Dasa Aksara
Di Bali telah lama dikenal
aksara atau huruf yang diperkirakan merupakan modifikasi dari huruf
Jawa. Dan huruf Jawa ini mungkin berasal dari huruf Sansekerta. Diduga
bahwa huruf ini dibawa oleh Raja Aji Saka yang dating ke Jawa pada tahun
78 Masehi. Sebab pada waktu itu mulai diterapkan Tahun Saka yang
berbeda sekitar 78 tahun dengan tahun Masehi. Huruf yang diperkenalkan
pada waktu itu sebenarnya bukan huruf tetapi suku kata, yang terdiri
atas suku kata: Ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa,
da, ja, ya, nya. Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi
suatu kalimat untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: Hana caraka gata
mangaba sawala pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba
berpengalaman membawa surat,
sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai
berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya (akhirnya) keduanya menjadi mayat.
Kedelapan belas aksara ini
merupakan wre-astra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada
siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua
buah aksara disebut swalalita yaitu Ah dan Ang; merupakan aksara yang
tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Kedua aksara swalalita ini
dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu kelengkapan aksara berupa
ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang melambangkan matahari
berbentuk bulatan dan nada melambangkan bintang yang dilukis sebagai
segi tiga. Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan aksara
huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong,
dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre
Kelengkapan
ketiga aksara swalalita ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan
simbol dari dewa, sehingga bentuk windu adalah lambang agni, Dewa
Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk ardha-candra adalah lambang air,
Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk nada adalah lambang udara,
Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini jika disatukan
akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di Bali
diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga
disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti.
Kedudukan kedelapan belas aksara Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut:
Ha di ubun-ubun
Na di antara kedua alis
Ca di dalam kedua mataRa di kedua telinga
Ka di dalam hidung
Da di dalam mulut
Ta di dalam dada
Sa di tangan (lengan) kanan
Wa di tangan (lengan) kiri
La di hidung
Ma di dalam dada kanan
Ga di dalam dada kiri
Ba di pusar
Nga di dalam alat kelamin
Pa di dalam pantat (anus)
Ja di kedua tungkai (kaki)
Ya di tulang belakang
Nya di tulang ekor
Kelengkapan atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh manusia, yakni:
Ulu di kepala (dalam otak)
Taling di hidungSurang di rambut
Nania di lengan (tangan)
Wisah di telinga
Pepet di batok kepala
Cecek di lidah
Guwung di kulit
Suku di tungkai (kaki)
Carik di persendian
Pamada di alur jantung
Dari semua aksara ini ada beberapa yang mempunyai nilai yang tinggi dan peranan yang amat penting di dalam buana alit. Aksara tersebut bergabung menjadi aksara rwa-bhineda: ang-ah, tri-aksara: a-u-m, panca-tirtha: na-ma-si-wa-ya, panda-brahma: sa-ba-ta-a-i. Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma maka terciptalah dasa aksara. Bila aksara yang ada di panca tirtha dipasangkan dengan aksara panca brahma akan muncul Sang Hyang Panca Aksara. Inilah panca aksara tersebut:
Sa + Na menjadi Mang
Ba + Ma menjadi Ang
Ta + Si menjadi Ong
A + Wa menjadi Ung
I + Ya menjadi Yang
Ada pula yang memberikan ulasan tentang dasa aksara ini bahwa setiap aksara itu mempunyai arti sendiri-sendiri, yaitu:
Sa berarti satu
Ba berarti bayu
Ta berarti tatingkah
A berarti awak
I berarti idep
Nama berarti hormat
Siwa berarti Siwa
Ya berarti yukti
Jika panca
tirtha digabung dengan panca brahma ditambah dengan tri aksara dan eka
aksara akan terjadi catur dasa aksara. Catur dasa aksara ini terdiri
atas: sa-ba-ta-a-i ditambah na-ma-si-wa-ya, serta digabung dengan
ang-ung-mang dan ong-kara yang erat kaitannya dengan catur-dasa-bayu,
suatu kekuatan yang ada di dalam buana alit dan buana agung, yang
memungkinkan manusia dan dunia hidup dengan wajar.
Menurut
Lontar Kanda Pat, jika manusia dapat menguasai cara penggunaan pangangge
sastra atau sastra busana, maka dia dianggap telah menguasai ajaran
Durga, dewi kematian yang ada di kuburan.. Seseorang yang mampu
mempergunakan wisah, yakni, huruf h, maka orang tersebut akan mampu
melakukan aneluh, membencanai orang lain. Bila dia mampu mempergunakan
aksara wisah dan taling maka dia dapat melakukan tranjana (ilmu sihir).
Kalau dia mampu mempergunakan wisah dan cecek, maka dia akan dapat
melaksanakan hanuju, menunjukkan kekuatannya ke suatu sasaran yang
tepat.
Seseorang
yang dapat memanfaatkan busana sastra wisah, taling, cecek, dan suku
sekaligus maka dia dapat menjadi leak. Dia adalah seorang leak ahli
bathin yang amat besar.
Dia mampu
mengendalikan semua kekuatan negatif atau pangiwa yang ada di dunia ini.
Untuk mampu menggunakan aksara pangangge ini yang merupakan gambar dan
lambing yang rumit ini perlu ketekunan dan kemauan keras untuk
mempelajarinya. Jika salah mempelajarinya maka kekuatan aksara ini akan
dapat membahayakan jiwa orang yang mempelajarinya. Tetapi bagi orang
yang mampu mempelajarinya dengan baik, maka orang ini dapat
mempergunakan kekuatan aksara ini untuk tujuan baik sehingga menjadi
balian panengen, untuk menyembuhkan orang sakit akibat terkena sihir
balian pangiwa. Untuk mempelajari lebih dalam mengenai aksara pangangge
ini dapat dibaca di dalam lontar Tutur Karakah Durakah, Panglukuhan
Dasaksara, Tutur Karakah Saraswati, Tutur Bhuwana Mabah, Usada Tiwas
Punggung, Usada Netra dan lainnya lagi.
Setiap
aksara apalagi setelah digabungkan beberapa aksara sehingga menjadi dasa
aksara, panca aksara, catur aksara, tri aksara, dwi aksara, dan eka
aksara mempunyai gambar atau lambang sendiri-sendiri dengan kekuatan
bayu atau vayu yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesehjateraan
umat manusia. Tetapi ada pula orang yang mempelajari aksara ini dengan
tujuan utnuk membuat sakit orang lain, sehingga dia disebut balian
pangiwa. Hal ini tentunya tidak dikehendaki oleh umat manusia.
Sumber: Usada Bali
sumber :: http://www.puragunungsalak.com/2010/06/dasa-aksara.html
Pengarang: Prof. Dr. Ngurah Nala, M.P.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar