Minggu, 20 Januari 2013

Dasa Aksara




Dasa Aksara

Di Bali telah lama dikenal aksara atau huruf yang diperkirakan merupakan modifikasi dari huruf Jawa. Dan huruf Jawa ini mungkin berasal dari huruf Sansekerta. Diduga bahwa huruf ini dibawa oleh Raja Aji Saka yang dating ke Jawa pada tahun 78 Masehi. Sebab pada waktu itu mulai diterapkan Tahun Saka yang berbeda sekitar 78 tahun dengan tahun Masehi. Huruf yang diperkenalkan pada waktu itu sebenarnya bukan huruf tetapi suku kata, yang terdiri atas suku kata: Ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya. Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: Hana caraka gata mangaba sawala pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba berpengalaman membawa surat, sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya (akhirnya) keduanya menjadi mayat.


Kedelapan belas aksara ini merupakan wre-astra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut swalalita yaitu Ah dan Ang; merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Kedua aksara swalalita ini dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu kelengkapan aksara berupa ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang melambangkan matahari berbentuk bulatan dan nada melambangkan bintang yang dilukis sebagai segi tiga. Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan aksara huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong, dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre

Kelengkapan ketiga aksara swalalita ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari dewa, sehingga bentuk windu adalah lambang agni, Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk ardha-candra adalah lambang air, Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk nada adalah lambang udara, Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti.

Kedudukan kedelapan belas aksara Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut:

Ha di ubun-ubun
Na di antara kedua alis
Ca di dalam kedua mata
Ra di kedua telinga
Ka di dalam hidung
Da di dalam mulut
Ta di dalam dada
Sa di tangan (lengan) kanan
Wa di tangan (lengan) kiri
La di hidung
Ma di dalam dada kanan
Ga di dalam dada kiri
Ba di pusar
Nga di dalam alat kelamin
Pa di dalam pantat (anus)
Ja di kedua tungkai (kaki)
Ya di tulang belakang
Nya di tulang ekor

Kelengkapan atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh manusia, yakni:

Ulu di kepala (dalam otak)
Taling di hidung
Surang di rambut
Nania di lengan (tangan)
Wisah di telinga
Pepet di batok kepala
Cecek di lidah
Guwung di kulit
Suku di tungkai (kaki)
Carik di persendian
Pamada di alur jantung

Dari semua aksara ini ada beberapa yang mempunyai nilai yang tinggi dan peranan yang amat penting di dalam buana alit. Aksara tersebut bergabung menjadi aksara rwa-bhineda: ang-ah, tri-aksara: a-u-m, panca-tirtha: na-ma-si-wa-ya, panda-brahma: sa-ba-ta-a-i. Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma maka terciptalah dasa aksara. Bila aksara yang ada di panca tirtha dipasangkan dengan aksara panca brahma akan muncul Sang Hyang Panca Aksara. Inilah panca aksara tersebut:


Sa + Na menjadi Mang

Ba + Ma menjadi Ang

Ta + Si menjadi Ong

A + Wa menjadi Ung

I + Ya menjadi Yang


Ada pula yang memberikan ulasan tentang dasa aksara ini bahwa setiap aksara itu mempunyai arti sendiri-sendiri, yaitu:


Sa berarti satu

Ba berarti bayu

Ta berarti tatingkah

A berarti awak

I berarti idep

Nama berarti hormat

Siwa berarti Siwa

Ya berarti yukti

Dengan pengertian seperti itu, maka arti dari dasa aksara ini adalah orang yang mempunyai tingkah laku dan pikiran (idep) yang luhur saja yang mampu mempergunakan beyu kekuatan dari Siwa. Dengan menyatukan tingkah laku dan pikirannya dia akan mampu mempergunakan dasa bayu untuk kesehjateraan buana alit dan buana agung.

Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma ditambah dengan tri aksara dan eka aksara akan terjadi catur dasa aksara. Catur dasa aksara ini terdiri atas: sa-ba-ta-a-i ditambah na-ma-si-wa-ya, serta digabung dengan ang-ung-mang dan ong-kara yang erat kaitannya dengan catur-dasa-bayu, suatu kekuatan yang ada di dalam buana alit dan buana agung, yang memungkinkan manusia dan dunia hidup dengan wajar.

Menurut Lontar Kanda Pat, jika manusia dapat menguasai cara penggunaan pangangge sastra atau sastra busana, maka dia dianggap telah menguasai ajaran Durga, dewi kematian yang ada di kuburan.. Seseorang yang mampu mempergunakan wisah, yakni, huruf h, maka orang tersebut akan mampu melakukan aneluh, membencanai orang lain. Bila dia mampu mempergunakan aksara wisah dan taling maka dia dapat melakukan tranjana (ilmu sihir). Kalau dia mampu mempergunakan wisah dan cecek, maka dia akan dapat melaksanakan hanuju, menunjukkan kekuatannya ke suatu sasaran yang tepat.

Seseorang yang dapat memanfaatkan busana sastra wisah, taling, cecek, dan suku sekaligus maka dia dapat menjadi leak. Dia adalah seorang leak ahli bathin yang amat besar.

Dia mampu mengendalikan semua kekuatan negatif atau pangiwa yang ada di dunia ini. Untuk mampu menggunakan aksara pangangge ini yang merupakan gambar dan lambing yang rumit ini perlu ketekunan dan kemauan keras untuk mempelajarinya. Jika salah mempelajarinya maka kekuatan aksara ini akan dapat membahayakan jiwa orang yang mempelajarinya. Tetapi bagi orang yang mampu mempelajarinya dengan baik, maka orang ini dapat mempergunakan kekuatan aksara ini untuk tujuan baik sehingga menjadi balian panengen, untuk menyembuhkan orang sakit akibat terkena sihir balian pangiwa. Untuk mempelajari lebih dalam mengenai aksara pangangge ini dapat dibaca di dalam lontar Tutur Karakah Durakah, Panglukuhan Dasaksara, Tutur Karakah Saraswati, Tutur Bhuwana Mabah, Usada Tiwas Punggung, Usada Netra dan lainnya lagi.

Setiap aksara apalagi setelah digabungkan beberapa aksara sehingga menjadi dasa aksara, panca aksara, catur aksara, tri aksara, dwi aksara, dan eka aksara mempunyai gambar atau lambang sendiri-sendiri dengan kekuatan bayu atau vayu yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesehjateraan umat manusia. Tetapi ada pula orang yang mempelajari aksara ini dengan tujuan utnuk membuat sakit orang lain, sehingga dia disebut balian pangiwa. Hal ini tentunya tidak dikehendaki oleh umat manusia.

Sumber: Usada Bali
sumber :: http://www.puragunungsalak.com/2010/06/dasa-aksara.html
Pengarang: Prof. Dr. Ngurah Nala, M.P.H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar