilmu kanuragan dimalam hari yang sangat dasyat. Bola-bola api
beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlapan aneka
warna di angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling
berbenturan. Langit di Desa Girah pada malam itu bagaikan kejatuhan
bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh
digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama pertempuran di malam hari
berlangsung, serangan dari para jawara Kediri dapat dipatahkan oleh
ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid Calonarang,
sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan melawan Nyi Larung dan
para jawara Kediri banyak yang tewas. Para jawara Kediri yang masih
hidup berhamburan berlari meninggalkan arena pertempuran karena
terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri. Setelah mengalami
desakan dari pasukan leak murid-murid Calonarang, maka para jawara
Kediri memutuskan untuk berbalik dan kembali ke Istana Kediri, serta
melaporkan semuanya kehadapan Prabu Airlangga.
Ratu Leak
Calonarang Rangda Nateng Girah Kekalahan pasukan Kediri menyebabkan
pasukan leak Calonarang bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang
suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun,
melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit.
Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut.
Mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling
berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Diceritakan mengenai
perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari
mereka telah sampai di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu
dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang
telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
Salah
seorang dari pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang Prabu
“mohon ampun Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid Calonarang
benar-benar teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak mampu mengalahkannya
dan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan dan banyak pasukan yang tewas.
Hamba gagal dalam mengemban tugas yang Paduka titahkan. Atas kegagalan
tersebut, hamba mohon ampun, dan siap menjalankan hukuman”. Demikian
permakluman prajurit Kediri kehadapan Sang Prabu.
Raja
Airlangga yang bijaksana kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri yang
gagah berani beserta semua pasukan, kalah menang dalam peperangan sudah
menjadi hukumnya. Yang penting sekarang adalah aku minta engkau agar
tidak surut kesetiaanmu terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu
terhadap Istana, terhadap Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa,
karena masih ada waktu dan masih ada cara lain untuk menumpas Calonarang
beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang. Sang Prabu
melanjutkan wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring
payudhan atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam Shanti Parwa
disebutkan bahwa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir
muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan
menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman.
Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya
yang digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang Prabu memberikan wejangan
kepada Prajurit Kediri yang hampir putus asa karena kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, para pasukan Kediri merasakan hidup
kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau
kekuatan tenanga dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali.
Prajurit kemudian berkata “baiklah tuanku, sangat senang hamba mendegar
wejangan tersebut. Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan
membela mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta
dengan murid-muridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh
seluruh pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah kalau
begitu, Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu.
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
Dengan kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka
Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang
Bagawanta (Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang
bernama Empu Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug
(wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu
Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu
Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil
mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu
Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan
aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan.
Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh
Empu Bharadah dengan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura
kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan
milik Calonarang.
Ibu Calonarang sangat marah dan menantang
Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu
yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan
Kediri.
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Dalam perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus
Balayuda Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya.
Para Pasukan Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus orang
yang dipimpin oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini
akan mengawal dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang
dilakukan oleh Calonarang dan antek-anteknya.
Segala sesuatu
perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak,
keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana
pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak,
sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit atau
tempat rahasia. Yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai
perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan selama penyerangan.
Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istrirahat agar
tenaga cukup kuat untuk penyerangan besok. Keesokan harinya perjalanan
penyerangan dilakukan, pasukan khusus atau pasukan pilihan dari Kediri
yang disebut dengan Pasukan Balayuda dalam penyerangan tersebut mengawal
Empu Bharadah. Sedangkan di depan sebagai pemimpin pasukan dipercayakan
kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu Tal.
Tidak
diceritakan perjalanan mereka, akhirnya rombongan Empu Bharadah dan
pasukan Kediri sampai di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana
rombongan tersebut berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan
untuk menuju ke Desa Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda
Mayu yang berada di Wilayah Desa Girah.
Diceritakan kemudian
Ibu Calonarang dirumahnya diiringi oleh para sisyanya semua melakukan
penyucian diri dan mengayat atau memuja kehadapan Ida Betari mohon
anugrah kesaktian. Mereka memusatkan pikiran dan memanunggalkan bayu
atau tenaga, sabda atau suara, dan idep atau pikiran, memuja Ida Betari
bersarana sekar manca warna atau bunga warna-warni, dengan disertai asep
menyan majegau atau wangi-wangian yang dibakar yang asapnya membubung
ke angkasa, seolah-olah menyampaikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida
Betari. Semua pekakas dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya
yang pingit atau tempat rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di
hadapan mereka juga digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen
lengkap sesuai dengan keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan
mata dan memusatkan pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra
sakti memohon anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha
Wisesa, dengan harapan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri dapat
dikalahkan.
Setelah beberapa saat melakukan konsentrasi, maka
sampailah pada puncaknya. Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan
merasuk ke dalam sukma. Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk
ke dalam jiwa raga. Calonarang kemudian bangkit dan berkata kepada
semua sisyanya “para sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang
Betari telah terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah
kita bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini
saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri.
Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang
Kediri yang datang ke sini menyerang. Demikian perintah Calonarang
kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berubah menjadi besar
dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian
Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan.
Semua
sisya Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap menyerang.
Ada wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing siap
nyenggot atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau
menendang, ada kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung
dan membakar, ada bade atau menara pengusungan mayat yang siap membakar,
ada babi bertaring panjang yang siap ngelumbih atau membanting dengan
kepala, ada awak belig atau badan licin yang mukanya seperti umah tabuan
atau sarang tawon. Ada pula api bergulung-gulung yang siap membakar
siapa saja yang menghadang. Semua pasukan leak kemudian keluar dari
rumah Calonarang dalam rupa bola api beterbangan, kemudian menuju ke
Setra Ganda Mayu tempat perjanjian pertempuran dengan Empu Bharadah dan
pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka
rupa datang, pasukan Kediri menjadi kaget dan was-was dan ada yang
ketakutan. Semuanya bersiap-siap dan merapatkan diri. Demikian pula
dengan Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal, mereka berdua sangat waspada
serta selalu berada di dekat Empu Bharadah untuk mengawalnya.
Empu Bharadah tidak sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut,
bahkan semangat untuk bertempur semakin membara. Sambil juga Empu
Bharadah mengucap mantra sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana
sesikepan, sesabukan, rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau
lempengan tembaga. Sangat ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu
Bharadah membawa pusaka sakti berupa sebuah keris yang bernama Kris Jaga
Satru.
Ibu Calonarang Tewas
Pertarunganpun terjadi
dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu
Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa ilmu
putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra
Ganda Mayu.
Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai
pagi, dan karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari
saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat melawan
Empu Bharadah
Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang
tewas dalam pertempuran melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda
Kediri. Mengetahui dirinya terdesak, Calonarang seperti biasa segera
menggelar kesaktian pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor
burung garuda berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik
awan. Ketika itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang .
Didapatinya rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan
Balayuda Kediri mengurung rumah Calonarang.
Empu Bharadah
kemudian berteriak : “Hai kau Calonarang pengecut, di mana gerangan
engkau bersembunyi. Sudah berwujud apa engkau sekarang, aku akan hadapi.
Aku menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang hidungmu”. Setelah
berkata demikian, tiba-tiba ada jawaban dari angkasa. Rupanya Calonarang
sudah bersembunyi dari tadi, tanpa sepengetahuan pasukan Kediri.
Calonarang berkata : “Hai kau Empu Bharadah, dimana bersembunyi rajamu.
Mendengar ejekan si garuda tersebut dari udara membuat Empu Bharadah
menjadi naik darah. Segera Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo
Wirang untuk membidikan senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang.
Namun ketika itu, Ki Kebo Wirang menjadi kebingungan karena musuh yang
akan dibidik tidak kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoar-koar.
Ditambah lagi dengan adanya kilat dan guntur yang menggelegar di
angkasa. Semakin menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang.
Menghadapi situasi demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan
sebuah daya upaya. Empu Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu
Tal sebagai umpan, agar si garuda mau keluar dari persembunyiannya. Ki
Lembu Tal mencoba untuk mencari tempat yang agak terbuka. Mereka
menari-nari sambil mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai
pertanda menantang. Ki Lembu Tal mengejek si garuda : “Hai engkau
Calonarang, kenapa engkau bersembunyi. Ayo turun, akan aku potong
lehermu, akan aku cincang engkau, bila perlu aku jadikan burung garuda
panggang. Hai kau Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau
bersembunyi di tempat yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kau boleh
hisap pantatku”. Demikian ejekan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh, sambil
membuka kainnya dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya suara
Calonarang.
Mendengar dan melihat ejekan Ki Lembu Tal,
menyebabkan Calonarang menjadi naik darah, dan segera keluar dari
persembunyiannya. Si garuda Calonarang dengan secepat kilat terbang dan
menyambar Ki Lembu Tal. Pada saat si garuda terbang menyambar Ki Lembu
Tal, ketika itu pula Empu Bharadah membidikkan senjata pusaka Jaga Satru
dan menembakkannya ke arah sang garuda. Si garuda jelmaan Calonarang
tersebut terkena tembakan senjata Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke
tanah. Segera si garuda mengambil wujud kembali menjadi manusia sosok
Calonarang. Ratu Leak Calonarang yang sakti mandraguna tidak berdaya
dengan kesaktian senjata pusaka Jaga Satru Empu Bharadah. Semua pasukan
Balayuda Kediri segera mendekati Calonarang yang tidak berdaya dan
kemudian Calonarang menghembuskan nafas terakhir di Setra Ganda Mayu.
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.
Calonarang Rangda Nateng Girah yang mewariskan Ilmu Pengeleakan Aji
Wegig sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena masih ada
generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar